17

The world is a place of beauty and magic in the eyes of a DREAMER

Where others see facts and figures, you see symbols, metaphors, and HIDDEN

MEANINGS

Tidak ada tempat tetap yang menjadi alasan Malena untuk pulang, menurutnya, hal seperti itu memang tidak diperuntukkan bagi sebagian orang termasuk dirinya.

Ia lahir dan tumbuh menjalani masa kanak-kanaknya di rumah sederhana yang menjadi tempatnya bernaung, tetapi Ia tidak menyebutnya rumah. Tempat itu, bernama rumah hanya ketika keluarganya masih hidup, ayah dan ibunya. Lalu ketika ayah pergi, ibu berusaha untuk membuat tempat itu tetap menjadi rumah. Namun ketika ibu juga akhirnya pergi, Ia merasa tempat itu bukan lagi rumah melainkan hanya naungan yang penuh dengan kenangan beragam emosi.

Saat Ia memutuskan pergi untuk mengejar cita-citanya, banyak sanak keluarganya yang

menginginkan tempat itu dijual. Tetapi Ia tak bisa membiarkan hal tersebut, meskipun tidak lagi menganggapnya rumah, Ia tidak bisa membiarkan satu-satunya tempat penuh kenangan antara dirinya bersama ibu juga hilang begitu saja.

Ia hanya anak-anak yang memaksa diri menjadi dewasa agar bisa melawan kehendak para dewasa lainnya, Ia kalah jumlah, kalah kekuatan, dan kalah akan banyak hal. Namun Ia punya keyakinan, tekad yang kuat untuk mempertahankan naungannya. Ia tak bisa

kehilangan apapun lagi setelah kedua orang tuanya, itu sudah lebih dari cukup untuk menyedot kewarasannya yang membuatnya mendapat label gadis pemberontak. Dan itu juga bukan terjadi tanpa alasan terjadi, sebab para orang dewasa di sekelilingnya yang awalnya peduli dan mengkhawatirkannya, lambat laun berubah menjadi ancaman bagi dirinya. Mereka bersedia menjaganya, agar bisa mengeksploitasi harta peninggalan ayah-ibunya. Namun beruntungnya Ia cepat tersadar akan hal tersebut, saat Ia tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka soal pembagian harta warisan peninggalan yang akan dijual.

Maka dari itu mereka berlomba dan bersaing untuk mengurus dan mengutamakan dirinya karena menginginkan persetujuan darinya, agar dapat mengontrolnya dengan label hutang budi karena dibesarkan. Dan itu berubah, kala Ia memaksa diri untuk lebih awas dan waspada agar bisa tajam dalam mengamati segala sikap mereka. Ia memaksa diri untuk menjadi pribadi yang bukan dirinya, Ia harus mengubah segalanya agar mereka tahu dirinya tidak semudah itu untuk dieksploitasi. Ia mulai belajar mengurus dirinya dan sendiri menolak semua perhatian maupun kasih sayang serta bantuan dari siapapun sanak keluarganya.

Pada akhirnya mereka tahu bahwa dirinya berubah karena penolakan, mereka beralih menjadi dua kubu yang bekerja sama untuk melawannya. Itu bukan satu anggota keluarga yang berusaha ingin menginvasi harta peninggalan kedua orang tuanya, melainkan Ia harus melawan dua pihak keluarga dan juga istri kedua ayahnya yang ditinggalkan. Dan itu bukan hal yang mudah bagi gadis remaja yang nilainya belum seberapa saat itu kalau mau ditandingi dengan banyaknya orang dewasa di sekelilingnya.

Ia mencoba sangat keras, memutar balikkan pikirannya untuk menemukan gagasan bagaimana Ia harus mempertahankan hak miliknya. Beruntungnya pada saat itu, Ia

memiliki satu orang yang bisa dirinya percaya meski tidak sepenuhnya. Dia adalah teman dekat ibunya, seorang dokter spesialis yang menangani penyakit ibunya selama

bertahun-tahun. Wanita itu di usia senjanya, menjadi bulan untuk membantu menerangi jalan bagi dirinya yang berusaha sekuat dan sekeras mungkin untuk bisa mencapai sebuah kesuksesan dan mendorong dirinya menjauhi sanak keluarga yang sempat hendak mengeksploitasi harta warisannya.

"i don't like the way you treat me".

Malena menoleh begitu suara Ghani menginterupsi lamunannya, buku di pangkuan ditutup perlahan. Menatap Ghani yang dalam keadaan shirtless hanya mengenakan celana corduroy dengan rambut setengah basah, berdiri di balkon depan kamarnya.

Pria itu balas menatapnya datar, kesannya lekat nan menusuk.

Ia bangun lebih awal, dan sengaja membuat sarapan untuk mereka sembari menunggu Ghani bangun. Jika diingat, Ghani tertidur di sofa ruang tengah sejak semalam kena hipnotis darinya. Sementara Ia tidur di kamar berbeda dengan pintu yang terkunci dan terhalang lemari nakas. Tapi Ia memberi Ghani selimut untuk kenyamanan, namun sepertinya pria itu tak suka dengan apa yang telah terjadi padanya.

Ghani bergerak menuruni tangga perlahan, dengan tanpa tatapannya beralih dari Malena yang kembali mematut bukunya santai.

"itu selalu ada di setiap sesi konseling".

"tapi dengan persetujuan kedua belah pihak kan?! Sementara

kamu!" gebu Ghani dengan suara sedikit meninggi, yang membuat

Malena menoleh dengan raut wajah santai membalas.

"dan kamu menculik saya?"

Keheningan datang seperti tembok yang menghalangi mereka masing-masing, sampai Ghani akhirnya bergerak untuk mendudukkan diri di kursi hadapan Malena.

"kenapa ngga lari kalo begitu? Kenapa masih disini?" tanyanya dengan raut mencemooh, tapi tatapannya tajam.

Malena malah menyungging senyum, "karena kamu pasien saya"

Kenyataan itu menamparnya telak, dan Ghani hanya bisa mengepalkan kuat tangannya di atas lutut. Merasakan sesuatu menjalar dalam dada yang tidak disukainya, maka dari itu Dia memutus pandangan dengan mengalihkan wajah.

"saya ngga mood buat terapi hari ini, harus ke suatu tempat".

Kesannya semakin jelas, bagaimana sikap Ghani mulai terlihat sedikit menunjukkan sisi lain dari sebelumnya. Pria itu bersedekap dada kala menyenderkan punggung ke sandaran.

"kapan kamu memenuhi janji kamu yang itu?" tanya Malena.

Ghani menggeleng tanpa menatap, "not ready yet"

"siapa dia? Saya boleh tahu?"

"you're not worthy yet!"

"kenapa menurutmu saya harus bertemu dengan dia?"

"saya ngga mau jawab" acuh Ghani, masih belum mau menatap

"apa menurutmu saya mau bertemu dengan dia?"

Dengan itu Ghani menoleh, "kamu ngga mau?" rautnya masih tidak santai.

Malena hanya diam dengan menunjukkan keenggan menjawab juga tanpa menghilangkan senyumnya, mengundang rasa kesal Ghani yang tertahan karena merasa Malena terlalu sering menirunya sejak awal.

"don't you think i can do bad things to you and no one can help you here doctor" ucap Ghani dengan suara tenang tapi terkesan tegas, sebuah ancaman yang pertama kali terlontar.

Karena Ghani merasa berada di kediaman sendiri, jadi bisa membuat Malena berada di sepatunya seperti kemarin dirinya diperlakukan. Tapi dengan santai Malena menanggapi, "saya bisa jaga diri" dengan bahu menggendik, khas yang dilakukan Ghani

biasanya.

"oh ya? Ternyata kamu ngga seperti yang saya harapkan" kini raut Ghani berubah, senyumnya mengembang dengan tatapan lekat terkesan tajam. Akhirnya Ghani

sadar kalau Malena tengah meniru setiap gerak-geriknya untuk memancing kesabarannya.

"maybe i can do bad things too. It's human nature to survive" geleng Malena pelan, menangkup dua tangannya dipangkuan dengan rapih.

Ghani tak bisa, semakin lama Dia bertahan dan berbincang dengan Malena yang bersikap demikian, akan semakin menggerus batin dan sanubarinya. Ditambah gaun yang Malena pakai memang cukup lebih tertutup dari yang semalam, namun justru itu

semakin mengikis kerasionalannya. Dia beranjak dari duduk dan langsung melengos pergi begitu saja, meninggalkan Malena yang tetap diam dengan raut berubah datar.

Ia menoleh untuk melihat Ghani yang mengambil helm dan jaket dari rak penyimpanan, tanpa berkata apapun atau pamit atau menengoknya sedikitpun. Ghani langsung keluar dari pendopo dan menutup pintu lalu suara alat berunyi dari interkom, Ia dikunci lagi seperti kemarin.

Tanpa menunggu lama, Ia juga segera beranjak dari duduk dengan sedikit terburu menuju washtafel dapur. Memegang surainya yang tergerai untuk sedikit merunduk, karena Ia langsung memuntahkan semua sarapan yang sebelumnya di makan. Air keran

dinyalakan, membasuh habis sisa muntahan sebelum berkumur dan membasuh wajahnya. Gejolak itu tiba-tiba saja menghantamnya, padahal tidak ada pemicu yang membuatnya merasa dalam tekanan.

Sekujur tubuhnya langsung lemas, tapi Ia berusaha menumpu diri dengan kedua lengan di sisi washtafel. Nafasnya terengah, Ia masih berusaha menenangkan debar jantungnya dan gejolak yang masih terasa menekan perutnya. Sampai merasa tak ada lagi yang bisa dimuntahkan, kerannya dimatikan. Dan ketika Ia berbalik, tubuhnya mendadak terpaku karena menemukan sosok Ghani yang berdiri tenang dengan raut wajah datar menatapnya, masih menenteng jaket.

Ia tak mendengar suara pintu terbuka, tidak juga mendengar suara langkah kaki, terlebih lagi tidak mengerti kenapa Ia terpaku seperti baru saja ketahuan melakukan suatu kesalahan. Dan Ghani menatapnya dengan tatapan tanpa satu pun maksud

dibaliknya.

***

Mobil yang dikendarai Hanan bersama Sarah melaju meninggalkan tol ibukota menuju kota selanjutnya, satu-satunya suara yang menemani keheningan mereka adalah musik dari radio. Baik Hanan maupun Sarah tidak ada yang membuka percakapan, sebab kedua hanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hanan bersama fokus menyetir, sesekali melirik Sarah yang sibuk mematut smartphone. Tetapi Sarah tidak benar-benar hilang di smartphonenya, Dia tahu Hanan sesekali meliriknya.

Sampai Dia jengah sendiri, karena berpikir pasti ada sesuatu yang ingin Hanan katakan.

"gua kira lo ngga tahu di mana nyokap lo di taro?" tanya Sarah, melepas smartphone ke pangkuan.

Hanan menegakkan duduknya sejenak, "gua ada nyewa orang buat ngintai ghani beberapa waktu lalu, dan katanya ghani selalu keluar kota setiap dua atau tiga kali sebulan ke rumah sakit di Darungan" jelasnya.

"anjing! Antah berantah?! Lo yakin?" seru Sarah sempat mengejutkan Hanan yang beri tatapan sinis kilas.

"dia bakalan nyimpen nyokap dari gua biar gua berusaha buat nyari. Lo pikir kenapa gua bela-belain bulak-balik kalo ngga ada hasil?".

Sarah agaknya ikut frustasi, meskipun ibu Hanan dan Ghani notabene adalah bibinya, Dia juga tidak begitu dekat akibat sikap bibinya yang dahulu terlalu sangat melindungi Ghani dari apapun masalah.

"lo ngga ada coba telfon pihak rumah sakit buat tanya dulu? Sapa tahu bukan nyokap lo".

Hanan balas menggeleng tanpa lepas pandangan dari jalanan, "ngga ada yang bisa buat dia rela tinggalkan pendopo kalo bukan untuk ketemu nyokap gua"

Sedikit banyak Sarah berfirasat lain mengenai itu, tapi mau mengungkapkannya pun tampaknya percuma. Hanan tidak akan mendengarkannya atau menerima opini lainnya, sebab terlalu terburu dengan fokus untuk mencari sang ibu. Dia merasa kasihan pada Hanan, yang sejak lama tidak pernah lagi mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari bibinya saking timpangnya hal tersebut diberikan kepada hanya satu pihak.

Tetapi Hanan tetap peduli untuk mencari ibunya.

***

Ghani kembali ke pendopo dari toko kelontong di area tempat wisata membawa satu plastik sedang berisi beberapa hal, Dia masuk ke dalam dan tak lupa mengunci pintu kembali. Berjalan menuju kamar di lantai dua sayap kanan, membuka pintu kamar

yang mana didalamnya ada Malena tengah berbaring memunggunginya di ranjang berbalut selimut batas pinggang. Plastik itu di letakkan ke meja terdekat, Dia hanya berdiri dengan dua tangannya masuk kantong.

"mereka hanya punya yang tipe bersayap dan panjangnya 32 cm. Saya ngga tahu mana yang biasanya kamu pakai, perempuan beda-beda soalnya" kata Ghani dengan santai.

Sementara Malena yang berbaring memunggungi bukannya tengah tertidur, Ia hanya berbaring karena perut bagian bawahnya tengah bergejolak sakit. Dan mendengar Ghani berkata seperti itu dengan gamblang tanpa keraguan, malah dirinya yang menjadi

malu sampai tak mau bergerak.

"makasih"

Sialnya, Ia diculik di waktu yang tidak tepat. Gejolak mual sebelumnya adalah tanda bahwa bulan merahnya datang, dan hampir dirinya tak bisa berjalan ketika rasa sakit melilit di perut bawahnya. Ghani yang membopongnya ke kamar, Ghani memutuskan tidak pergi seperti dikatakan sebelumnya, dan Ghani bahkan rela membelikannya produk kewanitaan tanpa bertanya apa-apa.

Tidak ada suara balasan, tidak ada suara tutup pintu juga. Tapi Ia masih merasakan sorot tatapan yang mengunci punggungnya, dan memang Ghani masih berdiri di tempatnya,

hanya diam dengan tatapan tidak terbaca.

"No wonder you smells good doctor. I told you some people have their own pheromone with best smells".

Rasa sakit perutnya masih terasa, dan ditambah dengan gangguan yang ada membuatnya hampir kesulitan menangani emosinya.

"boleh saya dapat privasi? Tolong" wajahnya menoleh sebahu, meskipun begitu Ia bisa melihat Ghani yang berdiri tenang dari ekor mata.

Pria itu diam sejenak, lalu mengangguk tanda paham seraya berjalan mundur. Tapi ketika tangannya berada di gagang pintu belum sempat menutup, dia kembali buka suara.

"sebelum itu, saya ada satu penawaran. Kalo kamu tertarik, saya bisa buat kamu bebas dari masalah itu. Just tell me".

Lalu pintu tertutup, meninggalkan ruangan kamar kembali tenang sehingga Malena beranjak bangkit untuk duduk. Rautnya mengerut tidak ramah, sebab ia paham dengan apa yang Ghani maksud. Ia tahu Ghani memang tidak waras, tapi penawaran yang dilayangkan sangat tidak pantas dan tidak senonoh menurutnya. Perlahan Ia turun dari ranjang, jalannya pelan menuju plastik di meja karena menahan sakit sembari tangannya menekan perut bagian bawah, seperti wanita hamil dirinya.

Merogoh dan mengeluarkan semua yang Ghani beli, untungnya semua sangat berguna. Meskipun Ghani masih baik dan membantu kesulitannya, justru membuat rasa penasaran dan kewaspadaannya semakin kuat akibat pengetahuan Ghani soal kebutuhan wanita yang bisa dibilang detail, yang artinya ini bisa jadi hal biasa bagi Ghani untuk beli.

***

Dua hari semenjak menghilangnya Malena atau kepergiannya entah kemana, mba Kanya masih tetap pada prinsip yang mengatakan kepergian wanita itu menyimpan sesuatu yang janggal. Apalagi mengetahui semua barang wanita itu masih tertinggal di ruang kantornya yang tak berpenghuni, Dia berniat mencari sesuatu yang mungkin membantunya untuk memulai penyelidikannya sendiri.

Benar.

Dengan diam-diam mengambil kunci ruangan kerja Malena, Dia menunggu waktu yang pas untuk bisa masuk. Tentu saja saat makan siang, agar bisa menghindari CCTV.

Tanpa menunggu lama, memeriksa keseluruhan tempat untuk setidaknya bisa menemukan sebuah petunjuk. Memeriksa mulai dari laci, setiap dokumen, rak, dan apapun yang mungkin saja menjadi tempat rahasia Malena menaruh sesuatu.

Setiap kolong bercelah pun diperiksanya tak tertinggal, tetapi Dia tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Bahkan memeriksa seluruh dokumen para pasien wanita itu satu persatu, hanya untuk melihat apakah diantara mereka mungkin saja masuk ke dalam insting kecurigaannya. Namun sayangnya tidak ada dari mereka yang terasa ganjil baginya.

 

Tetap saja, Dia tak bisa menemukan apapun. Buatnya jelas merasa frustasi sendiri, sudah menggeledah dan memberantaki ruangan kerja sahabatnya sendiri. Sebenarnya tahu, dokumen penting mengenai para pasien mungkin saja tidak Malena letakkan di ruangan tersebut. Karena bersifat sensitif dan begitu rahasia, wanita itu pasti menyimpannya di kediaman pribadinya. Tetapi bagaimana cara Dia memeriksa ke sana? Membobol rumah akan membuatnya terkena masalah serius jika ketahuan orang.

Nafasnya terhela kasa, tongkak pinggang sangking jengah sendiri tak temukan apapun. Netranya sekali lagi bergulir ke segala bagian ruangan, berpikir mungkin saja maasih ada tempat Dia kurang mencari dengan teliti. Sampai pandangannya terhenti pada tempat sampah di antara celah meja kerja sang empu, alisnya berkerut seraya Dia merunduk untuk menarik benda itu keluar.

Benda itu masih penuh berisi kertas-kertas entah apa, buatnya tanpa ragu merogoh dan mengorek setiap kepalan kertas dan robekan apapun untuk diperiksa lebih teliti lagi. Sampai gerakannya terhenti saat menemukan kepalan kertas brosur kecil, langsung dibukanya dengan tergesa.

Mba Kanya terdiam sejenak mengamati brosur lecek tersebut dengan raut terheran, kenapa ada kertas brosur Taman Semesta di tempat sampah milik Malena? Oh tentu saja sang empu yang membuangnya, tapi kenapa Dia tidak tahu bahwa Malena pernah datang ke tempat itu?

Dia tentu sangat familiar dengan Taman Semesta, Dia pernah beberapa kali ke sana bersama keluarga kecilnya ketika berlibur. Tetapi kenapa Malena tak pernah mengatakan apapun soal kepergiannya ke tempat tersebut? Padahal Dia pernah mengajak wanita itu bersamanya, namun ditolak Malena yang memang kurang suka bepergian seperti itu.

Dengan tergesa kembali Dia masukkan semua sampah yang ada, setelah mengantungi kertas tadi. Dia punya firasat yang aneh mengetahui Malena memilikinya, entah kenapa Dia merasa demikian. Tentu Dia harus memeriksanya lebih dalam lagi.

 

Tepat saat Dia beranjak, pintu ruangan malah terbuka dari luar.

Cklek!

Mengejutkan mereka berdua.

"Astaghfirullah! Maaf bu dokter" ujar wanita setengah baya dengan pakaian cleaning service serta troli bawaannya.

Mba Kanya juga terkejut, tetapi Dia memasang senyum kaku segera bergerak menjauhi meja kerja Malena.

"maaf bu, saya mau bersihkan ruangan ini. Kirain ngga ada orang jadi ngga saya ketuk" sungkan wanita tersebut.

"ngga papa, saya cuma mau ambil beberapa dokumen" ungkap mba Kanya, memegang beberapa map berisi dokumen pasien.

Dia harus punya alasan, tentu saja untuk alibi kenapa Dia masuk ke ruangan tersebut.

"mari" pamitnya, segera keluar dari sana.

Tinggalkan sang petugas yang sempat menunduk kilas, "iya bu" setengah heran.

Sebab setelah Dia mengedarkan pandangan ke sepenjuru ruangan dan melihat beberapa rak serta laci nakas masih terbuka, sedikit terlihat berantakan seperti buku-buku dan dokumen dimasukkan sembarangan. Dia heran kenapa mereka berantakan, setahunya Malena adalah orang yang sangat-sangat rapih ketika beberapa kali dirinya masuk untuk bersih-bersih biasanya.

Tetapi Dia tidak begitu ambil pusing, pilih untuk mulai bekerja tanpa pikir panjang. Hal wajar jika para dokter masuk untuk mengambil dokumen para pasien setelah kepergian sang empu ruangan. Kekacauan yang ditimbulkan akibat kepergian Malena yang tiba-tiba, tentu saja membuat para dokter lain harus mengemban sisa pasien sang dokter tersebut.