6

I looked for it but I could not find it. My name, which was given by my mother, is just for people to recognize me. But it is not my self, not my identity, nor my soul. It must be somewhere else, hide by the shadow so powerfull yet scared to show off of nothing.

 

 

 

Kunjungan kedua Malena ke Galeri Semesta agaknya lebih baik dari sebelumnya, lebih baik dalam artian karena keadaan tempat tersebut sedikit lebih lenggang dari kedatangan pertamanya. Tempat pertama dirinya datangi ketika sampai, ialah langsung ke gedung utama galeri. Dan Ia menemukan suasana yang lebih lenggang dan tenang, tidak banyak pengunjung terutama muda-mudi gila konten. Dengan ketenangan yang ada, Ia jadi bisa menikmati kesendirian sembari menilai ulang karya pajangan yang ada. Namun tetap saja, Ia tak bisa menemukan celah baginya bisa menyukai mereka, meskipun Ia tidak sama sekali menghakimi. Ia berakhir duduk di bangku kayu panjang di lantai 2 yang terletak di tengah ruangan, setelah mengitari lantai 3 sebelumnya. Duduk menghadap kaca jendela besar yang menampilkan pemandangan hijau di luar sana, punggungnya malah berhadapan dengan sebuah lukisan sepanjang 9X12 meter yang terpajang apik di dinding tembok. Orang akan memandangi lukisan dan bukannya membelakanginya, namun Malena memilih kebalikannya. Ditangannya ada secarik brosur yang sebelumnya diambil sebagai teman. Ia memutuskan kembali karena keinginannya sendiri, memakai teori bahwa Ia harus melawan sesuatu yang menjadi pemicu bagi hal mengganggu yang dialaminya.

 

"kalau lukisan punya nyawa, dia akan sedih karena kamu membelakanginya dan bukan menatapnya".

 

Ia menoleh tanpa keterkejutan, mendapati sosok Ghani yang berdiri dengan gaya khas dua tangannya masuk kantong celana dan menatap terkesan pongah padanya. Masih dengan celana dungarees yang sama namun kali itu Dia mengenakan kaos abu berlengan yang menutupi bisepnya, yang memiliki bercak sisa cat rupa warna. Malena bahkan tidak menoleh pada lukisan di belakangnya, tidak juga memberi tanggapan selain senyum simpulnya lalu kembali menatap lurus ke luar jendela.

 

"kedua kalinya kamu datang, saya yakin kamu sepertinya familiar".

 

Tetap hening, Malena hanya tersenyum. Itu justru mengiritasi Ghani yang mengeratkan rahangnya, dan mengepal dua tangan tersembunyi dalam kantung. Wanita ini mengabaikannya? Padahal Dia pemilik galeri tersebut. Dia memutuskan duduk di ujung kursi untuk menutupi jengahnya karena terabaikan, oleh wanita si pemilik senyum cantik dan mata coklat menarik yang misterius.

 

"kamu hanya pernah berpapasan dengan orang yang fiturnya mirip. There are 7 billion people in this world, yet you can't remember which is which".

 

Entah bagaimana caranya Malena membuat ketenangan di antara mereka tidak canggung kali itu, Ghani mengangguk karena setuju, tetapi pandangannya sedikit berbeda.

 

"I don't think it's 7 billion, it could be more or less. But i believe my instinct, it never drifts me".

 

Saling bersitatap mereka sejenak, Malena dengan senyum yang selalu terpatri dan Ghani yang berwajah datar penuh penilaian.

 

"I don't know you" geleng Malena.

 

"yet" sambung Ghani memasang senyum miring di raut pongahnya.

 

Bisakah itu dikategorikan sebagai godaan? Kesannya Ghani berusaha demikian, dengan menunjukkan pesona pria jantan yang tenang serta tahu banyak hal, terutama pintarnya berbicara. Itu sudah sangat jelas bisa ditebak, bisa dibaca. Dan jika saja Malena mungkin adalah wanita biasa dengan keadaan Ia belum mengetahui sosok Ghani sama sekali, mungkin saja Ia akan terpesona meski tetap akan jual mahal. Namun sayangnya, Ia datang karena sesuatu.

 

"kamu datang ke sini lagi berpikir bisa ketemu saya dan mungkin berpikir saya akan berubah pikiran soal ajakan itu?".

 

Dan jangan lupakan kesombongan serta percaya dirinya yang membuatnya jadi semakin terkesan pongah.

 

"saya ngga bilang" heran Malena, yang mengundang dengusan senyum Ghani.

 

Bagaimana pria itu tetap bertahan dengan dua tangannya di masing-masing kantung, dan lengkungan senyum yang dipaksa karena tidak mencapai matanya.

 

"tapi kamu keliling ke lebih banyak tempat dan berakhir duduk disini hampir 1 jam, so i assume you're looking for me".

 

Malena menunduk, menatap kosong brosur di tangan.

 

"buktinya kamu yang temukan saya, itu artinya kamu yang memperhatikan saya" entah kenapa perasaan mengganjal menyeruak dalam dirinya, memaksa senyumnya menipis seiring waktu.

 

"saya udah bilang, ini tempat observatory. I own this Semesta, dan saya tahu segalanya. Kamu duduk disini sengaja, karena tahu saya mengamati tempat ini".

 

Melihat Malena yang nampak diam berpikir, Ghani berubah jadi penasaran. Ada apa dengan wanita di sebelahnya itu? Kemana senyumnya? Dan butuh waktu beberapa saat sampai Malena tersadar dari sesuatunya, yang mana diantara jeda barusan Ghani menatap sisi wajah si empu tak berkedip.

 

"kenapa dinamakan semesta?" Ia menoleh ketika Ghani dengan cepat membuang pandangan kilas, "apa karena kamu berperan sebagai Penciptanya? Tuhan?".

 

Tiba-tiba saja percakapan berubah haluan, dan Ghani berdengus masam menganggap itu sebuah kesengajaan. Obrolan santai yang diselingi penuh sarkasme dan kesatiran, sebenarnya itu adalah pemikiran dari Ghani terhadap Malena yang murni menebak karena penasaran.

 

"sudah jelas" bahunya meggendik, "Ini dunia kecil punya saya".

 

Senyum Malena kembali, sebuah pemikiran terbesit di kepalanya tidak menghilangkan pemikiran sebelumnya.

 

"jadi kamu suka menyombongkan kehebatan kamu? Ke orang yang memang menarik perhatian kamu?".

 

"asal kamu tahu, Tuhan tidak pernah menyombong".

 

Mendengar itu, senyum Ghani langsung hilang ketika menoleh dan mendapati senyum simpul penuh kepolosan Malena. Dan itu menyentil harga dirinya karena sudah jelas Malena tengah menyindirnya, terdengar seperti itu. Terutama setelah pertemuan mereka, Dia menjadi sangat penasaran tentang siapa dan bagaimana sosok Malena yang menghantui pikirannya. Meskipun Dia belum mendapat titik terang dari hanya satu bait nama. Namun Dia seperti Malena yang menerka dan berasumsi dari perbincangan singkat serta sikap terhadap satu-sama lain. Dia juga hebat dalam membaca seperti Malena, hanya saja Dia belum mampu menebak dan itu mengganggunya selama beberapa hari belakangan. Yang Ghani tidak tahu, bahwa Malena telah mengetahui terlalu dalam soal pribadinya.

 

"jangan lupa pepatah tentang, mulutmu harimaumu. So be careful to who you talking with or what you want to say, Niana" nadanya datar dan rendah, itu sebuah peringatan memang.

 

Tapi Malena tetap berusaha santai, tersenyum simpul sedikit mengerucut, tidak sebelumnya yang terkesan canggung dan waspada. Lagipula mereka berada di lantai dua gedung galeri, tepat di lantai bawah terdapat banyak pengunjung, pun yang lalu lalang di luar ruangan tersebut. Ia merasa sedikit aman, meskipun dalam hati berdesir ketidaknyamanan yang mengganggu, berdampak pada telapak tangannya yang menjadi gatal.

 

"saya yakin saya lebih tua dari kamu, tapi ngga masalah" Ia beranjak sembari menyampir tas, "umur hanya angka yah" mengerutkan hidungnya kilas disertai senyum penuh arti.

 

"jaman sekarang orang berpikir kekuasaan lebih penting daripada moral, kritik itu hinaan dan pendapat itu cemooh" sindiran lainnya, yang mana Ia tidak peduli dan segera berjalan hendak keluar dari ruangan tersebut.

 

"i'll give you the second chance".

 

Langkah berhenti membelakangi Ghani yang beranjak dari duduknya, dua tangan akhirnya keluar dari kantung. Malena masih berada di balik tubuhnya, tidak berbalik atau menoleh. Perlahan suara langkah mendekat, Ghani berjalan melewatinya hingga berdiri dekat ambang pintu. Lengan pria itu akhirnya keluar dari kantong saku, dengan raut datar tak terbaca tapi tidak terkesan pongah.

 

"sebagai permintaan maaf karena sikap saya kurang sopan, nona"

 

Sebenarnya, di dalam hati Ghani sedikit was-was. Dia sempat berpikir ketika lepas berbincang dengan Malena pertama kalinya, bagaimana wanita itu hebat dalam pemilihan kata meski sikapnya sedikit canggung, dan kesan rendah hati Malena terhadapnya yang semakin membuatnya berpongah. Kini Dia menyadari bahwa Malena mungkin saja seorang yang pandai dalam berbincang, seperti seorang kritikus yang kerap menyamar untuk melihat dan merasakan sendiri pengalaman berada di sebuah tempat ramai pengunjung. Untuk dijadikan bahan pertimbangan penilaian sosial, apakah tempat ini pantas, apakah tempat ini memiliki nilai A-B-C, apakah tempat ini aman, bagaimana kenyamanan pelayanannya dan sebagainya. Malena mungkin seorang kritikus seni, jurnalis, atau seorang cendekiawan yang senang melawan arus ketenangan hal.

 

***

 

Sebuah mobil BMW hitam berhenti melaju di parkiran Klinik Metama, keluar dari dalam mobil seorang pria bergaya dandy rapih nan klinis. Pesona rupawan dengan wajah tegas yang memiliki brewok tipis, tubuh ramping sedikit atletis. Dia memperbaiki letak kacamata kilas sembari berjalan memasuki pelataran, dengan memegang sebuah tas kertas bermerek dan sebuah buket bunga jenis rupa.

 

Apa yang ditemukannya ketika memasuki gedung ialah kelengangan, dan seorang wanita yang lantas beranjak di balik meja resepsionis. Bukan Andira yang kebetulan berjaga, melainkan seorang wanita bertubuh sedikit chubby dan berambut coklat lurus sebahu. Tag nama bertuliskan Clarissa di dada kiri, Dia tersenyum ramah untuk menyapa pria berkacamata yang mendekat itu.

 

"selamat siang pak, Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?".

 

Clarissa menyimpan kepenasarannya akan pria di hadapannya tersebut, yang berwajah ramah lekat menatapnya. Dia belum pernah melihat pasien tersebut jika memang pria itu adalah pasien salah satu dokter di klinik, apalagi tas kertas kecil dan buket bunga yang dibawa, nampaknya seorang tamu dan bukan pasien.

 

Si pria sempat mengedarkan pandangan ke segala ruang dan tidak menemukan siapapun, Dia mengangguk kilas. "Dr. Malena, saya ada janji ketemu dengan dia".

 

Sedikit banyak Clarissa merasa ada sesuatu yang aneh, "baik, bisa tolong berikan nama agar saya bisa informasikan kepada beliau?" Ia kembali duduk untuk mencatat nama pria tersebut di secarik kertas.

"adnan" kata Adnan singkat.

"mohon tunggu sebentar pak adnan".

Padahal itu adalah hari libur Malena dan Dia tahu untuk tidak langsung menyetujui permintaan si pria. Dengan segera mengirimkan pesan kepada Malena untuk sebuah persetujuan, yang mana tentu tidak langsung dibalas sang empu karena tengah berada di urusan lain.

 

"adnan?" Adnan menoleh dan mendapati sosok Kanya yang mendekat, dan begitupun Clarissa yang beranjak dengan raut sedikit lega.

 

"mba kanya".

 

"kamu ngapain kesini?" tanya Kanya terkesan dingin, masuk ke dalam meja resepsionis di mana Clarissa berdiri sedikit canggung.

 

Sempat Dia melirik kilas layar komputer yang menampilkan kolom chat Clarissa ke Malena yang belum di balas, lalu menatap Adnan yang tenang di hadapan mereka.

 

"malena lagi ngga ada sekarang, dia baru ke luar kota tadi pagi".

 

Adnan mengangguk dengan raut berpikir, "oh ya? Pasien yang mana?".

 

Sikapnya berubah sedikit pongah, seperti tidak mempercayai ucapan Kanya yang memang adalah sebuah kebohongan. Bahkan Clarissa bisa merasakan intensi tegang yang menguar di sekitar.

 

Kanya bersedekap dada, "kamu gak perlu tahu siapa saja pasien dia, itu bukan urusan kamu".

 

Dia baru saja kembali dari urusannya pagi tadi, dan sedikit banyak menyesal tidak membalas pesan Malena beberapa hari belakangan karena kesibukannya, meskipun Dia yakin Malena mengerti itu. Maka dari itu keluar hendak menanyakan kemana wanita itu kepada Clarissa, malah tidak sengaja menemukan Adnan yang juga ternyata datang mencari Malena.

 

"saya datang mau kasih ini ke dia" menggestur barang bawaannya.

 

"merelakan lebih baik daripada jadi emosi terpendam".

 

Walaupun hanya menyaksikan, Clarissa malah menjadi gugup mendengar balasan Kanya. Pun Adnan tetap berdatar ria, menatap Kanya tanpa emosi tersirat di wajahnya.

 

"kamu pergi saja, dia ngga butuh itu semua" geleng Kanya, "Dan tolong jangan ganggu adik saya lagi".

 

Pengusiran itu tentu saja membuat Adnan menjadi kesal, cengkram kuat tali tas bersama buket tapi senyum tipis tersungging di bibirnya. Tak ada yang terjadi meski ada jeda diantara mereka, sampai suara langkah dari arah lain yang merupakan dua sosok satpam penjaga mendekat.

 

Adnan menoleh dan semakin melengkungkan senyum, tentu saja itu ulah Kanya yang memang sengaja menekan tombol di bawah meja resepsionis. Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu berbalik dan pergi meninggalkan mereka, keluar dari gedung tanpa perlu dipaksa meski telah diusir.

Kanya menggestur sopan kepada kedua satpam penjaga tersebut, dan meminta mereka untuk tetap tinggal bersama Clarissa di area lobi.

 

Adnan memasuki mobil dengan rasa kesal membanting pintu, membuang tas kertas dan buket ke jok belakang begitu saja. Dua tangannya mencengkram setir mobil kuat, netra doe tajam menatap bangunan klinik di hadapan penuh emosi kesal. Sial sekali kedatangannya malah diganggu oleh Kanya, dan Dia yakin bahwa wanita itu berbohong untuk melindungi Malena darinya.

 

Well- Dia bersumpah hanya ingin bicara baik-baik dengan wanita itu, tapi bagaimana Kanya menatapnya cemooh dan segera mengusirnya tanpa ba bi bu bahkan di hadapan si perawat tadi yang juga nampak mencurigainya. Jelas Malena pasti telah menceritakan masalah yang terjadi antara mereka berdua ke Kanya.

 

 

Kembali ke dalam klinik, dimana Kanya masih bertahan di meja resepsionis bersama Clarissa dan dua satpam. Kanya mengurungkan niatnya untuk pergi mengunjungi Malena karena balasan wanita itu atas pesan Clarissa sebelumnya, bahwa Dia tengah ada urusan di luar.

Setidaknya Malena tak harus bertemu Adnan dan terpaksa mengatasinya.

 

"bu dokter" tegur Clarissa yang sedikit cemas tapi penasaran juga, sebenarnya siapa pria itu dan kenapa firasat tidak enaknya benar setelah kemunculan Kanya yang langsung mengusirnya.

 

Kanya tidak ingin masalah pribadi Malena diketahui oleh siapapun, dan itu membuatnya mengutuk Adnan dalam hati karena berani mendatangi tempat dimana Malena berada. Padahal Dia yakin, Malena sudah menegaskan kepada pria itu yang memang bebal dan menjengkelkan.

"lain kali kalo ada yang seperti itu dan mencari dokter malena, bilang saja lagi di luar kota" Dua satpam pun kebingungan, tapi setia mendengar percakapan soal pria sebelumnya.

 

"saya boleh tahu itu siapa?" Kanya diam sejenak, menghela nafas dengan pandangan mengarah ke pintu kaca klinik yang menampilkan keadaan di luar, di mana sebuah mobil BMW hitam melaju pergi dari parkiran.

 

"hanya orang aneh" ucapnya dengan raut datar.