Raven dan Tami berlari ke arah sumber suara itu. Setelah beberapa saat berlari, mereka melihat anak perempuan sepantaran mereka sedang melompat-lompat di bawah sebuah pohon sembari menjulurkan kedua tangannya ke atas. Perempuan itu memiliki pakaian yang rapi, indah, rambutnya juga terlihat sangat bersih dengan pita bewarna merah yang menghiasinya.
Tami dan Raven pun langsung menghampiri anak itu.
"Hey, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Tami.
"Eh? Ah syukurlah ada yang datang. Kucingku terjebak di atas pohon ini," ujar anak itu sembari menunjuk ke atas pohon.
Tami dan Raven mengangkat kepala mereka dan melihat seekor kucing yang sedang terjebak di salah satu dahan pohon itu yang terletak cukup tinggi.
"Waduh, pohonnya tinggi sekali," ujar Tami.
"Apa kalian bisa menolongku?" tanya anak itu.
"Tenang, kami pasti bisa menolong kok," ujar Tami sembari tersenyum lebar. Tami kembali melihat ke arah kucing tadi dan bergumam, "Waduh, gimana ini. Apa aku panjat saja ya?"
Tiba-tiba Tami merasakan ada yang menepuk pundaknya dan ketika dia menoleh, Raven maju mendahuluinya.
"Biar aku saja yang urus," ujar Raven sembari melepaskan tangannya dari pundak Tami.
Raven mulai memegang pohon itu dengan salah satu tangannya dan mengambil nafas dalam. Setelah membuang nafasnya, Raven pun langsung memanjat pohon itu dengan cukup cepat. Mulut Tami langsung terbuka melihat kecepatan Raven memanjat pohon itu.
Sesampainya di dahan tempat kucing tadi terjebak, Raven pun perlahan mulai naik dahan itu dan mendekat ke kucing itu. Kucing itu sendiri perlahan ikut berjalan mundur saat Raven menghampirinya.
"Ayo jangan takut, kemarilah," ujar Raven dengan lembut.
Bukannya berjalan ke arah Raven, kucing itu malah berjalan mundur. Semakin kecil dahan yang dipijak kucing itu dan semakin ujung juga kucing itu berada.
"Hey tunggu, jangan berjalan kesana!"
Baru saja Raven berkata begitu, tiba-tiba dahan yang menjadi pijakan kucing itu patah membuat kucing itu terjun bebas ke bawah.
"H-HEY!!"
Raven langsung panik dan hampir melompat turun. Kucing itu terus terjun dan ketika hampir mencapai tanah, Tami datang dan langsung menangkap kucing itu.
"Hap! Tertangkap kau," ujar Tami sembari memeluk kucing itu.
"Woah itu hampir saja. Terima kasih!" ujar gadis tadi.
"Tidak masalah!" ujar Tami sembari memberikan kucing itu kepada gadis itu.
Tami berbalik dan melihat ke arah Raven.
"Hey Raven, apa kau bisa turun?" saut Tami. Namun saat Tami melihat ke atas pohon, Raven sudah tak ada di sana. "Loh dimana dia?"
"Hey aku dibelakangmu," ujar Raven yang sudah berada di belakang Tami.
Tami dan anak perempuan tadi pun langsung terkejut melihat Raven yang sudah turun.
"Waduh cepatnya," ujar Tami.
"Wah kau kuat sekali ya!" ujar perempuan tadi dengan mata yang langsung berbinar-binar walau sebelumya sempat terkejut.
"Oh? Makasih ya," ujar Raven dengan suara datar.
"Hey, bagaimana kalau kalian mampir ke rumahku saja?" ujar si perempuan sembari memeluk kucingnya.
"Eh? Apa boleh?" tanya Tami.
"Boleh dong! Aku lihat kalian sepertinya lapar," ujar si perempuan.
"Tidak kok, kami tidak lap-" belum sempat Tami selesai bicara, suara perut keroncongan Raven pun terdengar jelas.
"Oh, maaf," ujar Raven.
"Ya... " tak lama kemudian suara perut keroncongan Tami pun terdengar jelas.
"Ehehe... ya kami memang lapar," ujar Tami akhirnya mengakuinya.
"Kalau begitu ayo ke rumahku! Ada banyak makanan enak di sana!" ujar si perempuan dengan senyuman lebar.
"Hehe, kalau begitu terima kasih ya," ujar Tami.
"Tentu saja! Oh ya omong-omong namaku Aria! Senang bertemu kalian," ujar Aria dengan penuh semangat.
***
Tami dan Raven pun berjalan mengikuti Aria menuju rumahnya. Beberapa saat berlalu dan akhirnya Tami dan Raven pun tiba di rumah Aria. Rumahnya cukup besar dan terlihat kokoh. Temboknya bewarna putih bersih. Tiang-tiang di rumah itu memiliki ukiran yang indah. Dan ada taman kecil di depan rumahnya.
"Selamat datang di rumahku!" ujar Aria.
Mulut Tami dan Raven pun hanya bisa terdiam betapa bagusnya rumah milik Aria.
"Hey kalian kenapa kok diam di situ saja?" Tami dan Raven pun kembali dari lamunannya saat mendengar suara Aria.
"Ayo masuk!" ajak Aria.
Tami dan Raven pun mulai memasuki rumah Aria. Suasana rumahnya begitu nyaman. Lantainya bersih, udaranya segar, dan sejuk.
"Kira-kira kapan aku dan Raven bisa punya rumah seperti ini ya," gumam Tami sembari melihat sekeliling.
Tak lama kemudian, Aria pun berkata, "Kalian tunggu sebentar ya. Aku mau memanggil ibuku dulu." Aria pun mengetok pintu sebuah kamar dan berlari masuk. Tami dan Raven pun mendengar sedikit pembicaraan Aria di dalam.
"Ibu! Aku punya teman baru!" ujar Aria dengan suara cerianya.
"Oh ya?"
"Ya! Aku mengajaknya ke rumah," ujar Aria.
"Wah, mana sini coba ibu lihat."
Tak lama kemudian, Aria pun keluar dan menunjuk Tami dan Raven.
"Itu teman baruku!" ujar Aria.
Ibu Aria pun keluar dan tampak terkejut melihat dua bocah super kotor yang masuk ke dalam rumahnya. Ibunya juga semakin terkejut melihat Raven yang sudah terkenal dengan anak dari seorang narapidana.
"Hey berteman dengan siapa kamu, Nak?" tanya Ibu Aria dengan suara tinggi.
"Loh kenapa, Bu?" tanya Aria yang terkejut dan mulai takut.
"Hey, mereka gelandangan. Jika kau berteman dengan mereka, kau akan menjadi gelandangan juga seperti mereka. Apa kau mau?" sentak si ibu membuat Aria pun mulai menangis.
Ibu Aria pun menghampiri Tami dan Raven.
"Hey kalian. Dengarkan ya. Jika kalian sampai berani menginjakkan kaki kalian di rumah ini lagi, jangan harap nyawa kalian masih menyatu dengan tubuh kalian. PAHAM?"
Tami dan Raven yang ketakutan pun hanya bisa mengangguk-angguk.
"Kami minta maaf!" kalimat yang hanya bisa mereka ucapkan saat itu. Tami dan Raven pun langsung pergi.
***
Raven dan Tami berlari menjauhi rumah itu dan kembali ke sungai tempat mereka minum tadi. Mereka duduk di atas sebuah batu sembari terengah-engah karena berlari. Tami berusaha mengatur nafasnya lalu mengambil air sungai itu dengan tangannya dan meminumnya.
"Ahh! Segar seperti biasa," ujar Tami setelah meneguk air yang ada di tangannya.
Tami pun menyandarkan kedua tangannya ke batu yang dia duduki sembari memasukkan kakinya ke dalam air sungai. Dia mulai melihat ke atas dan melihat cuaca yang mulai berawan. Suasana mulai semakin gelap. Dan awan semakin menggumpal hitam.
"Waduh sudah mau hujan nih," ujar Tami. Tami menoleh ke arah Raven dan berkata, "Raven, ayo pu-," Tami pun sedikit terkejut melihat Raven yang hanya meringkuk sembari memegangi kedua kakinya.
"Raven? Ada apa?" tanya Tami.
Raven pun terkejut ketika sadar Tami sedang melihatinya. Namun Raven mulai menundukkan kepalanya dan berkata, "Tami. Aku minta maaf ya. Nama keluargaku yang begitu buruk malah membuatmu gagal mendapat makanan."
Tami pun tersenyum mendengar jawaban Raven.
"Hey Raven," panggil Tami sembari berdiri.
Raven pun menoleh ke arah Tami dan langsung terkejut ketika Tami tiba-tiba memeluk kepalanya.
"Raven... aku tak peduli dari keluarga apa dirimu. Aku tak peduli jika kau anak dari iblis sekalipun. Kau temanku. Kau orang yang baik. Aku berjanji tak kan pergi dari sisimu."
Mendengar kata-kata Tami, Raven pun tak mampu menahan air matanya lagi. Raven langsung balik berdiri dan balik memeluk Tami. Tangisan Raven pun mulai membasahi pundak Tami.