Di ruang lengang
yang hanya dipenuhi oleh lamunan
dan potongan kecil harapan
masih ada waktu senggang
bagimu untuk tersenyum bahagia
demi cinta yang gagap
maupun kasih yang tak terungkap
Haira dan Agni menunggui dengan setia proses pengobatan dan perawatan Arya Jitendra. Arya sudah siuman begitu diberikan injeksi antibiotik dan antitetanus. Namun tubuhnya masih lemas dan harus menunggu beberapa saat setelah transfusi darah dilakukan untuk mengembalikan kekuatan tubuhnya.
Pemulung tua yang mengambil tindakan cepat untuk menyelamatkan nyawa Arya telah menghilang. Agni telah mencoba mencarinya kemana-mana. Tapi jejaknya lenyap. Para satpam rumah sakit hanya sempat melihat pemulung tua itu berjalan terseok-seok keluar gerbang rumah sakit. Entah pergi kemana karena tidak ada satupun yang menaruh perhatian pada orang tua berbaju lusuh yang kakinya cacat.
Haira dan Agni memperbincangkan peristiwa hari ini yang cukup mengguncang jiwa. Adrenalin mereka terkuras habis setelah berada di rumah sakit. Andai saja tidak datang orang yang disebut WSY melindungi mereka di Café Balibik, dan pemulung tua renta cacat yang memberitahu Haira lewat surat dan membantu menyelamatkan Arya Jitendra, tentulah mereka tidak akan sampai di tempat ini dengan Raung Meraung yang masih selamat di tangan mereka.
“Haira, Agni, terimakasih banyak telah menyelamatkan aku. Seharusnya aku yang melindungi kalian. Tapi ini sebaliknya..”
Terdengar suara lemah Arya Jitendra. Haira dan Agni memandang Arya yang berusaha duduk namun tidak berhasil. Tubuhnya super lemas. Transfusi belum sepenuhnya mengembalikan kekuatannya. Haira dan Agni menahan bahu Arya agar tidak banyak bergerak dulu.
Arya Jitendra menurut. Pemuda itu memejamkan mata. Menikmati kesakitan dan rasa lemahnya. Pikirannya melayang jauh ke belakang. Saat dia masih kecil dan belum tahu apa-apa mengenai keruwetan dunia.
Kakeknya adalah seorang sesepuh di daerah santri di Banyuwangi Selatan. Saat itu situasi politik di tanah air memang sedang kacau. Muncul fenomena tukang santet yang merebak di seluruh daerah di Banyuwangi. Siapapun yang dicurigai sebagai dukun santet, akan disatroni rumahnya oleh orang-orang tak dikenal. Awalnya rumah hanya ditandai dengan tanda silang berwarna merah. Tapi keesokan harinya, si empunya rumah yang dituduh tukang santet sudah lenyap tanpa jejak. Entah dibawa kemana dan oleh siapa, tak seorangpun tahu.
Kakek Arya Jitendra adalah orang tua yang sering memberikan pengobatan gratis bagi orang-orang yang membutuhkan. Siapapun dan dari golongan manapun pasti dibantu oleh Kakek Arya. Reputasinya sudah dikenal di seantero tanah Blambangan sebagai ahli pengobatan.
Kemudian santer terdengar isu tukang santet yang juga menimpa Kakek Arya. Seisi rumah gempar saat pagi-pagi melihat pintu rumah sudah dicat besar-besar dengan tanda silang berwarna merah. Tentu saja Ayah Arya yang memang masih tinggal dengan orang tuanya menjadi panik bukan main.
Namun Kakek Arya tetap tenang. Orang tua itu bahkan menyuruh semua anggota keluarganya agar pergi mengungsi ke pondok pesantren kenalannya di daerah Blok Agung.
Terjadi perdebatan seru saat semua tidak mau pergi mengungsi. Namun Kakek Arya dengan tegas melarang siapapun membantah perintahnya. Dengan sangat terpaksa keluarga besar itu pergi mengungsi termasuk Arya yang masih berusia 5 tahunan. Kecuali 2 Paman dan seorang Bibi Arya yang memang masih muda dan belum berkeluarga. Ketiganya benar-benar ngotot tidak mau meninggalkan ayah mereka sendirian di rumah.
Kedua pamannya yang ahli beladiri Pencak Sumping bahkan bersiaga dan mempersenjatai diri mereka untuk berjaga-jaga. Bahkan Bibi Arya tidak mau kalah. Wanita cantik yang pemberani itu memakai baju ringkas sejak sore. Sebilah pedang selalu berada tak jauh dari dirinya. Arya masih ingat betul. Bibinya itu malah lebih jago lagi memainkan Pencak Sumping dibanding dua Pamannya. Bibinya adalah guru besar Pencak Sumping di sebuah pesantren besar daerah Banyuwangi Selatan.
Arya yang sudah beranjak remaja akhirnya mendengar akhir cerita tragis dari Kakek, Paman dan Bibinya. Ayahnya bercerita bahwa malam itu rumah Kakek Arya didatangi orang-orang yang berpakaian ala ninja. Awalnya orang-orang itu menyuruh Kakek Arya untuk menyerah baik-baik dan akan dibawa ke sebuah tempat untuk diadili.
Paman dan Bibi Arya sama sekali tak percaya dan berusaha mempertahankan Ayah mereka. Terjadilah pertarungan hebat yang dahsyat malam itu di rumah Kakek Arya. Tidak ada siapapun yang menjadi saksi hidup dari perkelahian hidup dan mati itu. Ayah Arya bercerita dengan nata berkaca-kaca, Kakek Arya hilang diculik, dua Paman dan Bibinya tewas tertembus banyak peluru di sekujur tubuh mereka. Namun dari para penyerang juga jatuh korban. 4 orang berpakaian ninja tewas bergelimpangan terkena sabetan pedang dan kelewang Bibi dan Paman Arya.
Sejak saat itulah, Arya yang sudah beranjak remaja menyimpan dendam setinggi langit kepada orang-orang jahat yang telah menghabisi sebagian keluarganya. Arya berlatih begitu keras setelah pulang sekolah. Tidak ada waktu yang dilewatkannya untuk berlatih Pencak Sumping dan juga keahlian spiritual dari Adik Kakeknya yang tinggal di bibir Alas Purwo.
Arya memilih untuk tinggal bersama Adik dari Kakeknya dibanding bersama Ayah dan Ibunya. Hidup hanya berdua dengan orang tua yang lebih sering bersamadi dibanding bercakap-cakap dengan dirinya, membuat Arya Jitendra semakin fokus berlatih kanuragan dan olah spiritual. Semangat balas dendam tak pernah pudar di dada Arya. Membayangkan kematian dua Paman dan seorang Bibinya yang tragis membuat jantungnya menggelegak, darahnya mendidih, dan matanya menyala.
Suatu saat kelak, dia akan mencari siapa biang keladi yang telah menyebarkan fitnah bahwa Kakeknya adalah dukun santet. Dia akan mencari hingga ketemu dan meminta siapapun itu untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kejinya.
Begitu lulus SMA dan diterima di ISI Yogyakarta, Arya tidak surut semangatnya untuk balas dendam. Dia sengaja memilih jurusan penyutradaraan karena ingin mempelajari bagaimana sesungguhnya orang mengkreasi trik dan intrik. Arya ingin memperdalam pengetahuan yang kelak bisa membuka jalan baginya untuk melakukan penyelidikan dan kemudian balas dendam.
Saat libur, Arya pasti bertempat tinggal di rumah Adik Kakeknya yang telah meninggal dunia karena usia tua. Sebelum meninggal, Adik Kakek Arya meninggalkan sebuah buku tebal yang sudah pudar warnanya untuk Arya. Setelah melihat dan membaca isinya, Arya membatalkan untuk mempelajarinya. Isi buku itu sangat mengerikan! Ilmu-ilmu kejawen kuno tentang santet, teluh, pengasihan, dan sejenisnya, lengkap di buku itu. Meski juga dituliskan bagaimana cara-cara menangkal, tetap saja Arya enggan untuk mempelajarinya. Syirik. Selama ini juga dia mempelajari olah spiritual adalah melalui bacaan Kitab Kuning, Dzikir, dan samadi.
Arya yakin bahwa Samadi adalah cara yang baik untuk olah pernafasan dan bukan termasuk perbuatan yang melanggar hukum agama. Selama Samadi itu kemudian tidak disalahgunakan untuk hal-hal buruk sesuai apa yang tertulis di buku tebal warisan Adik Kakeknya. Buku yang di halaman depannya memiliki judul bertuliskan huruf Jawa kuno; Buku Hitam.
---