Angin dingin menggigit kulit Xaden saat dia tersandung melalui semak belukar, setiap napas yang dia ambil dangkal dan terengah-engah. Bajunya robek, tertutup darah kering, dan sampingnya berdenyut nyeri dengan setiap gerakan.
Setiap langkah adalah pertempuran, dan setiap napas mengingatkan dia betapa dekatnya dia ke tepi.
Dia tidak tahu sudah berapa lama dia berlari.
Cabang-cabang mencakar lengannya. Batu-batu menusuk kakinya. Kakinya bergetar di bawahnya seolah-olah mereka tidak lagi ingat bagaimana membawa berat tubuhnya. Tapi dia tidak bisa berhenti—tidak sekarang. Tidak dengan kebebasan dalam jangkauan. Di suatu tempat di luar hutan ini, di sela kegelapan, terletaklah rakyatnya.
Dia harus mencapai mereka.