Xie Qingcheng pada akhirnya tidak berhasil diselamatkan.
Lukanya sangat parah hingga setelah lebih dari sepuluh hari bertahan, pada suatu malam yang diguyur hujan ringan, ia berhenti bernapas.
He Yu telah berada di rumah sakit selama lebih dari sepuluh hari, dan sebenarnya ia sudah memiliki firasat dalam hatinya.
Namun, ia tetap kehilangan kendali.
Ia dibawa ke ruangan lain oleh seseorang yang ditugaskan oleh kelompok dreambreaker untuk mengawasinya. Tubuhnya kembali diikat dengan sabuk pengekang. Di balik sabuk-sabuk itu, ia menjerit dan terjatuh, menangis dan berusaha melawan, tetapi tidak ada yang berani melepaskannya.
Perawat menyuntiknya dengan obat penenang dan pereda nyeri. Sebelum ia pingsan, ia melihat Xie Qingcheng mendekat dalam keadaan setengah sadar—seperti ketika ia masih kecil—berjalan ke sisi ranjangnya, menatapnya dalam diam, mengulurkan tangan, mendorong semua orang menjauh, lalu melepaskan sabuknya.
Ia ingin memanggil nama Xie Qingcheng, tetapi dunia langsung menjadi gelap gulita.
Di bawah pengaruh anestesi yang dingin, ia berpindah dari sekelompok orang yang melihatnya sebagai mesin, ke kelompok lain yang menganggapnya sebagai monster.
Tak ada lagi yang memeluknya atau melepaskan sabuk itu.
Satu-satunya orang yang memperlakukannya sebagai “manusia” telah tiada.
Ia tak bisa melihat apa pun lagi.
Kondisi He Yu benar-benar buruk dan sangat berbahaya. Ia tidak secara resmi dibebaskan dari pembatasannya hingga lebih dari setengah bulan kemudian. Pada hari pemakaman Xie Qingcheng, ia ingin datang, tetapi tak seorang pun berani mengambil keputusan untuk melepaskannya, karena ia bisa saja kambuh sewaktu-waktu.
Zheng Jingfeng mengajukan permohonan kepada atasannya, bahkan mempertaruhkan kehormatan profesionalnya. Namun, sayangnya, ia gagal meyakinkan beberapa pihak yang lebih pragmatis. Mereka mengatakan bahwa mereka memahami perasaan He Yu, tetapi nyawa manusia lebih penting. Mereka tidak yakin He Yu bisa menahan diri di pemakaman, dan lagi, He Yu bukan kerabat, pasangan, atau kekasih Xie Qingcheng.
Meskipun banyak dreambreaker yang pernah bertarung bersama mereka bersedia menjadi saksi, dan bahkan panglima tertinggi telah menandatangani surat pernyataan bersama, pemimpin besar yang bertanggung jawab atas urusan itu memilih untuk berhati-hati agar atasannya tidak memperpanjang masalah ini.
Makhluk seperti monster, bisakah ia memiliki sisi kemanusiaan? Cinta seperti apa yang bisa tumbuh antara dua orang dengan jenis kelamin yang sama?
Itu adalah sesuatu yang dianggap tidak masuk akal. Belum lagi perbedaan usia di antara mereka, jauh di dalam hati, sang pemimpin tidak percaya hal itu benar adanya. Ia mengembalikan surat pernyataan tersebut, karena ia harus pulang setelah jam kerja. Hari itu adalah hari ulang tahun pernikahannya bersama sang istri. Ia menikah untuk kedua kalinya, dan istrinya yang hampir empat puluh tahun lebih muda menyukai perhatian, dan ia sangat mencintainya hingga khawatir jika ia pulang terlambat akan membuat istrinya kecewa. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia menelepon sopirnya untuk menjemputnya.
Cuaca hari itu cerah.
Sang pemimpin bersikap santai dan pulang ke rumah.
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
“Lepaskan aku... mengurungku dan mengikatku... Lepaskan aku... Aku ingin melihatnya... Aku ingin melihat! Mereka pasti salah... Dia tidak mungkin mati... Bagaimana mungkin dia tidak bisa diselamatkan...?”
Di dalam ruang perawatan intensif, dipasang jeruji besi untuk mencegah pasien kehilangan kendali.
Ruang rawat itu terletak di bagian terdalam rumah sakit, dengan penjagaan polisi di pintu.
Sebuah jendela kecil yang menyeramkan dan sunyi.
Siapa pun yang ingin mendekat harus membuat janji dan mendaftar terlebih dahulu.
Hari itu, ratapan He Yu terdengar sepanjang malam di dalam, menyeramkan dan memilukan. Penjaga di luar tak bisa menahan diri untuk tidak menoleh dengan wajah ngeri.
Sejak hari itu, He Yu berhenti berbicara.
Ia menolak makanan yang disediakan untuk pasien, menolak minum, dan menolak bertemu siapa pun. Hanya pada hari itulah ia benar-benar memahami bagaimana perasaan Xie Qingcheng saat Qin Ciyan meninggal dan ia tidak dapat menghadiri pemakamannya.
Karena dunia ini selalu membutuhkan sebuah “gelar”.
Seolah-olah jika kau memiliki gelar itu, maka kau berada di pihak yang benar.
Tak peduli ada rasa sayang, tak peduli ada cinta... hubungan seperti apa pun itu, dunia ingin semuanya dibingkai dalam identitas yang logis dan nyaman untuk dikenali oleh orang lain yang tak berkaitan, dan hanya dengan begitu hubungan itu dianggap nyata dan sah.
Hanya dengan begitu kau akan memiliki hak untuk berada di barisan terdepan dan melihat untuk terakhir kalinya orang yang paling kau cintai saat ia meninggalkan dunia ini.
Jika tidak, kau bahkan tidak punya hak untuk menangis di depan umum. Orang-orang akan berpikir, “Aneh sekali, siapa kau sebenarnya baginya?”
Saat ia dimakamkan di dalam tanah, He Yu meratapi kehilangan itu semalaman di dalam sangkarnya yang baru—Di luar sana, mereka mengubur bunga mawar naga, mengubur harta karunnya, jembatannya, dan seluruh dunianya, tapi ia tidak bisa datang.
Ia tidak bisa pergi ke mana pun.
Ia hanya bisa membiarkan jiwanya dikremasi dan dikuburkan bersama Xie Qingcheng. Ia sepenuhnya menyerah pada keinginannya untuk hidup. Mungkin itulah yang selama ini diharapkan oleh beberapa orang---
Gu darah. Kaisar pertama. Mental Ebola, dan semua monster yang diciptakan oleh RN-13, semuanya berakhir dengan cara yang membuat mereka sendirian.
Itulah kehancuran sejati Pulau Mandela. Sejak saat itu—langit dan bumi akan terasa luas dan bersih.
Namun sayangnya, masih ada perasaan di antara manusia, dan para manusia yang telah diubah itu bukanlah monster. Mereka pun masih memiliki keterikatan dengan dunia ini.
Pada hari keenam He Yu mogok makan—hanya hidup dari cairan nutrisi—Zheng Jingfeng akhirnya mendapat izin untuk mengunjungi paviliun tempat He Yu dirawat, berkat bantuan komisaris politik Wang. Ia tidak menyangka bahwa menjenguk He Yu ternyata lebih sulit daripada mengunjungi seorang narapidana.
Mata Zheng Jingfeng memerah ketika melihat He Yu terbaring di ranjang rumah sakit dengan tubuh terikat. He Yu tidak menatapnya, matanya kosong—tanpa cahaya, tanpa fokus.
Zheng Jingfeng mencoba berbicara kepadanya, tetapi ia tidak menjawab.
Seolah-olah bukan hanya Xie Qingcheng yang dimakamkan dalam hujan hari itu, tetapi He Yu pun turut terkubur bersamanya.
He Yu tidak mengucapkan sepatah kata pun, tidak pula bergerak.
Ia tidak melihat siapa pun, dan tidak peduli pada apa pun. Hingga akhirnya---
“Aku membawa sebuah surat. Ini surat biasa yang telah disertifikasi,” kata Zheng Jingfeng. Ia akhirnya sadar bahwa ia tidak seharusnya terus mengganggu He Yu. Ia pun berdiri dan meletakkan sebuah surat yang agak rusak di atas ranjang.
Karena He Yu terikat dan tidak bisa bergerak, Zheng Jingfeng pun membuka surat itu di hadapan He Yu.
“Xie-ge-mu menulis surat kepadamu sebelum berangkat ke Pulau Mandela.”
Zheng Jingfeng menyaksikan, pada saat itu, bagaimana He Yu berubah dari kematian menuju kehidupan.
Ia tiba-tiba melihat cahaya terang di mata He Yu—cahaya yang sedih, namun tetap bergetar, penuh kerinduan.
He Yu membuka mulutnya, tetapi karena sudah terlalu lama tidak berbicara, ia tak mampu mengeluarkan suara.
Namun Zheng Jingfeng bisa memahaminya.
Ia sedang memintanya untuk mendekatkan surat itu. Ia ingin melihatnya.
Dengan putus asa, dengan cemas, dengan sedih, dan dengan gila-gilaan... ia ingin melihatnya...
Dan ia melihatnya.
Itu adalah surat yang sebenarnya cukup panjang, untuk ukuran Xie Qingcheng. Di dalamnya, Xie Qingcheng menulis---
He Yu,
Ketika kau membaca surat ini, badai di Pulau Mandela seharusnya sudah reda.
Aku tidak tahu apakah aku masih hidup saat ini.
Namun, apa pun yang terjadi, kurasa sudah waktunya untuk memberitahumu seluruh kebenaran.
Aku tahu kau menyimpan dendam padaku karena terlalu kejam dan tidak berperasaan, kau membenciku karena mengirimmu pesan saat kau sedang bersembunyi, dalam pertempuran laut di Guangzhou.
Kau mengatakan bahwa kau telah keluar dari obsesimu, bahwa kau bisa melangkah dan menemukan hidup baru, dan aku merasa bahagia untukmu—bahwa aku tidak lagi mengusik kedamaian hidupmu. Karena aku tahu, aku bukan seseorang yang layak untuk kau perjuangkan sepenuh hati.
Aku menerima pengobatan RN-13 di tahun ketika kedua orang tuaku meninggal, saat aku berusia tiga belas tahun. Dan meskipun di bawah bimbingan guruku aku berhasil melewati semua kesulitan, bertahan hidup sebagai manusia normal, menjadi seorang dokter, dan kembali ke masyarakat, aku kemudian menyadari bahwa dampak dari mental Ebola masih bersamaku dengan cara yang tidak terkait langsung dengan penyakitnya.
Selama dua puluh tiga tahun, aku hidup dengan rantai yang tak kasatmata. Aku terbiasa untuk tidak memiliki emosi, terbiasa menghadapi semua masalah dengan tenang, menyelesaikan segala sesuatu secara rasional. Aku tidak bisa menghindarinya. Orang tuaku, seluruh keluargaku, telah tiada. Jika sesuatu terjadi padaku, maka Xie Xue akan kehilangan satu-satunya penopang yang tersisa. Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
Banyak orang di sekitarku mengatakan bahwa aku bukan manusia, bahwa aku tidak memiliki perasaan—dan aku tidak bisa membantahnya. Aku memang tidak punya pilihan, karena hanya dengan hidup sebagai mayat berjalan aku bisa hidup dengan tenang.
Dengan cara seperti itu, seiring berjalannya waktu, aku seolah-olah lupa bagaimana rasanya emosi yang kuat. Aku terbiasa untuk tidak membiarkan apa pun lepas kendali di hadapanku, sehingga aku selalu berusaha mengatur hidup orang lain, berusaha sekuat tenaga masuk ke dalam hidup mereka dan melindungi mereka sebisaku, namun aku menolak siapa pun masuk ke dalam hidupku dan menjadi variabel yang tak terduga.
Aku bertahan hidup.
Namun aku telah berubah menjadi mesin, menjadi batu, menjadi sehelai rumput. Jika dipikir-pikir, banyak hal yang tidak aku lakukan dengan baik. Seperti pisau tajam, aku telah melukai hati banyak orang—Bibi Li, Xie Xue, Li Ruoqiu, Chen Yan, dan juga hatimu.
Aku telah sakit selama dua puluh tiga tahun, dan aku tidak tahu lagi bagaimana cara menjalin hubungan dengan orang lain seperti orang normal, bagaimana merasakan perasaan yang paling sederhana dan tak terbatas antar sesama manusia. Awalnya aku bahkan tidak percaya bahwa cinta yang lepas kendali benar-benar ada di dunia ini, maka pada saat itu aku menolakmu dengan sinis, mengoreksimu. Aku berkata bahwa kau tidak tahu apa-apa.
Padahal, sebenarnya akulah yang tidak tahu apa-apa, He Yu. Hari-hari saat kau ingin aku memahami, saat kau bersamaku—pasti sangat sulit bagimu.
Aku tidak peduli apa yang kau katakan, atau bagaimana sikapmu, aku tidak percaya bahwa perasaanmu padaku itu nyata. Aku terus-menerus mendorongmu pergi, sampai kau berdarah, berharap kau menjauh sejauh mungkin dariku. Aku tidak bisa melihat cahaya di matamu, aku tidak percaya pada cahaya di matamu.
He Yu, aku benar-benar minta maaf.
Kemudian, saat kau kembali, banyak hal telah berubah, dan kau tidak menyukaiku lagi. Aku tahu, itu mungkin menjadi kelegaan bagimu—sejak saat itu kau tidak perlu lagi berhadapan dengan seseorang yang bahkan tidak bisa belajar untuk menerima hati orang lain. Kau memiliki hati yang paling hangat, paling berani, dan paling gigih di dunia ini, dan hatiku terlalu sakit—untungnya, ia tidak akan menjadi beban bagimu lagi.
Namun itu tidak berarti aku tidak menyukaimu, He Yu.
Aku tidak pernah memberitahumu, tapi sebenarnya aku sangat menyukaimu. Itu adalah perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, dan tidak akan aku rasakan lagi terhadap siapa pun di masa mendatang. Aku rela melindungimu, merawatmu, dan menemanimu. Aku rela memanjakan amarahmu, membiarkanmu melakukan sesukamu. Aku rela memberikan seluruh perasaanku—bahkan nyawaku—untukmu.
Namun semuanya sudah terlambat, dan semua hal yang telah lama kau tunggu kini tidak lagi berarti.
Aku tidak punya apa pun lagi untuk kuberikan padamu.
Aku hanya ingin jujur kepadamu di akhir ini, dan memberitahumu bahwa kau pantas untuk dicintai.
Kau akan dicintai.
Kau sudah dicintai.
Aku tahu kau membenciku, dan harus kuakui bahwa menahan kebencianmu itu menyakitkan dan membuatku mati rasa, tetapi aku tahu aku memang bersalah padamu. Jadi keras kepalamu, sifat pemarahmu, dan sikap cuekmu sejak kau kembali... aku bisa memahaminya. Itu sangat berat bagiku, tapi aku harus menerimanya. Aku berutang banyak padamu—terutama soal hati.
Aku tidak akan lari. Aku rela menemanimu dengan cara seperti ini, dalam kemarahanmu, sebagaimana dulu kau menemani diriku yang keras dan kejam. Aku tidak akan menghindar jika kau menusuk jantungku dengan pisau—aku ingin tahu seberapa besar rasa sakit yang pernah kau rasakan karenaku.
Aku melakukan ini hanya dengan harapan, bahwa saat aku pergi dari sisimu nanti, kau sudah cukup meluapkan semuanya, dan mungkin... kau bisa memaafkanku, meskipun hanya sedikit.
Jangan bawa kebencian bersamamu, He Yu.
Kau anak yang baik. Meskipun (maafkan aku kali ini, aku harus mengatakannya dengan jujur, dan aku harap kau bisa memperbaikinya di masa depan), kau punya banyak kebiasaan buruk. Kau suka menghamburkan uang untuk hal-hal sepele, suka bermain-main seperti preman, pilih-pilih makanan, dan tak bisa mengendalikan emosimu. Batasmu sebagai manusia sebenarnya tidak terlalu tinggi. Namun, kau punya rasa hormat terhadap kebenaran dan nyawa manusia, dan kau bisa memiliki masa depan yang cerah. Aku selalu percaya itu.
Saat aku memutuskan bekerja sama dengan pihak kepolisian waktu itu, bukan karena aku yakin kau tinggal bersama kelompok Mandela, tetapi karena aku berharap kau akan menggenggam tanganku dan tidak memikul semuanya sendirian. Saat aku pergi ke kantor polisi, yang paling aku pikirkan sebenarnya adalah... bahwa kau saat itu baru berusia dua puluh tahun, He Yu.
Tahun itu kau baru berusia dua puluh tahun.
Aku tidak mau dan tidak bisa membiarkan sesuatu terjadi padamu. Aku ingin kau menggenggam tanganku seperti saat kecil dulu, di antara bunga-bunga, dan kembali mempercayaiku.
Namun mungkin, karena penolakanku dan semua penyangkalanku, kau telah kehilangan kepercayaan padaku. Maka aku tak lagi punya kesempatan untuk mendapatkannya kembali. Singkatnya, aku sendiri yang telah melukai perasaanmu.
He Yu, ada banyak hal yang belum bisa kulakukan dengan baik.
Aku tidak tahu apakah kau mau mempercayainya atau tidak, tapi sebenarnya aku sudah menerima perasaanmu dalam hatiku sejak lama—sebelum menemanimu di ulang tahunmu yang ke-20.
Namun saat itu, kesehatanku sudah sangat buruk. Seluruh organ tubuhku mulai gagal berfungsi, akibat penggunaan RN-13 yang berlebihan. Aku sudah menjalani berbagai pengobatan di Meiyu, namun hasilnya sangat sedikit. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi perasaanku terhadapmu. Dokter saat itu mengatakan padaku bahwa aku hanya punya waktu lima atau enam tahun untuk hidup, jadi aku berpikir... daripada membuatmu sedih dan menghabiskan masa muda terbaikmu hanya untuk menemaniku menuju kematian, lebih baik aku meninggalkan semuanya dalam situasi yang masih bisa diperbaiki.
Sampai hari ini, saat aku menulis surat ini, ketika Dekan Lu memberitahuku bahwa dia berada pada tahap metastasis kanker paru-paru dan ternyata sudah memberi tahu semua orang kecuali aku—barulah aku sadar bahwa tidak tahu itu sebenarnya lebih kejam daripada menemani.
Karena rasa sakit dari sebuah kebersamaan mungkin suatu hari bisa disembuhkan oleh waktu, tetapi penyesalan karena tidak tahu akan selalu tertinggal sebagai luka yang menetap di dalam hati.
Maafkan aku karena mengatakannya terlalu terlambat. Aku berharap kau bisa sedikit saja mengurangi kebencianmu padaku. Tapi jika tidak, jika kau tetap membenciku, tidak apa-apa. Aku tetap mengingat betapa baiknya kau padaku.
Aku akan selalu mengingat kebaikanmu padaku.
Iblis kecil, kau adalah orang terkuat yang pernah kutemui. Kau adalah orang yang paling gigih yang pernah kutemui.
Dan kau adalah satu-satunya orang yang kusukai.
Setelah selesai menulis surat ini, aku akan berangkat ke Pulau Mandela. Aku tidak tahu apakah aku masih akan punya kesempatan untuk bertemu denganmu lagi. Aku bahkan tidak tahu seperti apa masa depanku nanti.
Tapi aku akan selalu mencintaimu, selamanya.
Di mana pun kau berada.
Apakah aku masih hidup ataupun tidak.
He Yu, maafkan aku. Ge Xie-mu ini tidak pandai mengungkapkan perasaan dengan cara seperti ini. Aku tidak pernah mengekspresikan emosiku dengan jujur kepada siapa pun selama dua puluh tiga tahun terakhir. Aku tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana cara melakukannya dengan baik. Bahkan menulis surat seperti ini pun terasa sangat sulit. Jika ada yang membuatmu tidak nyaman, aku minta maaf terlebih dahulu.
Ge Xie-mu ini hanyalah seorang pria di bidang sains dan teknik, jadi tolong jangan marah padaku. Maafkan aku.
Xie Qingcheng percaya pada cinta yang tak tergantikan berkat He Yu.
Namun di saat-saat terakhir, keyakinan itu hancur berkeping-keping.
Dia adalah orang yang begitu bangga, namun bahkan ia meneteskan air mata dan darah, terisak sambil berkata bahwa dirinya bukanlah yang terbaik...
Dengan hati Xie Qingcheng yang seperti itu, betapa dalam keputusasaan dia harus terpuruk saat itu, sampai-sampai ia bisa mengucapkannya dengan begitu mantap?
Saat itu, He Yu lebih memilih seandainya Xie Qingcheng tak pernah mencintainya—agar ia tak perlu merasa sesakit ini. Namun Xie Qingcheng menulis dalam surat itu: “Aku akan selalu mencintaimu di masa depan, di mana pun aku berada, entah aku masih hidup ataupun tidak.”
Dia tertawa, menggenggam lembaran surat yang tipis dan cinta tak terbatas yang kini tak lagi ia miliki.
Sambil tertawa, ia terengah, lalu mengangkat mata yang penuh air mata dan menatap Zheng Jingfeng, terdiam lama dalam lamunannya. Akhirnya, dengan suara serak, ia bergumam,
“…Paman… Tolong… bisakah kau membantuku sekali lagi…?”
Zheng Jingfeng segera berkata, “Apa itu?”
“…” He Yu menatapnya dengan mata merah, terpaku. “Aku sekarang… aku tidak ingin mati dulu… aku ingin sembuh… aku bersedia… bekerjasama dengan perawatan… Aku ingin… aku ingin keluar… aku ingin melihat lagi… tempat yang dulu ia jalani pengobatan dan menanyakan hal-hal yang… belum sempat ia katakan padaku…”
“—Aku mohon bantu aku memohon pada Komisaris Politik Wang dan keluarga Wei… bahkan jika harus memohon pada Chen Man… tidak apa-apa… aku tahu yang lain tidak akan dengan mudah mengizinkanku keluar…”
“—Tolong…”
“Biarkan aku pergi ke makamnya… biarkan aku melihatnya sekali saja lagi… aku mohon padamu…”
“—Tolong… biarkan aku sekali lagi melihat orang yang kucintai…”
Dia adalah kekasihnya, namun untuk melihatnya sekali saja, ia membutuhkan persetujuan dunia.
Setelah Zheng Jingfeng pergi, He Yu duduk di atas ranjang. Suster mencoba mengambil surat itu, tapi ia menolak.
Ia terus membacanya, membacanya berulang-ulang, tanpa henti.
Pipinya terasa dingin, dan ketika air matanya mengering, wajahnya tampak murung.
Tiba-tiba, ia terkejut.
Tiba-tiba, ia menemukan satu kelembutan terakhir yang tersembunyi dalam surat ini—
Xie Qingcheng telah memberitahunya hampir seluruh kebenaran dalam surat itu, tetapi ada satu hal yang tidak dikatakannya—
Pesan singkat yang telah menipu He Yu tiga tahun lalu ternyata bukan dikirim oleh Xie Qingcheng, melainkan oleh Direktur Hu.
Xie Qingcheng rela menanggung kesalahpahaman itu seorang diri dan tidak mengungkapkan apa pun hingga akhir hayatnya.
Ia tidak ingin He Yu mengetahuinya, dan merasa sakit serta menyesal saat mengingat semua perbedaan yang terjadi sejak mereka bertemu kembali.
Karena Xie Qingcheng sendiri telah merasakan pedihnya penyesalan, ia lebih memilih memohon ampun secara tiba-tiba kepada He Yu daripada memberitahunya bahwa ia telah difitnah.
Ada satu hal yang tak ingin ia ungkapkan hingga ajal menjemputnya.
Ia takut He Yu akan terluka.
Iblis kecilnya itu masih sangat muda dan telah mengalami banyak penderitaan.
“Aku menggunakan tubuhku untuk melindunginya sekali. Di Pulau Mandela, agar dia tidak menjadi sasaran.”
Kini, ia kembali melindunginya untuk kedua kalinya dengan ketulusan hatinya. Agar di masa depan, He Yu tidak perlu disiksa oleh rasa bersalah.
Xie Qingcheng telah sakit selama dua puluh tiga tahun dan kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan kasih sayangnya dengan normal.
Namun pada saat ini, He Yu merasakannya tanpa keraguan. Ia merasakan tangan hangat di atas kepalanya, mengangkat wajahnya, dan melihat Xie Qingcheng berdiri di depannya. Ia tidak tahu bagaimana cara tersenyum dengan baik, orang lain mungkin mengira ia tak memiliki perasaan. Namun He Yu tahu bahwa ia memilikinya. Dua puluh tiga tahun kelembutan dan perlindungan, dalam perjuangannya keluar dari kepompong penyakitnya.
Cinta dan pengorbanan.
Xie Qingcheng, ia memberikan segalanya dalam diam.
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Tiga bulan kemudian, menjelang titik balik matahari musim panas, He Yu yang telah pulih sepenuhnya akhirnya keluar dari rumah sakit setelah menyelesaikan seluruh proses interogasi, evaluasi, dan menandatangani serangkaian dokumen keterikatan. Meskipun ia dapat merasakan bahwa seseorang terus mengawasinya dari kegelapan—untuk mencegahnya melakukan sesuatu yang di luar kendali—ia tidak lagi peduli.
Ia pergi ke Rumah Sakit Swasta Meiyu. Hari itu adalah hari terakhir kerja sang dekan tua. Kesehatannya semakin memburuk. Setelah hampir separuh hidupnya menyimpan rahasia demi teman-teman seperjuangannya, akhirnya tiba saatnya ia meletakkan “baju zirah” dan pulang ke rumah. Seolah-olah ia memang telah menunggu, agar pada hari terakhirnya bertugas, ia bisa bertemu dengan seorang tamu yang tampan dan polos—namun seperti mayat hidup.
Dekan tua itu tersenyum dan mengundang He Yu duduk. Seperti sahabat lama, ia menyeduhkan segelas teh jahe hangat, lalu mulai menceritakan rahasia-rahasia yang kini tak perlu lagi disimpan...
“Ngomong-ngomong,” kata sang dekan tua di akhir pertemuan, seolah-olah ia bisa melihat kehampaan dalam hati He Yu, lalu berbalik dan mengambil sebuah buku catatan dengan tangan bergetar, “Bukankah tadi aku sudah bilang, bahwa Profesor Xie telah menyempurnakan catatan-catatan peninggalan Lao Qin? Catatan-catatan itu... bisa membawa perubahan, dan sangat berguna bagi para korban yang masih ada di masyarakat... Uhuk, uhuk... bagi para korban yang terkena penyakit Ebola sub-psikotik akibat mengonsumsi obat-obatan berkualitas rendah... Uhuk, riset beliau mengenai obat-obatan terapeutik sangat, sangat membantu.”
Ia menarik napas, lalu meneguk air beberapa kali lagi. “Xiao He, ah... catatan-catatan ini, dan... penelitian mengenai obat-obatan ini, bisakah kau bantu aku, dan bantu kakakmu Xie, untuk menjaga dan melanjutkannya? Kami semua ingin melihat para korban tak berdosa itu akhirnya mendapat jawaban...”
Sembari berkata demikian, ia mendorong sebagian catatan milik Xie Qingcheng yang dimilikinya ke arah He Yu.
Dalam mata He Yu yang kosong, tercermin catatan-catatan yang telah rusak itu. Ia sempat menciut, ingin menghindar, tetapi ia tidak bisa. Sang dekan tidak membiarkannya pergi, dan pada akhirnya menyerahkan semua catatan itu dengan mantap ke tangan He Yu. Ujung jemari He Yu bergetar hebat ketika menyentuh sampulnya. Perlahan, ada sedikit warna dan cahaya di matanya, meski diliputi kegelisahan.
Meskipun sang dekan telah membawanya ke tempat di mana Xie Qingcheng pernah dirawat, dan memberinya banyak alasan untuk bertahan, tubuh He Yu tetap kaku, seolah-olah ia telah mati, dan hanya datang untuk melihat dunia Xie Qingcheng untuk terakhir kalinya.
Barulah ketika segala urusan Xie Qingcheng yang belum selesai itu diserahkan dengan hati-hati ke dalam genggaman tangan He Yu—barulah ketika tangan He Yu menyentuh catatan yang telah berkali-kali disentuh oleh Xie Qingcheng—dekan tua itu untuk pertama kalinya melihat seberkas cahaya yang samar dan menyakitkan dalam diri He Yu.
Jika seseorang memiliki sesuatu untuk dipikirkan, maka masih ada harapan untuk hidup.
Itu adalah hal yang sangat dipahami oleh sang dekan tua, setelah sekian lama menjadi seorang dokter.
“Bukalah dan lihatlah.”
He Yu ragu-ragu, lalu perlahan menunduk dan membuka catatan itu.
Pekerjaan itu awalnya milik Qin Ciyan, dan di halaman pertama, ketika dibuka, tampaklah tulisan tangan Lao Qin.
Tulisan itu pasti ditulis pada masa-masa akhir hidupnya. Gaya tulisannya tua, kaku, dan penuh wibawa. Ia menulis: “Jika ada kehidupan berikutnya, aku masih akan bersedia memberikan tenaga dan pikiranku yang sederhana untuk menyelamatkan nyawa mereka yang menderita penyakit. Jika aku memiliki satu kehidupan lagi, aku akan tetap membuat keputusan yang sama, tanpa penyesalan.”
Di bawah kalimat itu, perhatian He Yu tertuju pada baris lain yang ditulis dengan tulisan miring yang sudah sangat dikenalnya.
Xie Qingcheng menulis, “Aku juga.”
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Saat senja, He Yu akhirnya tiba di pemakaman.
Makam Xie Qingcheng berdiri di samping makam Qin Ciyan yang telah dipahat dengan indah. Semasa hidupnya, ia adalah murid kesayangan Qin Ciyan, namun bahkan untuk memberikan penghormatan secara layak pun, ia tidak pernah mendapatkan kesempatan itu.
Kini, ia akhirnya bisa dekat dengan gurunya, menghadapinya.
Hanya saja, tidak ada nama yang terukir di batu nisannya. Sesuai dengan permintaannya semasa hidup, yang terpatri hanyalah epitaf dari makam penyair John Keats:
“Here lies one whose name was writ in water.”
—Di sini terbaring seseorang yang namanya tertulis di atas air.
“Di sini terbaring seseorang yang namanya ditulis di atas air.”
Di sini terbaring seseorang yang namanya ditulis di atas air. Karena terlalu banyak kasus rahasia yang terlibat, dan ada pihak-pihak yang bisa menggunakan masalah obat ilegal secara jahat untuk menyebarkan fitnah serta mencemarkan nama baik Qin Ciyan yang terkait dengannya. Dalam surat tercatat yang ia kirimkan kepada Xie Xue, Xie Qingcheng telah meninggalkan catatan lengkap mengenai masa lalunya. Ia tidak membutuhkan siapa pun untuk membenarkan pengunduran dirinya dari rumah sakit kala itu.
Ia telah melakukan apa yang ingin ia lakukan, dan melindungi semua orang yang ingin ia lindungi. Ia menjalani hidupnya dengan benar, dan hanya sedikit hal yang membuatnya merasa malu.
Apa yang orang katakan tentang dirinya, bagaimana mereka menilainya—semuanya hanyalah nama yang melekat di permukaan tubuhnya, dan ia tak lagi peduli akan hal itu.
He Yu melintasi rerumputan pemakaman dan meletakkan seikat bunga lili di depan batu nisan Qin Ciyan, lalu dengan membawa sekuntum hortensia musim panas yang tak ada akhirnya, ia melangkah menuju sisi makam Xie Qingcheng.
Buketan bunga hortensia biru dan ungu muda itu dibungkus kertas kasa berwarna senada, dan di atasnya dilapisi selembar kain putih tipis seperti kerudung.
Ia mendekat, lalu berdiri diam menatap tulisan pada batu nisan.
Ia memanggil pelan—Xie ge...
Tiba-tiba, angin berhembus, seolah membawa mereka kembali ke awal musim panas sepuluh tahun silam. Kerudung tipis di atas bunga hortensia terangkat oleh tiupan angin, terbang tinggi sekali sebelum akhirnya jatuh kembali. Kain putih itu mendarat tanpa ragu di atas batu nisan Xie Qingcheng.
He Yu membuka mulut, namun hatinya terasa sesak seolah ada duri menusuknya. Ia tak sanggup berkata apa pun. Ia memiringkan tubuhnya dan menunduk, lalu berlutut di hadapan batu nisan itu.
“Kau menjatuhkan sesuatu...”
Akhirnya, seperti anak laki-laki dari masa lalu, ia memegang kain tipis itu dan berkata dengan suara tercekik:
“Ge, kau menjatuhkan sesuatu.”
Yang kau tinggalkan di dunia ini adalah sebuah hati—yang tak pernah berhenti mencintaimu.
“Tahukah kau...?”
Ia berlutut di depan makam itu untuk waktu yang sangat lama, namun tak ada lagi tangan hangat yang terulur padanya, tak ada lagi wajah tampan dan dingin yang menunduk—wajah yang mengingatkannya pada “suara salju di atas hutan bambu”—mengambil kerudung yang ia berikan dan berkata:
“Terima kasih.”
Saat malam mulai turun, He Yu akhirnya berdiri. Kakinya telah mati rasa, dan ia tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.
Pengelola makam adalah orang baru. Ia menunggu hingga peziarah terakhir pergi sebelum mengunci gerbang.
Mata He Yu memerah, pandangannya menunduk, dan ia meminta maaf dengan suara pelan, “Maaf, saya membuatnya menunggu.”
“Tak apa, hanya agak sedikit terlambat,” jawab sang pengelola, seorang pria tua yang penuh pengertian, namun sedikit penasaran. Setelah ragu sejenak, ia bertanya, “Batu nisan yang tanpa nama itu... sangat misterius. Makam itu diizinkan berdiri di antara makam para Pahlawan, tapi tak pernah diumumkan siapa yang dimakamkan di sana.”
Ia bertanya hati-hati kepada He Yu, “Kau tahu siapa dia?”
He Yu tidak menjawab. Jika Xie Qingcheng tidak ingin orang lain mengetahui namanya, maka ia tidak akan melawan keinginan itu. Ketika pria tua itu melihat He Yu tak menjawab, ia tidak memaksa. Ia hanya berkata, “... Nak, maaf, aku terlalu banyak bertanya. Aku sudah mengurus makam seumur hidupku, dan baru dua kali melihat makam tak bernama seperti itu, jadi...”
He Yu tercenung sejenak, seperti ada tali samar yang disentuh dalam hatinya.
“Dua makam?”
“Ya, satu lagi ada di sebelah barat kota, di pemakaman tempat aku bekerja dulu. Itu didirikan oleh seorang pria, tiga tahun yang lalu...”
Gendang telinga He Yu seakan dipukul oleh palu berat.
“Sebelah barat kota... di pemakaman Gunung Qingliang?”
Itulah tempat orang tua Xie Qingcheng dimakamkan. Mata pria tua itu membelalak, “Kau tahu?”
Pandangan He Yu tiba-tiba berkunang-kunang, dan ia nyaris tak bisa berbicara.
Setengah jam kemudian, He Yu tiba di pemakaman. Gerbangnya memang sudah ditutup, tetapi karena duka mendalam yang terpancar dari dirinya, serta sedikit uang kompensasi yang ia tawarkan, penjaga akhirnya bersedia membuat pengecualian untuknya.
He Yu segera menemukan monumen tanpa nama itu.
Ia tidak perlu bertanya siapa yang membeli tanah makam tersebut—ia langsung tahu jawabannya begitu melihat ukiran sederhana namun khidmat dalam bahasa Inggris di batu nisan itu.
Dan jawaban itu, menjelma menjadi sebilah pisau yang menancap dalam di hatinya.
Ia tersuruk ke depan batu nisan, berlutut dengan suara debam, dahinya menyentuh permukaan batu itu. Sosoknya yang kesepian terlihat begitu mirip dengan seseorang yang pernah mencintainya dengan sangat dalam, tiga tahun yang lalu.
“Nothing of him that doth fade.
But doth suffer a sea-change
Into something rich and strange.”
Di saat itu juga, He Yu akhirnya mengerti mengapa Xie Qingcheng menginginkan batu nisan tanpa nama. Tak ada nama yang tertulis di sana, hanya seuntai kalimat. Makam Shelley. Makam Keats.
Dengan menuliskan “Di sini terbaring seseorang yang namanya ditulis di atas air”, Xie Qingcheng sama sekali tak peduli dengan reputasinya. Ia hanya ingin menemani He Yu dengan cara yang diam dan sunyi. Betapapun dalam cinta mereka, hubungan itu tidak diakui, tak diterima dunia, dan mereka tak bisa meminta untuk dimakamkan berdampingan.
Namun di kota ini, hanya ada dua monumen tanpa nama—dengan dua baris kata rahasia, yang hanya mereka berdua yang memahaminya, terukir sejak masa muda mereka.
Air mata He Yu jatuh seperti butiran manik-manik yang terputus, dan tangannya mengusap tulisan yang familiar di batu nisan itu, seolah menyentuh tangan Xie Qingcheng yang dulu berlumur darah, melintasi ruang dan waktu.
“Ge...”
Di depan makam ini, ia menangis dengan getir dan tak tertahankan. Tak seorang pun tahu apa yang telah ia kehilangan, sama seperti tak seorang pun tahu siapa yang sebenarnya dimakamkan di sana.
Di kehidupan ini, hanya Xie Qingcheng yang akan menemaninya seperti ini, memahami rahasia-rahasianya.
Xie Qingcheng akan selalu menjadi satu-satunya—bahkan jika ia harus menghapus namanya sendiri, meninggalkan reputasinya—yang tetap ingin berada di sisinya.
Tidak akan pernah ada lagi Dokter Xie yang kedua.
Ia telah bergabung dengannya—di bawah monumen tanpa nama dan hamparan rumput hijau, dalam kebersamaan yang panjang, dalam tidur yang panjang pula.
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Badai Mandela akhirnya benar-benar berlalu.
Berkat catatan Qin Ciyan yang memainkan peranan penting, semua pasien yang terdampak dalam insiden tersebut berhasil menunggu pengobatan mereka dengan selamat, dan setelah pulih, mereka tidak mengalami kekambuhan. Adapun para peneliti di pulau itu, termasuk Anthony... semuanya dijatuhi hukuman mulai dari dua puluh tahun penjara hingga hukuman mati. Ada yang berakhir di penjara, ada pula yang dieksekusi oleh Skynet. (4)
Xie Xue dan Wei Dongheng selalu menyimpan satu-satunya foto keluarga mereka bertiga bersama Xie Qingcheng di rumah. Dalam foto itu, Xie Qingcheng selamanya berusia tiga puluh enam tahun, dan ia tak akan pernah menua.
Setiap hari sebelum berangkat kerja, Xie Xue selalu menatap foto itu, melakukan hal yang sama hari demi hari, tahun demi tahun...
“Ge, selamat pagi, aku berangkat dulu.”
“Gege, aku pulang.”
Sama seperti dulu saat Xie Qingcheng merawatnya seorang diri ketika mereka masih kecil, Xie Xue menyapa sosok di foto itu setiap hari—sebuah kebiasaan yang telah ia miliki sejak kecil. Hanya saja dulu, Xie Qingcheng akan menjawab, “Hati-hati di jalan,” atau, “Bagaimana hasil sekolahmu hari ini?”
Sekarang, semua itu sudah tak ada.
Namun Xie Xue merasa, ia masih bisa mendengar suaranya.
Karena ia selalu hidup di dalam hatinya.
Dan dengan membuka serta menutup pintu setiap hari, memandangi foto itu... puluhan tahun berlalu sekejap mata.
Hingga akhirnya, Xie Xue tidak perlu bekerja lagi.
Ia sudah berusia delapan puluh tahun.
Ia berjalan tertatih untuk pergi berbelanja.
Barang-barang yang ia beli adalah telur segar, daun bawang, ham, dan udang. Ia membuat nasi goreng khas Yangzhou, tanpa pernah menambahkan kacang polong.
Itulah masakan rumahan favoritnya.
Yaya pergi ke Amerika untuk melanjutkan studi, mengambil jurusan kedokteran, dan akhirnya menjadi seorang profesor di bidang kedokteran—di universitas yang sama dengan tempat Qin Ciyan pernah belajar semasa mudanya. Kini Xie Xue hidup berdua saja dengan Wei Dongheng, dan sebagai pasangan lansia, mereka tak makan banyak. Nasi goreng ini memang tidak penuh warna dan rasa, tetapi bergizi, dibuat dengan sedikit minyak dan dipadukan dengan semangkuk sup sayur—lebih baik daripada makanan apa pun.
Sama seperti dulu saat kakaknya merawatnya, dari kecil hingga dewasa, kini ia merasa setiap kali memasak nasi goreng ini, ia sedang dirawat kembali oleh sang kakak dari alam baka.
Ia tersenyum saat makan, dengan kerutan di ujung matanya. Ia telah menjalani kehidupan yang bahagia, namun ia tahu, semua itu karena ada seseorang yang pernah melindunginya dan mencintainya dengan segenap hidupnya, setelah mereka kehilangan kedua orang tua.
Ia menunduk, menyantap nasi gorengnya.
Hangat dan berbutir, ia telah memasaknya sebaik kakaknya dulu.
Setelah makan, ia dan Wei Dongheng menyalakan televisi. Di layar ditayangkan sebuah serial drama—drama yang dahulu mereka ikut berperan di dalamnya.
Drama itu dibuat oleh He Yu. Sejak saat itu, He Yu hidup sendiri. Ia tidak mengakhiri hidupnya, mungkin karena masih ada urusan yang belum selesai, dan ada bagian dari masa lalu yang hanya bisa diceritakan sepenuhnya olehnya. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, semua arsip rahasia telah dideklasifikasi. He Yu, yang telah menjadi seorang sutradara, memutuskan untuk menceritakan semuanya—dengan jujur dan sebenar-benarnya—lewat karya ini.
Xie Xue merasa pemilihan pemeran buruk. Ia tidak puas dengan siapa pun yang memerankan Xie Qingcheng. Menurutnya, yang satu tidak cukup tinggi, yang lain kurang berwibawa; ada yang terlalu kasar, ada pula yang tidak tampak cerdas.
Ia berkata, “Kenapa tidak ada satu pun yang bisa menyerupai kakakku, bahkan hanya 30%? Padahal teknologi sekarang sudah begitu maju, tata rias dan teknik sinematografi sudah sangat hebat, tapi tak satu pun bisa membuatku melihat bayangannya?”
He Yu menjawab, “Karena tak ada yang bisa menggantikannya.”
Akhirnya proses syuting selesai. Meskipun pemerannya tak memuaskan, setidaknya cerita yang ditampilkan benar adanya. Mereka yang masih hidup saat itu turut serta dalam produksi dan konsultasi. Bahkan Chen Man, yang hampir tak pernah bertemu lagi dengan He Yu, terbang dari Eropa begitu mendapat kabar mengenai proyek ini, dan bekerja sama dengannya untuk menyempurnakan rekonstruksi peristiwa-peristiwa di masa itu.
Xie Xue tetap tidak menyukai gadis itu, ia merasa bahwa aktor-aktor muda yang memerankan Xie Qingcheng dan Wei Dongheng tidak cocok. Melihat mereka justru membuatnya tidak nyaman—tidak ada sedikit pun rasa yang sama seperti dulu.
Namun, ia menyukai lagu yang diputar di akhir drama. Lagu penutup itu ditulis sendiri oleh He Yu.
Musiknya merdu, dengan sentuhan retro ala film-film lama Hong Kong berbahasa Kanton.
Lagu itu mengalun di ruang tamu, saat tirai jendela bergoyang tertiup angin—
Angin bertiup, kerudung jatuh.
Mengangkat mimpi yang telah lusuh.
Aku telah bermimpi setengah hidup, tahukah kau?
Pintu terbuka, buku-buku terpajang.
Tulisan di sampul telah pudar,
Telah kubaca ribuan kali, tahukah kau?
Saat aku merasa sepi, ingin pergi jauh.
Aku teringat kau menggenggam tanganku.
Aku telah melakukannya begitu lama, tahukah kau?
Kupeluk kau seperti salju, kucium kau seperti embun beku.
Mencintaimu seperti meminum anggur beracun.
Bahkan kau menghancurkan hatiku pun tak cukup.
Tapi kapan kau akan memberiku secawan anggur lagi—
Untuk kembali menghancurkan hatiku?
Sudah lama aku tak melihatmu.
Bahkan luka lama kini terasa lembut.
Tahukah kau?
Apakah malam ini kau hadir dalam mimpiku?
Bisakah kau memelukku malam ini?
Bisakah kau buka pintu malam ini, dan terus memandang bunga-bunga di jendela, seperti salju yang turun?
Fajar dan gelap kembali berganti.
Kupikir kau pun telah melewati malam yang panjang.
Aku telah melakukannya begitu lama, tahukah kau?
Setahun berlalu, lalu setahun lagi.
Kenangan manusia memudar perlahan.
Hanya aku yang tak bisa melupakanmu, kau tahu?
Angin telah reda, dan kerudung itu jatuh lagi.
Tak ada yang mengambil mimpi yang telah lusuh itu.
Ia telah berhenti di hadapanmu, tertidur, tahukah kau?
Di pelipisku sudah tumbuh uban, kau tahu?
Lagu penutup telah usai.
Layar menjadi gelap.
Dua baris muncul di layar proyeksi:
Untuk pria yang menebus hidupku.
Untuk pria yang telah menebus seluruh hidupnya.
Tulisan itu perlahan memudar.
Hingga akhirnya, satu baris terakhir menyala perlahan—
Bagaikan cahaya fajar yang menyingsing:
“The end of the play”