Bab 3, Chapter 66: Deadly Stare

Di sisi lain, Raven terus berteriak histeris sambil meringkukkan tubuhnya di atas kursi kayu itu.

"Keluarlah... Keluarlah dari kepalaku!"

Banyak sekali bola mata di sekeliling Raven yang menatapnya tajam di balik kegelapan. Benar-benar memantau Raven dari dekat. Pada satu momen juga, Raven melihat seperti sekumpulan junoi yang mengerubungi sesuatu. Dan setelah melihat itu, teriakan Raven pun menjadi lebih keras.

***

Di sisi lain, ada seorang perempuan dengan matanya yang menyala bewarna merah darah dan di dalam penglihatannya, dia sedang melihat Raven yang meringkuk sembari berteriak. Dia tak hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Dia melihat benar-benar dari segala arah. Dari atas, bawah, kanan, kiri, depan, dan belakang Raven, semuanya diawasi oleh perempuan itu.

Tak lama kemudian, ada perempuan lain yang datang dan berdiri di samping perempuan itu.

Perempuan yang ini memiliki badan yang sedikit lebih kecil. Rambutnya dikuncir kembar dan menjuntai panjang hingga menyentuh lantai. Dia menggunakan kostum yang cukup unik. Dia menggunakan kostum ratu catur. Setengah kostumnya bewarna hitam putih dan setengahnya lagi bewarna pink dan putih. Di bagian kostum yang hitam putih, terdapat gambar wajik dan hati yang menghiasi setiap petaknya. Dan pada bagian yang bewarna pink dan putih, terdapat gambar sekop dan keriting yang menghiasi setiap petaknya.

"Hey, Yuki. Bagaimana keadaan gadis malang itu?" tanya gadis kecil tadi dengan ekspresi wajah yang terlihat bosan.

"Dia seperti benar-benar kembali ke traumanya dulu. Dia berteriak kencang sekali," jawab Yuki dengan suara datar.

"Hoaamm ini membosankan," ujar perempuan kecil tadi sembari meregangkan tangannya dan menguap. "Aku kesini untuk dapat mainan baru dan kau melarangku. Dan sekarang aku mau melihat mangsamu yang sedang tersiksa dan kau melarangku lagi," lanjut Isabel sembari cemberut.

"Sabarlah, Isabel. Lagi pula aku tak memintamu untuk ikut," ujar Yuki.

"Hmph!"

"Baiklah, sepertinya Penyihir Juntoshi itu sudah benar-benar rentan sekarang. Sepertinya ini sudah waktunya," ujar Yuki dengan cahaya merah di matanya menghilang namun tatapannya semakin tajam.

"Kau di sini lah dulu," ujar Yuki kepada Isabel.

"Hey tidak adil!!"

***

Yuki mulai berjalan ke tempat Raven dan melewati sebuah lorong.

Lorong itu hanya lorong tua namun tak terlalu kumuh. Lantainya terbuat dari kayu, beberapa lilin menerangi setiap sisi dinding di lorong itu, dan beberapa bingkai foto juga terpajang di lorong itu. Namun bingkai foto itu hanya bingkai kosong tanpa ada sesuatu yang mengisinya.

Saat Yuki mulai melewati lorong itu, beberapa kejadian aneh mulai terjadi. Saat Yuki melewati sebuah bingkai kosong, tiba-tiba bingkai itu langsung berisi foto sebuah mata dan dibasahi oleh darah segar.

Yuki terus berjalan namun tiba-tiba semua lilin di ruangan itu mati. Dan tak lama kemudian, tiba-tiba lorong itu diterangi oleh cahaya lampu dan banyak jasad manusia dengan darah segar mereka yang ada di sekeliling Yuki. Namun pemandangan mengerikan itu tak bertahan lama dan menghilang kurang dari satu menit. Lorong itu pun kembali menjadi normal.

Yuki masih terus berjalan dan tak lama kemudian saat Yuki berkedip, tiba-tiba banyak junoi dengan bentuk yang beragam dan tentunya mengerikan, yang berdiri di sekitar Yuki. Tiba-tiba salah satu junoi yang berbentuk seperti laba-laba namun memiliki wajah manusia turun dan bergelantungan tepat di hadapan Yuki. Namun tidak lama setelah junoi itu turun, junoi itu tiba-tiba langsung hancur tak bersisa entah karena apa.

Yuki pun terus berjalan dengan tatapan dinginnya bahkan setelah banyak kejadian aneh itu. Yuki hanya berjalan lurus dan menyingkirkan yang menghalanginya.

Yuki pun akhirnya sampai di ujung ruangan itu dan di sana, ada sebuah pintu kayu yang tertutup rapat. Yuki menghampiri pintu itu dan mulai memegang gagang pintu itu. Membuka pintu itu perlahan, dan Raven yang ada di balik pintu itu pun terlihat. Walau keadaan di ruangan itu sangat gelap, namun Yuki mampu melihat dengan jelas Raven yang sedang meringkuk diiringi dengan suara teriakannya.

Yuki mulai berjalan menghampiri Raven.

Di sisi lain, Raven juga menyadari kehadiran seseorang. Raven mulai mengangkat kepalanya dan terkejut saat melihat sepasang mata mengerikan berukuran besar yang sedang menatap tajam ke arahnya.

Seketika penglihatan Raven dipenuhi oleh adegan-adegan terburuknya sepanjang hidupnya dan kebanyakan dari adegan itu adalah ketika dia masih kecil dulu. Semua penglihatan itu terasa seperti sangat nyata untuk Raven membuat Raven benar-benar menjadi lemas, ketakutan, bahkan sampai mengeluarkan air mata.

Yuki mendekat dan mulai memegang dagu Raven lalu mengangkat kepalanya. Mata Yuki dan Raven pun saling menatap satu sama lain. Mata Yuki sendiri mulai mengeluarkan cahaya merah.

"Betapa malangnya kau," ujar Yuki dengan suara dinginnya. "Tahanlah sebentar lagi. Ini tak akan lama. Dan setelahnya, kau tak usah merasakan ingatan pahit itu lagi. Atau mungkin kau juga tak perlu susah-susah hidup di dunia yang busuk ini lagi."

"Demon Eyes: Deadly Stare."

Pandangan Raven mulai memudar. Semakin memudar dan akhirnya Raven tak bisa melihat apapun lagi.

***

Tidak lama kemudian, Raven terjungkal bangun dari tidurnya. Perempuan yang ada di sebelah Raven pun menjadi terkejut dan sedikit terlompat.

"Wah?! Raven? Apa yang terjadi? Kenapa kau mengeluarkan air mata?" tanya gadis yang ada di sebelahnya.

"Huh? Tami?"

Raven kebingungan dan ketika dia melihat kebawah dan melihat dirinya yang sedang duduk di atas sebuah kardus. Dia juga melihat pakaiannya yang benar-benar lusuh. Raven melihat ke sekeliling dan melihat dirinya yang sedang berada di pinggir jalanan.

Tami menghampiri Raven dan bertanya, "Hey Raven, apa kau habis mimpi buruk?"

"Y-ya. Sepertinya," jawab Raven dengan suara yang sedikit gemetaran.

Tami memiliki penampilan yang tak jauh berbeda dari Raven. Bajunya lusuh, kotor, dan rambutnya terurai berantakan dan terlihat sangat kotor.

"Hey, bagaimana kalau kita cari minum dulu saja?" tanya Tami.

"Uh? Oke."

"Baiklah, ikuti aku!" ujar Tami dengan senyuman lebarnya.

Raven dan Tami mulai berdiri dan berjalan bersama. Sepanjang perjalanan, orang-orang tampak menghindari Raven dan Tami. Mereka sedikit menjauh ketika dua anak kecil ini akan lewat. Seorang Ibu bahkan sampai menarik anaknnya agar anaknnya tak mendekat kepada mereka berdua.

"Hmm sepertinya orang-orang tak mau dekat-dekat sama kita ya," ujar Tami dengan biasa, tak sakit hati sedikitpun. "Ya apapun alasannya itu urusan mereka. Selama ada Raven di sebelahku, itu sudah lebih dari cukup!" ujar Tami sembari menghadap ke arah Raven.

"Huh? Ya... Kau baik sekali," ujar Raven.

"Hey ayolah tak usah malu-malu begitu. Kita sudah seperti saudari tahu," ujar Tami.

Tami tiba-tiba menggenggam tanganku dan berlari sembari menarikku. Tami berlari dengan tawa lebar di wajahnya. Aku hanya bisa tersenyum dan bersyukur memiliki teman seperti dia.

Aku bertemu dengan Tami ketika aku sedang duduk di kardus yang biasa ku buat untuk tidur. Tami menghampiriku dan berkata bahwa dia punya sepotong roti. Dia pun menyobek roti itu menjadi dua dan membaginya kepadaku.

Tami bercerita bahwa dia awalnya diantar oleh kedua orang tuanya ke desa ini. Kedua orang tuanya pun meminta Tami untuk menunggu sedangkan orang tuanya akan pergi sebentar. Tami juga berkata bahwa dia sempat mendengar orang tuanya berkata, "Aku tak mau merawat anak dari hubungan gelap kita," sebelum akhirnya orang tuanya pergi dan tak pernah kembali. Tami saat itu masih sangat polos dan tak tahu apa itu "hubungan gelap". Dia terus menunggu. Panas terik matahari, hujan, dan apapun yang menerpa, Tami masih dengan sabar menunggu sebelum akhirnya Tami sadar orang tuanya tak akan kembali.

Untuk aku sendiri, ibuku sudah meninggal semenjak melahirkan aku. Dan beberapa tahun setelahnya, ayahku menjadi seorang narapidana. Rumahku yang merupakan rumah yang sudah mau rubuh pun digusur karena banyaknya hutang ayahku. Aku hanya bisa melihat semua itu terjadi tanpa bisa melakukan apapun. Mungkin karena itu, orang-orang di desa ini menjauhiku.

Semenjak ada Tami kami pun hidup bersama di kampung ini. Tami selalu menghiburku dengan senyuman cerahnya. Kita selalu menguatkan satu sama lain. Saat orang desa menjauhiku, Tami lah yang merangkulku dan menjadi orang yang paling dekat denganku.

"Ayo ke sungai biasanya," ajak Tami.

 Raven pun mengangguk dan mengikuti Tami yang dengan antusias berjalan cepat ke arah sungai itu.

"Hey tunggu aku!" saut Raven.

***

Sesampai di sungai, Raven dan Tami pun langsung minum banyak sekali. Begitu banyak air yang masuk ke mulut mereka sekaligus.

"Bwahhh! Segarnya," ujar Tami.

"Iya, segar sekali," lanjut Raven.

Tami pun menoleh ke arah Raven dan memanggilnya, "Hey, Raven."

"Hmm?" Raven menoleh.

"Jujur saja aku berharap bisa tidur di kasur yang empuk, memiliki rumah yang mewah, Bisa bersih setiap harinya, dan makan makanan enak," ujar Tami sembari menundukkan kepalanya.

"Hey Tami," panggil Raven.

Tami pun mengangkat kepalanya.

"Jangan lupa berbagi denganku loh ya," ujar Raven.

"Hehe, tentu saja," jawab Tami. "Oh dan satu lagi," lanjut Tami.

"Hmm?" Raven mengangkat alisnya.

"Berjanjilah kepadaku, kita akan terus bersama sampai harapan itu terwujud," ujar Tami sembari mengacungkan kelingkingnya.

Raven melihati kelingking Tami sebentar sebelum berkata, "Tentu saja," Raven pun menyatukan kelingkingnya dengan kelingking Tami.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan, "TOLONG!!" dari arah hutan di seberang sungai. Raven dan Tami sempat terkejut namun mereka langsung menyebrangi sungai itu. Beruntung sungai itu tak dalam membuat mereka berdua dapat menyebrang.

"Ada yang minta tolong, ayo kesana!" seru Tami.

"Baik!" jawab Raven.

 Setelah mereka berdua menyebrangi sungai, mereka pun langsung berlari ke arah sumber suara itu.