18

Recipe for disaster;

Don't try to fix a broken bird,

Either you failed and the bird dies

Or it flies away when healed.

 

 

Kemunculan Ghani dari balik pintu, tidak sama sekali membuat sang empu yang tengah duduk di sisi ranjang sana bergeming dari tempatnya. Rungu mendengar, tetapi tidak ada keinginan untuk sekedar menoleh mengetahui kedatangannya.

"saya sudah masak. Kalo dokter ngga keberatan untuk bergabung" ujar Ghani, setelah itu beringsut pergi tinggalkan pintu kamar terbuka begitu saja.

Malena di balik tubuhnya, tidak lagi berada ddalam lamunan. Ia justru tengah menahan kesal, perasaan yang tiba-tiba saja datang membuatnya harus kuat mengendalikan diri. Rematan kuat pada rok gaun menandakan betapa geram dirinya, menyadari bahwa ini adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal.

 

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan nanti, dan Ia tidak bisa menunggu terlalu lama untuk mencari celah agar bisa kabur. Kepalanya menoleh sebahu untuk temukan kekosongan di belakangnya, buatnya menoleh dengan tatapan tajam seperti pria itu masih berada di sana.

 

 

Sementara itu di meja makan yang sudah tersaji dua piring hidangan masing-masing, yang nampak menggiurkan khas restoran berbintang. Ghani duduk tenang dengan dua tangan mengepal di meja, menunggu sang dokter untuk bergabung bersamanya. Tatapannya lekat pada kursi kosong di hadapannya, menunggu seperti robot kehabisan batre.

 

Sampai kursi itu terdorong, dan tidak lagi kosong setelah di duduki oleh Malena. Seketika bibirnya melengkungkan senyum, meski hanya mendapat balasan raut yang datar dari si mungil di sana. Dia sudah cukup senang Malena bersedia bergabung.

 

"bon apetit doctor". ucapnya sedikit memajukan tubuh, kemudian mengambil pisau-garpu untuk mulai menyantap makanannya.

 

Sedang Malena masih diam, menatap pria di hadapannya yang mulai makan dengan khidmat. Pandangannya turun ke piring di mana Steak lezat itu nampak menggodanya yang memang sedikit lapar, tetapi Ia punya sesuatu yang lebih penting untuk di utarakan ketimbang mengutamakan rasa laparnya.

Dan Ghani tidak semerta melepas pandangan dari sang dokter yang bahkan belum bergerak untuk menyantap makanannya, buat kunyahannya memelan dengan genggaman kuat pada pisaunya. Dia tahu apa yang wanita itu mungkin pikirkan, meski Malena hanya menampilkan raut datar tanpa segurat emosi.

 

"tidak ada racunnya. Saya masih butuh dokter" ucapnya di sela dengusan masam, tersenyum miring.

 

"saya masih ingin tahu" jeda Malena.

 

Pandangan Malena naik, menatap pria di ujung sana yang tetap santai menyantap makannya, yang tentu menunggunya.

 

"apa yang terjadi pada mereka semua?"

 

Taang!

 

Dentingan keras itu menggema, saat pisau dan garpu menancap terlalu dalam menebus daging. Malena bergeming di duduknya, begitu tenang saking hebatnya menampilkan kebohongan. Padahal kedua tangannya terkepal di pangkuan tersembunyi meja, waspada akan apapun yang terjadi selanjutnya.

 

Jelaga pria itu perlahan naik balas menatap dengan tajam, senyumnya hilang terganti dengan rahang yang mengerat seperti menahan emosi. Malena terlihat tidak gentar, menatap jelaga yang bagaikan lubang hitam terlalu berbahaya.

Keheningan di antara mereka tidak sama sekali mengiritasi siapapun, kesunyian itu biasa bagi satu diantara mereka.

 

"pekerjaanmu bukan untuk penasaran dengan mereka dokter" ucap Ghani dengan suara monoton, terdengar tegas.

 

Ia pernah menghadapi para pasien yang menatapnya sedemikian tajam, ketika Ia mencoba untuk mengulik jauh ke dalam diri mereka. Tatapan Ghani itu, sangat jelas menyimpan sebuah kebencian. Kebencian yang hanya dimiliki oleh para kriminal, terkurung dalam ruang di kepala mereka sendiri.

 

Dan Ghani terhenyak, diantara tatapan tajamnya itu. Menyadari bahwa Dia baru saja terpancing dengan pertanyaan barusan, buatnya berkedip untuk hilangkan emosi yang ada. Segara lepas pisau dan garpu yang masih tertancap di daging, Dia mengambil gelas berisi air putih untuk larutkan sisa makanan dalam mulut. Buang pandangan dari sang dokter yang masih menatapnya, sebelum wanita itu bergerak untuk kemudian menyantap makanan di piring sendiri.

 

Dia beranjak dari duduknya, membawa serta piring berisi masih setengah makanannya. Mengabaikan Malena yang tengah makan dengan tenang, pergi menuju dapur di mana tempat sampah berada.

Membuang sisa makanannya di tempat sampah tanpa ragu, dan menaruh piring kotor di washtafel. Hilang begitu saja selera makannya, dan Dia tahu Malena sengaja melakukannya.

Kala Malena menyantap makanannya dengan kewaspadaan tingkat tinggi, mengawasi setiap pergerakan Ghani yang masih terdiam di dapur sana lewat ekor matanya. Menggenggam kuat pisau daging di tangan, tentu saja waspada jika Ghani kehilangan rasa sabarnya dan bertindak untuk mencelakai dirinya.

 

Tetapi pria itu diam saja di depan washtafel, sebenarnya berhadapan dengan tempat khusus pisau yang tengah di tatapnya. Dua tangannya mengepal hingga buku jari memutih, menahan diri dari keinginan mengambil salah satu pisau di sana.

 

Tidak tahu kah Malena tindakannya itu sangat berbahaya? Oh- justru wanita itu sangat tahu, dan sengaja melakukannya.

 

Pandangannya naik ke kabinet di atas kepala yang berbahan kaca, di mana Dia bisa menangkap bayangan Malena yang tengah menyantap makanan dengan tenang. Senyumnya melengkung disertai dengusan geli, mengetahui Malena sengaja melakukan itu untuk mengusirnya dari meja makan. Seharusnya Dia tidak boleh terpancing dengan apapun yang Malena lakukan, sebab wanita itu tengah mengujinya.

 

Dengusannya berubah menjadi kekehan geli, kala Ghani berbalik dan pergi meninggalkan area dapur. Kekehan kian lama berubah menjadi tawa renyah yang menggema seruangan, di mana membuat Malena sendiri semakin mengeratkan pegangan pada alat makannya. Pandangannya lurus pada kekosongan, tetapi ekor mata tetap mewaspadai Ghani yang sepertinya pergi menuju kamar.

Kunyahannya terhenti, paksa menelan sisa makanan yang Ia gigit dengan begitu kaku sebelumnya.

 

Sampai Ia terkejut bukan main ketika dua tangan besar tiba-tiba muncul melingkup dan menahan pergelangannya di meja hadapan, menguncinya dalam ruang geraknya sendiri. Dadanya bertalu tak karuan antara kaget dan takut, kala Ghani mengambil tempat di sisi kanannya menutupi cahaya dari jendela. Hidungnya bisa menangkap sangat jelas aroma alkohol yang menguar, menghembus di sisi wajahnya yang hanya bisa mematung penuh ketegangan.

 

"kamu seharusnya tahu batasan dokter. Untuk tidak menanyakan hal yang seharusnya sudah jelas tidak perlu di cari tahu lagi". suara itu datar setengah berbisik.

 

Dan Ghani memasang cengiran kaku, menatap pada sang dokter yang terpaku sempat membulatkan mata. Dia sengaja melakukan itu, dan Malena pasti tidak menyangka dirinya bisa balik menipu.

 

Cengkraman pada kedua pergelangan di rasa kian menguat, Malena berusaha menahan dirinya dari keinginan untuk berontak karena tahu itu percuma. Ghani mengambil kesempatan itu untuk menghirup aroma sang dokter yang kembali menggerus sanubarinya, mengundang ketegangan pada diri sendiri. Dengan tatapan mengarah pada dua tangan di cengkramannya yang kuat menggenggam alat makan, tidak berdaya untuk membalas.

Raut Malena berkedut, bibirnya mencebik kala kepala dipaksa miring akibat Ghani menempelkan sisi wajah mereka dengan sengaja. Perasaan geli itu mengganggunya, membuatnya merasa jijik. Ghani melecehkannya sekali lagi.

Dan Ghani bangga mengetahui Malena sangat terganggu dengan tindakannya yang disengaja, selain Dia ingin menguji sang dokter yang sudah mengujinya barusan.

Rasa tubuh sang dokter berusaha menahan nafas yang buat tubuhnya bergetar dalam cengkramannya, buatnya senantiasa senang untuk terus merasakan kulit dingin nan halus yang begitu menggodanya.

 

"dokter tenang saja. Ini mungkin akan lama tapi.." wajahnya bergerak, membawa pucuk hidung untuk menggerus turun menuju telinga sang empu yang makin berusaha menghindar percuma.

 

Aroma lavender itu kuat merasuk ke penciumannya, dan Dia menyukai bagaimana tubuh Malena kaku dalam cengkramannya, menahan getaran serta nafas yang terputus itu.

 

"kamu akan baik-baik saja, kalau tidak melenceng terlalu jauh dari tugasmu seharusnya. Dokter"

 

Dia memang brengsek dan tidak akan menutupinya, setidaknya Malena tahu untuk tidak lagi memancingnya. Tidak ingin berbuat lebih karena Dia masih butuh sang dokter, penguasaan dirinya kembali setelah hampir tergoda oleh tindakannya sendiri.

Dengan segera menjauhkan wajah sebelum melepas kedua cengkramannya, dan mundur teratur untuk pergi dari sana dengan raut datar terlampau kaku.

 

Suara pintu terbuka lalu tertutup, beserta tanda alarm menyala. Malena baru bisa menarik udara dengan kaku diantara tubuh bergetar halus, nafasnya terputus saking baru bisa merasakan kebebasan. Lepas alat makan sedikit kasar timbulkan dentingan keras, dan bawa kedua tangannya meremat dada kiri yang berdentam kuat. Bernafas rakus seperti peredaran darahnya baru saja berhenti, dan terbebas dari cekikan yang menyakitkan.

 

Kepergian Ghani meninggalkan pendopo membawa kelegaan tidak berarti, Ia hanya terbebas dari cengkraman pria itu, namun tidak dengan penjara yang masih mengurungnya. Buat gejolak di perutnya kembali, lehernya menegang berusaha menahan diri dari keinginan untuk muntah lagi. Bibirnya bergetar kala menarik nafas berat, sekuat tenaga menelan getir yang masih terasa mencekiknya. Namun itu tidak mudah, dan Ia masih tidak mampu melakukannya.

 

Segera beranjak dari duduk kemudian berlari menuju washtafel dapur dengan tangan menutup mulut dan memegang perutnya yang menegang, memuntahkan semua yang baru saja dirinya makan, terlarut ke pembuangan bersama air yang mengalir. Ia berusaha sangat kuat untuk menahan rasa jijik itu, tetapi nyatanya Ia masih belum mampu. Dan ingatan baru saja di lecehkan terus mengundang gejolak aneh pada perutnya yang tetap menegang, memaksanya yang sudah kehabisan sisa makanan tetap memuntahkan kekosongan.

Sayangnya meski Malena merasa sudah bebas karena sendirian di dalam pendopo, nyatanya kejadian makanan yang dimuntahkan itu tidak luput dari pantauan Ghani. Dia memang meninggalkan pendopo, mengunci sang dokter dalam lab mewahnya. Seiring langkahnya menjauh, smartphone dalam genggaman yang menampilkan rekaman langsung dari CCTV di dalam pendopo itu menjadi alat untuk melihat apa yang terjadi di dalam sana.

 

Bukan karena dirinya takut Malena akan mencari cara untuk bisa bebas, Dia tahu wanita itu tidak akan berusaha kabur menggunakan cara maupun rencana yang gegabah. Dia lebih perduli untuk melihat kebiasaan Malena memuntahkan makanannya setelah berinteraksi dengannya, dan itu membuatnya berhenti melangkah sejenak. Dengan tatapan datar menatap layar smartphone, masih tampilkan rekaman Malena yang bersimpuh lemah di depan meja washtafel setelah memuntahkan makanannya barusann.

 

Lantas apakah Dia khawatir dengan kondisi dokter mungil itu?

 

Jawabannya tentu sudah tertampil di rautnya yang malah tersenyum lebar, karena Dia sudah tahu apa kelemahan yang bisa menjadi senjata bagi dirinya untuk mengendalikan wanita itu.

 

Berdengus sinis seraya menyimpan kembali smartphone dalam kantung celana, Dia kemudian melanjutkan jalan kaki menyusuri setapak itu menuju ke bawah, dengan senyum semringah berupa rasa kepuasan.

***

 

Satu hari terlewat, Hanan dan Sarah tiba di kota yang mereka tuju, keduanya pilih menginap semalam di hotel yang jaraknya tidak begitu jauh dari alamat yang akan mereka tuju kini.

 

Sebuah tempat di mana Hanan yakini menyimpan keberadaan sang ibu, dan Dia sejak pagi terkesan lebih pendiam.

Masalahnya, diamnya Hanan itu karena Dia tengah menyimpan rasa gugup serta cemas yang kembali menggerogotinya. Pegang setir begitu kaku, seringkali bergerak nyamankan diri. Dan hal tersebut tentu di sadari oleh Sarah yang memang merasa, Hanan bersikap tidak biasa sejak pagi tadi.

 

Tetapi Dia juga tidak ingin bertanya macam-macam, Dia hanya mengantar saudara sepupunya itu dan tidak mau ikut campur terlalu dalam.

Jadi sepanjang perjalanan itu mereka habiskan dalam keheningan yang berarti, baik Hanan maupun Sarah berada dalam pemikiran masing-masing.

 

Sampai akhirnya tiba mereka di satu wilayah rumah sakit menurut alamat yang Hanan ikuti, letaknya sedikit terpelosok di sebuah daerah yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Mobil terparkir di bahu jalan, bersebarangan dengan sebuah bangunan rumah sakit yang tidak seperti mereka harapkan. Terutama Hanan yang terpaku di duduknya, menatap nama rumah sakit tersebut di gerbang masuk sana.

 

Sarah sendiri sempat termangu, bahkan mulutnya terbuka kecil tidak sadar kala berulang kali membaca nama gedung tersebut berusaha memastikan tidak salah lihat.

 

"lo yakin, di sini?" akhirnya bisa buka suara, meski itu terdengar gugup.

 

Tidak ada balasan dari si pengemudi yang masih terpaku, Dia menarik pandangan kepada Hanan yang sedang memantapkan dirinya. Hingga pria itu memperbaiki duduknya sejenak, rautnya tidak terbaca tetapi Sarah bisa melihat segurat emosi yang tidak bisa dirinya pastikan apa.

 

"iya.." balas Hanan yang kembali melajukan mobilnya, berbelok ke arah gerbang pagar rumah sakit tersebut.

 

Gerbang pagar masuk menuju rumah sakit, yang bertuliskan Rumah Sakit Jiwa Amanpura. Mobil berhenti ketika seorang pria berpakaian satpam keluar dari pos penjagaan, perawakannya seperti bapak-bapak bertubuh tinggi nan tambun kisaran berusia 40-50 an biasa. Hanan terpaksa keluar dari mobil membawa serta kartu identitasnya, karena satpam tersebut tidak semerta membukakan pagar dan hanya berdiri menatap dari balik pagar itu. Hal tersebut tentu di ikuti oleh Sarah yang tergesa mengeluarkan KTP dari dompet, lalu keluar mengejar Hanan.

 

"selamat pagi pak" sapa Hanan dengan ramah, kena rangkul Sarah yang terlihat gugup.

 

"selamat pagi, boleh saya tahu keperluan apa?" tanya si satpam dengan suara tegasnya, tidak menunjukkan keramahan sama sekali.

 

"eh, kami mau mengunjungi seseorang"

 

Satpam tersebut sempat mengamati mereka yang masih bergandengan sejenak, "mohon kartu identitasnya"

 

Keduanya menyodorkan kartu identitas masing-masing untuk di periksa, dan tidak bisa mereka menahan mata untuk mengedarkan pandangan ke dalam.

 

"siapa nama yang ingin di kunjungi?" tanya si satpam lagi, kembali mengamati mereka berdua seakan tengah mencocokkan wajah dengan KTP di tangan.

 

Hanan menelan saliva kasar sebelum berucap, "ibu grace tantono, atau grace atmawijaya" merasa begitu canggung hanya untuk menyebut nama sang ibu.

 

Seketika itu tatapan si satpam berubah, "sayangnya sekarang bukan waktu untuk kunjungan, silahkan kembali nanti" seraya mengembalikan KTP mereka masing-masing.

 

Bahkan berbalik hendak pergi, tetapi Hanan segera bersuara kembali.

 

"tapi ini masih pagi pak, waktu pas untuk kunjungan" dengan suara sedikit menggebu, merasa heran dengan respon satpam tersebut yang menoleh tanpa bergerak dari tempatnya.

 

"sedang ada pemeriksaan rutin, rumah sakit tidak di buka sekarang" tegas si satpam menggeleng pelan, lalu hendak pergi

 

"terus kapan kami boleh datang lagi?" suara Sarah yang menahan langkah pria itu.

 

Nampak si satpam tetap memasang raut wajah datarnya, "silahkan kembali nanti" ucapnya penuh penekanan.

 

Sarah menahan lengan Hanan yang hendak mengejar satpam itu, dan Hanan menoleh dengan raut mengerut. Dia terpaksa bergerak karena diseret oleh Sarah yang mundur menuju mobil kembali.

 

"tunggu sar! Kita ngga bisa pergi gitu aja" seru Hanan menarik lengannya lepas dari rangkulan Sarah.

 

Wajah Sarah lantas mengerat, "lo ngga bisa baca situasi kah? Jangan buta sama keadaan, nan".

 

Hanan menggeleng, "ibu gua pasti di dalam, dia ngga bilang nama itu ngga ada" tegasnya, semakin terlihat menggebu dan cemas.

 

Dia hendak pergi lagi menuju pagar, tetapi sekali lagi Sarah menahan lengannya dengan cengkraman kuat.

 

"justru itu?! lo mikir deh di waktu ini ngga boleh ada kunjungan!" jengah Sarah, "mendingan kita pergi dulu dari sini, firasat gua ngga enak" gelengnya di akhir.

 

"tapi ibu gua sar!" seru Hanan tak tertahankan.

 

Plak!

 

Dan satu tamparan tidak seberapa itu seketika menyadarkan Hanan yang terdiam, "sadar hanan! Itu alasannya kita ngga diijinkan masuk!" tegas Sarah menekan ucapannya.

 

"pasti dia yang nyuruh. Dia tahu suatu saat lo bakalan berhasil kemari"

 

Hanan masih terdiam, perlahan angkat pandangan menatap sepupunya yang terlihat begitu cemas seperti dirinya. Tapi kecemasan mereka berbeda, dan Dia baru menyadari itu.

 

Tangan Sarah naik untuk mengelus bekas tamparannya, "kita harus pergi dari sini untuk sekarang" suaranya melembut.

 

Tamparan barusan bukan bermaksud tidak sopan, bahkan Sarah sendiri tidak menyangka akan ringan tangan melakukan itu untuk menyadarkan kakak sepupunya. Sampai dirasa Hanan sudah kembali pada kesadarannya, menjadi lebih tenang.

 

"biar gua yang nyetir" kata Sarah yang langsung bergerak tanpa persetujuan sang empu.