5

Aku tidak punya masalah dengan bagaimana cara dunia memandang wanita terlalu sering mendapat ketidakadilan, hanya saja itu sudah terlalu jauh dan tidak ada satu pun yang perduli untuk memperbaikinya. Kecuali suami tercinta yang ditinggal istrinya meninggal atau adalah merupakan kasih orang lain, atau anak laki-laki yang harus menderita karena kehilangan ibunya dengan berbagai sebab. Para feminis bekerja sangat keras untuk mendapatkan sebuah pengakuan meski masih tidak sepadan, setidaknya dua kali melampaui satu pencapaian pria, baru mereka bisa di akui oleh publik. Nilai mereka tidak berarti apa-apa, selain menjadi pendamping pria. Tidak berbicara tentang Tuhan dan para Nabi yang sangat baik mengistimewakan para wanita, dan menilai mereka dengan cara lebih beradab. Karena telinga para pria patriarki tertutup oleh botol minuman alkohol, kartu judi, senjata, uang, dan bibir bergincu para jalang.

Hari-hari berlalu, Malena hanya sibuk dengan pekerjaannya yang menuntut jadwal temu konseling terhadap beberapa pasien. Mendengar keluh-kesah mereka yang berpikir memiliki mental sangat lemah dan rentan juga butuh energi, Ia harus mendengar semua kesulitan mereka, memberikan masukan atau saran yang logis untuk mereka bisa dapatkan kembali semangat hidup itu cukup menguras otaknya. Terutama jika ada pasien yang bermasalah tapi tidak sadar biang masalahnya adalah diri mereka sendiri, Ia harus sangat bijak dalam pemilihan kata yang terlontar atau mereka tidak akan bisa menerima bahwa terkadang, mereka bisa menjadi sebuah masalah bagi orang lain. Kebanyakan manusia seperti itu.

Dan mengenai Kanya, wanita itu juga beberapa hari belum ada menemuinya untuk sebuah pengeluhan atau pengakuan, terakhir mereka bertemu hanya sehari sebelum wanita itu pergi ke luar kota untuk panggilan kerja. Wanita itu juga tidak mengatakan banyak selain berjanji akan habiskan waktu dengannya ketika pulang nanti, dan ia memegang janji itu. Kanya memang memiliki jam terbang pekerjaan yang sibuk, klien-nya juga kebanyakan dari luar kota, dan Dia rela terbang demi memberi bantuan pengobatan secara pribadi. Memang paling lama setidaknya 1 minggu, tapi mereka akan intens saling bertukar pesan jika di sela waktu senggang. Namun sejak pergi, Kanya belum ada menghubunginya atau mengirimkan pesan.

Tok! Tok!

Ketukan di luar pintu ruangannya membuat Malena teralih dari buku bacaan, "masuk" panggilnya.

Adalah sosok Andira yang memasang senyum ramah sambil memeluk papan klip seperti biasa, "permisi dokter"

Wanita muda itu mendekat, lalu memberi tumpukkan dokumen dari papan klip. "ini semua data pasien untuk besok, kemarin clarrisa baru lakukan pengecekkan dan menjadwalkan ulang beberapa pasien karena satu dan lain hal"

Sibuk mereka berdua dengan data jadwal pasien, pintu ruangan kembali diketuk dari luar. Segera Andira berbalik menuju pintu untuk membukanya, dan Dia menemukan sosok pria berpakaian santai rapih yang seketika sungkan berhadapan.

"oh, halo pak hanan, mari silahkan masuk" Andira mempersilahkan Hanan masuk, dan Malena terlihat beranjak dari duduknya.

Andira kembali mendekati Malena dan mengambil papan klip miliknya, lalu berpamit pada mereka berdua untuk keluar.

"silahkan duduk dulu" gestur Malena sopan, lalu Ia menuju meja kecil tak jauh dari rak buku untuk menyeduhkan segelas teh herbal. Hal biasa, semua pasien pasti mendapatkannya, itu hanya agar mereka merasa tenang ketika melakukan sesi konseling.

"maaf saya majukan jadwal anda di waktu sekarang, takutnya saya ada perjalanan ke luar kota minggu-minggu ini" sesekali melirik Hanan yang terlihat lebih baik dari pertemuan sebelumnya, meskipun kantung matanya masih bertahan.

Tapi pria itu bisa tersenyum simpul setidaknya, tidak sekaku dan segugup sebelumnya. Seharusnya Hanan datang lusa nanti, namun Malena sengaja berbohong agar bisa bertemu Hanan lebih cepat. 5 hari sejak kedatangannya untuk mencari Ghani di Galeri Semesta, Ia sudah punya cukup banyak hal yang ingin ditanyakan kepada Hanan lagi.

"gak masalah dokter, saya juga ada yang mau saya sampaikan ke dokter" bicaranya masih terdengar sedikit ragu, tapi Malena paham bahwa itu karena Hanan hanya ingin meyakinkan dirinya untuk berjujur kata kemudian.

Beberapa pasien memang perlu diperlakukan seperti itu ketika mereka terkesan enggan untuk bercerita, tanpa ditekan atau dipaksa secara berlebihan. Lepas menyeduhkan segelas teh, Ia mendekat dan duduk di single sofa setelah menyajikan teh tersebut kepada Hanan.

"bagaimana keadaan anda, pak hanan? Istirahat cukup?" Hanan menyesap teh sedikit, lalu tersenyum ketika menaruh kembali gelas ke meja.

"cukup baik dokter"

Lamat memperhatikan perawakan Hanan dan Ghani yang tidak begitu memiliki banyak perbedaan fitur kecuali dari aura mereka, Ia menjadi sedikit banyak prihatin terhadap mereka masing-masing. Hanan terkesan seperti pria kantoran yang bekerja penuh giat teladan, hingga kesannya kurang merawat diri dan menjadi sering lesu. Apalagi karena memikirkan banyak masalah mental dan sang ibu. Sedangkan Ghani selayaknya pria bebas yang tidak terikat oleh apapun, tapi terkesan begitu pongah.

"dulu saya selalu ingin punya saudara" ujar Malena seraya bersedekap lengan di duduknya, "tapi ayah dan ibu saya bercerai waktu usia saya 13 tahun. Dan dua tahun kemudian ibu saya meninggal karena kanker, lalu ayah saya menyusul setahun setelahnya karena kecelakaan sewaktu mau ziarah ke makamnya"

Hanan yang mendengar itu lantas terheran dengan kepala meneleng pelan, sementara Malena tersenyum simpul. Ia sengaja memulai konseling dengan sedikit cerita miliknya, menurutnya itu membantu membangun koneksi antara mereka. Dan Hanan yang sempat terhenyak, langsung nampak bersimpati, benar bersimpati lewat rautnya.

"saya turut berduka dokter" ucapnya pelan.

Pikirnya, dokter juga manusia yang pasti punya masalah dalam hidup. Dokter bukanlah makhluk yang sempurna meskipun pekerjaannya adalah menjadi tangan ketiga Tuhan, yakni membantu banyak orang.

"setiap orang melakukan kesalahan, terkadang balasan itu langsung datang, atau menunggu waktu dan momen yang pas" dan itu menarik perhatian Hanan untuk kembali menatapnya, "tapi saya ngga pernah merasa sedih mengingat kedua orang tua saya meninggal dengan cara yang memang pantas mereka terima"

Dengar itu, semakin heran Hanan terlihat dari rautnya. Masih belum yakin dengan maksud perkataan sang dokter yang terakhir itu. Namun Dia berpikir bahwa dokter dihadapannya itu mungkin telah berdamai dengan masa lalu dan menerima kepergian kedua orang tuanya. Menganggap segala hal beralasan, melihat dari berbagai sisi bahwa tidak ada yang terbebani lagi.

"karena segala hal memiliki konsekuensi"

Hanan bernafas lega, sudut bibirnya bergetar seperti hendak tersenyum simpul tapi ditahan paksa. Dia sesuai menduga, kendati masih belum bisa menerka kemana arah perbincangan mereka. Dia memperhatikan, Malena tidak seperti seorang psikolog atau psikiater pada umumnya yang akan selalu memangku jurnal untuk menulis sesi konseling mereka, entah jika Malena melakukannya bersama pasien lain. Tetapi dalam kasusnya, Malena tidak melakukan itu. Malena hanya mendengarkan dan kemudian kemudian mengajaknya berdiskusi, membahas ini dan itu mengenai jalan keluar suatu masalah dengan melihat banyak kemungkinan dan perumpamaan, dan itu terkesan lebih santai.

"ibu saya terlalu baik untuk dunia, jadi dunia mengambilnya dengan cara menghirup zat hidupnya perlahan meski itu menyiksanya. Dia sekarang tidak lagi merasakan sakit dan mungkin berada di tempat yang lebih baik. Sementara ayah saya. Dia cukup baik terhadap saya dan beberapa orang, tapi tidak cukup baik untuk ibu saya. Jadi dunia membuat dia kehilangan hidupnya lebih cepat dan tanpa rasa sakit ataupun kesadarannya. Agar dia bisa merasakan siksaan lebih di tempat yang pantas untuknya"

Cerita itu membuat Hanan berpikir dalam diam, masih berusaha menerka korelasi antara permasalahannya dan cerita sang dokter. Atau kemungkinan sang dokter hanya ingin becerita, untuk memberikannya perspektif lain dari sebuah masalah yang berbeda. Meskipun sejatinya, mereka masih bukan berlabel dokter dan pasien. Lagipula, Malena sama sekali tidak merasa membagikan kisah pribadinya sebagai beban atau aib, itu murni karena Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya pun hanya manusia biasa yang pernah melewati masalah berat seperti demikian.

"jadi dokter percaya surga dan neraka?" ucap Hanan, dengan sepercik kesadaran.

Hanan baru menyadari betapa menariknya senyum Malena yang terkesan begitu tulus seperti tatapan lembutnya, ketenangannya ikut mengundang suasana nyaman bagi dirinya yang kesulitan menemukan itu dimanapun.

"saya juga percaya Tuhan" aku Malena, yang lalu membawa jari telunjuk mengetuk sisi kepalanya sendiri.

"tapi ilmu ini lebih dihargai oleh manusia yang berpikir Dia tidak dapat membantu untuk sebuah solusi secara instan"

Hening sejenak, keheningan yang diperlukan karena Hanan merasa pembahasan mengenai Sang Pencipta seharusnya tidak berada di antara kelogisan akal.

Dia menelan saliva kasar, "jujur dokter" terjeda menghela nafas, "saya gak mau dengar hal soal Tuhan atau apapun itu" meski begitu, Dia tetap tidak bisa mengenyahkan sesuatu yang menyeruak karena kesadaran yang tidak seharusnya muncul.

Giliran Malena yang bungkam, lamat menatap pria di hadapannya dengan raut tak terbaca tapi senyum simpul bertahan. Mengingat Hanan dan Ghani hanya memiliki 2 fitur yang cukup mirip, yakni netra sipit mereka dan jembatan hidung yang berlekuk itu. Tapi, Ia bisa menilai bahwa gaya menatap mereka sangat berbeda jauh. Hanan menatap seperti seekor rusa yang waspada terhadap sekitar, Dia awas tapi butuh waktu untuk membuatnya menyadari sesuatu hal yang salah. Sedangkan Ghani memiliki tatapan yang diam dan lekat, kesannya seperti boneka yang hanya menggerakkan mata untuk bereaksi. Ia sendiri merasa mereka memiliki sesuatu yang lebih daripada pemangsa dan korban, sesuatu yang masih Hanan tutupi diantara keraguannya menatap, dan sebuah kebenaran dari bagaimana Ghani menatap seakan ingin dirinya melihat sesuatu.

Entahlah, itu adalah firasat yang memang terbesit setelah pertemuan yang Ia bandingkan. Yang membuatnya ikut pusing karena terlalu banyak berasumsi, yang sempat membuatnya terbangun di tengah malam karena bermimpi tentang iris jelaga yang menghantuinya.

"menurutmu" suara Malena memecah hening, menyadarkan Hanan dari kelarutan suasana baru saja.

"konsekuensi apa yang pantas dia terima?"

Dia menundukkan pandangan sejenak, untuk berkedip menyadarkan dirinya. Lalu kembali menatap Malena yang beranjak menuju meja kerja, "you don't want to talk about God" wanita itu membuka laci dan mengeluarkan sebuah alat yang sangat familiar, "so don't".

Melihat sebuah Metronom yang jelas Dia tahu apa kegunaannya, buat Hanan mendadak panik di duduknya yang diusahakan tenang.

"let's discuss about it shall we?" lanjut Malena, kemudian berjalan ke area khusus untuk melakukan sesi terapi yang menggunakan alat tersebut. 

Dengan senyum manis yang sebelumnya bisa menghangatkan Hanan, kini Dia merasa gugup kembali.

"tapi saya bukan pasien" suaranya hampir tercekat, tapi Hanan berusaha untuk tetap tenang.

Malena menggeleng pelan, "hm, hanya untuk membuat beban anda sedikit terangkat pak hanan. Ini bukan hypnoteraphy saya janji, hanya untuk membuat anda kembali fokus" bersikap setenang mungkin karena kembali melihat kegugupan dan keraguan Hanan.

***

Sesuatu yang terlalu indah di luar biasanya menyimpan banyak misteri di dalamnya, maka dari itu jangan mudah terkesima. Kediaman Malena yang tenang dan sederhana, terletak cukup jauh dari hiruk-pikuk kota karena rumah tersebut ialah peninggalan mendiang kedua orang tuanya. Bangunannya masih sama persis seperti ketika dirinya masih kecil, Ia sengaja tidak mengubah apapun kecuali merenovasi yang memang membutuhkan perbaikan. Rumah yang dibeli sang ayah setelah setahun menikahi ibunya, sebelum dirinya lahir. Tidak seperti orang kaya sukses pada umumnya yang punya rumah modern nan megah, kendaraan lebih dari satu terparkir di garasi, atau apapun yang menunjukkan seberapa mampu dirinya.

Tidak. Malena lebih memilih untuk tetap hidup dalam sederhana, mempertahankan nilai estetika tradisional masyarakat lampau. Kesendiriannya di rumah yang terbilang cukup besar untuk dirinya tinggali sendiri sudah biasa, Ia memiliki sanak keluarga lain, para sepupu, paman dan bibi dari ayahnyasementara ibunya sendiri juga anak tunggal dan dua pasang kakek-neneknya telah lama meninggal. Mereka sudah memiliki hidup masing-masing dan mulai mengabaikannya sejak kematian tragis ayahnya, karena dirinya sendiri yang menarik diri dan tidak ingin diganggu atau diperdulikan.

Seorang dokter juga manusia. Seorang dokter psikiater yang kerap membantu permasalahan orang lain juga sendirinya memiliki masalah pribadi. Tapi bukan berarti Ia akan kalah dan menyerah pada takdir yang memang telah digariskan untuknya, bukan berarti Ia harus menyimpan dan mengerami kesedihan itu hingga berlarut-larut.

*dia bunuh diri. Isyana. Dia memang punya masa lalu yang gak bisa dibilang baik, hidupnya kacau karena kedua orang tuanya. Tapi saya mencintai dia dengan tulus, dan saya gak perduli tentang omongan orang terhadap hidupnya. Pun dia gak pernah berlarut mempermasalahkan itu, meskipun dia tahu keluarga saya gak setuju dengan hubungan kami dan gak suka sama dia*

*tapi saya yakin dia gak bakalan mungkin menyakiti dirinya sendiri tanpa hasutan atau ancaman. Karena dia orang yang kuat selama saya bersama dia*

Belum tentu. Pikirnya. Semua orang dengan masa lalu kelam akan sangat mudah terpicu jika kembali berada dalam sebuah tekanan apapun itu, sebab sebagian manusia pandai berkamuflase untuk terlihat normal dan baik-baik saja.

*isyana itu gak pernah sama sekali perduli dengan ghani setelah tahu hubungan kami sebagai saudara juga gak baik, dan dia sama sekali gak pernah berinteraksi dengan ghani. Sampai satu waktu, dia mulai sering menghilang, susah dihubungi dan kalo saya samperin ke tempat kerjanya di bar. Dia selalu menghindar, kami jadi sering bertengkar dan berdebat. Saya pikir saat itu dia mungkin jenuh, jadi saya ijinkan dia untuk mencari peralihan dan istirahat sejenak tanpa hubungan kami berhenti*

*tapi semakin hari dia semakin sulit dijangkau, saya mau bantu dia keluar dari sedih apapun itu alasannya, saya ngga mau dia terpuruk lagi. Dan saya gak bisa lihat dia sedih, karena itu mengingatkan saya dengan mama saya sewaktu berpisah dengan papa*

Itulah yang juga memicu keraguan Hanan untuk bercerita lebih lanjut, Ia paham bahwa luka itulah yang semakin membuat Hanan akhirnya kehilangan jati diri dan kepercayaannya terhadap banyak hal termasuk untuk membuka hatinya kembali. Tapi Ia tak menyerah untuk terus mendorong Hanan dengan memberikan pengertian tanpa memaksa.

*sampai di mana saya akhirnya tahu alasannya, itu semua sudah terlambat. Dia ditemukan gantung diri di rumah orang tuanya dan hanya meninggalkan surat untuk saya serta cincin pertunangan pemberian saya. Di surat itu dia menulis, kalau apa yang ghani katakan itu benar. Kalau manusia rusak seperti dia lebih pantas mati karena tidak ada jalan atau cara untuk memperbaiki hidupnya. Itu tidak benar kan dokter? Pasti akan selalu ada jalan, dan serusak apapun manusia tetaplah berharga untuk hidup*

*apalagi dia menjadikan isyana boneka selama bersama saya, dan saya tahu isyana tidak akan semudah itu termakan bujuk rayu kalau bukan tanpa ancaman atau paksaan. Saat itu saya sangat marah sampai untuk pertama kalinya mukul dia di pemakaman isyana, di hadapan banyak orang. Padahal selama kami pacaran, tidak pernah sekalipun saya temukan keanehan atau kejanggalan, saya bahkan berusaha untuk gak mengkonfrontasi prasangka buruk saya ke dia. Tapi kali itu melihat dia di sana, jelas susah dugaan saya*

*saya ingin membenci mereka, tapi saya bahkan gak sanggup. Karena saya gak punya sama sekali bukti bahwa isyana mungkin benar mengkhianati saya dan berbohong di belakang saya. Sementara mama selalu membela ghani, dan akhirnya mengusir saya keluar dari rumah secara halus. Mungkin agar kami tidak terus bertengkar, dan saya dengan senang hati pergi*

Rasa kecewa, sedih, dan sakit hati Hanan berubah menjadi sebuah kebencian meskipun pria itu mengelak. Hanan jelas membenci Ghani, Dia hanya tak ingin terlihat segamblang itu mengakuinya. Entah kenapa.

*itulah alasan saya memilih mutasi ke luar negeri sekalian, mencoba mencari kehidupan baru dan mungkin menyembuhkan trauma saya. Itu berhasil, untuk beberapa bulan saya bisa merasakan bagaimana hidup selayaknya orang normal tanpa dihantui ketakutan atau mimpi buruk setiap malam. Tentang mereka yang mengkhianati saya, walaupun saya gak pernah perduli dengan ghani sekalipun*

*dia suka menghancurkan segala hal dan melihat penderitaan orang lain. Jadi itulah kenapa dia suka memanipulatif orang-orang, menjerumuskan mereka dalam dosa dan jebakan tanpa sadar mereka. Saya kembali karena saya khwatir dengan mama saya, saya gak mau mama semakin lama bertahan sama iblis macam dia. Tapi sepertinya saya sudah sangat terlambat, karena saya gak punya keberanian sebesar itu untuk bertindak. Saya gak mau mama berakhir seperti isyana atau lebih buruk*

Tidak sulit bagi Malena untuk akhirnya bisa mengulik beban Hanan berkat terapi fokus Metronom, sesi yang penuh dengan keseriusan, emosi tertahan, kesedihan menumpuk, dan beban yang merenggut habis jati dirinya saking ditahan. Hanan menangis dalam ketidak sadarannya, dan tampak begitu terpuruk ketika terbangun kembali. Hanan bahkan menginginkan agar bisa menjalani terapi lagi dengannya, tapi Dia harus kembali ke Jerman untuk beberapa waktu karena pekerjaannya sudah selesai.

Malena tak masalah jika Hanan merasa nyaman dengan pengobatannya, tapi mereka sepakat Hanan bisa melakukan terapi jarak jauh dengan selalu mengabarkan kegiatan positif yang dilakukan atau berkeluh jika sempat menggunakan ponsel. Mendengar cerita Hanan perihal kemalangannya itu, tentu membuatnya bersimpati. Terutama tujuan Hanan kembali ke tanah air adalah mengambil ibunya dari Ghani, orang tua mereka satu-satunya. Namun dimana tempat ibunya berada saja Dia tak tahu, dan Dia sama sekali sudah tidak mau berhubungan dengan Ghani atau bahkan sekedar bertanya. Ia tahu, Hanan memiliki ego untuk mengabaikan Ghani karena trauma yang diberikan kepadanya. Malangnya.

Melirik jam di nakas yang telah menunjukkan hampir tengah malam, Malena menghela nafas sembari beranjak melakukan peregangan. Duduk berjam-jam membuat tubuhnya pegal, untungnya besok Ia memiliki waktu sehari libur ke klinik. Jadi bisa Ia gunakan untuk beristirahat dan sedikit berolahraga. Memutuskan selesai bekerja, dan membereskan semua pekerjaan untuk disimpan kembali.

Sebelum kemudian Ia keluar dari ruangan kerja menuju dapur, remang cahaya lampu tak membuatnya terganggu, Ia justru lebih senang dengan keadaan cahaya demikian. Kesunyian rumah selalu terasa, tidak juga membuatnya was-was atau paranoid. Bi Surti tidak tinggal dan akan pulang setelah makan malam, lalu kembali datang keesokan hari di pukul 6 pagi. Ia tak memiliki rutinitas lain jika sudah di rumah, pun Ia jarang keluar untuk hal-hal yang tidak penting atau genting. Ia bisa memiliki hiburan jika kedua putri Kanya berkunjung, namun itu juga tidak sering, hanya ketika Kanya dan mas Tio ingin berdua saja. Mengingat itu, ia kembali merenung.

Kenapa Kanya belum ada menghubunginya atau mengirim pesan, bahkan mas Tio juga tidak menghubungi untuk mungkin menitip Jihan dan Diana jika ada kesibukan kantor macam biasa. Itu juga salah satu yang masih mengganggunya, sebab Ia telah mengirim pesan ke Kanya atau mas Tio pun belum di balas mereka. Puas melepas dahaga, Ia mencuci gelas dan menaruhnya kembali ke rak. Lalu mematikan lampu dapur, ruang tengah, dan beberapa ruang lainnya selama perjalanan menuju kamarnya. Keberaniannya yang patut diacungi banyak jempol, karena Ia memang tidak perduli pada apapun yang berada di dalam gelap, seperti ketakutan manusia pada umumnya yang kerap disebut disetiap konseling.

*why afraid of dark? Whereas the darkness is a strong weapon for us*

Tapi belum sempat dirinya menaiki tangga, langkahnya terhenti sebab bulu kuduknya meremang seketika. Menyadari sesuatu dari ekor mata kirinya yang melirik koridor remang cahaya menuju ruang kerjanya, di mana terdapat sosok perawakan tinggi besar yang tengah berdiri diam mematainya. Ia tanpa babibu langsung berlari menaiki tangga dan bersamaan itu sosok tersebut pun ikut berlari mengejarnya. Melangkahi dua anak tangga tangga jelas menyusahkan, jantungnya memacu kencang antara adrenalin dan ketakutan, Ia tak bisa berteriak atau bersuara. Dan suara langkah berat berlari semakin terdengar dekat, namun tepat sebelum mencapai anak tangga, sesuatu memegang pergelangan kakinya dan mengakibatkan dirinya terjatuh keras menghantam lantai sisa dan sisa anak tangga.

Bruuk!!

Tubuhnya ditarik kuat untuk kembali turun, namun tidak ada sama sekali terasa sakit di sekujur tubuhnya. Ketika Ia berada tepat di bawah sosok tinggi yang tidak lagi membuatnya terkejut, Ia ingin berteriak tetapi mulutnya bungkam seakan terjahit. Ketika sosok tersebut mengangkat dua tangan yang memegang sebuah kapak tajam besar, nafasnya semakin memburu, keringat bercucuran lomba bersama air mata.

"nggrrrrmmm!"

Ia menggeram ketika kapak terayun hendak menghantam wajahnya.

Prank!

Jatuhnya gelas air mengotori lantai, pecahannya bertebaran membahayakan. Malena yang terkejut langsung menghela nafas kasar dengan wajah panik menegang luar biasa, wajahnya basah akibat keringat. Menumpu wajah ke kedua lengan di meja, sempat memegang dada kiri di mana jantungnya masih memacu kuat dan membuat sekujur tubuhnya berkeringat parah.

Duduknya di tegapkan, untuk mengambil udara ke paru-paru lebih dalam, sembari menenangkan diri dari keterkejutan. Itu hanya mimpi, Ia tahu itu hanya mimpi. Sosok pemilik jelaga hitam itu tak mungkin bisa menemukannya hanya dengan satu nama, kecuali plast mobilnya.

Plat mobilnya. Kata itu terbesit dan terulang di benaknya. Membuatnya segera beranjak mendekati area jendela dan memeriksa apakah telah terkunci semua, dan semuanya telah terkunci rapat. Situasi di luar juga remang cahaya, tapi keadaannya sepi dan sunyi. Kenapa Ia harus selalu bermimpi buruk yang begitu menyeramkan?

Ia bekerja membersihkan secara hati-hati pecahan kaca dari lantai, dan membuangnya ke tempat sampah. Sembari mengingat kembali mimpi dengan kejadian-kejadian buruk menimpanya, namun selalu dilakukan oleh orang yang sama. Pekerjaan pasti menyita energinya terlalu banyak, sampai-sampai pikirannya ikut terganggu. Setelah membereskan kekacauan di ruang kerja, ia segera menuju dapur untuk mengambil gelas air minum baru. Namun kali itu Ia tidak meminumnya di dapur, melainkan membawa bersamanya. Ia juga tidak mematikan satu pun lampu, hanya berjalan melewati ruang tengah menuju tangga. Ia bahkan tidak berniat untuk melakukan reka adegan seperti sebelumnya, Ia tetap melangkah naik dan ekor matanya tak menangkap siluet apapun dari sudut manapun.

Jalannya pun sengaja dipercepat daripada biasanya, Ia mendorong gagang pintu dan segera masuk, tak lupa menguncinya dua kali. Baru Ia bisa hela nafas sekali lagi, mendekati ranjang dan menaruh gelas di nakas kalau-kalau akan diminumnya nanti. Meski Ia telah merasa sedikit nyaman berbaring di ranjangnya, Ia masih kesulitan untuk tidur karena mengingat mimpi mengerikan sebelumnya. Itu sedikit banyak membuatnya penasaran, kenapa Ia bisa selalu bermimpi menyeramkan tentang Ghani? Apa pria itu mungkin memiliki sihir omong kosong? Lalu menghantuinya untuk balas dendam karena kejadian penolakannya?

Atau karena semua cerita dari mulut Hanan yang membuatnya ikut terinfeksi. Seperti parasit, memanipulasi pikirannya. Tentu jawabannya sudah jelas, cerita Hanan pasti lah penyebabnya. Itu hal biasa. Ia juga kerap alami mimpi buruk berturut-turut karena cerita traumatis dari seorang pasien penyiksaan, dimana dirinya yang menjadi korban. Namun Ia tak pernah bisa mengingat dengan baik seperti apa rupa mereka. Baru kali ini kejadian karena Ia memang pernah bertemu Ghani, dan tatapan tajam nan dalam, serta seringai lebar ketika pria itu hendak melakukan sesuatu terhadapnya selalu mengundang keremangan di sekujur tubuhnya.

Haruskah Ia mendatangi Galeri Semesta lagi? Bukan untuk sengaja bertemu dengan Ghani, atau mengemis ajakan pria itu dikembalikan. Tetapi hanya untuk melihat apakah pria itu akan bisa ditemukan dengan ketidaksengajaan seperti sebelumnya atau tidak, dan apakah mimpi itu akan menghantuinya lagi setelah jika dirinya berhasil bertemu Ghani?