Tak ada seorang pun di ruangan itu, dan Anthony begitu berhasrat untuk merasakan apa yang pernah dialami Xie Qingcheng. Ia duduk di pangkuan He Yu, dan dengan dalih melakukan hipnosis, ia sengaja meniru tindakan yang pernah dilakukan Xie Qingcheng dalam video yang telah ia tonton.
Karena proses cuci otak masih berlangsung dan tubuh He Yu masih terhubung dengan banyak selang, Anthony tidak berani melakukan sesuatu yang berlebihan. Namun, sekadar meniru saja sudah membuat pipinya memerah karena gairah.
Rasa kenikmatan dalam mencuri kembali menguasainya. Ia menekan bahu He Yu, dan bergerak seperti yang pernah dilakukan Xie Qingcheng.
Jelas tidak ada yang benar-benar terjadi, namun ia tetap mendongakkan kepala dalam fantasi yang menggila, dan terengah-engah dengan penuh kepuasan diri: ia terlalu mabuk oleh kenikmatan berpura-pura menjadi Xie Qingcheng. Sudah tepat... sudah tepat!
Jika hari ini ia bisa menggantikan Xie Qingcheng, maka besok ia pasti bisa menggantikan Duan Wen!
Dulu aku tidak punya apa-apa, tapi di masa depan, aku pasti akan memiliki segalanya yang kuinginkan.
Xie Qingcheng... seperti inilah dulu dia berada di atas pria ini... Ia membayangkan nafsu gege-nya, menebak apa yang ada dalam hati gege-nya itu, dan jiwa keringnya yang bengkok terasa terpuaskan oleh rasa puas yang semu itu.
“Iblis kecil... apakah itu yang dikatakan gege-ku padamu?” Anthony menggerakkan tangannya ke pipi He Yu dan mengangkat wajahnya, menenangkan pemuda itu secara hipnosis dengan kelembutan yang menyimpang.
“Lihat, aku juga bisa memanggilmu seperti itu. Aku bisa memberimu semua yang kamu inginkan... perlahan-lahan, kamu akan menerima semua gagasan kami...
“Datanglah ke sisiku dan rasa sakit itu akan hilang, lepaskan perlawanan itu, rasa sakit itu akan lenyap...”
Anthony berkata sambil menyipitkan mata menatap monitor di sampingnya, yang menunjukkan perubahan yang memuaskan. Hipnosisnya berhasil. Anthony tak dapat menahan rasa antusiasnya.
Tampaknya ia bisa membujuk He Yu melalui hipnosis yang lembut seperti ini—cara terbaik tanpa kekerasan. Jika cuci otak dilakukan dengan cara ini, maka saat terbangun, He Yu akan sangat bergantung padanya.
“Aku mempertaruhkan semua uangku hanya untukmu, jangan kecewakan aku... He Yu—“ Anthony mendekatkan wajahnya ke He Yu, yang tak sadarkan diri di kursi listrik, dan berbisik menyeramkan di dekat pipinya, “Kau akan mengambil semua yang kuinginkan untukku... dan kemudian kau akan membunuh pria yang paling kubenci dengan tanganmu sendiri, tahukah kau?”
Ujung jarinya mengelus pipi pucat He Yu, lalu turun perlahan dan kembali menyentuh dada pemuda itu.
Mata Anthony bersinar dengan keintiman yang menyimpang dan semangat yang fanatik “Bunuh dia untukku, dapatkan segalanya untukku, dan kemudian tidurlah bersamaku... biarkan aku memiliki semua yang pernah dimilikinya, agar tak sia-sia ia pernah menyelamatkan dan menghiburmu.”
“Aku telah memberimu hidupmu kembali, bersyukurlah, baobei manisku.”
Ia seperti seekor ular, putus asa ingin membelit tubuh He Yu, ingin meraup dengan rakus semua yang selama ini ia dambakan.
Monitor medis di sampingnya menunjukkan perubahan nilai, dan cahaya merah dipantulkan di wajah Anthony yang setengah terdistorsi, seolah cipratan darah.
Ia tersenyum seperti orang gila “Cepatlah selesaikan transformasinya... bangunlah lebih cepat... cepat...”
Ia menggesekkan tangannya pada mesin penyeimbang darah yang terhubung ke jantung He Yu, lalu menekan dengan sedikit tenaga, dan mesin itu...
...masuk lebih dalam. He Yu tampak terangsang oleh rangsangan itu, mengeluarkan erangan serak dan lemah dalam ketidaksadarannya.
Angka pada monitor yang menunjukkan kejernihan otak terus menurun.
Sudut bibir Anthony menegang makin lebar, makin tidak wajar “Ya... itu dia... terima semua pencucian otak ini... semua ini...”
Ia menekan lebih keras lagi. He Yu, yang rahangnya ditahan oleh penutup hitam, membuka mulut sedikit, memperlihatkan gigi-gigi putihnya.
Itu menyakitkan. Tubuh He Yu mengalami kejang dan tremor tak sadar, mulutnya terbuka dan tertutup di antara helaan napas seperti orang yang sedang tenggelam.
“Apa yang kau katakan, anak manis?” Mata Anthony berkilat oleh rasa antusias, dan ia membungkuk, mendekatkan wajahnya untuk mendengar.
“... Xie...”
Beberapa detik kemudian, ekspresi puas di wajah Anthony lenyap seketika.
Wajahnya tiba-tiba menjadi sangat muram, bahkan bisa digambarkan sebagai buas.
Karena ia mendengar He Yu, dalam tekanan cuci otak yang begitu kuat, masih menggumamkan nama yang paling ia benci—nama yang membuat giginya bergemeletuk karena muak.
“Xie Qingcheng...”
Ia masih menyebut Xie Qingcheng!
Xie Qingcheng! Xie Qingcheng!
Ternyata bahkan di bawah pengaruh hipnosis, He Yu tetap memikirkan Xie Qingcheng sebelum ia bisa benar-benar patuh secara bawah sadar... Nilai pada monitor sudah turun ke angka satuan, tapi He Yu tetap saja menyebut nama orang itu!
Mengapa? Apakah Xie Qingcheng adalah jembatan antara dirinya dan dunia luar? Benang halus di balik kaca yang tak bisa terputus? Apakah semua yang Anthony lakukan hanyalah delusi semata?
Anthony meluruskan tubuhnya dan berdiri, memandang sinis ke arah pemuda yang sebaya dengannya, yang kini terikat erat di kursi listrik.
Ini penghinaan... penghinaan yang menusuk hingga ke dasar harga dirinya!
Api kemarahan yang luar biasa menyala ganas di dalam dadanya, seperti kobaran api yang buas. Wajahnya sepenuhnya tertutup bayangan. Ia tiba-tiba mengangkat tangan dan menampar He Yu begitu keras hingga nyaris mencabut pelindung mulutnya.
“Kau tak tahu berterima kasih, dasar jalang!”
“—Dengar baik-baik... Mulai sekarang, tak ada lagi Xie Qingcheng, hanya ada aku, Xie Li Shen!”
Ia mencengkeram kerah baju He Yu, dan cahaya cemburu yang membara menari liar di matanya.
“Hanya aku!! Mengerti?! Mengerti tidak, dasar jalang!!”
Anthony terengah-engah—apa itu cuci otak lembut? Apa itu bujukan halus? Semuanya hanya membuang-buang waktu... hanya sia-sia! Ia menyerah. Ia merasa jijik—semuanya sudah kacau sejak awal! Dipenuhi rasa cemburu dan hati yang terbakar, Anthony menggertakkan giginya dan berkata, “Kau yang memintanya... He Yu... Kau sendiri yang memintanya! Jangan salahkan aku!”
Setelah berkata begitu, ia mengangkat tangan dan menekan tombol cuci otak pada kursi listrik, langsung menaikkan daya ke tingkat maksimum—memberikan rasa sakit ekstrem pada korban! Metode cuci otak ini sangat brutal, dengan kekuatan yang cukup untuk menghancurkan kesadaran ratusan orang.
Seluruh tubuh He Yu melonjak, tapi tercekik oleh tali pengikat. Tubuhnya memantul berulang kali, seperti terhempas dalam siksaan tanpa akhir, ketika listrik merobek setiap sel tubuhnya dan mencabik-cabik setiap inci daging serta darahnya.
“Kau yang mencari semua ini!” bentak Anthony dengan marah.
He Yu tertikam oleh aliran listrik dan membuka matanya. Ia tak bisa menghentikan kejang-kejang akibat rasa sakit luar biasa yang tak mungkin ditahan manusia biasa. Lima organ dalamnya seperti terbakar, hancur dari dalam seakan-akan ada tiang baja yang tiba-tiba menghantam pikirannya—menekan dan mengubur semua kenangan indah yang pernah ia miliki.
Tahun-tahun itu, dari kecil hingga dewasa, selalu—sedikit atau banyak—berkaitan dengan Xie Qingcheng. Ketika ia meninjau kembali “buku hidup”-nya, hanya sosok itulah—baik saat dingin maupun hangat—yang selalu memperlakukannya setara.
Hanya dia yang selalu memperlakukannya sebagai manusia biasa.
“Xie... ge...” Di antara bibir yang nyaris kering, kalimat patah itu meluncur perlahan.
Hanya lelaki itu yang tahu bahaya yang sedang ia hadapi, namun tetap bersedia memeluknya saat ia sakit.
“Xie... Qingcheng...”
Semua orang melihatnya sebagai kasus penyakit langka, sebagai tawanan binatang buas yang asing—namun hanya di mata yang dalam dan tajam itu, di balik kemarahan sekalipun, wajah He Yu benar-benar tercermin.
Hanya dia...
Dalam hidup ini, hanya dia...
“Dokter... Xie...!”
Meteran daya telah mencapai batas, dan tak terhitung tiang baja tak kasatmata menekan pikirannya, mengirimkan gelombang amarah yang menggelegak! Ia meratap, menangis, dan bertarung dalam pusaran itu... Ia ingin menghentikan pilar-pilar pikiran itu—satu-satunya kehangatan yang masih tersisa dalam dirinya.
Selama dua puluh tiga tahun hidup di dunia ini, hanya ada satu orang yang benar-benar memperlakukannya dengan tulus!
Tidak... jangan hancurkan... jangan kubur perasaan mereka... Jangan lakukan itu!!
Monitor bergetar hebat, wajah Anthony berkedut, dan He Yu hampir tercekik oleh rasa sakit yang terasa seperti tendon-tendonnya disobek paksa!
Kesadarannya sendiri hanya setetes di samudra luas, tapi ia terus melawan pilar-pilar langit itu—seperti seekor semut melawan pohon raksasa—seolah ia sedang melindungi Suiyi... tapi ia tak sanggup lagi menahan. Daya itu cukup untuk menghancurkan kesadaran ratusan orang...
Bagaimana mungkin daging dan darah dapat menahan semuanya?
Tubuhnya gemetar hebat, ia meraung, dan darah mulai mengalir dari ketujuh lubang di kepalanya.
Matanya, telinganya, hidung dan mulutnya dipenuhi merah terang...
Setelah melampaui batas, kursi listrik mencapai performa maksimalnya—dan tiba-tiba aliran listrik terputus.
Kepala He Yu tertunduk dan tubuhnya jatuh ke dalam kursi listrik, tak bergerak sedikit pun. Nilai monitor otaknya yang berada di samping akhirnya kembali ke angka nol berwarna merah menyala—persis seperti yang diharapkan Anthony. Asap gosong menyebar perlahan.
Jiwanya telah terurai.
Tiang baja dalam pikirannya akhirnya tertusuk hingga ke ujung. Secara bawah sadar, ia tetap menggenggam bayangan Dokter Xie dan enggan melepaskannya—tapi pada akhirnya, sosok asli He Yu dan Xie Qingcheng telah tertembus jauh ke kedalaman kesadaran oleh tiang ideologi Mandela.
Seperti: dalam badai besar Pasifik tahun itu, ia tenggelam ke dasar laut dan jatuh ke dalam jurang samudra.
Ia rakus, ia ingin selamanya bersama orang yang ia cintai. Tapi ia juga takut akan kerakusan itu—ia hanya ingin... selamanya bersama sosok yang ia cintai.
Tak ada satu pun yang bisa menolongnya dalam pertempuran laut di Pasifik itu.
Setidaknya, dalam pencucian otaknya sendiri, dalam kegelapan yang ia hadapi, ia bisa menyadari siapa dirinya.
Xie Qingcheng, aku akan lenyap hanya ketika kau lenyap... Jika mereka ingin merebutmu, maka aku akan melindungimu hingga detik terakhir.
Itulah yang ia pikirkan, memanggul seluruh cintanya pada Xie Qingcheng di sudut hatinya, memeluk bayangan Xie Qingcheng, lalu jatuh ke dalam kegelapan dan menutup mata...
Tik, tik, tik.
Terdengar suara pelan dari monitor—pemuda itu terkulai lemas di kursi, begitu menyedihkan.
Cinta dan obsesinya, kelembutan serta kepolosannya, akhirnya tersegel di lautan, dibungkam oleh mesin pencuci otak—yang kekuatannya cukup untuk menyiksa seseorang hingga ajal menjemput.
Segala bentuk kesadaran telah dilenyapkan...
Segala bentuk emosi telah direnggut secara brutal.
Yang terakhir kali ia sebut hanyalah nama Xie Qingcheng—satu-satunya kehangatan dan kelembutan yang masih tertinggal dalam dirinya.
Air mata darah mengalir dari pipi pucat pemuda itu.
Ia mencintainya hingga detik terakhir.
Hingga ke dasar samudra.
Hingga paus-paus pun mati.
Satu detik sebelum nilai kesadaran He Yu mencapai angka nol, ia masih enggan melupakan cinta yang begitu dalam.
Tiga kata itu—Xie Qingcheng—adalah obsesi terakhir He Yu terhadap dunia.
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Setelah Duan Wen dan Anthony pergi, Duan Cuizhen tinggal seorang diri di laboratorium tertinggi itu.
Matanya terbuka, menatap kosong sambil memainkan alat gelombang otak yang baru saja disempurnakan.
Masa muda, kesehatan, kehidupan...
Itulah hal-hal terbaik di dunia.
Banyak anak muda tidak menyadarinya, mereka masih hidup dalam masa-masa terbaik mereka namun menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Karena menganggapnya lumrah, mereka pun tak pernah benar-benar menghargainya.
Namun ia—ia justru sangat merindukannya.
Mungkin, di hadapan krisis besar, setiap orang tak bisa menahan diri untuk tidak mengenang masa lalu. Bahkan Duan Cuizhen pun tidak kebal terhadap hal itu.
Perempuan yang jarang sekali menoleh ke belakang itu, kini mendapati dirinya teringat akan masa mudanya...
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Ia teringat, sebelum berangkat menuntut ilmu ke Huzhou, ia hanyalah seorang gadis nelangsa dari Desa Duanjia, menggembalakan sapi dan domba. Saat mendongak, langit tampak berdebu, saat menunduk, tanah penuh jurang dan celah, matanya pun berwarna kelabu kekuningan—seolah tak ada harapan.
Semuanya berubah ketika ia menerima surat penerimaan dari Universitas Huzhou. Surat itu mengantarkannya duduk di atas kereta berjok kulit hijau, dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia melihat gaun merah yang begitu anggun, sesuatu yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Di sanalah ia berada, dan perlahan-lahan Huzhou menjadi danau baru dalam pikirannya.
Suatu tahun, pada hari ulang tahunnya yang ke-20, ia pergi ke studio foto dan meminta sang pemilik untuk mewarnai fotonya dengan warna yang cerah:
“Tolong warnai gaunnya dengan warna yang cantik, sama persis dengan merah gaunku,” katanya, matanya bersinar terang. “Ulang tahun ke-20 hanya datang sekali. Cetak dua lembar ya, aku ingin memberikannya.”
Sang pemilik studio tersenyum lebar. “Untuk dikirim ke rumah?”
Ia mencibir pelan, tersenyum dan berkata, “Rumah? Tidak, ini rumahku!”
Di pelosok Kabupaten Qingli, ia tak lagi mengakui orang tua yang terlalu banyak memiliki anak dan tak mampu menghidupi semuanya. Ia telah berhasil melarikan diri, dan kini, Huzhou-lah rumahnya.
Namun ia tak ingin menyimpan rahasia itu sendirian. Dengan nada misterius, ia berbisik pada si pemilik toko:
“Aku ingin memberikannya pada kekasihku. Jadi fotonya harus cantik sekali, ya, Paman. Tolong bantu aku.”
Tak banyak pria yang mampu menolak permohonan lembut seorang gadis muda dengan napas harum bunga anggrek.
Foto itu pun keluar begitu indah. Sang pemilik studio dengan cermat memperbaiki warnanya—gaunnya merah bak mawar, rambut panjangnya seolah diombak gelap
Ia sangat senang dengan hasil fotonya, mengucapkan terima kasih berkali-kali, membayar dengan senyum penuh kepuasan, lalu kembali ke kampus.
Ia ingin memberikan foto itu—bersama penampilan mudanya yang memesona—kepada Profesor Zhou dari fakultas kedokteran. Siapa yang tidak terpikat oleh seorang pria muda berbakat yang baru kembali dari Amerika Serikat? Semua mata memandangnya penuh kekaguman, namun Zhou hanya menyukai dirinya.
Gaun merah itu dibelikan oleh Tuan Zhou, yang pernah mengajaknya berkencan di sebuah aula dansa. Di sana, Zhou menceritakan tentang kehidupan di Amerika, dan ketika melihat matanya yang berbinar, ia pun tersenyum dan berkata, “Zhenzhen, nanti aku akan bekerja di laboratorium di Amerika, kamu mau ikut?”
Ia mengangguk penuh keyakinan, karena ia tahu jawabannya pasti “ya”.
Pada masa itu, kaum muda bersemangat mengejar cinta bebas dan kesetaraan, dan ia merasa bahwa dirinya serta Zhou telah menjalani kehidupan cinta modern itu. Ia memang tahu bahwa Zhou sudah beristri, namun itu bukanlah cinta sejati—hanya pernikahan lama yang dijodohkan oleh orang tua. Zhou pun tak pernah memikirkan istrinya yang masih hidup dalam kungkungan kaki terikat tiga inci, sama seperti ia tak pernah peduli pada tatanan kuno masyarakat zaman dulu.
Dalam hatinya, ia yakin mereka diciptakan untuk satu sama lain. Dengan foto di sakunya, gadis muda itu berjalan menuju sebuah pulau kecil di tengah danau kampus—tempat yang sunyi dan tak terawat, ditumbuhi ilalang tinggi. Di situlah ia dan Tuan Zhou sering bertemu.
Foto itu diserahkan malam itu juga. Tuan Zhou harus kembali ke kampung halamannya di utara karena ibunya sakit. Perpisahan itu terasa berat—di bawah cahaya bulan dan wangi bunga, mereka masih bisa bicara dari hati ke hati. Tapi akhirnya, ia tetap harus pergi.
Ia menitipkan sebuah foto gadis cantik untuk dikenang, seorang gadis yang menurutnya adalah belahan jiwa sang profesor. Ia yakin betul bahwa Zhou akan kembali secepatnya.
Namun Duan Cuizhen salah.
Kurang dari dua minggu setelah kepergian Zhou, perang saudara kembali pecah. Medan pertempuran bergeser, pasukan nasional bergerak ke utara, dan tanah air sekali lagi tercabik oleh darah dan air mata. Kali ini, daging dan darah tak bisa dipisahkan. Luka-luka yang telah menganga selama seratus tahun kembali disayat, belum pernah benar-benar sembuh.
Manusia seperti rumput, nyawa seperti daun kering di atas air, terombang-ambing dari selatan ke utara, tak pernah menemukan kedamaian.
Tanah pun terbelah, tercerai berai.
Bagaimana orang bisa diselamatkan?
Tuan Zhou menulis surat dan berkata bahwa ia tidak bisa kembali.
Duan Cuizhen menjawab, “Kalau begitu, aku akan menunggu.”
Ia menunggu selama tiga tahun.
Surat dari Tuan Zhou yang awalnya datang beberapa kali dalam sebulan, perlahan berubah menjadi beberapa kali dalam beberapa bulan... lalu menghilang sama sekali. Ia begitu cemas sampai tak bisa makan atau minum, pikirannya tidak bisa fokus untuk belajar, bahkan pekerjaan yang ia jalani pun ditinggalkan.
Akhirnya, sebuah surat datang. Tulisan tangannya masih sama indahnya, namun isi surat itu membuatnya merasa tak mengenali sahabat lamanya itu.
“Ibuku sudah meninggal. Keluargaku telah berdiskusi lama, karena posisi kakak dan kakak iparku, mereka khawatir akan sulit hidup damai di sini, maka teman-teman menyarankan aku memindahkan keluarga ke Gunung Tanxiang. Istriku sudah memiliki seorang anak, Zhenzhen, kau tidak perlu merasa terlukai. Sulit untuk mengatakan hal-hal ini, jadi lebih baik kamu jangan memikirkannya lagi.”
Istri sudah memiliki anak?
Istri sudah memiliki anak...?
Kapan? Mengapa selama ini ia tidak pernah mengatakan apa pun? Hati Duan Cuizhen yang awalnya menolak kenyataan itu akhirnya luluh, ia menulis surat kepadanya dengan penuh permohonan. Demi cinta yang gila itu, ia bahkan rela mengorbankan harga dirinya—mengaku bahwa mungkin ia memang hanya seorang gadis yang terlalu mencintai, yang hanya tahu mencintai dengan seluruh jiwanya. Ia menulis bahwa: Andai saja saat kita bertemu dulu kamu belum punya keluarga, alangkah indahnya.
Setiap hari ia kembali ke tempat janji temu itu, berdiri di sana lama sekali, berharap keajaiban datang, berharap langit iba kepadanya. Namun pada akhirnya, wajah pria itu tak pernah muncul lagi, dan bunga-bunga persik tetap tersenyum pada angin musim semi...
Surat itu dikirim, tetapi lama tak kunjung dibalas.
Suatu hari, seorang pengantar datang kepadanya. Ia menyerahkan seikat surat-surat yang tak pernah terbuka, alamatnya sudah tidak lagi ditempati. Seluruh keluarga Zhou telah pindah ke seberang lautan, ke Gunung Tanxiang.
Ternyata, ia tidak berbohong padanya.
Duan Cuizhen menyia-nyiakan masa mudanya hanya untuk menunggu.
Namun pada akhirnya, yang ia dapatkan hanyalah surat-surat yang penuh dengan sindiran dan dinginnya kenyataan.
Perang saudara telah usai, tak ada lagi desah lega atas perpecahan negeri. Di jalanan, para mahasiswa yang mengenakan seragam militer hijau bersorak penuh semangat. Namun ia berjalan melewati kerumunan itu seperti jiwa yang tersesat—memakai gaun merah yang kini tak lagi pantas, berjalan dari tangis menuju tawa. Ia sudah terlalu lama menangis, terlalu lama tertawa, hingga akhirnya jatuh sakit dengan parah, seolah telah mati sekali.
Universitas Huzhou memberitahunya bahwa ia telah menyia-nyiakan studinya dan menyarankan agar ia mengundurkan diri.
Saat ia pulih dari sakitnya, ia mengenakan seragam militer hijau—yang saat itu menjadi simbol semangat para pelajar—dan untuk sesaat, seolah semua orang telah berubah menjadi hijau militer yang sama, tak bisa dibedakan satu dengan yang lain.
Tak ada cahaya dalam matanya, hanya ketenangan yang dingin.
Ia berkata: “Direktur, bisakah Anda memberiku dua bulan lagi masa percobaan? Dahulu aku memang bodoh, tapi sekarang aku sadar akan kesalahanku. Aku tidak memiliki apa-apa lagi selain studku. Tolong beri aku kesempatan lagi. Aku... Aku tidak akan mengecewakan Anda.”
Kepala sekolah mendorong kaca mata bingkai kura-kuranya yang tebal dan berkata, “Sebenarnya, kau akan lebih baik jika ke luar negeri. Mengapa tidak mencari kesempatan untuk pergi dan melihat dunia? Sekolah kami mungkin tidak cocok untukmu.”
“Aku tidak mau ke luar negeri.” Ekspresinya menjadi sangat dingin, seakan-akan ke luar negeri itu sama saja seperti ke tempat terkutuk bernama Tanxiang.
“Aku akan tetap di sini. Aku ingin berubah, dan Anda bisa mengubahku. Aku ingin membentuk diriku kembali.” Ada cahaya tajam dan menakutkan yang menyala di matanya.
“Aku akan tinggal di sini dan tidak akan menyia-nyiakan satu detik pun yang aku miliki. Percayalah, suatu hari nanti aku akan jauh lebih hebat daripada laboratorium mana pun di luar sana.”
Direktur itu menatapnya, dan entah kenapa, tubuhnya merinding...
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Duan Cuizhen duduk di laboratorium, mengenang tahun-tahun itu seolah-olah itu adalah kehidupan lampaunya.
Dengan dingin ia berpikir: sejak hari itu, hidupnya telah memasuki jalur yang “benar”, bukan?
Pria... wanita... siapa saja, semua bisa dimanfaatkan.
Sejak saat itu, ia terobsesi pada penelitian ilmiah—ilmu pengetahuan menyelamatkan hidupnya, juga masa mudanya. Demi mendapatkan peluang yang lebih baik, ia rela memberikan segalanya. Ia ingin mencapai lebih tinggi, menemukan batu loncatan, maka ia menikah, melahirkan seorang putri yang bahkan tak diinginkan oleh suaminya. Demi tidak menghalangi langkahnya dengan para pengusaha kaya, ia mengatur agar putrinya dibesarkan di kampung halamannya, di Kabupaten Qingli.
Kemudian, ketika suaminya meninggal, semua orang bersuka cita. Kini dengan kebebasan penuh dan kekayaan di tangannya, Duan Cuizhen semakin dalam terjerumus ke jalan yang tak manusiawi ini.
Hingga hari ini, ia merasa bahwa dirinya telah menyelesaikan “evolusi”-nya. Kemanusiaan, baginya, adalah sesuatu yang lama diabaikan. Sesuatu yang pernah ia miliki, tapi kini terasa begitu konyol dan tak berguna, seperti jejak bayangan dari kisah “Bai Suzhen”.
Apa yang ia cari adalah menjadi pemimpin revolusi industri ketiga, pengendali dunia metaverse, sang pencipta yang memiliki kekuasaan atas hidup dan mati banyak jiwa.
Untuk itu, ia butuh hidup yang lebih panjang, tubuh dan tulang yang lebih muda. Tujuh puluh tahun telah berlalu—dan ia masih bisa melanjutkannya.
Siapa pun yang menolak untuk ikut serta dengan patuh, akan membayar harga yang setimpal. Putrinya yang bodoh sudah melakukannya. Jiang Liping juga melakukannya… bahkan Duan Wen pun begitu.
Dalam hidup, cinta adalah hal yang paling sulit diputus. Demi mencegah Duan Wen mengikuti jejak kelam ibunya, ia membiarkan teman sekelasnya mati tragis sebelum semuanya dimulai. Kalau tidak begitu, dari mana datangnya benda tajam di kamar Li Yun? Setelah kematian Li Yun, ia tahu bahwa Duan Wen mencurigainya, tetapi itu tidak berguna. Jika ia ingin menghidupkan kembali Li Yun, maka ia harus melindungi Mandela dengan segala daya. Hanya teknologi tinggi yang tidak tunduk pada etika dan moral di pulau ini, yang benar-benar bisa mewujudkan keinginannya...
Selama manusia masih memiliki kebutuhan, maka mereka pasti memiliki kelemahan. Mereka akan menaruh harapan pada pulau ini—dan apakah mereka menghormatinya atau membencinya, mereka tetap harus melindunginya.
“Nenek!!” Suara tajam menerobos melalui headset—tiba-tiba panggilan dari Anthony datang dari dalam.
Duan Cuizhen membuka matanya, terbangun dari lamunannya. “Apa?”
“He Yu sudah bangun!!!” Suara Anthony terdengar penuh dengan emosi yang tak tertahankan. “Perangkat penyebar darah gu berhasil! Baru saja terjadi!!”
“Segera hidupkan videonya. Aku sudah bawa dia ke ruang uji. Laporan pengujiannya sudah kukirim ke data Anda!”
Duan Cuizhen segera menyalakan monitor di sampingnya dan mengganti saluran ke ruang pelatihan.
Benar saja, sebuah video yang sangat jelas ditayangkan...
He Yu benar-benar sudah bangun, wajahnya pucat dengan sedikit kesan murung. Ia berdiri di ruang pelatihan, mengenakan perhiasan perak di telinga kirinya yang mengontrol otaknya, menempel erat pada kulit dan darahnya.
Di dalam dadanya, alat berbentuk berlian yang menyebarkan pengaruh darah gu bersinar terang. He Yu menatap kamera, tetapi tatapannya kosong.
Itulah kondisi ketika seseorang telah benar-benar dicuci otaknya. Ia bertanya kepada Anthony, “Katakan, apa yang kau ingin aku lakukan?”
Suara Anthony terdengar dari balik kamera dengan sedikit gemetar, “Coba beri perintah... kepada orang-orang di kejauhan itu.”
Begitu kamera mengarah ke sekitar belasan tahanan di ujung ruang pelatihan—di bawah pengawasan para penjaga keamanan—terlihat jelas dari rekaman bahwa mereka berada sangat jauh dari He Yu, bahkan di luar jangkauan senapan penembak jitu.
He Yu menoleh sekilas dan kembali bertanya kepada Anthony, “Perintah apa? Membunuh?”
Anthony tahu bahwa para tahanan itu sulit didapat. Meskipun ia sangat ingin melihat pemandangan yang paling menegangkan, ia berkata, “Bukan, buat mereka semua berlutut. Cepat, coba saja!”
He Yu mengalihkan perhatiannya pada para tahanan.
Ia tampak menganggap hal itu terlalu mudah, sikapnya agak malas.
Di tengah suasana yang membuat orang lain tegang hingga sulit bernapas, He Yu hanya memiringkan kepala, membuka mulut seolah memberi perintah kepada alat perak di telinganya, dan seketika...
Belasan prajurit yang berada di kejauhan itu langsung jatuh berlutut satu per satu, seakan ada tangan raksasa tak kasatmata yang mendorong mereka semua ke tanah dalam sekejap, hingga dahi mereka menyentuh lantai bata yang dingin!
Gerakan itu seolah telah dilatih ribuan kali, He Yu mengendalikan mereka semua dengan presisi yang sama tanpa selisih satu detik pun, dan tak satu pun dari mereka dapat melawan...
Video itu telah selesai.
Suara Anthony terus terdengar dari headphone-nya dengan penuh semangat, “Nenek... Apakah Anda melihatnya? Ruang pelatihan ini masih terlalu kecil, dan jumlah orangnya terlalu sedikit. Tapi nilai yang didapat dari tabel uji menunjukkan bahwa, setelah alat ini menyebar, darah gu Anda bisa mengendalikan setidaknya tiga ratus orang sekaligus! Dan waktu reaksinya hanya 0,1 detik!”
Duan Cuizhen menatap gambar yang terpampang di layar dan berkata kepada Anthony, “Hubungi Duan Wen dan kirimkan darah gu ke garis depan.”
Tatapan matanya tidak suram, juga tidak kejam, melainkan telah kehilangan seluruh sisi kemanusiaan.
“Biarkan dreambreakers saling membunuh.”
“Ya! Akan segera saya atur!”
Anthony memutus komunikasi, matanya bersinar dengan kegilaan yang penuh semangat. Sebaliknya, di ruang pelatihan, mata aprikot milik He Yu tetap dingin dan tak berkedip.
Alat pengendali yang dipasang Mandela di dadanya masih aktif, terus melakukan proses pencucian otak secara berkelanjutan.
Tatapan matanya menjadi sangat mirip dengan milik Duan Cuizhen—sepasang mata yang mengingat segalanya, tetapi juga telah kehilangan semuanya.
Tidak ada lagi yang penting, kecuali keyakinan Mandela.
“Nenek ingin kau dan aku pergi ke garis depan,” kata Anthony, lalu dengan cepat mengaktifkan alat pelindung yang dirancang khusus untuk He Yu. Itu adalah perangkat khusus yang baru ditemukan—bunker antipeluru ringan dengan kemampuan artileri. Dalam kondisi audio dan visual yang membingungkan, alat itu tampak seperti robot berat di mata orang biasa—sangat menyeramkan dan kuat.
Anthony berkata, “Ayo.”
He Yu tidak bergerak, melainkan terus menatap keluar jendela.
Anthony bertanya, “Ada apa?”
“Aku ingat... aku masih punya janji yang belum kutepati.”
Begitu kalimat itu terucap, Anthony langsung waspada, menatapnya dengan hati-hati.
He Yu terdiam sejenak, pikirannya sendiri sempat bergelombang, namun kemudian ditekan kembali secara diam-diam oleh kekuatan pencucian otak dari alat pengganggu itu.
“Tidak apa-apa,” akhirnya ia berdiri tegak, merapikan seragam kembarannya, lalu berjalan mendekati Anthony. “Sepertinya itu tidak terlalu penting sekarang.”
Anthony menghela napas lega dan mengembuskannya perlahan. “...Ya.”
He Yu mendorong pintu, cahaya dan bayangan mengikuti gerakan daun pintu yang terbuka, sinarnya yang terputus-putus mengenai wajahnya, dan memantul utuh di matanya. Ia berkata, “Ayo.”
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Pada saat yang sama, klon yang berada di sel bawah tanah, Lu Yuzhu, membuka matanya dengan tak percaya.
Meskipun ia adalah seseorang yang telah mati rasa terhadap perasaan, ia tetap terkejut oleh apa yang baru saja dikatakan oleh Xie Qingcheng. “Kau... kau yakin?”
“Kalau kau tidak percaya, kau bisa membiarkan Duan Wen membuktikannya sendiri. Percaya pada keberadaan Kaisar Pertama—lebih baik salah daripada dengan sengaja membiarkannya pergi, bukan begitu?”
Klon Lu Yuzhu: “...”
Xie Qingcheng mengangkat wajahnya yang pucat pasi. “Biarkan Duan Wen menemuiku, dan aku akan memberinya apa yang dia inginkan.”