Bayi kecil itu menghadapi babak baru dalam hidupnya. Secara usia, memang dia sudah jauh dari kata bayi. Namun bagiku, dia tetaplah seorang peri kecil yang selalu membutuhkan perlindunganku.
Di antara cahaya lampu taman yang merambat, wajahnya yang dipenuhi kebahagiaan semakin terlihat cantik, membuatku teringat dengan jelas bagaimana dia pertama kali muncul dalam hidupku, seperti keajaiban yang membawa cahaya baru. Saat itu, dia adalah bayi mungil yang baru bisa menggenggam jariku dengan tangan mungilnya. Setiap sentuhan lembut itu serasa mengalirkan kehangatan di hatiku.
Setiap langkah dan setiap kata pertamanya adalah petualangan indah yang kami jalani bersama. Masih terasa hangat tubuh mungilnya saat dia tertidur pulas di pangkuanku, dihiasi senyuman polos yang membuat hatiku meleleh. Aku hanya berharap dapat memberinya mimpi indah dan masa depan yang cerah.
Aku sangat bangga menjadi saksi dari setiap langkahnya menuju kedewasaan, Sejak saat dia pertama kali mencoret-coret buku gambar dengan krayon hingga menerima ijazah kelulusan dari perguruan tinggi impiannya. Bersama-sama, kami melewati badai kehidupan dan merayakan kebahagiaan yang tak terlupakan.
Dan sekarang, saat aku harus melepaskannya untuk memulai babak baru dalam hidupnya, rasanya seperti kehilangan potongan dari nyawaku. Di tengah gemerlap kebahagiaan ini, ada rasa getir ketika menyambut detik-detik perpisahan. Sebagai ayah, aku harus merelakan putriku terbang tinggi menuju dunianya yang baru. Walaupun hanya sebagai ayah pengganti.
Ya, dia bukan anak kandungku. Aku hanyalah orang yang merawatnya sejak kecil. Sudah lama sekali ibu aslinya, yang juga kakakku, tak lagi mendampingi. Sementara ayahnya, entahlah ke mana. Sejak peri kecilku lahir, pria bedebah itu sudah menelantarkannya.
Merawatnya adalah bentuk cinta terhadap kakak. Sejak itu pun aku membuang masa mudaku. Untuk ukuran remaja 19 tahun, menghidupi seorang anak sangatlah berat. Orang tua kami pun tidak sudi merawat cucunya karena malu akan perbuatan kakakku di masa lalu. Jadilah aku meninggalkan kuliah demi menghidupi anaknya.
Entah berapa banyak pengorbanan yang aku lakukan untuk anak ini, aku pun tak pernah menghitungnya. Yang jelas saat pertama kali menggendongnya dan memutuskan mengangkatnya menjadi anak, semua sudah bukan tentang aku, tetapi kami.
Di saat ini, aku semakin merasa bahwa kesepian akan menjadi sahabatku. Setelah mengantarkan anakku ke pelaminan, aku menjauh dari kerumunan orang dan duduk tertunduk di salah satu sudut ruangan. Selain rasa takut akan kesepian, penyesalan dan amarah juga menghampiri.
Seharusnya kakak dan suaminyalah yang berada di posisiku sekarang. Seharusnya aku bisa menghadiri acara pernikahan ini dengan istri dan anak-anak kandungku. Seharusnya orang tuaku pun bisa dengan ikhlas menyaksikan cucunya berlabuh ke pelukan seorang pria. Pada kenyataannya kami hanya datang berdua.
Di tengah lamunan, aku merasa ada seorang wanita yang menghampiriku dan duduk di kursi belakang dengan posisi yang diagonal. Karena posisiku masih tertunduk, aku hanya melihat sekilas dari sudut mataku. Dari postur tubuhnya aku tahu wanita ini adalah kakak.
Butuh beberapa waktu bagiku untuk mengumpulkan keberanian dan melihat wajah kakak dengan jelas. Perlahan kutuntun pandanganku dari bawah. Kakak mengenakan gaun panjang tanpa lengan berwarna putih tak bermotif.
Yang membuatku heran adalah kakak menggunakan gaun panjang sehingga aku tidak bisa melihat ujung kakinya. Namun, gaun yang dikenakannya tetap bersih tanpa ada noda. Padahal pernikahan ini bertema garden party yang seharusnya gaun kakak menyentuh tanah.
Sebetulnya hal ini tidak terlalu kupedulikan juga. Saat ini aku hanya ingin melihat wajah kakak. Lebih dari 20 tahun tak bersua, ada banyak yang ingin kutanyakan tentang dirinya, serta tentang kehidupannya. Ingin kuluapkan segala rasa bahagia, sesal, dan sakit yang selama ini tak tahu harus dibagikan kepada siapa. Ingin juga kutanyakan padanya mengapa kakak meninggalkan anaknya begitu cepat.
Ketika sudah kutuntun pandanganku hingga ke arah leher kakak, tiba-tiba aku tak sanggup lagi untuk melihat lebih atas lagi. Tanpa sadar, air mata deras mengalir membasahi pipi, membuatku menarik pandangan, menunduk seperti semula. Tak sempatlah memandang wajah kakak.
Mungkin kakak bermaksud untuk menenangkanku saat dia mendekatkan kepalanya, meskipun aku tetap memalingkan pandangan karena tak ingin air mataku terlihat. Dia membisikkan ucapan terima kasih ke telingaku karena telah berkorban untuk membesarkan anak kandungnya seorang diri.
Ucapan itu memberi kekuatan pada hatiku. Untuk sementara aku coba menyingkirkan rasa sedih dan memantapkan diri untuk melihat wajah kakak. Di tengah keramaian pernikahan ini, inilah kesempatan yang telah kudambakan selama lebih dari 20 tahun. Aku tidak akan menyia-nyiakannya.
Namun, begitu aku berani untuk menolehkan wajah, sosok kakak sudah raib. Meninggalkan aku sendiri dalam kebingungan. Tak bisa lagi kubendung sedih. Pandangan mata menjadi kabur, dada semakin sesak, nafas menjadi terengah-engah.
Sebuah tangisan akan pecah dan menggema ke setiap sudut ruangan jika peri kecilku tidak menemukanku dalam kesepian dan datang menghampiri. Walaupun tak kuceritakan semua, dia seolah sudah mengerti apa yang aku rasakan. Peri kecilku pun berbisik untuk mempersilahkan aku menangis di pelukannya.
Walaupun tidak ada keluarga lain yang hadir. Tidak ada ayah dan ibu. Tidak anak istri dan anak kandung. Aku tetap tak boleh menghancurkan hari istimewanya.
Karena peri kecil yang memelukku saat inilah satu-satunya keluargaku yang tersisa.