Bapak

Mengapa kesuksesan tidak bisa menghampiri setiap jiwa manusia? Mengapa harus ada orang gagal?

Pikiran-pikiran itu mengalir deras dalam benakku sepanjang perjalanan di bus yang melaju membelah angin. Suara mesin yang berdengung dan kebisingan kecil penumpang lainnya semakin menjadi beban yang menghantui pikiranku. Di hadapan jendela, pemandangan jalanan kota yang sibuk berlalu begitu cepat membuat aku tak kunjung bisa memusatkan perhatian pada perjalanan ini, karena pikiranku terus kembali pada pertanyaan yang menggelisahkan.

"Bapak, anakmu gagal," bisikku di dalam hati sambil melihat raga Bapak yang terbaring di atas kasur begitu aku membuka pintu kamar rumah sakit. Senyuman yang sedari tadi kupaksa itu buyar seiring dengan derai air mata yang tak terbendung. 

Aku menggenggam beberapa lembar kertas yang berisi rangkaian nama-nama mahasiswa yang baru diterima di universitas nomor satu di negeri ini. Lembaran kertas pengumuman itu seharusnya menjadi hadiah di hari ulang tahun Bapak. Seharusnya bisa menjadi pembawa senyuman di tengah usahanya melawan penyakit. Namun, di lembaran itu tidaklah tertulis namaku.

Hati ini terasa hancur, tidak hanya karena kegagalan yang menghimpit, tetapi juga karena ketidakmampuan untuk berbagi beban ini dengan Bapak. Bagaimana mungkin aku memberitahunya berita tentang kekalahan, saat dia sedang berjuang melawan musuh yang tak kasat mata di tubuhnya?

Di malam hari menuju pagi, barulah Bapak terbangun dari tidurnya yang panjang. Butuh waktu cukup lama baginya untuk mengantar tubuhnya hingga ke posisi terduduk karena harus meregangkan otot-ototnya terlebih dahulu. Pandangannya yang lemah menemui mataku, dan aku berusaha menyembunyikan kesedihan yang terpampang jelas di wajahku. Namun, Bapak selalu memiliki cara untuk membaca hatiku.

"Dik, kenapa kau terlihat sedih?" tanya Bapak dengan suara lembut, mencoba menghadirkan senyuman di bibirnya yang pucat.

Aku hanya menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang sudah terancam pecah. Bapak melihatku dengan penuh kepedulian, tangan kurusnya menepuk dan mengelus perlahan punggungku. Meski belum diutarakan, Bapak selalu bisa menangkap sinyal kapan aku butuh dukungan.

"Tak biasanya kamu seperti ini. Ceritakan padaku, lelaki mana lagi yang menyakitimu?" Sambil tertawa, Bapak bertanya lagi. Aku tahu dia hanya ingin menghiburku karena sorot matanya masih memancarkan kekhawatiran.

Aku berusaha menjawab, tapi seperti ada tulang ikan yang menyangkut di tenggorokanku. Akhirnya, aku hanya bisa menangis setelah memberikan kertas pengumuman itu. Air mataku mulai meresapi bed cover putih yang sedari tadi menyelimuti Bapak. Dia meraih tanganku dengan lembut, memberikan kehangatan dan dukungan. Tanpa sepatah pun kata.

*****

Beberapa waktu berlalu. Kini aku berada di universitas impianku. Aku tersenyum ketika melewati pintu gerbang utama, seolah-olah melihat bayangan senyuman bangga di wajah Bapak.

"Aku harap kau bisa melihat ini dari atas sana," bisikku dalam hati. 

Aku ingin sekali bisa bercerita pada Bapak tentang keberhasilan ini. Ingin sekali berterima kasih atas semua yang dia berikan padaku. Atas dorongan dan ketabahan yang sedari dulu ditanamkan dalam diriku. 

Meski aku sudah tidak bisa mendengar nasihat Bapak lagi, aku yakin bahwa kau selalu ada di sana, menatap dari tempat yang lebih baik. Aku berjanji untuk terus mengikuti jejakmu, menjadi sosok yang mampu memberikan dukungan dan cinta seperti yang kau berikan padaku. 

"Bunda, langsung pulang, yuk!" Ucap seorang remaja perempuan berumur 18 tahun kepadaku. Tangannya menenteng jaket almamater universitas barunya.

Di tanganku juga tergenggam beberapa lembar kertas pengumuman mahasiswa baru yang diterima di universitas impianku ini. Kertas yang sama yang kuberikan kepada Bapak di rumah sakit dulu. Kini, kertas pengumuman itu pun tidak tertulis namaku, tetapi nama anakku.

"Terima kasih, Bapak, atas segalanya. Semoga aku bisa mengikuti langkahmu. Menjadi orang tua yang sangat baik bagi anak-anakku."