19

Me and death made a pact.

It won't come after me,

I won't look for it;

But one day we will meet.

 

 

 

Siang itu mba Kanya memutuskan gunakan waktu istirahatnya untuk mendatangi kantor polisi, membawa serta beberapa hal penting yang akan dirinya gunakan untuk melaporkan hilangnya Malena- sahabatnya.

Benar, mba Kanya tidak percaya bahwa Malena memutuskan pensiun dini kemudian menghilang bak di telan bumi. Dia punya firasat ada yang tidak beres dengan berhentinya Malena setelah semua keanehan yang terjadi beberapa waktu belakangan. Tidak perduli dengan orang-orang yang malah menyayangkan sekaligus mencemooh keputusan tiba-tiba Malena, Dia justru ingin membuktikan bahwa Malena tidak mungkin melakukan hal tersebut, pasti ada sebuah alasan jelas.

Dengan meminta bantuan kepada salah satu kenalannya di kepolisian, sebab jika harus membuat pelaporan orang hilang secara resmi.

 

"tolong lah mas dino, saya ngga ada kenalan selain kamu yang bisa saya mintai tolong" pinta mba Kanya dengan nada memohon.

Pria yang usianya tak beda jauh dengannya itu menghela nafas lelah, "tapi mba, ini semua bukannya udah jelas? Dokter malena mungkin saja benar memilih demikian, kita ngga bisa memaksanya untuk menjelaskan apapun lagi".

Setelah melihat semua surat yang mba Kanya jadikan sebagai bukti atas menghilangnya salah satu teman dokternya itu, Dia tidak merasa bisa memasukkan kasus tersebut ke dalam berita acara orang hilang.

"tapi ini aneh. Dia bukan tipe orang seperti itu" gebu mba Kanya, berusaha menahan diri.

"mba. Ada lebih banyak masalah yang lebih pelik ketimbang mengurusi seorang dokter yang memilih pensiun dini dan sudah jelas meninggalkan semua bukti ini".

Menurutnya, Dia tidak bisa menyerah begitu saja menghadapi penolakan mas Dino. Orang yang memang melihat semua itu akan berpikir demikian, bahwa Malena memang memilih pensiun dari pekerjaannya. Berbeda dengannya yang mengutamakan firasat buruk serta analisa dan pengetahuannya tentang kehidupan pribadi sang empu, tentu lah Dia tidak bisa tinggal diam.

"saya sangat kenal sama dia mas. Dan itu ngga mungkin" gelengnya, dengan raut penuh keyakinan.

Dia paham bagaimana pandangan mas Dino terhadapnya, yang pasti menganggapnya berlebihan menanggapi kecemasannya.

"dia itu sebenarnya lagi dalam zona bahaya mas. Karena ada seseorang yang terobsesi sama dia dan selalu berusaha mendekati dia".

Mas Dino masih diam, memilih mendengarkan sang dokter di hadapan yang tengah berusaha meyakinkannya.

"saya kenal orang itu, dan beberapa waktu lalu dia sempat datang ke klinik saat dokter malena sedang keluar. Dia mau menitipkan hadiah tapi saya menolak. Teman saya ini sudah berulang kali berusaha menghindari dan menolak dia, tapi itu percuma. Karena setiap kali teman saya berpindah tempat untuk bekerja sampai harus mengganti kontaknya, dia selalu berhasil menemukan teman saya dan kembali mengganggu ketenangan hidup teman saya" jelas mba Kanya panjang lebar.

Nampak mas Dino menggeleng pelan, "kalau memang kecurigaan mba demikian, setidaknya kecurigaan itu harus bisa mba buktikan terlebih. Sebelum membuat laporan orang hilang, atau mba bisa kena pasal pencemaran nama baik".

Langsung jengah mba Kanya mendengar balasan itu, "saya tau, tapi.."

 

Drugh!

Memasuki mobil dengan raut wajah menahan kesal, mba Kanya tidak bisa meyakinkan mas Dino bahkan dengan semua yang telah dirinya ceritakan. Letakkan barang bawaan ke jok penumpang di sebelah, wajahnya diusap kasar bersama helaan nafas berat.

Firasat buruknya tidak pernah salah, dan Dia tahu ada yang tidak beres dengan menghilangnya Malena.

 

*begini aja mba. Coba terus hubungi dulu dokter malena, sampai beliau merespon. Mungkin saja saat ini beliau memang sedang tidak ingin di ganggu setelah apa yang terjadi*.

 

Bahkan polisi tidak bisa mempercayai omongannya, tentu saja mereka membutuhkan bukti atas kecurigaannya. Dia sadar mereka tidak akan langsung membantunya, apalagi dengan semua bukti konkrit yang jelas menunjukkan alasan Malena memilih berhenti. 

Bagaimana caranya Dia bisa menemukan Malena, sedang semua pesan dan panggilan ke nomor sang empu tidak pernah ditanggapi. Bahkan nomor wanita itu sudah tidak lagi aktif, jelas Malena seperti ingin memutus hubungan dengan mereka semua. Dia tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa, belum tentu ada yang percaya pada firasatnya.

Bahkan Dia yakin, keluarga wanita itu tidak mengetahui apapun tentang kehidupannya lagi. Mereka sudah tidak berhubungan untuk waktu yang sangat lama sepengetahuannya, karena memang Malena sendiri lah yang memilih untuk memutus kontak tersebut.

Jalan satu-satunya ialah Dia harus bisa membuktikan kecurigaannya terhadap satu orang, tentu saja si Adnan. Siapa lagi orang kalau bukan pria itu yang sudah jelas selalu mengganggu hidup Malena, dan tidak pernah berhenti untuk mendapatkannya.

Dengan perasaan menggebu akibat adrenalin kian memacu, mba Kanya memantapkan keyakinannya untuk bisa melakukan pekerjaan ini sendirian. Tidak perduli dengan pekerjaan yang juga sangat penting menyangkut para pasiennya, menghilangnya sang sahabat yang secara tiba-tiba tentu saja tidak bisa dirinya abaikan begitu saja. 

***

 Semburat cantik berwarna jingga-keunguan di ufuk sana, seiring senja sebentar lagi akan berganti malam. Burung-burung terbang di langit dengan pola, hendak bermigrasi entah kemana. Wilayah hutan yang begitu luas, hanya memiliki lampu di satu titik yang menjadi bagian wilayah taman Semesta. Para wisatawan mulai keluar dari tempat tersebut, sebab jam telah menunjukkan waktunya tutup.

Hingga pengunjung terakhir yang keluar dari gerbang pagar, sebelum kemudian ditutup dan di kunci dari luar oleh dua orang satpam yang juga hendak pulang selepas bekerja seharian.

Tempat yang selalu ramai menjadi kunjungan banyak orang, serta keriuhan suara bergembira mereka. Mendadak terganti dengan suara nyanyian hewan malam yang kian bersahutan, menjadikan taman Semesta tidak berbeda dari hutan yang mengelilinginya.

 

Tidak seharusnya apapun dapat mengusiknya, tetapi sebuah takdir tidak dapat dihindarinya. Malena sudah lama mengubur ingatan yang menurutnya menjijikkan, mengerikan, dan menyedihkan dalam hidupnya. Namun nampaknya, apa yang tengah dilaluinya menyebabkan ingatan itu justru kembali selayaknya mimpi buruk yang terasa nyata.

"hoeeek!"

Entah yang keberapa kali Ia sudah memuntahkan isi lambungnya hari itu, sejak sarapan yang juga telah dimuntahkan. Hal tersebut berlangsung untuk makan siang, dan kini makan malam baru saja dilakukan.

Sampai-sampai tubuhnya sudah sangat lemas, hanya bisa terduduk di lantai kamar mandi, menyender closet terbuka yang baru saja di flush. Namun bukan dirinya yang melakukan itu, tubuhnya terlalu lemas bahkan untuk sekedar mengangkat tangan menekan tombol.

Tentu saja si Ghani yang berdiri menyender tembok, dengan dua lengan bersedekap terlampau santai. Tidak ada raut jijik atau apapun yang menggambarkan reaksi terhadap Malena, hanya raut datar mengamati sang dokter yang tengah berusaha untuk bangkit. Tetapi wanita itu sama sekali tidak dapat menopang kedua kakinya sendiri, buatnya lantas menyodorkan tangan berniat membantu.

Respon Malena malah acuh, abai pada sodoran tangan yang ditawarkan kepadanya. Dengan nafas masih setengah terengah, kepalanya menoleh untuk sembunyikan wajah yang pucat.

"kamu bisa pergi, saya ngga butuh kamu" ucapnya, menahan tercekat di tenggorokan. Rasa mual itu tidak menyerta meninggalkannya, justru masih terus terasa hingga berkali-kali menelan ludah agar berhenti memuntahkan kekosongan.

Ghani hanya merotasi mata jengah, "dokter bahkan ngga bisa berdiri. Memangnya mau ngesot kembali?"

"lebih baik asal bukan kamu" dengus Malena, masih menyembunyikan wajah diantara juntaian surainya.

Undang kekehan getir Ghani yang sejenak buang pandangan, "dokter ini gengsinya besar juga yaah" terdengar sedikit mencemooh.

Buatnya berjongkok di sebelah sang dokter, yang sedikit menjauh karena Dia hendak berbisik. "dokter masih ingat tawaran saya kan?" ucap Ghani di sela senyum semringahnya.

"saya bisa loh bantu kapan saja" ujar Ghani pelan terdengar pongah, sembari mengamati kuku jemarinya.

Menjijikan- batin Malena.

Dengan raut menegang, tangannya mengepal hingga buku jari memutih. Ghani begitu menghina harga dirinya, dan itu tentu saja membuatnya geram. Namun Ia tak bisa melakukan apapun di luar kehendaknya, apalagi dalam keadaan tubuh lemah begitu. Ia mengutuk respon tubuhnya yang tidak berdaya ketika menghadapi bulan merah, dan Ia membenci harus terlihat setidak berdaya itu.

Melihat reaksi diam sang dokter, Ghani kehabisan rasa sabar untuk menunggu sebuah persetujuan. Dengan tiba-tiba, mengangkat tubuh Malena yang sontak menoleh dengan raut begitu terkejut. Ia hendak berontak, tetapi cengkraman Ghani yang menggendongnya ala bridal tak dapat dilawan.

Dia membawa keluar Malena dari kamar mandi tersebut menaja kamar kembali, lalu membaringkan sang dokter di ranjang. Segera Melanaa beringsut menjauh darinya dengan raut mengerut tak suka, tatapannya pun tajam melayang padanya.

"sesama manusia itu harus saling menolong dokter" ucapnya santai, kembali bersedekap dada.

"manusia harusnya tahu ada batasan yang tidak boleh dilanggar tanpa persetujuan pihak lain" ketus Malena membuang pandangan.

"my place, my rules" tegas Ghani pelan, "dokter membantu saya, saya harus membantu dokter. Itu aturan yang saya tau" bahunya menggendik kilas meski tak dilihat Malena.

Apapun itu, Malena hanya berharap pria itu meninggalkannya sendirian. Apalagi gejolak nyeri pada perut bawahnya kembali terasa, buatnya menarik selimut untuk menutup dirinya yang masih terduduk di sudut headbed.

"apa ada makanan yang mungkin dokter mau? Perempuan biasanya mengidam kalau sedang berdarah" santai Ghani, mengambil tempat duduk di sisi ranjang sang empu yang makin beringsut membelakanginya bahkan.

"saya mau kamu pergi dari sini, itu saja" pinta Malena dengan suara begitu sopan, sekali lagi tidak ingin membuat sang empu rumah merasa tersinggung.

Ghani terkekeh geli mendengar itu, "ini tempat saya dokter, di manapun saya berada, itu kehendak saya. Dokter ngga bisa mengusir saya".

Hening, tak ada balasan dari sang dokter yang nampaknya sengaja bungkam. Buatnya berdengus senyum kala menundukkan pandangan, "dokter jijik yah setiap kali kita makan bersama? Boleh saya tau alasannya?"

Ia tidak mengerti situasi apa yang tengah mereka hadapi kini, sebab terkesan tidak seperti ada sebuah ikatan antar dokter-pasien yang seharusnya terjadi. Ghani jelas menculiknya, dan Ia sengaja terus menahan diri agar tidak mencelakai dirinya sendiri. Tetapi Ia paham, bahwa Ghani tidak hanya menculiknya karena ingin bantuannya, pria itu jelas membutuhkan sesuatu darinya.

Entah apa itu, Ia belum bisa memastikannya. Yang bisa dirinya lakukan sekarang adalah, mengikuti skenario atau permainan yang tengah pria itu lakukan.

Ia menoleh balik menatap sang empu netra sipit yang tidak melepas pandangan darinya sejak tadi, "ini bukan tentang saya, tapi kamu sebagai pasien saya" berusaha menahan segala rasa yang ada pada tubuhnya.

Reaksi pria itu malah seperti kebiasaannya, mengerucutkan bibir sembari menumpu kedua tangan ke ranjang di belakang tubuh begitu santai.

"hm... menurut saya, dokter seharusnya tidak punya masalah yang lebih berat ketimbang saya. Dokter ada di sini karena saya butuh bantuan dokter".

"tapi kalo ternyata dokter justru punya masalah yang lebih dari pada saya, saya ngga masalah untuk bantu. Anggap saja biar kita jadi punya ikatan yang lebih dekat. Gimana?" tawar Ghani di akhir, menampilkan wajah innocent dan senyum simpulnya.

Rasanya Ia ingin tertawa mendengar itu, bagaimana bisa seseorang dengan keadaan mental tidak jelas justru menawarkan bantuan kepadanya yang sangat amat mampu mengendalikan emosinya. Jika saja mereka bertemu dengan keadaan berbeda pun, belum tentu Ia mempercayai ucapan si pemilik jelaga itu. Yang kini Ia sadari, caranya menatap berbeda, juga mengandung arti yang lain.

"kamu butuh hypnotherapy lagi?" tanyanya, terdengar hampir terkekeh.

Yang seketika menghilangkan senyum di wajah Ghani, rautnya datar dengan tatapan malas. Dia menyerah untuk membujuk sang dokter kali itu, hanya untuk kali itu. Beranjak dari duduknya, raut berubah kaku menegang karena merasa gemas.

"kamu keras kepala sekali niana" tegasnya yang memalingkan wajah ke arah pintu keluar kamar.

Malena waspada, tahu bahwa sikapnya yang terus melawan sangat tidak di sukai Ghani. Tetapi pria itu tidak melakukan apapun yang mengancamnya seperti pagi tadi, Dia hanya segera beranjak keluar dari kamarnya.

Brak!

Dan membanting pintu dengan tidak santai, persis seperti seorang yang tengah merajuk, atau malah marah. Dengan segera, Ia beranjak turun dari ranjang memaksakan diri. Tentu saja mendekati pintu kamar, untuk mengunci pintu tersebut. Bahkan dirasa kurang, Ia sekuat tenaga menggeser nakas yang ada untuk menghadang pintu tersebut.

Melindungi diri dari sosok yang berbahaya adalah sebuah keharusan, setidaknya Ia bisa merasa aman meski hanya sejenak. Ia tidak tahu apa yang mungkin saja akan Ghani lakukan, pria itu bisa saja kemungkinan kembali untuk menyerangnya.

Ia mundur kembali untuk mendudukkan diri di sisi ranjang, memeluk perutnya yang masih terasa nyeri masih dapat di tahan. Berusaha keras otaknya berpikir untuk mencari cara agar bisa kabur dan terbebas, masalahnya Ia mengetahui ada banyak bagian yang harus dirinya lewati untuk hanya bisa keluar dari pendopo tersebut.

***

 

Malam di tempat yang asing bagi Sarah maupun Hanan, membuat mereka berdua tidak dapat memejamkan mata meski waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Mereka memang berbeda kamar, tetapi kamar mereka justru memiliki pintu terhubung dari dalam. Hanan berada di ranjang, tengah sibuk bekerja lewat laptopnya.

Dia punya tanggung jawab pekerjaannya, meski bagaimanapun masalah sang ibu yang tidak bisa di kunjungi masih terus mengganggu pikirannya. Sedang di sisi kamar lain, Sarah juga masih mematut smartphonenya dengan raut serius. Bukan mengurusi pekerjaan seperti yang dilakukan Hanan, melainkan tengah mencari tahu tentang Rumah Sakit Jiwa Amanpura yang sebelumnya mereka kunjungi.

Menurut informasi yang Dia dapat dari internet, itu adalah bangunan lama sejak peninggalan jaman Belanda. Sudah sangat tua dan bahkan harus di renovasi besar-besaran, sebelum kemudian di alih fungsikan menjadi bangunan rumah sakit. Awalnya rumah sakit biasa pada sekitar tahun 40 an, namun di ubah menjadi rumah sakit jiwa sejak tahun 60 an.

Memang tidak ada yang aneh dari perubahan kegunaan rumah sakit tersebut, masih sama-sama rumah sakit meski yang di rawat memiliki pasien berbeda. Hanya saja, ternyata rumah sakit tersebut tidak dibangun langsung dengan adanya campur tangan pemerintah daerah setempat, melainkan di bangun oleh sebuah yayasan yang juga menaungi beberapa rumah panti jompo dan panti asuhan. 

Dengan menggali semua informasi terkait yayasan tersebut, yang menaungi semua rumah panti serta rumah sakit jiwa Amanpura. Ternyata pemimpin terakhir sebelum dipindah tangankan adalah seorang bernama Ananda Tjung pada tahun 1985-2010, yang kemudian di wariskan kepada salah seorang sanak keluarga setelah sang empu meninggal dunia bertahun-tahun silam.

Dan yayasan tersebut sekarang ini di pegang oleh tanggung jawab seorang wanita bernama Yohana Darmansa, yang mengambil alih rumah yayasan beserta seluruh yang dinaunginya, wanita tersebut merupakan seorang pensiunan dokter psikiater.

Tidak ada berita terkait informasi pribadi wanita tersebut yang mungkin memiliki skandal, kecuali berita tentang kerja sama antara Yayasan Aurum dengan beberapa perusahaan medikal besar di ibukota. Yang ternyata, salah satu perusahaan tersebut ialah milik mendiang paman dari pihak ibunya. Perusahaan Obyhealth. Corp. yang menyalurkan kebutuhan alat dan obat medis ke beberapa rumah sakit besar di beberapa kota, yang mana perusahaan tersebut pusatnya berada di Singapura dan kini di pegang oleh salah satu kakak sepupunya- Daniel.

Sontak itu membuatnya terpaku, menyadari semua benang yang mengarah lagi-lagi ke yang nyatanya berhubungan dengan keluarga mereka. Sungguh Dia sangat tidak menyangka, sebab di pikirnya rumah sakit tersebut mungkin seperti rumah sakit pada umumnya yang dibangun oleh pemerintah daerah setempat.

Drrrrrrrt!!

Konsentrasi Hanan yang sudah terganggu sejak awal, akhirnya pecah ketika suara dering panggilan masuk di smartphone yang berbaing di sebelahnya. Tetapi Dia malah terpaku, mematung menatap horor pada nomor tidak dikenal yang tertera. Mendadak jantungnya berdebar kencang, mengetahui mimpi buruk yang nyata itu tidak akan pernah meninggalkannya. Namun Dia sudah berjanji tidak hanya pada Dr. Annelise melainkan pada Dr. Malena juga, bahwa Dia bisa menghadapi rasa takutnya untuk mengangkat panggilan dari nomor tak di kenal yang akan terus mengganggunya.

Dengan tangan kaku menahan getar, diambilnya benda pipih itu untuk kemudian menggeser tombol hijau yang ada. Dekatkan ke telinga begitu hati-hati, seraya menghela nafas begitu pelan sembari mengepalkan satu tangan di paha.

Seperti kebiasaannya, tidak menjawab duluan sampai ada suara menyapa dari seberang. Namun detik demi detik berlalu, tidak ada suara sapaan dari siapa yang telah dirinya perkirakan. Justru semakin membuat jantungnya berdebar tak karuan, hingga di rasa hening itu juga ikut menahan laju nafasnya yang kian berat.

Mulutnya terbuka kecil, usaha keluarkan suara yang tercekat di tenggorokkan.

"halo?"

Apapun yang akan di katakan oleh si penelfon di seberang, Dia sudah menyiapkan ekspektasinya untuk sebuah jawaban. Tetapi sama sekali tidak ada jawaban apapun bahkan merdengar suara nafas pun tidak. Dan itu membuatnya semakin gugup, gusar sendiri di tempatnya.

Sampai tak berapa lama, rungunya mendengar sebuah suara. Bukan suara sapaan, melainkan detik atau denting jarum jam yang menggema dari seberang.

Alisnya mengerut dalam, tidak menyadari keringat sudah membasahi wajahnya.

Suara itu buatnya menjauhkan smartphone sejenak, hanya untuk menekan tombol speaker agar bisa mendengar dengan jelas suara detik apa itu.

Tetapi di saat yang bersamaa-

Cklek!

Dia terperanjat saat sarah muncul dari ruang sebelah, "hanan. Lo ngga bakalan-"

Telunjuknya refleks naik ke bibir memerintah Sarah untuk diam, namun panggilan itu lantas berakhir secara sepihak, yang mana bukan dirinya.

"lo ngapain masuk tiba-tiba!?" gebunya menyentak Sarah.

Menyebabkan Sarah mengerut alis heran, "ya gua mau nunjukin lo sesuatu"

"tadi itu ada yang telfon tapi ngga menyapa! Cuman bunyi detik jam aja! Gua yakin itu dia! Kenapa lo harus masuk di saat yang ngga tepat sih!"

Sarah mendekat ke arah ranjang, melihat kepanikan Hanan yang sedang menelfon nomor barusan berulang kali. Tapi reaksi keras Hanan juga buatnya kesal, "ya mana gua tau kalian lagi telfonan"

"itu bunyi detik jam, gua yakin itu bunyi jam. Pasti dia sengaja, dia mau ngerjain gue. Dia ngejek gua sar!" gebu Hanan menatapnya cemas, tak berhenti untuk menelfon nomor terakhir yang terdengar tidak lagi aktif.

 

Meski begitu, kecemasan Hanan tidak menghentikannya untuk menjelaskan temuannya, setelah dengan tegas menyadarkan kakak sepupunya itu. Menunjukkan semua yang ditemukannya, lalu menyimpulkan garis besar dari apa yang membuat Hanan seketika termangu bisu.