Bab 04 - Perjanjian Kontrak

Kini Alia dibawa Rafa ke kediamannya yang megah. Aroma maskulin dan mahal menusuk hidungnya. "Kau bisa mengobatiku di sini. Aku sudah memberitahu tempat kerjamu agar kau libur hari ini."

Alia melotot. "Kau gila! Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini! Bagaimana bisa kau seenaknya mengatakan aku libur?!"

Rafa menatapnya tajam, rahangnya mengeras. "Aku tidak suka penolakan."

"Oh ya? Dan aku tidak suka diatur!" Alia membentak, suaranya bergetar karena marah dan kelelahan.

"Balas budinya! Aku telah menyelamatkanmu!" Rafa menekankan setiap kata.

"Oh, jadi begitu? Kau menyelamatkanku dengan terpaksa? Dasar brengsek!" Alia membalas dengan sengit.

"Aku ikhlas! Tapi kau sendiri yang bilang akan mengobatinya!" Rafa menunjuk luka di keningnya, darah telah mengering membentuk kerak.

"Tapi kau tak perlu membuatku libur, sialan! Aku butuh uang untuk biaya sekolah!" Alia menggeram, tangannya meraih kotak P3K yang baru saja diantar pelayan. Gerakannya kasar, mencerminkan emosinya.

"Aku akan membayarmu." Rafa berkata datar, namun sorot matanya sedikit melunak.

"Dan aku bukan pembantumu!" Alia membalas dengan nada tinggi.

"Kau sangat cerewet!" Rafa menggeram, menahan rasa sakit yang menusuk.

"Dan kau menyebalkan!" Alia membalas dengan nada yang sama, matanya berkilau menantang.

Alia membersihkan luka di kepala Rafa. Sentuhannya masih kasar, namun ada sedikit keraguan di sana. Rafa meringis. "Ahh… pelan-pelan, sial!"

Alia mendengus. "Salahmu sendiri!" Bibirnya manyun, namun matanya tidak lepas dari luka Rafa.

Rafa terdiam sejenak, mengamati Alia. "Namamu?" suaranya lebih lembut sekarang.

"Alia Sofia De Luca."

"Oh…" Rafa bergumam, matanya masih menatap Alia.

Alia membalas tatapannya, lalu bertanya, "Dan kau?"

"Enzo Rafa Romano." Suaranya terdengar berat, penuh otoritas, namun ada sedikit getaran yang tidak bisa disembunyikan.

Alia tersenyum tipis. "Baiklah, Enzo." Ada sedikit tantangan dalam suaranya.

Rafa tersentak. Hanya satu wanita yang memanggilnya Enzo: ibunya. "Kau bisa memanggilku Rafa…" suaranya sedikit serak.

Alia berdiri, bersiap pergi. "Tidak! Aku akan tetap memanggilmu Enzo. Ini sudah selesai, aku harus bekerja."

Seorang wanita muda, hampir sebaya Alia, muncul bersama seorang pria paruh baya. Wanita itu tampak anggun, namun ada sesuatu yang dingin di matanya.

Alia berbisik, "Ibumu…?"

Rafa menjawab dengan suara rendah, "Bukan."

Rafa menatap mereka tajam. "Ada apa kalian datang ke sini?"

Isabella, wanita muda itu, tersenyum manis, namun senyum itu tak sampai ke matanya. "Sayang… Kami orang tuamu, kami ingin berkunjung."

Alia merasakan hawa dingin yang menusuk. Isabella, istri muda Giovanni Romano, ayah Rafa. Itu menjelaskan kebencian Rafa pada ayahnya.

"Kau bukan keluargaku. Pergilah." Suara Rafa dingin, penuh amarah yang terpendam.

Giovanni membentak, "Rafa! Bagaimana kau berbicara pada ibumu?!"

"Dia bukan ibuku!" Rafa membalas dengan amarah yang sama, suaranya bergetar. Alia melihat percikan kebencian di mata Rafa.

Isabella menenangkan Giovanni dengan bisikan lembut, namun matanya tetap tajam mengamati Alia.

Isabella tersenyum licik. "Rafa, Mommy membawakanmu seseorang." Seorang wanita cantik muncul, kecantikannya tampak buatan, dengan make-up tebal yang menutupi wajahnya. Evelyn Fernandez, putri Tuan Fernandez, dijodohkan Isabella untuk Rafa.

Evelyn menyapa dengan lembut, "Halo, Rafa…" Namun Rafa mengabaikannya.

Dalam hati Rafa: Wanita baru lagi? Setelah Erika, sekarang Evelyn.

Isabella mendesak, "Apakah kau tak ingin menyapanya, Rafa?"

Amarah Rafa meledak. "Tidak! Pergilah kalian dari rumahku! Aku muak melihat kalian!" Ia menarik tangan Alia, menjauhi ruang tengah yang dipenuhi ketegangan.

Giovanni berteriak, "Rafa! Hentikan!"

Teriakan Giovanni membuat Rafa berhenti. Ia menatap tajam ayahnya.

Giovanni memperhatikan Alia dari atas ke bawah, menilai. "Wanita itu siapa?!"

"Kau tak perlu tahu!" Rafa menjawab dingin, tangannya masih menggenggam tangan Alia.

"Ingat, Rafa! Kau akan tetap menikah dengan Evelyn setelah menolak Erika!" Giovanni membentak, nadanya penuh ancaman.

"Dengarkan aku baik-baik! Aku tidak akan menikah dengan wanita itu, dan kau tak ada urusannya dengan hidupku!" Rafa membentak balik, suaranya bergetar karena amarah.

Giovanni mengubah taktiknya. "Baiklah, aku tak akan memaksamu menikah dengan Evelyn. Tapi, kau harus punya istri dalam dua hari!"

Rafa tersenyum sinis. "Baik. Aku akan membawanya istri. Dan jangan pernah kembali ke rumah ini! Kalian bukan siapa-siapa bagiku!" Ia menarik Alia menuju kamarnya, tangannya masih menggenggam erat tangan Alia.

"Pengawal! Usir mereka! Aku tak mau ada pengganggu di rumah ini!" Rafa berteriak keras, suaranya bergema di seluruh rumah.

Rafa membawa Alia ke lantai empat, ke kamarnya yang mewah dan tenang. Kamar utama yang luas, dengan kasur king-size. Rafa melemparkan tubuhnya ke kasur.

Alia berusaha melepaskan diri. "Mengapa kau membawaku ke sini? Aku ingin pulang, Enzo!"

"Sudah kukatakan, tetaplah di sini. Aku tak menerima penolakan." Rafa menjawab dengan suara berat.

"Sialan! Siapa kau mengaturnya?!" Alia bergegas ke pintu, tapi terkunci. Ia menyadari bahwa Rafa telah menguncinya.

Batinku: Sejak kapan dia mengunci kamar ini?

Rafa tersenyum licik. "Kau tak akan bisa keluar."

"Kau gila! Aku harus bekerja, kau malah mengurungku di sini!"

"Aku akan membayarmu." Rafa berkata datar.

"Kau kira aku wanita murahan?!" Alia membentak, matanya berkobar amarah.

Rafa duduk, menatap Alia tajam. "Oke, aku akan melepaskanmu setelah kita membuat perjanjian."

Alia melotot. "Apa?! Kau gila! Kau yang mengurungku, kau yang minta perjanjian? Tidak, aku tidak mau!"

Rafa memejamkan mata, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Kalau begitu, kau tak akan pernah keluar dari kamar ini."

Alia berteriak histeris, "Enzo Rafa Romano!!!!!"

Rafa mengabaikan umpatan Alia. Alia mengambil bantal dan memukulinya.

"Lepaskan aku, bajingan!" Alia memukul Rafa dengan bantal, sementara Rafa menghindarinya sambil tertawa. Adegan ini seperti pertengkaran anak kecil yang lucu namun menegangkan.

"Tidak, tidak akan!" Rafa menghindar, namun tetap tertangkap beberapa pukulan bantal.

Mereka bergulat di atas kasur king-size, Alia terus memukul Rafa dengan bantal.

"Lepaskan! Kumohon, lepaskan aku! Aku ingin keluar, Enzo!"

"Tidak! Aku tak akan membiarkanmu keluar sampai kau mau melakukan perjanjian denganku!"

Kehabisan tenaga, Alia terjatuh di kasur. Rafa ikut terjatuh di sampingnya.

"Kau memang gila!"

"Setidaknya aku tak barbar sepertimu!" Rafa membalas, namun ada sedikit senyum di sudut bibirnya.

Rafa duduk tegak. "Aku akan membayarmu 2 juta Euro setiap bulan jika kau mau mengikuti perjanjianku."

Alia menatapnya, lelah dan bingung. "Kau ingin aku… apa?"

"Istri kontrak. Bagaimana?" Rafa menatap Alia dengan serius.

Alia terkejut. "Apa?! Tidak, aku tidak mau!"

"Hanya istri kontrak! Kau bebas melakukan apa pun yang kau mau!"

"Diam! Aku masih sekolah!"

Rafa menjelaskan dengan tenang, "Aku hanya menikahimu, tak akan menyentuhmu."

"Apa?! Menyentuh?! Dasar mesum!" Alia menjauh darinya.

Rafa mengangkat bahu. "Aku tak tertarik padamu, kau masih sangat muda."

"Perjanjian bodoh!"

Rafa melanjutkan dengan tenang, "Ayolah, Alia. Hanya istri kontrak. Aku malas menikah dengan pilihan Daddy atau istrinya. Aku akan membayarmu 2 juta Euro setiap bulan, dan kau bebas melakukan apa pun."

Rafa memberi ultimatum, "Jangan langsung menolak. Kau punya satu malam untuk memikirkannya. Dan satu lagi, aku tidak suka penolakan."

Alia membalas, "Itu sama saja pemaksaan! Dan aku juga tidak suka pemaksaan!"

Rafa mengubah tawarannya, "Baiklah, kita buat perjanjian di atas materai! Hanya setahun! Setelah itu, aku akan membayarmu 200 juta Euro, dan kau bebas!" Rafa meninggalkan kamar, mengunci pintu di belakangnya.

Alia berteriak, "Enzo! Kau memang gila!"

Alia duduk di ranjang Rafa. Dalam hati Alia: Tempat tidurnya nyaman juga. Ada apa dengan keluarganya? Kehidupannya sama sepertiku, keluarga yang tak jelas. Kelebihannya, dia kaya raya.

Alia frustasi. "Lama-lama aku bisa gila! Enzo, lepaskan aku, woi!"

----

Isabella menatap Giovanni dengan ekspresi khawatir. "Sayang, kau serius akan mengatakan itu pada Rafa?"

Giovanni menjawab singkat, nadanya tegas, "Tentu saja."

Isabella mengerutkan kening. "Tapi bagaimana dengan keluarga Fernandez? Perjodohan ini sudah direncanakan dengan matang."

Giovanni tersenyum licik. "Tenanglah, Isabella. Rafa tidak akan menikah dalam waktu dekat. Bagaimanapun juga, dia masih mencintai Hannah." Nada suaranya penuh perhitungan.

Isabella masih tampak cemas. "Ingat, sayang. Jangan sampai perjodohan ini gagal lagi. Setelah Rafa menolak perjodohan dengan keluarga Tristan, kita tak boleh kehilangan muka lagi di hadapan keluarga Fernandez."

Giovanni menenangkan Isabella dengan lembut, tangannya meraih tangan istrinya. "Iya, sayang. Tenanglah. Semuanya akan berjalan sesuai rencana." Namun, di balik ketenangannya, ada keraguan yang tersembunyi.

----

Enam jam telah berlalu. Rafa datang dengan beberapa pelayan membawa makanan. Alia tertidur pulas di atas king-size bed.

"Letakkan makanan di meja," perintah Rafa tenang. Pelayan meletakkan makanan dan pergi.

Rafa mendekati Alia. Wajah Alia terlihat tenang saat tidur, berbeda dengan saat terbangun; jutek dan cerewet. Rafa mengurungkan niat membangunkannya. Ia menunggu.

Lama-lama, Rafa ikut tertidur di tepi ranjang.

Pukul 12 malam, Alia terbangun ingin ke kamar mandi. Melihat Rafa tidur di sampingnya, ia menjerit.

"Aaaaaahhhh!" Alia menjerit keras, mundur ketakutan.

Rafa terbangun, menatap Alia tajam. "Mengapa kau berteriak?!"

"Apa yang kau lakukan di sini?! Mengapa kau tidur di sini?!" Alia berteriak histeris.

Rafa menjawab datar, "Ini kamarku. Suka-sukaku."

"Tapi… kau tak boleh tidur di samping wanita yang sedang tidur! Kau mesum!"

"Bisakah kau tidak berteriak? Kau merusak gendang telingaku!" Rafa kesal.

"Tidak! Kau… kau membuatku gila!"

"Kau sendiri yang membuatnya rumit," balas Rafa tenang, namun matanya menunjukkan sedikit kekesalan.

"Sialan! Aku ingin ke kamar mandi! Kamar mandinya di mana?!"

Rafa menunjuk ke arah kamar mandi.

Alia bergegas ke kamar mandi, meninggalkan Rafa tanpa sepatah kata pun.