WebNovelAnxienty!85.71%

Isi hati

Celis tiba-tiba datang menusuk perut Robert menggunakan Pedang Sumitsu.

"Berakhir sudah."

Pedang tertusuk dalam, Robert muntah darah dan pendarahan hebat di perutnya.

Robert memegang bilah pedang dengan tenaga seadanya, mencoba melepas tapi Celis mendorongnya lebih dalam.

Robert muntah darah lalu berbicara.

"Apa kau liat 2 orang tua kemarin kerumahmu?"

Orang yang Robert maksud adalah mereka yang mencari pedang Sumitsu, Mereka adalah orang bayaran yang disuruh Robert.

"Ya, aku membunuh mereka."

Robert tertawa kecil.

"Heh, Gitu ya? Sayang sekali padahal mereka sedang nyari duit."

"Siapa yang peduli."

Celis mendorong pedang lagi lebih dalam sehingga itu menancap diperut Robert.

Celis memukul keras wajah Robert berkali-kali sampai mukanya bonyok, memberi sikuan tajam, merobekkan dahi Robert.

Celis merasa tidak puas dengan itu, melihat sekitar ada ranting pohon yang lumayan tebal. Celis mengambilnya, menghadap ke Robert lagi lalu menusukkan ranting pohon tadi ke bola mata kirinya.

Robert menjerit sekeras-kerasnya, sakit yang luar biasa dirasakannya.

"KHAAAAAAHKKKKK!!!!!!!!!!"

Celis melepas menarik kembali rantingnya lalu menusukkan rantingnya lagi ke mata kanannya, Celis semakin menusukkannya dalam-dalam hingga ranting itu patah dan tak hanya sampai situ. Celis pukulan terakhir yang sekeras-kerasnya dengan sekuat tenaga mengenai dahi Robert.

Akibatnya Kepala Robert terbentur keras sehingga kepalanya bocor belakang dan depan, darahnya terus bercucuran.

Celis akhirnya terlentang karena sudah menghabiskan tenaga yang banyak, menatap langit mendung dengan nada yang terengah-engah.

Hujan tiba-tiba turun, semakin lama semakin deras. Celis bingung senang atau sedih dengan hasilnya sekarang, Hanya termenung melihat air hujan berjatuhan.

Hella dengan keadaan parah datang menghampiri Celis.

Melihat Robert yang tergantung karena pedang Sumitsu sudah menjelaskan apa yang terjadi disini.

Hella bertanya.

"Mau rokok ga? Nanti ku taruh di rumahmu."

Celis menjawab dengan nada rendah.

"Nanti aja, ada cewe dirumahku. Takut dia risih, cewe gasuka asap rokok."

"Begitu."

"Keadaanmu?"

"Aku lebih parah darimu gara-gara banyak mayat hidup, iblis juga hantu berdatangan. Untungnya Orang yang memanggil mereka sudah mati, jadi mereka juga ikut mati."

"Butuh pengobatan?"

Hella tersenyum menjawab.

"Gaperlu, aku punya sendiri."

Celis tidak menjawab.

"....."

Hella berbalik badan berjalan.

"Aku duluan. Kalau kamu ga sekolah besok, nanti aku kabarin."

Celis tidak menjawabnya untuk kedua kalinya. Hella berjalan lalu menghilang tiba-tiba. Celis bertanya pada dirinya.

"Apa ini jawabannya?"

———

Dulu, kelas 1 SMP. Orangtuaku berkelahi, entah apa itu alasannya dan aku dipukul mereka sebagai pelampiasannya. Tapi.... Tapi kenapa?... Kenapa mereka begitu kenapaku? Aku tidak mengerti. Tapi disisi lain mereka juga memberikan rasa hangat kasih sayang, terlebih lagi untuk ayah, ayah selalu marah denganku meski hanya salah sedikit. Bahkan salah gara-gara aku telat mandi saja dia membentakku, bahkan pernah memukulku.

Kasih sayang? Kenapa mereka memberiku kasih sayang padahal aku bukan anak mereka. Aku mengetahuinya dari teman kantor ayah, dia bilang

"Kamu bukan anak mereka, mereka juga nikah lari. Kamu ditemukan saat mereka melarikan diri dan ketemu kamu masih bayi dirumah kosong dan rumah kosong itu adalah rumah yang kamu tinggali sekarang."

Aku yang mengetahuinya bingung harus bagaimana, aku tidak berani bilang ke depan mereka kalau aku dikasih tau. Terus aku harus apa?

Entah darimana ide itu berasal.

"Aku akan membunuh mereka."

Namun suatu saat, ibu tersenyum lebar kepadaku. Senyuman itu tulus, seolah dia tidak menyembunyikan sesuatu dariku dan aku mengurungkan niatku yang buruk.

———

Celis melihat ke Robert, heran dengannya dan sedikit menyesalinya.

"Kenapa aku ga tanya dia tadi ya? Lagian untuk apa aku balas dendam? Padahal aku bukan anak mereka."

Celis bangun dari tempat, berjalan sambil mengelap mata.

"Dingin."

Menarik pedang Sumitsu kembali, memotong ruang, portal terbuka. Celis berjalan masuk.

Jam 02.43, Celis baring di kasur dengan pakaian kaosnya.

"Besok sekolah ga ya? Udah jam segini."

Mengingat perkataan Hella tadi.

Hella berbalik badan berjalan.

"Aku duluan. Kalau kamu ga sekolah besok, nanti aku kabarin."

"Ahh....mending gosah aja deh."

Celis memejamkan matanya lalu tertidur dalam kelelahannya.

Besok harinya, jam 10 pagi yang cerah. Celis bangun dari tidurnya. Perasaan segar dan pegal-pegal. Celis menggerakkan tubuhnya, melakukan pemanasan ringan kemudian Celis pergi ke dapur sambil ngeluh.

"Makan mie apa telur lagi ya?"

Celis heran jutek, apa yang dia liat. Shintia makan di dapurnya.

Shintia sedang makan nasi goreng, melihat Celis.

"Dah bangun ya?"

Celis melihatnya merasa tidak semangat.

"Kok ga sekolah?"

Celis ikut duduk dibangku dengan muka juteknya, Shintia menjawab.

"Aku ga siap ketemu Dea."

Sambil menyuap, Celis melihat kebawah, sepiring nasi goreng jumbo, porsi yang sebesar gunung. Shintia bingung dengan Celis.

"Kenapa? Kamu gamau makan?"

Celis mendiamkannya lalu memakannya, Celis terkejut merasakan kenikmatan dan keenakan yang dibuat Shintia, ya... tidak juga sih.

Shintia penasaran bertanya.

"Enak?"

Celis mengangguk sebagai responnya namun meski biasa aja dia terlihat lahap dan cepat memakannya. Shintia baru saja selesai suapannya tapi Celis sudah menghabiskannya sepiring, habis tanpa sisa. Celis berdiri dari kursinya lalu bicara kepada Shintia.

"Cepat makan, ada yang mau ku tanyakan."

Beberapa saat kemudian, Celis yang sudah mandi juga Shintia yang baru saja selesai makan. Mereka duduk di ruang tamu.

Meski keadaan tenang namun Celis merasa janggal dengan Shintia.

"Mandi kek, Lagian kok ga pulang?"

Shintia terkejut takut mendengarnya.

"Ngusirkah?"

"Ga. jadi apa masalahmu sama temenmu itu?"

"Aku cuma bilang, rambutnya bagus. Ga harus dipirang, terus dia marah."

Celis kembali jutek.

"Gitu doang?"

"Sebenarnya, dia udah beberapa kali marah sama aku. Cuman, aku melakukannya, aku melarangnya, aku menyuruhnya untuk dia juga demi jadi perempuan baik. Aku gamau gitu lo dia aneh-aneh."

Celis menghela nafas mendengarnya.

"huh....mulai sekarang jangan ikut campur urusan pribadinya orang. Ga semua orang mau dibantu, mau diatur."

Shintia berdiri, tidak terima dengan apa yang dibicarakan Celis.

"Gamau. Dea udah aku anggap adek sendiri, Dea...Aku udah berteman sejak kecil. Kami selalu berdua, dia keliatan senang, dia bahagia bersamaku tapi kenapa dia berubah, kenapa dia jahat ke aku? kami berdua udah sepakat, dia adikku dan aku kakaknya tapi kenapa gitu."

"Tuh, baru aja dibilangin. Udah ada contohnya."

Shintia merasa bersalah, terdiam lalu duduk kembali.

"Sebenarnya ga masalah mengatur orang, tapi kalau berlebihan itu jadi masalah. Aku pernah juga mengatur seseorang untuk menjadi apa yang aku mau, tapi pada akhirnya dia menjadi orang yang tidak aku inginkan."

Shintia melihatnya. Melihat kesedihan dari sorot mata Celis, memberi Shintia pencerahan namun Celis sendiri berada di kegelapan.

Meski Celis terlihat kalem dan dingin di depannya namun matanya menunjukkan perbedaan dari penampilannya.

Celis menyilangkan kaki dengan satu kaki di atas yang lain dan Menyilangkan tangan di depan dada.

"Untuk sekarang, lebih baik minta maaf ke dia dan jangan mengaturnya lagi."

Shintia menggeleng kepalanya sambil tersenyum tipis.

"Udah kok. Aku sudah minta maaf tadi pagi kita chattingan tapi dia ga nerima maafku."