21

Kenangan buruk di masa lalu merupakan hal yang paling Ia benci untuk ingat kembali, tetapi otaknya selalu dapat mengelabui pikirannya sendiri. Apa yang telah Ia lakukan agar dapat menghapus ingatan itu jelas tidak akan bertahan selamanya, terutama jika ada alasan terlalu kuat kenapa ingatan itu bisa kembali muncul.

 

Dahulu rumah itu nampak sangat hidup, terlalu hidup sampai membuat banyak orang iri akan kebahagiaan yang selalu terlihat dan terdengar dari sana. Ia bahagia saat itu, dengan pemikiran polosnya, dan segala yang terkesan simpel di matanya. Tidak ada kesulitan yang Ia hadapi, kesibukan kedua orang tuanya yang memang bekerja masing-masing.

Semuanya begitu indah dan sederhana, keluarganya terlalu harmonis, ayah-ibu saling mencintai, dan mereka pun menyayanginya sepenuh hati.

Tidak ada kebohongan yang ternampak, tidak ada perasaan yang begitu menyiksa batin.

Tetapi semua itu hanyalah kamuflase, sebuah semu yang dimainkan oleh kedua orang tuanya. Kenyataan pahit akhirnya terbongkar, membuatnya kemudian sadar bahwa hidup tidak mungkin sesederhana, seindah, dan sebahagia yang dirasa.

Ibunya seorang guru TK, sementara sang ayah bekerja di sebuah firma hukum cukup ternama dan punya reputasi yang sangat cemerlang. Mereka di nilai sebagai pasangan yang sangat cocok satu sama lain, tidak ada kecacatan yang mereka tampilkan ketika berada di manapun. Namun seperti itulah mereka pandai bersandiwara, dan Ia menyaksikan semuanya dalam diam bersama pikirannya yang tidak lagi polos.

Suatu hari, ibunya dengan terpaksa menyewa jasa ART untuk membantu meringankan pekerjaan rumah, sekaligus menjadi teman bagi dirinya yang selalu kesepian jika ditinggal bekerja. Yang mana sebenarnya, tidak Ia butuhkan- namanya Yasmin.

Yasmin masih berusia cukup muda, namun tidak sedewasa ibunya. Bekerjanya pun ulet, sangat rajin, sedikit pendiam, tetapi bisa ceria ketika harus merawatnya. Lama-kelamaan mereka menjadi sangat dekat, Ia menyukai Yasmin karena bersikap sangat baik dan menyenangkan.

Dan suatu hari lain tiba, ketika kedua orang tuanya pergi bekerja. Ia sakit dan terpaksa harus beristirahat, membuatnya menjadi tidak semangat karena tidak bisa bermain seperti biasanya. Namun itu tidak membuatnya berhenti untuk mengajak Yasmin agar mau bermain bersamanya, dan wanita itu tidak bisa menolak.

Mereka berakhir memainkan petak umpet sesuai kesukaannya, Ia berjaga pertama, sementara Yasmin bersembunyi. Dan Yasmin tidak pandai bersembunyi, karena Ia lebih menghafal denah rumahnya sendiri, apalagi tubuh Yasmin cukup bongsor untuk bisa bersembunyi di ruangan sempit.

Ia pikir kali itu, dirinya akan lebih mudah di temukan. Karena hanya bersembunyi di dalam laci rak buku dalam ruang khusus menjahit milik ibunya, Yasmin juga biasa membersihkan setahunya. Ada lubang kecil di pintu laci yang membuatnya bisa melihat keluar dengan mudah, lubang yang hanya sekecil pupil matanya.

Tetapi ketika Ia mendengar suara pintu terbuka, nyatanya itu bukan sosok Yasmin- melainkan ayahnya. Yang masih memakai pakaian kantor seperti ketika pagi tadi pergi, dan Yasmin mengikuti dari belakang.

Senyumnya lambat laun hilang berganti keheranan, kenapa ayahnya pulang begitu cepat dan apa yang hendak mereka lakukan di ruang menjahit ibunya? Raut Yasmin tergambar murung, terus menundukkan kepalanya ketika menutup pintu di belakang mereka. Jelas saja membuatnya ingin keluar, tetapi rasa penasaran menahan dirinya untuk bergerak apalagi menimbukan suara.

Netranya membuat kala melihat ayahnya mulai menggerayangi tubuh Yasmin yang terus menunduk, meraba kesana-kemari apalagi menyentuh bagian yang Ia tahu sangat terlarang bagi lawan jenis untuk sentuh- berdasarkan ajarn sang ibu.

Nafasnya memberat, dengan tubuh semakin kaku. Menyaksikan Yasmin yang di paksa bersimpuh di hadapan ayahnya, lalu wanita itu mulai melepas ikat pinggang sekaligus celana. Ia tidak ingin melihat lebih jauh, tetapi sekujur tubuhnya terlalu kaku sehingga tidak dapat dikendalikan olehnya.

Suara-suara geraman ayahnya mulai terdengar, ketika Yasmin melakukan sesuatu dengan menyentuh benda aneh milik ayahnya. Seketika kedua tangannya menutup mulut, menahan mual akibat melihat apa yang Yasmin lakukan selanjutnya. Rautnya tergambar horor yang teramat sangat, melebihi ketika menonton film horor. Sebab yang tengah terjadi di depan matanya, justru lebih horor ketimbang kengerian sebuah film.

Saking Ia tidak ingin ketahuan oleh mereka, Ia sampai harus rela menelan muntahannya sendiri yang mana itu sangat amat menjijikkan. Dan suara-suara itu terus terdengar, dari kedua mulut dua orang dewasa di luar sana. Tidak ada ruang bagi dirinya untuk bisa mundur atau bergerak, jadi matanya terus terpaku pada lubang kecil itu dan menyaksikan segalanya.

Tubuhnya yang kian tumbuh tentu membuat laci rak itu menjadi sangat sempit, tidak akan ada yang menyangka bahwa laci itu berisi dirinya, terutama Yasmin.

Mulutnya mencebik, dengan tatapan berubah menjadi tajam diantara nanar. Menahan segala rasa yang timbul dalam dadanya, mengetahui ayahnya begitu jahat menyiksa Yasmin, dan telah mengkhianati ibunya sendiri. Ia mulai mengenal apa itu kebencian sejak saat itu, dan ingatan menjijikkan itu tidak pernah bisa hilang dari benaknya.

Semenjak kejadian itu, Ia menatap ayah dan Yasmin berbeda. Selalu menghindari mereka, dan bahkan muntah selepas makan jika semeja makan bersama mereka. Dan entah bagaimana bisa, tidak lama kemudian, ibunya mengetahui hal tersebut. Yasmin di pecat begitu saja, dan Ia bersyukur wanita itu pergi dari rumahnya.

Itu adalah alasan terbesar kenapa ayah-ibunya selalu berkelahi di setiap kesempatan, kehidupannya berputar 180 derajat menjadi menyedihkan dan menakutkan. Keluarganya tidak baik-baik saja sejak awal dirinya lahir, dan Ia baru mengetahui hal tersebut ketika ibunya mulai sakit-sakitan.

Ayahnya jarang pulang ke rumah, hanya 3 dalam sebulan, pun itu hanya untuk mengambil barang kepunyaan sedikit demi sedikit. Ia membenci ayahnya, itulah kenapa ayahnya tidak pernah lagi memperdulikannya jika sempat datang.

 

"!" 

Mimpi buruk kali itu terlampau panjang, netranya menangkap pemandangan di luar sana masih gelap. Kembali Ia teringat dengan mimpi barusan, sampai-sampai gejolak itu ikut terasa di dunia nyata. Tetapi saat Ia hendak beranjak, baru terasa berat yang melingkupi pinggangnya dari belakang. Buatnya mengerutkan alis, dapati lengan berkulit tan yang berurat.

"bad dreams ay?" sapa suara serak Ghani yang semakin merengkuh si mungil.

Malena tak ada waktu untuk membalas apapun, mual yang terasa sudah semakin naik menuju tenggorokkannya. Berusaha keras melepas rengkuhan yang justru semakin dieratkan, susah payah juga tubuhnya bergerak menendang selimut.

Sedangkan Ghani tahu Malena hendak muntah lagi, entah apa alasannya begitu tiba-tiba di waktu dini hari.

Segera Dia beranjak melepas rengkuhan, namun menahan si mungil yang sudah berkaca di bawahnya dengan cengkraman di leher. Keringat mulai membanjiri Malena yang terus berontak, sebelum kedua lengan itu juga berada dalam kunciannya.

Jelas saja Malena memberontak, netranya membulat begitu panik, Ia berada di situasi yang benar-benar sangat menyiksanya. Setahunya, seingatnya pintu kamar sudah Ia kunci bahkan ganjal menggunakan nakas seperti malam lalu. Lantas dari mana Ghani masuk? Bagaimana Ghani bisa masuk sedangkan sudah Ia pastikan semua jendela sudah dirinya kunci.

Dan pria di atasnya itu nampak sadar dengan apa yang Malena pikirkan dari kepanikan di kedua netra coklat yang berair itu, Dia menunduk hingga wajah sepantar dan bisa dirinya hirup nafas terengah yang berat itu. Malah membuatnya menyeringai lebar, senang melihat Malena berontak di bawahnya tanpa bisa melawan lebih.

Hingga pada akhirnya, Malena tak kuasa menahan air mata akibat rasa putus asa dan panik berada dalam cengkraman. Isakkanya terdengar diantara bungkaman kuat Ghani, memohon hanya dari matanya agar pria di atasnya itu melepasnya.

Secara tiba-tiba Ghani menyingkir setelah melepas semua cengkramannya, duduk di ranjang dengan santai melihat Malena berlari ke kamar mandi tanpa perduli apapun. Dia malah tersenyum semringah, terkekeh geli mengingat kebiasaan aneh sang dokter yang sedikit banyak membuatnya jengkel.

Suara pancuran air itu menyamarkan suara tercekat Malena yang tengah memuntahkan sisa makanannya, dan Dia merasa gemas dengan aroma lavender yang tinggal dalam genggamannya juga seluruh seprai yang ditidurinya itu. Dia sengaja tidak ingin masuk ke sana, membiarkan wanita itu menyelesaikan urusannya sendiri.

Dan tidak lama kemudian semua suara dari dalam kamar mandi hening, buatnya kembali bangkit duduk dengan keadaan shirtless dan hanya kenakan celana dalam sepaha. Duduk menunggu Malena yang baru muncul dari balik pintu, dengan wajah basah habis di basuh jelas, dan punggung tangan menutup mulut.

"sialan dokter, cara itu ngga berhasil ternyata. Mungkin kurang lama, jadi kurang efektif" ucapnya santai.

"gimana caranya kamu masuk? Semua jendela dan pintu sudah saya kunci" selidik Malena, dengan suara sedikit tercekat.

Melihat Ghani dengan gaya tidak senonoh di sana, membuat perasaannya campur aduk. Dan gejolak itu masih terasa, meski tidak sememaksa barusan.

Ghani setengah berdengus di duduknya, "dokter percaya kalau saya bilang punya kekuatan menembus dinding? Atau dari langit mungkin?" bernada jenaka.

Malena sedang tidak dalam suasana untuk menanggapi candaan murah itu, meski biasanya Ia juga tidak demikian. Ia masih bertahan di berdirinya, enggan bergerak karena harus waspada. Sebab menyadari bagaimana Ghani mematainya begitu lekat, meski di tengah keremangan yang ada. Rasa tidak nyaman itu menyeruak.

Ia menghela nafas berat, usaha menenangkan dirinya. "tolong jangan ganggu saya malam ini" lehernya sedikit menegang.

"saya justru lagi berusaha untuk bantu dokter".

"tolong, ghani" desah Malena lemah tanpa sadar.

Yang justru malah membuat senyum semringah Ghani kembali merekah, "dia juga bilang begitu, tapi tanpa menyebut namaku" cibirnya cemberut.

"saya suka namaku di panggil sama dokter. Boleh sebut ulang? Tapi lebih lembut yaah" ucap Ghani sedikit bernada manja.

Buat Malena justru semakin jengah, topang badan di nakas yang ada saking berat rasanya untuk berdiri tegap terlalu lama. Apalagi Ia tidak ada energi untuk menanggapi maksud perkataan pria itu baru saja, fisiknya lemah, dan pikirannya kurang fokus.

Melihat betapa lemah Malena di hadapannya, justru buat Ghani sedikit merasa senang, Dia gemas lebih tepatnya. Sebab Malena biasa terlihat kaku dan anggun di hadapannya, selalu menanggapinya sarkas atau sengaja menyinggungnya. Kecuali Malena selalu anggun, Dia tidak menyangkal itu.

Dia ubah gaya duduk menjadi bersila dengan lengan bersedekap, "ayolah dokter, ngga ada salahnya tidur sama-sama. Saya ngga ngapa-ngapain dokter kan dari tadi, cuma peluk doang" rayunya sekali lagi.

"tapi dokter malah mimpi buruk, dan muntah lagi" sungutnya cemberut.

Malena menggeleng lemah seraya menundukkan kepalanya, "tolong jangan ganggu saya malam ini, saya mohon" pintanya setengah bergumam. 

Berharap pria itu bisa mengerti dan membebaskannya, "kita bisa bicara besok pagi". Ia tidak tahu apakah gejolak mual itu akan bisa ditahan jika berdekatan dengan Ghani lagi atau malah makin parah, Ia hanya takut mengotori apapun.

Pria itu justru kehilangan senyumnya, "rumahku aturanku" tegasnya pelan.

"kalo tidak malam ini, saya akan terus ganggu dokter setiap malam. Ini bukan negosiasi dokter" dan Ghani yang dingin kembali lagi, bersama ancaman lainnya.

Bahkan sudah berbaring telentang memakai lengan jadi bantal, "muntah saja di lantai, nanti di bersihkan juga" ucapnya dengan netra menatap lurus kubah langit-langit yang temaram.

Nafasnya terhela berat, tidak ada yang bisa dirinya lakukan untuk mengusir pria itu. Menemukan dari mana Ghani bisa masuk pun Ia tidak bisa, kepalanya sedang tidak bisa digunakan untuk fokus. Gejolak mual itu melumpuhkan semua indera nya, dan mau tidak mau Ia harus bisa bertahan malam itu. Sebab Malam sebelumnya, Ia bisa tidur dengan damai tanpa gangguan apapun. Entah kenapa, Ghani mulai berpikir untuk mengganggunya.

Dengan langkah tertatih, Ia mendekati ranjang kembali. Abai pada Ghani yang mengintip lewat ekor satu matanya, kemudian sedikit menyingkir memberinya ruang. Naik ke ranjang sedikit berat, mengambil tempat di ujung dan berbaring meringkuk punggungi sang empu jelaga.

Ia berusaha menutup kelopak mata, meski sedikit-banyak Ia merasa cemas jika Ghani kembali mengerjainya. Dan hal yang memang Ia takutkan terjadi, lengan dari belakang langsung melingkar apik di lekukan pinggangnya, dengan jarak berbaring dipangkas habis tak bersisa.

Memang sialan- batin Malena mengumpat.

Dadanya berdebar makin tak karuan, dengan kaki semakin rapat melindungi perut bawahnya. Tangannya saling menggenggam untuk menutupi bagian dada, mau melawan percuma, energinya sudah tidak ada setelah gelombang sebelumnya. Nafasnya terhela berat, dan serasa sesak ketika harus mengambil udara. Sebab hembusan hangat menerpa leher belakangnya, membuat tubuhnya terpaku tak berdaya.

Ghani tahu Malena sedang menahan diri dengan usaha kuat, reaksi tegang tubuh wanita mungil itu semakin membuatnya eratkan pelukan.

"dokter mungkin mau dengar ceritaku mengenai kejadian tadi siang" ucapnya tepat di telingan Malena yang sedikit beringsut, tidak membuat pelukan melonggar.

Aroma lembut lavender menguar begitu segar, entah bagaimana caranya aroma itu begitu lekat tertinggal hanya pada Malena. Dan Dia menyukainya, itu membawa rasa tersendiri yang jarang Dia rasakan.

"mengenai apa?" tanya Malena pelan, menggigit rahang setelahnya untuk menahan gejolak mual yang kembali muncul.

Ia bergerak tidak nyaman, tetapi bahkan pelukan Ghani tidak melonggar. Ia merasakan sesuatu yang mengganjal, itulah kenapa Ia menjadi sangat tidak nyaman. Ghani sendiri memilih abai, justru kembali dirinya ingat soal kejadian siang tadi ketika seorang wanita datang dan mengajaknya berbincang.

"perempuan ini bilang, dia mau jadi psikolog. Setelah membaca buku 'psikologi berdasarkan indera' dari seseorang yang kamu kenal, buku yang sempat saya bawa juga saat itu" ungkap Ghani sedikit mengingat-ingat, "menurut dokter. Apakah teori yang dituangkan dalam buku itu benar? Apakah dokter pernah menelitinya?"

Ia sedikit menunduk untuk heindari hembusan nafas Ghani yang menerpa terlalu dekat, akibat pria itu menaikkan kepala hendak menengoknya. Malah menyimpan kepala sedikit lebih tinggi darinya, sebabkan jarak mereka sedikit menipis.

"cara seseorang dalam memahami sesuatu itu berbeda. Karena otak manusia sendiri di rancang sesuai kapasitas berpikir mereka, bagian yang paling kompleks dari seluruh organ tubuh manusia itu ya otak" balasnya usaha tetap pakai logika.

"jadi?" tanya Ghani.

"benar, yang masih harus di pertimbangkan"

Jujur, pelukan Ghani itu hangat, tidak sehangat bergelung dalam selimut. Ini hangat yang berbeda, dan Ia harus terus menyadarkan dirinya bahwa pria di belakangnya itu tetap sebuah ancaman.

"berarti menurut dokter sendiri itu tidak valid?"

Berbicara dengan seseorang yang waras itu adalah sebuah hal yang menyenangkan, terutama dokter. Dia sadar bagaimana Malena menatapnya, tetapi tidak pernah sekalipun terkesan mencemoohnya. Tidak ada yang menatapnya seperti sang dokter, meski sosoknya bisa dibilang cukup rupawan pula. Itulah, apa yang bisa dirinya baca setelah merenungkan isi dan makna dari buku tersebut.

Tetapi Dia tidak naif, dan Malena tahu itu.

"bagaimana menurut kamu?" tanya Malena balik.

Kepalanya menggeleng kilas sebelum menjawab, "tidak valid"

Waktu berlalu, hening sebentar yang tidak berisi kecanggungan lagi. Malena sadar, bahwa rasa gejolak itu semakin kurang, masih terasa tetapi tidak separah biasanya. Dan itu membuatnya bisa kembali berpikir, sudah mendapat fokusnya untuk bisa mencerna seputar percakapan mereka.

"siapa perempuan yang kamu maksud?" tanyanya penasaran.

Ghani yang tengah menikmati ketenangan sembari menutup mata, lantas tersenyum lebar. "dokter penasaran? Dokter cemburu yah?" semakin menempelkan pipinya ke kepala sang dokter seperti sebuah boneka.

"kamu suka melukis" kata Malena, sengaja mengalihkan topik seketika.

Buat Ghani semakin semringah tersenyum, Dia menyukai perasaan ringan dalam dadanya. "ya dokter. Itu hanya hobi".

Berat kaki Ghani menindih kakinya, tetapi hangat itu menjalar ke sekujur tubuhnya. "di mana kamu melukis? Saya boleh lihat?" 

Sebenarnya, Ia membutuhkan sesuatu untuk bisa menjadi penyelamatnya. Apapun itu, Ia harus bisa temukan. Kelemahan Ghani, atau kelemahan pendopo ini.

"dokter mau saya lukis? Saya belum pernah loh melukis perempuan, apalagi dokter".

Malam itu tidak seperti malam biasanya, entah label mereka sudah berubah jadi apa. Tetapi ikatan mereka semakin lama, akan semakin membingungkan. Jika Malena belum bisa mampu memahami Ghani sepenuhnya, dan sementara Ghani tidak dapat membaca tendensi sebenarnya sang dokter.

"saya tidak pantas untuk di lukis" dengus Malena pelan, seketika rasa pelukan semakin erat.

Wajah Ghani merunduk hingga sepantar telinga Malena yang hendak beringsut namun tertahan, "kamu cantik niana, terlalu menarik" kata Ghani dengan suara monotonnya.

"kalau dokter bersedia, saya bisa lukis sesuai dengan apa yang saya lihat".

Merasakan jemari yang memeluknya bergerak mengelus luar gaunnya, "lain kali saja" Ia tentu langsung memegang tangan itu agar berhenti melakukannya.

Ghani abai, "selamat tidur" bisiknya, "malena".