Bab 05 - Pagi yang Tak Terduga

Alia keluar dari kamar mandi, wajahnya masih basah. Rafa masih asyik dengan ponselnya di ranjang. Kecewa dan amarah bercampur aduk dalam dirinya.

"Enzo, aku mau pulang!" desis Alia, suaranya tajam.

Rafa mendongak, tanpa meletakkan ponselnya. "Sudah pikirkan perjanjiannya?"

"Aku nggak mau nikah!" bantah Alia keras.

"Tidak ada penolakan." Rafa tetap dingin.

"Dan aku nggak suka dipaksa!" Alia mengepalkan tangan, menahan amarah yang hampir meledak.

"Kau harus mau." Nada Rafa tegas, tanpa sedikitpun menunjukkan keraguan.

"Tidak! Titik!" Alia membentak, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengancam akan tumpah.

Rafa akhirnya meletakkan ponselnya. Tatapannya tajam, menusuk Alia. "Kau bilang tidak mau? Baiklah. Kau tidak akan bisa keluar dari mansion ini!"

Alia terkesiap. Ia berbalik menuju pintu, namun pintu itu terkunci otomatis. Tangisnya pecah. "Aku mau pulang! Aku nggak mau di sini!" raungnya, kepalan tangannya memukul pintu berkali-kali.

Rafa berdiri, mendekati Alia. "Kau akan menjadi istri kontrakku. Banyak wanita yang ingin menjadi istriku, kenapa kau begitu sulit?"

"Cari saja wanita lain! Aku nggak mau!" Alia masih menangis, suaranya terisak.

Rafa menghela napas panjang. "Kau menolak? Baiklah. Kau tidak akan bisa bekerja lagi di tempatmu sekarang. Aku akan pastikan tidak ada perusahaan yang mau menerimamu. Dan aku akan terus mengganggumu sampai kau mau menikah denganku!" Ancaman Rafa terdengar dingin dan penuh perhitungan.

Alia menatap Rafa dengan tatapan penuh kebencian. Air matanya masih mengalir, namun ia berusaha tegar. "Tuan Enzo Rafa Romano yang katanya baik hati, aku tidak ingin menjadi istrimu!" Ia melontarkan kata-kata itu dengan suara keras, penuh amarah.

Rafa terdiam sejenak. Lalu, sebuah senyum sinis terkembang di bibirnya. Ia membuka pintu kamar. "Oke. Pergi saja."

Alia langsung berlari, meninggalkan Rafa yang menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. Ia berlari menyusuri koridor mansion yang panjang dan megah, jantungnya berdebar kencang.

"Bangun rumah jangan sebesar ini, dong! Mau sampai gerbang aja capek!" gumam Alia di tengah larinya, napasnya tersengal-sengal.

Para pengawal dan pelayan memperhatikannya dengan tatapan heran. Jam menunjukkan pukul satu dini hari. Alia masih berlari, berusaha keluar dari mansion itu. Rafa diam-diam mengikutinya dari belakang.

Sesampainya di gerbang, Alia berhenti. Kegelapan malam dan kesunyian mencekamnya. Ia merasakan ketakutan yang menusuk tulang. Alia memiliki phobia gelap.

"Kenapa kau tidak keluar?" tanya Rafa, suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya.

"Gelap… sepi…" Alia berbisik, suaranya gemetar.

"Antar aku pulang…" lirihnya, memohon.

Rafa ragu sejenak. Ia melihat wajah Alia yang pucat pasi karena ketakutan. "Tidak mau. Pergi sendiri saja."

"Kau! Apakah itu cara memperlakukan wanita?!" bentak Alia, air matanya kembali mengalir.

"Kau yang minta keluar. Pergi sana!" Rafa menjawab dengan nada sinis, namun ada sedikit keraguan dalam suaranya.

"Oke! Aku akan keluar!" Alia bertekad, ia harus pulang, walau harus berjalan kaki.

Alia berjalan menjauh, langkahnya gontai. Ia mengutuk Rafa dalam hati.

"Pria aneh! Tuhan, kenapa aku sial banget akhir-akhir ini!" Alia menggerutu, langkahnya semakin lelah.

Rafa tetap mengikutinya dari kejauhan. Ia menyadari bahwa membiarkan Alia pulang sendirian di tengah malam adalah sebuah kesalahan.

Rumah Alia jauh dari mansion Rafa. Rafa terus mengawasi Alia. Ia melihat betapa berbahaya situasi ini bagi seorang wanita yang berjalan sendirian di malam hari.

Dan kemudian, dua preman mabuk menghalangi jalan Alia…

Salah satu preman menarik lengan baju Alia hingga sobek. Kulit putih Alia terekspos sekejap, sebelum ia buru-buru menutupi tubuhnya yang terbuka. Ketakutan memenuhi wajahnya. Ia mencoba melawan, namun kekuatannya tak sebanding. Preman itu semakin brutal, dan tangannya sudah hampir menyentuh Alia. Air mata Alia mengalir deras, tubuhnya gemetar hebat.

Tiba-tiba, sebuah bayangan menghalangi. Rafa.

Dengan kecepatan yang luar biasa, Rafa menendang preman yang memeluk Alia hingga terpental. Preman lainnya, yang hendak menyerang, diangkat dan dilempar dengan mudah oleh Rafa, tubuhnya menghantam tanah dengan keras.

"Arghhh, bangsat!!!" Preman itu merintih kesakitan.

Alia, masih gemetar hebat, langsung berlari ke pelukan Rafa. Ia memeluknya erat-erat, tubuhnya bergetar tak terkendali. Rafa merasakan getaran itu, merasakan ketakutan yang begitu dalam.

"Urus mereka!" perintah Rafa dingin kepada pengawalnya yang baru saja tiba.

Rafa menggendong Alia seperti koala, membawanya ke mobil. Di dalam mobil, Alia masih terisak, matanya kosong menatap ke depan. Rafa menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran kekhawatiran dan sesuatu yang lebih dalam.

"Tenang, kau aman bersamaku," bisik Rafa, suaranya lembut, berusaha menenangkan Alia.

Alia tetap terdiam, ketakutan masih mencengkeramnya. Sesampainya di mansion, Alia seperti patung, tak bergerak. Rafa menggendongnya dengan gaya bridal style, membawanya ke kamar tamu. Ia meminta pelayan mengurus Alia, lalu meninggalkannya sendirian.

Di ruang kerjanya, Rafa memijat pelipisnya, pikirannya dipenuhi oleh kejadian tadi dan masalah lainnya.

"Bos! Tempat kita diserang…" lapor asistennya, terengah-engah.

"Bangsat!" Rafa menggeram, amarahnya meledak. Ia sudah terbiasa dengan kekerasan dan bahaya, namun kejadian dengan Alia telah mengguncang ketenangannya.

Tanpa ragu, Rafa langsung menuju lokasi yang diserang. Dunia mafia adalah dunianya, dan ia akan menghadapi semua tantangannya.

----

Sinar matahari pagi menerobos jendela kamar tamu, membangunkan Alia dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengingat kejadian semalam. Air mata kembali mengalir, membasahi pipinya. Andai Rafa terlambat datang… Ia tak berani membayangkannya.

"Nona sudah bangun," sapa seorang pelayan lembut.

Alia melihat sekeliling, mengenali ruangan itu. Kejadian semalam kembali menghantuinya.

"Aku mau pulang," desis Alia, suaranya masih bergetar.

"Maaf, Nona. Hari ini kan ada ujian di sekolah? Tuan Rafa sudah menyuruh kami menyiapkan seragam Nona," kata pelayan itu, sambil menyerahkan seragam sekolah kepada Alia.

Alia terkesiap. "Astaga, aku lupa!"

"Di mana kamar mandi?" tanyanya panik, seolah-olah ia baru pertama kali berada di ruangan itu.

"Di sana, Nona. Perlu bantuan?"

"Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolak Alia, sedikit kasar. Ia tak suka diperhatikan saat mandi.

Beberapa menit kemudian, Alia keluar dari kamar mandi, mengenakan kimono handuk. Ia mengambil seragam sekolahnya, dan sebuah senyum kecil muncul di bibirnya. Rafa tahu sekolahnya. Tentu saja, dengan kekuasaannya, ia bisa mendapatkan informasi apa pun.

"Aku lupa, dia punya segalanya. Dia bisa menyuruh siapa saja untuk mencari tahu tentangku," gumam Alia, sambil mengenakan seragam sekolahnya.

"Nona, mau dirias?" tanya pelayan itu lembut.

"Tidak perlu, aku nggak pakai make-up ke sekolah," jawab Alia santai. Ia lebih suka tampil apa adanya.

"Nona sangat cantik, meskipun tanpa make-up," puji pelayan itu.

Alia menatap pelayan itu tajam. "Kau memujiku?"

"Kami jujur, Nona," jawab pelayan itu.

Alia menatap wajahnya di cermin. "Aku rasa aku nggak secantik itu," katanya, sedikit ragu.

Tok… tok… tok…

"Masuk," teriak Alia.

"Maaf, Nona. Ini sarapan Anda," kata pelayan itu, sambil membawa beberapa sandwich dan susu cokelat.

"Kalian nggak perlu repot-repot, aku biasanya sarapan di sekolah," kata Alia, merasa tak enak hati.

"Perintah Tuan Rafa, Nona," jawab pelayan itu.

Alia tersenyum kecil. "Dia berlebihan. Terima kasih." Perutnya memang sudah keroncongan.

Setelah pelayan itu pergi, Alia memakan sandwich itu dengan lahap.

"Enzo di mana?" tanya Alia tiba-tiba.

Para pelayan terkesiap. Rafa melarang siapa pun memanggilnya Enzo, kecuali…

"Kenapa kalian terkejut?" tanya Alia, mengerutkan dahi.

"Tidak apa-apa, Nona," jawab salah satu pelayan gugup.

"Pria menyebalkan itu di mana?" ulang Alia, menggunakan sebutan kesayangannya untuk Rafa.

"Tuan Rafa sudah berangkat sejak pukul lima, Nona," jawab pelayan itu.

"Dia kerja sedini itu?" Alia terheran-heran.

"Tuan Rafa jarang di sini, Nona. Ia hanya pulang sebentar, lalu pergi lagi," jelas pelayan itu.

Alia mengangguk paham. "Pantas saja dia kaya…" gumamnya pelan.