20

Kompleks Sentosa di mana kediaman Malena berada, pagi itu di datangi oleh mba Kanya yang masih berada di dalam mobil di bahu jalan seberang. Kenakan pakaian semi-formal khas hendak pergi bekerja, tetapi Dia memutuskan singgah sebentar setelah mengantar kedua putrinya ke sekolah.

Begitu melihat situasi kompleks cukup lenggang, barulah Dia keluar dari mobil dan segera menyebrang menuju rumah Malena berada. Namun kali itu Dia bukan menuju pagar yang sudah jelas tergembok dari luar, melainkan memutar ke halaman belakang di mana ada pintu pagar kecil yang setahunya tidak memiliki kunci apapun. Tetapi pintu pagar itu memang di pagari juga oleh semak belukar, yang mengelabui siapapun tak mengetahui pagar tersebut tidak memiliki kunci seperti seharusnya.

Dengan mengendap-endap, Dia berusaha membuka pagar tersebut tanpa timbulkan suara apapun. Tentu saja itu adalah tindakan kriminal, meskipun Malena adalah teman baiknya, tetap saja jika ada yang melihat dirinya bisa di laporkan ke pihak berwajib.

Temukan halaman belakang yang sudah di penuhi dengan dedaunan berserakan, menandakan bahwa tidak ada seorang pun yang datang untuk mengurusnya. Dia terus berjalan menuju pintu belakang yang juga tertutup, berharap itu tidak di kunci sehingga bisa di buka tanpa perlu membobolnya.

Sayangnya, Dia tidak memiliki pilihan selain membobol kediaman Malena. Tentu saja untuk menemuakn sebuah bukti, atau apapun yang bisa menguatkan kecurigaannya. Bahwa menghilangnya Malena bukan semerta karena wanita itu ingin pensiun dini, melainkan karena tindakan seseorang.

Klek! Klek!

"huffhh!! Sial" dengusnya masam, mendapati pintu tersebut ternyata di kunci dari dalam.

Kepalanya mendongak, untuk menemukan apakah CCTV yang menyorotnya menyala, ternyata tidak. Dia kemudian mengintip dari sela gorden yang sedikit tersingkap, hanya untuk melihat kekosongan di dalam. Tangan yang masih memegang gagang pintu, sekali lagi bergerak tidak mengubah fakta bahwa pintu itu terkunci.

Menengok ke semua jendela yang ada, Dia memilih memeriksa mereka satu-persatu menggunakan teropol yang ditemukan dalam ember khusus berkebun. Meski tidak menaruh harapan bahwa ada yang kemungkinan saja tidak terkunci rapat sebab Malena begitu teliti dengan rumahnya. Dan ketika Dia sampai di jendela yang merupakan bagian dari ruang kerja Malena, sedikit mencungkil yang ternyata bisa terbuka dengan mudah.

Netranya melebar dengan senyum semringah kemudian, melempar teropol tadi setelah di gunakan. Mba Kanya tanpa ragu masuk ke dalam ruang tersebut tanpa kesusahan, untungnya jendela itu tidak memilik teralis seperti sebagian besar jendela di depan.

Itu bukan ruangan khusus konseling bersama para pasien, melainkan hanya ruang biasa tempat Malena bekerja seorang diri. Dia sangat mengenali seisi rumah Malena bagaikan rumah sendiri, tempat itu sangat tidak asing untuknya. Dan Dia merasa bersyukur bahwa ruangan itulah tempat yang memang ingin dirinya datangi, yang pastinya menyimpan banyak hal penting selain dokumen para pasien. 

***

Untuk kedua kalinya, Hanan dan Sarah kembali lagi mengunjungi RSJ Amanapura pada jam yang sama seperti kemarin. Dengan harapan kali itu mereka diijinkan masuk oleh si satpam, meski Sarah berada di tim yang berbeda dengan Hanan.

Dia di jok penumpang sebelah, bersedekap dada dengan raut mengerut tak semangat. "lo yakin kali ini kita bakal di ijinkan masuk? Gua sih ngga yah" sewotnya membuka percakapan.

Hanan tetap santai menyetir, "apapun itu harus di coba, mana kita tahu udah bisa atau belum".

Dengusan Sarah jadi jawaban, "keyakinan lo itu semu" menoleh kilas.

"setelah apa yang gue beberkan kemarin, lo masih aja keras kepala" sungutnya membuang pandangan keluar jendela kembali.

"belum tentu sesuai dugaan lo. Bisa aja itu hanya urusan bisnis" balas Hanan datar, terkesan acuh.

Kali itu Sarah menoleh sepenuhnya, tidak lagi bersedekap lengan.

"mereka itu sama nan. Sama-sama terganggu kejiwaannya" tegasnya sedikit menggebu.

Hembus nafas kasar si Hanan, "udahlah sar, kalo lo emang khawatir dan ngga mau ikut masuk. Lo bisa tinggal di luar dan diam" sudah sangat jengah dengan apapun ketidak setujuan Sarah dengan perjalanan mereka sejak awal.

Melihat kejengahan Hanan juga membuatnya jengah, buang pandangan lurus dengan raut murung sedikit sendu tatapannya.

"gua ngasih tau lo supaya hati-hati aja sama mereka berdua, ngga usah keras kepala hanya demi nyokap lo".

Dan begitulah selanjutnya perjalanan mereka lakukan, diam seribu bahasa seperti seharusnya setelah perbedaan pendapat masing-masing. Sarah bersama kekhawatirannya setelah mengetahui jaringan bisnis antara RSJ tersebut dengan perusahaan medikal milik salah satu kakak sepupunya yang mana salah satu pemegang sahamnya adalah Ghani sendiri, sementara Hanan hanya khawatir jika usahanya untuk bertemu ibunya kali itu mendapat penolakan lagi.

Bruuum! 

Mobil berhenti di bahu jalan seberang RSJ Amanpura, itu dilakukan karena mereka melihat ada sebuah mobil sedan mewah yang baru saja keluar dari gerbang tersebut dipandu leh satpam yang kemarin. Buat mereka berpikir bahwa hari itu mungkin adalah kesempatan baik bagi mereka untuk bisa berkunjung, segera buat Hanan tancap gas mendekati gerbang tersebut yang sudah di tutup kembali oleh si satpam begitu saja.

Begitu mereka keluar dari mobil, satpam yang berjaga juga masih sama seperti kemarin sudah menunggu di balik pagar sana. Sarah sendiri masih merangkul lengan Hanan, menatap penuh curiga pada si satpam yang sempat meliriknya seperti kemarin.

"selamat pagi pak" sapa Hanan mencoba ramah, tetapi si satpam tetap berwajah datar nan tegas.

"belum waktunya untuk kunjungan, maaf atas ketidak nyamannya" ucap si satpam tanpa basa-basi dan hendak berbalik.

"tapi pak- yang barusan itu?" tanyanya sedikit menggebu, buat si satpam berbalik tapi tetap menjaga jarak.

"itu tamu penting, bukan pengunjung".

"pak, kalo gitu saya mau tanya. Apakah benar ada pasien dengan nama Grace Tantono atau Grace Atmawijaya?"

Satpam itu nampak menghela nafas jengah kala membuang pandangan kilas,

"kalian bisa datang kembali nanti".

Hanan segera melepas rengkuhan Sarah untuk maju mendekati pagar, "pak, tolong pak. Dia itu ibu kandung saya, saya jauh-jauh datang kemari untuk ketemu sama dia" gebu Hanan tak tertahankan, memegang jeruji pagar bak tahanan.

Si satpam nampak tidak bersimpati, sedang Hanan melupakan harga dirinya dengan memohon seperti itu. Melihat semua itu, Sarah makin merasa ada sesuatu yang salah dan mencurigakan tengah di tutupi oleh si satpam. Apalagi Dia menyadari bahwa satpam itu seperti paham bahwa dirinya tengah dimatai, langsung merubah sikap menjadi lebih profesional.

"saya tidak punya hak untuk mengkonfirmasi itu pak. Kecuali pihak rumah sakit langsung, dan saat ini sedang tidak bisa untuk berkunjung" geleng si satpam. 

"terus kapan waktu tepatnya saya bisa datang kemari lagi?"

"anda bisa datang nanti. Permisi" dengan jawaban itu, si satpam kemudian berbalik dan menjauh dari pagar tanpa perduli untuk berpamit pada mereka.

Sarah maju dengan raut mengerut kesal, "sialan tuh satpam. Aturan dari mana kayak begitu. Ngga profesional banget!" gerutunya.

"kalo emang ngga bisa konfirmasi yah minimal kasih tau kejelasan kek. Tai banget!"

Malah Dia yang menggerutu bukannya Hanan, yang pria itu lakukan hanya menatap nanar menelan penolakan pahit barusan. Sarah melihat sepupunya itu langsung tidak semangat, buatnya merasa sangat prihatin.

"terus sekarang gimana? Kita udah di tolak dua kali" ungkapnya, mengusap lengan si empu yang sudah berbalik menuju mobil mereka.

"kan udah gua bilang, pasti ini ada campur tangan sama kakak lo. Makanya lo ketolak terus".

Dan Hanan tidak mendengarkan itu sejak awal, di kepalanya hanya kesedihan yang menyeruak karena belum bisa bertemu dengan sang ibu. Dia merasa perjalannya menjadi sangat sia-sia, dan itu semakin menguatkan kemarahan dalam dada karena seseorang.

*** 

Setelah kepercayaan diri mba Kanya yang berhasil membobol masuk ke kediaman Malena untuk mencari sebuah bukti, berpikir bisa dengan mudah menggeledah semua tanpa kekhawatiran. Nyatanya itu justru membawanya pada masalah yang memang Dia takutkan akan terjadi sejak awal, yakni Dia ketahuan dan dilaporkan kepada pihak berwajib.

Salah seorang tetangga seorang ibu-ibu berusia 50an yang rumahnya berjarak dua rumah di sebelah rumah Malena malah justru memergokinya saat hendak masuk melalui pintu pagar belakang, dan langsung menelfon polisi tanpa ba-bi-bu. Membuat mba Kanya tak sampai 20 menit berada di dalam rumah karena mendengar sirine polisi yang datang dan memaksanya untuk segera keluar, tentu saja setelah memberinya peringatan.

Mba Kanya hanya bisa memasang raut wajah menyesal dengan kepala menunduk, enggan melihat sang suami yang sampai harus datang menjemputnya, meminta maaf kepada pihak kepolisian serta si ibu yang menjadi saksi itu.

"sekali lagi saya memohon maaf atas tindakan tidak terpuji istri saya pak, terima kasih atas pengertiannya" ujar mas Tio seraya menunduk dalam, sangat sungkan dan malu.

 

Bruk!

Keduanya masuk ke dalam mobil yang terparkir, dengan raut datar masing-masing menyimpan rasa kesal dan malu, serta murung karena rencananya gagal.

Selepas pakai seatbelt masing-masing, mas Tio tidak langsung menyalakan mobil. Sementara mba Kanya bersedekap lengan di duduknya, membuang pandangan keluar jendela.

"hidup ini bukan seperti di game atau film kanya, kamu sadar tindakan kamu itu sangat tidak mencerminkan profesi kamu" ucap mas Tio dengan suara rendah, terkesan menahan emosi.

"iya aku sadar. Tapi keyakinan dan firasatku kuat" balas mba Kanya acuh.

Mas Tio hembusan nafas kasar seraya menoleh, "bisa ngga sih kamu berhenti mengurusi kehidupan teman kamu itu? Dan mulai mengurusi hidup kamu sendiri, rumah tangga kita" tegas mas Tio.

Undang alis mba Kanya berkerut heran, "apa yang salah dengan hidupku? Rumah tangga kita juga udah baik-baik aja kan? Ancaman itu udah berhenti".

"dia itu orang lain kanya, dia juga bukan anak-anak lagi yang harus diperdulikan. Mau sampai kapan kamu mengurusi hidup dia sementara ngurusin anak-anak kamu aja belum beres!" gebu mas Tio tidak lagi menahan diri.

Dan mba Kanya tidak mau kalah mendebat, "ngga ada yang salah dari anak-anak! Kamu lupa siapa yang paling banyak membantu mengurus jihan sama diana di saat kita berdua terlalu sibuk? Itu Malena!"

"dan dia merusak pikiran anak-anak kita" ketus mas Tio gigit rahang, "karena kamu dengan rasa ngga percayamu sama orang selain dia" netranya tajam menatap sang istri yang rautnya juga menegang. 

"apa kamu bilang?!"

Mas Tio rasanya sudah tak bisa lagi menahan diri dari apa yang selama ini mengganggu pikirannya, sebab tindakan sang istri sudah terlampau jauh untuk sesuatu yang Dia anggap tidak penting bagi rumah tangga mereka yang menurutnya tengah goyah.

"kamu pasti ngga sadar karena pikiran kamu juga udah di pengaruhi sama perempuan itu! Kalian udah berubah dan cuma aku di sini yang masih waras!" suara mas Tio sedikit meninggi.

"kamu bercanda ngomong begitu kan?"

Pria bertubuh tambun itu sejenak membuang pandangan, "coba saja kamu refleksikan hidup kamu sekarang dengan yang sebelumnya, lihat saja sikap dan sifat anak-anak kamu sekarang dan sebelumnya" cengkram setir mobil untuk menahan kesalnya.

"itu semua bukan karena waktu yang mengubah, tapi karena kalian sudah kena brainwash sama perempuan itu!"

Mba Kanya tidak pernah selama usia pernikahan mereka berjalan, melihat kemarahan sang suami atas sesuatu yang sepele. Bahkan memarahi kedua putri mereka saja tidak pernah, kecuali menegasi mereka seperti seharusnya didikan orang tua. Dan ketika mereka tengah menghadapi masalah apapun, mas Tio adalah sosok yang selalu berkepala dingin untuk menemukan solusi agar bisa diselesaikan, apapun itu.

"dari awal aku udah ngga suka sama dia, apalagi waktu dia menawarkan diri untuk bantu mengasuh jihan dan diana. Kamu keras kepala dengan terima itu dan membantah usulan aku untuk nyari babysitter sendiri, sampai-sampai aku mengalah karena ngga mau kamu makin marah" ungkap mas Tio panjang lebar, "sekarang lihat keperdulian kamu ke dia terlalu berlebihan, sedangkan kami tersisihkan!"

Melihat kemarahan sang suami kini, meski terkesan sangat menahan diri agar tidak kelepasan meninggikan suara karena tengah berada di tempat umum. Membuatnya merasa gusar seketika, hanya bisa membisu dengan kedua tangan mengepal kuat di pangkuan.

*** 

Intuisi yang kuat berasal dari firasat yang mengganggu pikiran, pengalaman ketika membaca mengenai adanya situasi yang salah. Menjadi seorang dokter khususnya menangani masalah kejiwaan, asumsi liar datang menciptakan dorongan untuk temukan jawaban berdasarkan pengamatan terhadap sifat dan sikap manusia. Tetapi teori seperti itu belum tentu valid, sebab nyatanya sifat dan sikap manusia dapat berubah ketika pola pikir diubah.

Manusia itu makhluk yang sebenarnya tidak sulit untuk dibaca dan ditebak, tetapi karena kompleksitas otak mereka. Kebiasaan terkadang dapat berubah-ubah berdasarkan apa yang mereka baru saja saksikan, atau bisa jadi karena trauma.

Namun ada lagi teori yang mengatakan bahwa, meskipun otak merupakan bagian yang begitu kompleks untuk dipahami. Ada satu bagian tubuh yang juga sangat cerdik menyimpan sifat asli manusia, tidak berdasarkan sikap maupun perilaku, yakni mata.

Mata merupakan bagian konkrit di mana sifat dan perilaku manusia tidak dapat di tutupi. Bagi sebagian orang yang kurang teliti membaca kebohongan melalui mata, akan menganggap orang yang dihadapi tersebut tidak menyimpan kebohongan apapun. Padahal justru, lebih mudah mengetahui kebohongan itu sendiri melalui mata seseorang. 

Seperti jaringan data yang tidak selalu aman. Mata juga bukan merupakan bagian yang dapat menjaga rahasia. Bagaimana cara mengetahuinya? Seseorang harus benar-benar menguasai ilmu pengendalian diri dengan sangat baik, dan tidak berusaha memancing melalu sikap yang dapat dikelabui. Seseorang tersebut, harus mampu masuk ke dalam pola pikir yang dihadapi, dan memahaminya untuk bisa dapat menemukan kebohongan yang tengah usaha ditutupi.

 

 

Dengusan masam menjadi reaksi, kala buku yang baru dibaca ditutup kemudian. Netra sipit menyimpan jelaga beri kesan tajam, mengedarkan pandangan ke arah lapangan di hadapan. Ramainya pengunjung menonton pertandingan basket siang itu, disertai sorak yang menyemangati permainan kian memanas. Hal yang biasa terjadi di lapangan khusus sewaan bagi siapapun yang ingin berdanting, dan bukan hanya lapangan itu satu-satunya sarana olahraga yang ada. Tetapi Dia terbiasa hanya menonton pertandingan basket jika ada, ketimbang olahraga lainnya.

Buku diletakkan ke pangkuan, menjadikan nampan bagi kotak karton khusus berisi sepotong sandwich tersisa. Sementara satu lagi potongan sudah berada dalam genggaman, disantap dengan begitu santai sembari menonton pertandingan. Ada satu gelas sterofoam di sebelahnya, berlogo salah satu kedai kopi yang biasa di belinya.

Ghani mengambil tempat duduk di salah satu teribun paling atas, sedikit berjarak dari penonton lainnya. Itu adalah spot khusus dirinya jika datang, tempat yang tidak begitu di sukai oleh penonton lainnya karena terlalu jauh jika ingin menikmati menonton pertandingan. 

Buku yang menjadi nampan di pangkuannya itu, adalah buku yang baru dirinya ambil dari perpustakaan galeri. Buku tentang psikologi yang di tulis oleh seorang dokter Tanah Air, Kanya Suryadimo, S.Psi, M.Psi.

Buku sejenis itu bukan satu-satunya yang biasa dirinya baca, mulai dari buku dari tanah air sampai mancanegara pun sudah dibacanya. Namun Dia belum menemukan satu pun buku yang di tulis oleh Malena selaku dokter psikiater dengan reputasi dan pengalaman segudang pula, sampai lelah Dia mencari lewat di situs khusus jurnal bahkan profil wanita mungil itu. Entah kenapa Malena belum mempublish tulisan apapun, padahal sudah cukup lama berkarir.

Rautnya terus tersenyum, disela mengunyah makanannya dengan khidmat. Pandangan berada di tengah pertandingan, namun isi kepala melang-lang buana akibat bacaannya barusan.

Apa yang di tulis di buku tersebut tidak salah, namun juga tidak sepenuhnya benar, karena ternyata seorang dokter bisa beromong kosong seperti seorang penulis amatir juga.

Padahal sebenarnya, Dia sedikit menyetujui sedikit isi buku tersebut. Hanya terlalu gengsi untuk mengakuinya, bahwa apa yang tertuang di buku tersebut seperti menggambarkan tentang dirinya.

Priiiiiiiit!

Tiupan panjang peluit menjadi tanda berakhirnya pertandingan, dengan skor unggul pada tim dari sebuah SMA Swasta yang melawan SMA Negeri. Kedua tim nampak saling bersalaman sebagai tanda sportif selepas bertanding, suara sorak-sorai makin riuh ketika tim dukungan menang, namun pendukung yang kalah pun tidak berkecil hati.

Ghani masih di duduknya sedang menyesap kopi sedikit demi sedikit, belum ada keinginan untuk beranjak meski makanannya pun sudah habis. Dia sudah terbiasa dengan makanan instan demikian kala tinggal sendirian, dan kembali pada kebiasaan awal karena tamu di rumah tidak bisa menelan makanan lebih dari 20 menit tanpa muntah ketika makan bersamanya.

Itu agak membuatnya teriritasi, sedikit tersinggung karena Malena seperti jijik terhadap keberadaannya. Tetapi Dia yakin Malena tidak berbohong soal kondisinya, Dia sudah melihat sendiri dari CCTV yang ada. Gejolak itu bukan pancingan seperti sengaja dilakukan oleh orang dengan gangguan makan, Malena bahkan bersusah payah menahan gejolak itu meski percuma.

Dia menjadi sangat penasaran apa alasannya, tetapi Malena sangat pandai dalam membalas omongannya.

Kepalanya menoleh saat menyadari kedatangan seseorang, wanita bertubuh sintal dengan gaun gantik yang lumrah di gunakan wanita-wanita pada umumnya. Wanita itu membawa bento makanan instan dan segelas jus buah, serta mengenakan tas salempang kecil nampak tidak berguna.

"permisi" ucap si wanita dengan sopan, lalu mendudukkan diri di sebelahnya hanya berjarak 2 meter kurang.

Dia abai, pilih kembali membuka buku untuk di baca. Sedangkan si wanita mulai menyantap makanannya dengan santai, tak menyadari bahwa sosoknya tengah diamati oleh empu di sebelahnya, yang mana tengah mengamati bentuk kakinya yang terpampang.

Tetapi kala si wanita mengangkat kepala untuk edarkan pandangan, perhatian Ghani sudah pada buku. Menurutnya, kaki wanita itu cukup bagus, namun tidak seindah milik Malena yang ramping dan terpahat sempurna. Mengingat itu buatnya tersenyum kecil, gigit bibir karena gemas.

"buku yang menarik" ucapan itu menarik perhatian Ghani untuk menoleh.

Wanita dengan pipi sedikit chubby itu tersenyum di sela mengunyah yang pelan, "saya pernah baca".

"kamu juga suka buku seperti itu?" tanya si wanita lagi.

Cover buku ditutup tanpa jari pindah dari halaman yang tengah dibaca, hanya untuk melihat lagi. "ini iseng saja" balas seadanya, tampilkan senyum terkulum.

Tidak setiap hari dirinya di ajak bicara oleh seseorang, atau dirinya yang mengajak bicara seseorang. Tapi hari seperti itu dan ini selalu ada, meski tidak sering.

"saya juga lagi ngambil kuliah psikolog, karena baca buku itu menarik" kata si wanita dengan sikap sungkan.

Mendengar itu, Ghani tutup buku dan tinggalkan di sebelah sampah sisa makanannya barusan. Naikkan dua kaki ke kursi teribun bersila dengan santai, lalu tumpu kedua lengan di sana. Tidak perduli dengan sikap yang kurang sopan itu di hadapan seorang wanita yang tengah makan, Dia tidak pernah perduli dan sebenarnya tengah sengaja. Dia ingin melihat bagaimana tanggapan wanita tersebut jika sikapnya demikian, yang nampak di abaikan oleh si wanita tersebut.

"kamu masih kuliah?"

Si wanita mengangguk pelan di sela mengunyah, "iya, baru semester 4 sih. Sudah mulai pening kepala" seraya memangku anggun kakinya, mulai merasa nyaman.

Tubuh Ghani bahkan sedikit mencondong miring, "menurutmu menarik mempelajari sifat manusia?"

Sebenarnya, si wanita sedang menahan tersipu. Ghani nampak bebas dan santai, tidak menyangka Dia akan ditanggapi hanya karena omongan di awal. Sebab pria bercelana dungaress denim itu nampak serius sebelumnya. Sudah dirinya perhatikan sejak awal menjadi penonton, sebelum beralasan pergi dan membeli makanan untuk bisa kembali ke teribun itu di waktu pas pertandingan telah selesai.

Meski teribun sudah mulai lenggang dari keramaian, kecuali dua tim tadi tengah bersiap-siap menyimpan dan masih di temani para pendukung mereka. Dua sosok yang tengah asik berbincang di teribun paling atas justru asik dengan momen mereka sendiri, abai pada situasi ramai yang ada.

"iya, dengan mengetahui sifat-sifat manusia. Kita bisa menjadi lebih waspada dan ngga mudah tertipu".

Ghani hanya tersenyum lebar, menahan rasa ingin hamburkan tawa mendengar pernyataan polos itu. Wanita muda di sebelahnya itu benar-benar baru dalam mengetahui dunia psikologi, itu membuatnya sedikit gemas untuk mengetahui lebih dan lebih.

"kalo saya bilang semesta ini punya saya, apa kamu percaya?" akunya bertanya.

Tunjukkan masih raut santai dengan senyum semringahnya, membuat si wanita memasang raut terheran.

"hah?"

Itu terlalu tiba-tiba, dan Dia bahkan tidak ada berpikir terlalu jauh. Mengamati pria di sebelahnya yang entah serius atau tidak, justru buatnya seketika merasakan keraguan bercabang.

"menurutmu?" tanya Ghani menaikkan alisnya, menunggu jawaban.