Bab 29- Shock Hipovolemik

Perempuan itu

menyerahkan matanya

kepada hujan pagi ini

dia ingin

menitipkan air mata

atas segala

ketakutannya akan cinta

Perempuan itu

menangkap cahaya pertama

matahari pagi ini

untuk menghangatkan luka

yang pernah membuat dirinya

terperangkap begitu dalam

di labirin bernama cinta

Koh Seong melotot marah. Pemulung tua di depannya ini tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Dia adalah pemilik kasino di Genting. Kekerasan adalah makanannya sehari-hari. Dan sekarang, seorang tua yang lusuh dan jalannya saja terhuyung-huyung hendak mencampuri urusannya. Koh Seong melupakan satu hal karena terdorong oleh emosi yang meluap-luap. Bagaimana mungkin seorang tua lemah bisa meruntuhkan lemparan piauwnya yang terlatih.

“Pergi! Jangan ikut campur! Atau kau mau aku potong kakimu yang masih sehat!”

Pemulung itu seperti orang ketakutan dan hendak ambil langkah seribu. Namun arah larinya justru mendekat kepada Koh Seong. Seolah tanpa sengaja, pemulung itu nyaris terjatuh dan tongkatnya terlontar dari genggaman. Tongkat itu meluncur deras ke lutut Koh Seong yang sama sekali tak menyangka.

Braakkk! Auuwww! Brengsek sialan!

Koh Seong menjerit kesakitan. Lututnya tergeser dari tempatnya seketika. Tongkat yang sepertinya rapuh itu ternyata keras bukan main! Koh Seong berjingkrak-jingkrak menahan rasa sakit luar biasa. Han dan Seng tergesa-gesa mendatangi. Keduanya segera memapah Koh Seong dan membawanya masuk mobil. Mobil Fortuner itu melesat cepat meninggalkan parkiran. Menuju rumah sakit terdekat karena Koh Seong terus berteriak-teriak kesakitan. Bisa dibayangkan betapa sakitnya saat tempurung lutut pindah tempat. Jagoan sekelas Koh Seong saja tidak mampu menahan sakit. Koh Seong sama sekali tidak menyadari bahwa lemparan tongkat tadi dilakukan oleh tangan yang terlatih.

Arya meringis kesakitan. Piauw yang menancap di paha berhasil dicabutnya sendiri. Tapi piauw di lengannya menancap terlalu dalam. Untunglah piauw itu tidak diberi racun oleh Koh Seong.

Arya merobek bajunya. Luka di paha dibebatnya erat-erat agar tidak kehabisan darah. Dia terlalu memaksa pada saat mencabut tadi. Luka di lengannya tidak banyak mengeluarkan darah karena tertahan oleh piauw yang masih menancap. Tapi rasanya sakit sekali.

Haira berusaha sebisanya menolong Arya. Gadis itu menggigil melihat darah mengalir cukup deras di paha Arya. Kain pembebat basah kuyup oleh darah pemuda itu. Apalagi saat melihat wajah pucat pasi Arya, membuat Haira lemas kehabisan tenaga. Gadis itu jatuh terduduk. Bersandar di mobil. Di samping Arya yang nyaris pingsan.

Agni buru-buru menghampiri Arya. Diperiksanya dengan teliti luka pemuda itu. Agni menggeleng-gelengkan kepala. Matanya diedarkan ke sekeliling. Agni melambai seorang pengendara motor yang sedang mengeluarkan motornya dari parkiran. Pengendara motor itu mendatangi sambil menuntun motornya.

“Antar kami berdua ke klinik atau puskesmas atau rumah sakit terdekat dari sini. Tolong? Aku akan membayar dengan harga pantas.” Pengendara motor itu melihat Arya dan Agni bergantian. Ragu-ragu. Apalagi setelah melihat sebuah piauw bergerigi menancap di lengan pemuda yang sudah dalam keadaan setengah sadar. Agni menjadi tidak sabar. Kondisi Arya sangat tidak baik. Gadis itu mencengkeram lengan si pengendara motor. Lelaki itu meringis kesakitan. Buru-buru dia mengangguk-angguk mengiyakan. Cengkeraman gadis muda ini sangat keras dan terasa menyakitkan.

Dengan dibantu oleh seorang satpam yang kebetulan lewat, Arya berupaya dinaikkan ke atas sepeda motor oleh Haira dan Agni. Tubuh lemas tak bertenaga Arya Jitendra membuat proses itu semakin sulit. Satpam itu memegangi kaki Arya. Membantu Agni dan Haira yang masing-masing memegang lengan Arya.

Gubraakkkk!

Hasilnya, tubuh Arya Jitendra menghantam paving block dengan keras. Agni bisa menahan dan punya cukup tenaga. Tapi bantuan dari Haira malah membuat runyam. Gadis itu juga sedang kehabisan tenaga sehingga tak bisa menahan saat tubuh Arya miring-miring ketika hendak dinaikkan motor. 

Agni tidak putus asa. Dia kembali melambai ke pak Satpam agar membantunya. Tapi menggeleng-gelengkan kepala dengan keras saat Haira hendak datang membantu.

Kedua orang itu berusaha sekuatnya mengangkat tubuh Arya yang sudah pingsan.

“Jangan dinaikkan. Sini aku periksa.” Pemulung tua itu datang dan memeriksa Arya. Kepalanya digeleng-gelengkan sambil menggerutu.

“Pemuda bodoh! Piauw tidak bisa dicabut begitu saja seperti duri tanaman. Bodoh!”

Pemulung tua itu mengeluarkan pisau kecil dari karungnya. Pisau kecil yang berkilat saking tajamnya. Haira bergidik ngeri. Sedangkan Agni mengerutkan kening. Mana ada seorang pemulung sampai mempunyai pisau sebersih dan sebagus itu!

Pria tua itu merobek kulit di sekitar piauw setelah sebelumnya mengoleskan semacam minyak tawon di sekeliling lengan yang tertancap piauw. Paha yang masih mengucurkan darah diurut dan diketok sedikit menggunakan tongkat. Pria itu berdiri sambil mengusap keringatnya.

Arya Jitendra tenang meski masih dalam kondisi tak sadarkan diri. Pendarahan di pahanya sudah berhenti dan saat lengannya diiris dan disayat untuk mengeluarkan piauw, Arya tidak merasakan kesakitan sama sekali. Mungkin minyak yang dioleskan pemulung tua itu mengandung anestesi.

Proses mengeluarkan piauw dari lengan Arya berlangsung cepat. Piauw itu berhasil dicabut dan pemulung itu lanjut mengoleskan lagi minyak di atas luka yang mengalirkan darah. Hanya dalam hitungan detik, luka itu langsung mampat dan tidak mengeluarkan darah lagi. Arya Jitendra tidak terlalu pucat lagi sekarang. Haira dan Agni bernafas lega. Bagaimanapun Arya Jitendra telah mati-matian melindungi mereka berdua. Tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri.

Pemulung itu mengangkat tubuh Arya Jitendra dan menaikkannya di bak mobil bak Hijet 1000 pick up. Haira dan Agni sampai ternganga tak percaya. Tubuh Arya tinggi dan berisi. Tapi pemulung tua itu seolah hanya mengangkat sekarung gabah kering saja.

“Mana kunci mobil ini?” Mata pemulung itu bertemu dengan tatapan Haira dan Agni yang sama-sama menggelengkan kepala. Pemulung itu duduk di kursi pengemudi lalu menunduk. Sedikit mengotak-atik kabel-kabel yang berjuluran. Terdengar derum mobil pick up kecil itu saat mesinnya menyala.

“Kalian naik di belakang. Jaga pemuda itu. Dia kehilangan banyak darah. Harus segera dibawa ke rumah sakit.”

Haira dan Agni menurut. Keduanya melompat ke bak belakang. Menjaga Arya yang masih pingsan agar tak terlempar keluar karena mobil Hijet 1000 itu sekarang melaju kencang menuju rumah sakit paling dekat.

Mobil tua keluaran tahun 80 an itu berdecit-decit mengerem di lobi ruang UGD. Pemulung tua itu melompat keluar. Melambai ke arah satpam rumah sakit yang berlari mendatangi.

“Cepat bawa masuk! Pemuda ini mengalami Shock Hipovolemik. Segera lakukan transfusi dan bersihkan luka-lukanya sebelum dibebat menggunakan Povidone Iodine. Aku curiga ada racun di pisau yang melukainya.”

Beberapa perawat dan seorang dokter yang sudah mengambil alih brankar terlihat bengong beberapa saat. Pemulung itu luar biasa! Bisa mengetahui dan mendiagnosa gejala dengan tepat.

Agni dan Haira lagi-lagi ternganga. Siapa sih pemulung tua ini?

--*********