Klik.
Segalanya berubah dari terang menjadi gelap. Layar mati, dan gambar kembali ke kegelapan.
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Di depan meja, He Yu mengetikkan kata-kata “Akhir dari karya” di komputernya, lalu bangkit: ia berjalan ke teras, mengeluarkan sebatang Malboro, menyalakannya, mengisap sedikit, lalu perlahan mengembuskan asap biru dari kenangan itu. Dua tahun telah berlalu.
Sudah genap dua tahun sejak Xie Qingcheng pergi.
Ia masih sering merasa semuanya tidak nyata, seolah-olah ia terperangkap dalam mimpi buruk yang tak pernah bisa ia bangun. Ia terus mendengar Xie Qingcheng memanggilnya “iblis kecil.”
Padahal usianya sudah dua puluh lima tahun.
Ia bukan lagi si iblis kecil.
Tak ada lagi yang akan memanggilnya iblis kecil.
Kemarin, ia bertemu Kapten Zheng di jalan. Lao Zheng telah pensiun, dan saat He Yu melihatnya, ia sedang bermain skateboard bersama cucunya di taman. Lao Zheng bertanya, “Kau baik-baik saja sekarang?”
Tak ada yang terlalu baik atau buruk.
Dua tahun telah berlalu.
Xie Xue berhasil keluar dari kesedihannya, Bibi Li juga perlahan berhenti menampakkan duka.
Chen Man mengalami luka yang cukup parah dan tidak dalam kondisi baik, sehingga ia dikirim ke Eropa untuk pemulihan. Setelah itu, He Yu tidak lagi berniat mengikuti kabar Chen Man di lingkaran teman-teman Xie Xue. Setelah melalui kesedihan, Chen Man mengunggah foto santai di tepi laut dengan senyuman tipis.
Semua orang bisa memulai kembali, tetapi tidak dengan dirinya.
Namun, ia berkata, “Semuanya baik, jangan khawatir.”
Yang buruk telah berlalu—hasil persidangan telah dijalankan dan para penyidik serta pelaku kejahatan telah dijatuhi hukuman penjara sesuai yang tertulis dalam kisah He Yu.
He Yu telah menulis sebuah buku tentang semua yang mereka lalui, lebih dari sejuta kata, dan ia baru saja menyelesaikannya.
Ia mampu merekonstruksi masa lalu seakurat mungkin, berkat upaya dari panglima tertinggi Lao Zheng dan pasukannya.
Sebelum Pulau Mandela meledak, Wei Er dan anak buahnya berhasil mengamankan sebuah mesin yang, setelah didekripsi, ternyata menyimpan banyak berkas pemikiran. Beberapa tersimpan secara utuh, seperti milik Huang Zhilong, Duan Wen, Chen Man, Anthony—Mandela mencadangkan hampir seluruh memori otak mereka.
Beberapa lainnya berupa data yang tersebar, seperti milik Wei Er. Mandela tampaknya hanya sedikit tertarik dan hanya berhasil mengumpulkan sebagian kecil informasi.
Proses dekripsi mesin itu memerlukan bantuan seseorang yang akrab dengan Mandela, dan atasan tertinggi yang menangani kasus ini akhirnya menyadari bahwa akan lebih bijak memanfaatkan He Yu daripada terus mengurungnya. Maka pemimpin itu mengizinkan He Yu untuk dibebaskan.
Dengan demikian, He Yu bisa melihat perasaan terdalam dari banyak orang. Organisasi Mandela telah menyimpan berbagai data dari otak manusia selama bertahun-tahun, memungkinkan He Yu mengakses masa lalu orang-orang yang pernah ia temui sepanjang perjalanan hidupnya, dan mengetahui kira-kira apa yang mereka pikirkan pada waktu itu.
Dalam kisah setebal lebih dari sejuta kata itu, ia menceritakan segalanya yang telah ia alami dan ketahui selama bertahun-tahun, berdasarkan berbagai wawancara yang ia lakukan.
Ia sendiri adalah seorang cendekiawan dan penyunting. Dengan begitu banyak informasi langsung, tak sulit baginya untuk mengulas psikologi dan mengembalikan kisah lama. He Yu sangat profesional dalam hal itu; deskripsinya realistis, objektif, dan tenang dalam hampir semua tulisannya. Satu-satunya pengecualian adalah ketika ia menulis tentang Xie Qingcheng.
Saat menulis tentangnya, ia hanya bisa berusaha untuk objektif, namun tak pernah bisa tenang. Ia selalu menemukan dirinya menangis di tengah cerita, atau tertawa dengan air mata yang jatuh.
Selama dua tahun terakhir, He Yu hanya mengingat hari demi hari, mengenang Xie Qingcheng dengan cara seperti ini, mengenang masa-masa ketika pria itu masih ada.
Ia hidup di masa lalu, hidup di dalam sejarah.
Setiap hari ia berjalan di tengah masyarakat seperti biasa, bersikap tenang kepada orang lain, selalu terlihat acuh tak acuh, tak pernah menunjukkan kebahagiaan atau kemarahan di wajahnya. Semua orang sedikit takut padanya karena ia begitu dingin, sampai-sampai tak seorang pun bisa merasakan adanya kehidupan dalam dirinya.
Namun orang-orang lain tak tahu bahwa setiap malam, ketika ia pulang ke rumah, duduk di depan komputer, membuka berkas, dan terus mengingat masa lalu—menggambarkan seperti apa Xie Qingcheng saat itu, menuliskan kisah mereka berdua—wajahnya penuh dengan ekspresi yang hidup dan penuh emosi.
Ia merasa seolah-olah Xie Qingcheng berada di sampingnya lagi.
Ia bahkan bisa melihat Xie Qingcheng menyiapkan secangkir teh jahe, lalu mendekat ke mejanya, meletakkan cangkir di tangannya, seolah berkata, “Iblis kecil, istirahatkan matamu, kau tak bisa mengorbankan penglihatanmu hanya karena masih muda.”
Ia menerima cangkir teh jahe yang masih mengepul itu—cangkir bergambar Nick si rubah dan Judy yang ia beli dari situs barang bekas—dan perlahan menghabiskan tehnya.
“Aku menulis bab terakhir hari ini,” ujar He Yu kepada bayangan Xie Qingcheng yang duduk di meja pada malam sebelum cerita itu selesai. “Menurutmu, apakah aku harus menulis masa depan? Atau cukup kutulis sampai aku pergi mengunjungi makammu?... sebenarnya aku tahu masa depan tidak akan seperti yang kutulis. Aku tak akan hidup sampai sepuluh tahun lagi.”
Ia menyesap teh panas sekali lagi dan memandangi sosok Xie Qingcheng.
Tak ada satu pun yang bisa melihat Xie Qingcheng—hanya dirinya yang bisa.
“Karena setelah aku menyelesaikan buku ini, aku akan menyusulmu. Jangan lihat aku dengan tatapan mencela itu,” kata He Yu sambil tersenyum. “Hidup sendirian itu benar-benar kesepian.”
“—Dalam dua tahun ini, aku telah mengingat setiap kejadian di masa lalu, mencoba memahami apa yang ada di hatimu saat itu. Aku merasa kau masih hidup, aku masih bisa melihatmu. Meskipun ada saat-saat ketika aku tak tahu apa yang kau pikirkan dan semuanya terasa kosong, namun seiring aku terus menulis, aku merasa seolah-olah aku bisa menyentuhmu kembali.”
“Tapi setelah aku selesai menulis... aku tak tahu harus mencarimu ke mana.” He Yu memandangi Xie Qingcheng yang duduk diam di kursi berlengan lain di ruang kerjanya.
Ia menatap wajah pria itu yang tampak letih.
“Ge... aku akan menyelesaikan cerita ini malam ini. Besok... apakah kau masih akan datang?”
Xie Qingcheng tak mengatakan apa-apa, hanya memandangnya dengan tatapan penuh khawatir dan teguran yang halus.
“Tak apa kalau kau tak datang,” bisik He Yu, “Aku akan segera menyusulmu. Mengenai buku ini, akan kusimpan di arsip... tenang saja, semua isi tentang kita berdua... akan kuhapus, aku tidak akan menunjukkannya pada siapa pun. Ini hanyalah draf pribadi yang hanya bisa kubaca.”
“Aku hanya merasa... ada banyak hal yang tak bisa dikatakan saat ini, karena semua hal itu menyangkut berbagai rahasia dan banyak orang yang terlibat. Tapi aku percaya pada waktu. Suatu hari, segalanya akan bisa diungkapkan, dan kau tak perlu lagi khawatir tentang Lao Qin yang terus-menerus disalahpahami... kau tak perlu lagi khawatir tentang ‘reputasi yang ternoda’. Aku menyimpannya agar kelak, ketika waktunya tiba, mereka bisa menyebut namamu dengan benar.”
“Tak masuk akal jika kau telah mengorbankan segalanya, bahkan nyawamu sendiri, namun tidak mendapatkan akhir yang baik. Bahkan penilaian yang adil pun tak ada untukmu,” kata He Yu.
Namun Xie Qingcheng tampaknya tak terlalu peduli akan hal itu. Ia duduk di kursi He Yu, menunduk, dan mulai membolak-balik dokumen yang ada di atas meja.
“Oh...” Melihat tindakannya, He Yu menambahkan, “Itu adalah strategi lanjutan untuk Rumah Sakit Meiyu. Setelah Dekan Lu wafat tahun lalu, aku membantu cucunya mengurus rumah sakit. Gadis itu belum banyak pengalaman, dan aku khawatir ia akan salah langkah. Jadi segala hal yang harus ia lakukan dalam beberapa tahun ke depan, serta saran-saranku, semua tertulis di dalam dokumen itu.”
“Jangan khawatir, aku tahu itu sesuatu yang sangat kau anggap serius, aku sudah membuat semua rencananya.”
Namun Xie Qingcheng terus menatap dokumen-dokumen itu.
He Yu duduk dan berkata pelan, “Yang kutulis sangat sederhana, kau tidak akan memahaminya begitu saja, biar kujelaskan padamu...” Ia duduk di samping bayangan Xie Qingcheng dan menunjuk pada singkatan-singkatan itu satu per satu, menjelaskan artinya.
Ia selesai berbicara.
Menengadah—
Xie Qingcheng telah menghilang.
Tak ada siapa pun di sekelilingnya, tak ada sosok kedua di ruang kerja itu, bahkan secangkir teh jahe pun tak ada lagi.
Yang tersisa hanyalah kursor yang berkedip di layar.
Kursor itu berhenti di atas tulisan “Akhir dari karya.”
He Yu menundukkan kepala, lalu setelah beberapa saat, mengangkat tangan dan menyentuh sandaran kursi yang ia sisihkan untuk Xie Qingcheng. Saat ia menulis tentang masa lalunya, ia selalu bisa melihat bayangan Xie Qingcheng setiap malam.
Namun ia selalu merasa, malam esok... Xie Qingcheng tidak akan datang lagi.
Ia mematikan layar komputer, berjalan keluar ke teras, menyalakan sebatang rokok, dan memandangi langit malam yang luas: di malam Huzhou, hampir tak terlihat bintang—cahaya di bumi terlalu terang. Terkadang, ketika masyarakat menjadi terlalu maju secara teknologi, ia lupa akan alam, dan lambat laun kelupaan itu dianggap sebagai kebiasaan.
Ia mengembuskan asap rokok.
Saat itu, ia sebenarnya sangat memahami Zoya. Ketika seseorang kehilangan ikatan terpenting dalam hidupnya, ia akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya kembali.
Ia bisa melepaskannya... hanya karena masih ada pilihan lain.
Namun ia tidak memiliki pilihan itu.
Ia bahkan sudah lelah dengan dunia. Ia tahu bahwa selalu ada orang-orang dalam bayangan yang mengawasi setiap geraknya—apakah ia orang baik atau tidak, apakah ia memiliki ambisi atau tidak—keberadaan darah gu tetaplah ancaman bagi masyarakat. Setelah kematian Duan Cuizhen, beberapa agen yang pernah menangani kasus itu tetap ditugaskan untuk memantau dirinya.
Namun syukurlah, hari-hari itu hampir berakhir. Sehari setelah He Yu menyelesaikan kisahnya, ia bangun pagi-pagi. Ia pergi ke Gang Moyu, Xie Xue telah memberinya kunci, dan selama dua tahun terakhir, ia biasa datang untuk membersihkan rumah Xie Qingcheng, seolah pria itu bisa kembali kapan saja.
Di rumah itu, ia menyajikan dua mangkuk kecil pangsit sup ayam yang hasilnya tidak terlalu berhasil—satu untuk dirinya sendiri, satu lagi ia letakkan di sisi lain meja.
Setelah makan, ia membaca cukup lama di meja Xie Qingcheng, lalu bangkit untuk membuat teh dan menyapu lantai...
Ia berada di rumah, menjalani hari yang tidak biasa seorang diri.
Malamnya, ia sempat menonton televisi. Secara kebetulan, ia melihat He Li, saudara tirinya, dalam salah satu episode acara TV kategori 13 yang tak begitu banyak penontonnya. He Li sedang membicarakan pengalaman masa lalunya. Pemuda itu telah bodoh sejak kecil, dan kini tak punya pilihan selain menggunakan nama orang tua dan saudara laki-lakinya untuk mendapatkan uang. Dalam acara itu, ia diam-diam membicarakan banyak hal buruk tentang He Yu, dan ketika tak lagi punya bahan omongan, ia mengarang cerita tanpa menyebut nama demi menyenangkan para penonton dan kru acara. Dulu, watak He Yu akan membuat He Li membayar mahal atas itu.
Namun sekarang, He Yu tidak ingin repot lagi.
Ia memandang pemuda yang wajahnya sangat mirip dengan Wei Rong itu, dan hanya merasa bahwa orang itu menyedihkan. Ia tak ingin membuang waktunya terlibat dengan orang seperti itu.
Hidup itu berharga, dan setiap detiknya seharusnya dihabiskan untuk orang yang kau cintai.
Kemudian, He Yu mematikan televisi dan berbaring di ranjang Xie Qingcheng. Aroma lembut cairan disinfektan masih tercium dari selimutnya. Ia memeluk selimut Xie Qingcheng seperti ia pernah memeluk pria itu di atas ranjang yang sama.
Ia menyembunyikan wajahnya di antara lipatan kain yang lembut dan memanggil lirih, “Ge...”
Begitulah ia meringkuk sendirian sepanjang malam.
Dan ia merasa puas.
Itulah salam perpisahannya untuk Xie Qingcheng.
Ia tahu dirinya tak akan bisa hidup sampai usia delapan puluh, seperti yang pernah ia tulis dalam kisahnya sendiri. Hatinya sudah mati, dan tubuhnya tak akan bertahan lama. Saat bangun dari tempat tidur Xie Qingcheng keesokan paginya, ia merapikan dirinya dengan hati-hati, mengenakan pakaian bersih.
Ia berniat pergi ke pantai dan mengakhiri segalanya di sana.
Ia menghabiskan setengah hari untuk mengatur segala sesuatu yang perlu disiapkan setelah kematiannya, lalu naik kereta pada sore harinya. Ia tidak membawa barang bawaan apa pun, satu-satunya benda yang ia bawa adalah setangkai mawar kertas—mawar kertas dengan namanya yang tertulis di atasnya, ternoda merah oleh darah Xie Qingcheng. Ia menyimpan mawar merah itu dekat dengan dadanya, membiarkannya menemani dirinya sampai akhir segalanya.
Hatinya tenang ketika ia memasang headphone dan mendengarkan lagu lama yang pernah ia dengar di bar jazz; lagu-lagu itu bahkan terdengar ceria, seperti cahaya keemasan musim panas yang rapuh menari-nari di balik jendela kereta.
“Summer blooms on the branches... Rose Rose, I love you...” Ia tertawa kecil.
Ia teringat bahwa dulu Xie Qingcheng pernah menginjak kakinya saat menari.
Kereta tiba di stasiun. Ia turun—itu adalah desa nelayan kecil di tepi laut. Ia telah memesan sebuah rumah keluarga. Rumah itu dicat biru muda yang sangat terang bergaya Yunani, dengan dayung putih, pelampung penyelamat, dan tanda-tanda bahari tergantung di pintu sebagai dekorasi. Namun, hal yang akhirnya membuatnya memutuskan memilih tempat itu sebagai tempat untuk menghabiskan malam terakhirnya adalah taman kecil yang menghadap ke laut, dipenuhi bunga hortensia musim panas yang tak berujung.
Hortensia-hortensia biru, merah muda, dan ungu yang lebih cerah daripada warna matahari terbenam menghiasi laut biru lembut di awal musim panas.
Ia memutuskan untuk melihat satu matahari terbenam dan matahari terbit terakhirnya di taman hortensia musim panas itu.
Lalu, keesokan paginya, ia akan pergi ke tebing laut curam...
Segalanya telah ia atur dengan baik. Saat ia membuka pintu menggunakan kunci yang diberikan oleh pemilik rumah dan mendekati halaman...
“Kau datang.”
He Yu tertegun sesaat. Di situs pemesanan daring tertulis bahwa itu adalah homestay mandiri—tanpa tinggal bersama pemilik rumah. Tapi ini...
Saat ia mendongak, He Yu makin terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya, dan wajahnya langsung mengeras.
“...kenapa kau?”
Yang berdiri di depannya adalah seorang pria berkemeja bunga dan mengenakan kacamata hitam—bagian atas tubuhnya bergaya liburan, tapi bagian bawahnya memakai celana latihan lapangan dan sepatu bot militer.
Ia adalah salah satu mantan anggota dreambreakers, kakak kedua dari Wei Dongheng.
Setiap kata dari He Yu mengandung duri, “Apa kau mengikutiku?”
“Aku tiba lebih dulu darimu, jadi tak bisa dikatakan aku mengikutimu,” Wei Er mengangguk dan mengambil dua kursi ke meja taman luar. “Tiga jam duduk di mobil, sedikit air? Duduklah, mari bicara.”
He Yu tidak duduk. Tatapannya menjadi sangat dingin, dan tangannya di sisi tubuh seolah bersiap bergerak.
Wei Er adalah seorang perwira yang sangat peka, dan dengan sudut matanya ia melirik. Ia menuangkan dua gelas limun ke atas meja taman besi berwarna biru muda yang ditutupi taplak putih bersih, lalu berkata, “Setelah lenyapnya Mandela, kami menandatangani perjanjian denganmu—juga dengan beberapa pasien Ebola mental yang menunjukkan tanda-tanda mutasi—yang isinya melarang kalian menggunakan kekuatan psikis kalian kecuali dalam keadaan darurat. Jika melanggar, maka kalian akan diadili secara rahasia oleh pengadilan khusus.”
Setelah menyajikan limun, ia duduk di kursi rumput, kembali mengundang He Yu.
“Duduklah.”
Sambil berkata begitu, pandangannya jatuh ke tangan He Yu. “Kusarankan kau jangan gunakan darah gu padaku dulu.”
“Aku tak peduli soal pengadilan,” kata He Yu dingin.
“Aku tahu,” kata Wei Er, “Tapi tetap kusarankan kau duduk dan minum teh denganku sebelum kau memutuskan apakah akan melanjutkan memenuhi perjanjian rahasia itu. Juga, menurutku, keputusanmu untuk menyerah pada hidup... bisa ditunda sampai setelah pembicaraan ini.”
“...”
Ekspresi He Yu menjadi semakin buruk.
Ia tahu para dreambreakers memantau gerak-geriknya siang dan malam, tapi ia tidak menyangka mereka akan mengawasinya sedekat ini.
“Kalian bosan sampai menyewa psikolog untuk menganalisis tindakanku?”
“Benar,” jawab Wei Er dengan santai, menyilangkan kaki dan menyandarkan satu tangan di belakang kursinya, tampak seperti berandalan, bahkan tersenyum, “Apa Bos He ingin mengganti biaya kami?”
“Dreambreakers seharusnya tak kekurangan uang sebanyak itu.”
Wei Er menyalakan rokok dan mengisapnya, lalu mendorong korek dan kotak rokok ke arah He Yu. “Dreambreakers memang tidak kekurangan uang, tapi gaji psikolog pencegah bunuh diri itu berasal dari dana pribadi keluarga Wei. Kalau kau mau menggantinya, aku tak keberatan.”
Ia berkata begitu sambil tersenyum lagi.
“...”
Dahi He Yu berkerut sedikit pada titik itu. “Seseorang dari keluargamu yang menyewa?”
“Ada yang tertarik,” Wei Er menjilat bibirnya, mengetukkan abu rokok, lalu menyesap air dua teguk.
He Yu menatapnya tajam, tanpa berkedip. “Apa maksudmu? Kenapa keluarga Wei peduli dengan ini?”
“Bagaimana kalau kita makan manisan dulu?”
Wei Er tidak menjawab secara langsung. Ia tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil berbentuk persegi dari sakunya. Kotak itu terbuat dari logam dan kedap udara. Saat dibuka, terlihat pil putih seukuran kelereng di dalamnya.
He Yu: “...Apa ini?”
“Bahan bagus. Baru saja dikembangkan dua hari lalu. Hampir saja terlambat,” kata Wei Er dengan makna yang samar, bahkan menjentikkan lidahnya.
Cara bicaranya yang menyebalkan membuat He Yu semakin kesal.
He Yu berdiri dengan wajah datar dan bersiap pergi dengan wajah gelap.
“Eh, jangan pergi begitu saja,” Wei Er terlihat sedikit panik saat itu. “Kenapa pergi tanpa sepatah kata pun? Kau dulu tak seburuk ini, paling tidak pura-pura ramah.”
“Aku tidak ingin berpura-pura lagi,” jawab He Yu. “Kalau kau mau bicara, bicaralah. Kalau tidak, jangan halangi jalanku.”
“...”
Wei Er merasa He Yu tidak sedang bercanda. Maka ia berdiri tegak. “Aku benar-benar tak bisa memberitahumu sebelum kau meminum obat ini. Anggap saja itu penenang, oke? Kalau kau minum, aku akan langsung bicara.”
Menatap mata dingin He Yu, Wei Er berkata, “Kau tidak takut mati, jadi seharusnya kau juga tak takut memakan permen buatanku, bukan?”
“...”
He Yu akhirnya mendekat dan memandangi pil itu cukup lama. Meskipun ia tak tahu niat Wei Er dengan obat itu, satu hal yang dikatakannya benar: ia tak lagi takut mati. Sebenarnya, seseorang yang tak takut mati—apa lagi yang bisa membuatnya takut?
He Yu menunduk dan menelan pil itu.
Lalu, ia menatap Wei Er penuh curiga. “Sekarang kau boleh bicara.”
Di bawah sinar matahari sore yang menyilaukan, ia melihat mulut Wei Er bergerak, namun tiba-tiba ia tak bisa mendengar apa pun lagi. Rasa sakit menusuk dadanya, bayangan-bayangan warna-warni mulai muncul di hadapannya, dan wajah Wei Er menjadi kabur. Ia mencoba berdiri, tetapi tubuhnya oleng dan jatuh.
Terdengar suara gedebuk.
Pandangan He Yu menjadi gelap, dan hal terakhir yang ia ingat adalah nyeri hebat di dadanya, lalu kesadarannya menghilang.
“Halo,” Wei Er mendekati meja dan memeriksa kondisi He Yu sebelum menelepon seseorang. “Ya, berhasil. Kenapa kau tidak datang dan ambil sampel darahnya? Kalau tes darahnya oke, kau bisa ceritakan semuanya padanya. Aku benar-benar kelelahan, ada apa sebenarnya?! Aku sampai harus terbang kerja lembur saat liburan ke Hainan...”
Saat He Yu terbangun, ia mendapati dirinya masih berada di pondok taman itu, tetapi sudah dipindahkan ke kamar lantai dua. Di luar jendela, malam telah turun, dan cahaya mercusuar yang jauh memancarkan sinarnya kepada para pelancong, memberi mereka petunjuk jalan.
Jarum jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam.
Ia dikelilingi oleh orang-orang berseragam jas putih, dan dengan sangat tidak nyaman, ia mendapati dirinya kembali diikat dengan tali pengaman oleh orang-orang itu.
Dokter yang memimpin rombongan ternyata adalah sepupunya sendiri. Karena sepupunya itu telah menangani banyak kasus terkait di unit gawat darurat, ia direkrut oleh dreambreakers untuk ikut serta dalam penyembuhan pasien Ebola mental. Ia tampak sedikit canggung berhadapan dengan He Yu dalam situasi ini, dan dengan kikuk ia batuk dan berkata, “Eh, kami akan melepaskanmu setelah kami menjelaskan semuanya.”
Wajah He Yu telah menghitam sepenuhnya. “Apa yang sebenarnya kalian lakukan?!”
Beberapa dokter yang berafiliasi dengan dreambreakers, termasuk Wei Er yang berdiri di sisi ruangan, saling bertukar pandang. Akhirnya, semua mata tertuju pada satu-satunya orang yang memiliki hubungan darah yang sangat tipis dengan He Yu, sehingga kemungkinan terbunuh lebih kecil.
“...”
Di bawah ekspektasi semua orang, sepupu itu akhirnya berbicara dengan lambat. “...Kau masih ingat Xie Lishen?”
“Bukankah dia sudah dibebaskan dari hukuman mati?”
Tatapan He Yu sudah hampir bisa dikatakan mengerikan. “Jangan bilang padaku kalau…”
“Bukan, bukan, tenang saja,” sepupunya buru-buru berkata. Ia sempat mengangkat tangan, seolah ingin menggunakan bahasa isyarat untuk menjelaskan kepada He Yu, namun saat bertatapan mata dengannya, ia langsung menurunkannya lagi. “Eh, itu... kau ingat, kan? Waktu kau jatuh ke laut, diselamatkan oleh Mandela, lalu Xie Lishen melakukan operasi untuk menyelamatkan nyawamu, kemudian…”
Seolah-olah ia harus berputar sangat jauh, sepupunya menceritakan kisah yang kelam dan rumit kepada He Yu. Wajah He Yu tampak sangat muram, seolah-olah matanya menyala karena kemarahan yang terpendam.
“Operasi itu sebenarnya bukan untuk menyembuhkanmu, kau tahu mereka tidak seperti itu, tujuan utamanya adalah…”
“Cukup,” Wei Er akhirnya tak tahan lagi. Ia beralih dari bersandar di dinding dengan tangan terlipat ke berdiri dan berjalan ke sisi tempat tidur He Yu.
Sepupunya tampak tak senang. “Kalau begitu kau saja yang jelaskan.”
Wei Er meliriknya yang tampak sebal, lalu akhirnya mengucapkannya secara singkat dan langsung, “Xie Qingcheng masih hidup.”
“…”
Tak ada satu pun dari mereka yang menyangka Wei Er akan menusuk langsung ke jantung masalah seperti itu. Ruangan pun langsung sunyi.
Mata He Yu terbelalak, menatap Wei Er dengan wajah tanpa darah, penuh keterkejutan.
Wei Er buru-buru memberi penjelasan sebelum emosinya benar-benar meledak, “Kau harus tenang dulu, baru kami bisa jelaskan seluruh sebab-akibat dari masalah ini. Kami tak bermaksud menipumu, hanya saja kami tak punya pilihan. Semakin cepat kau bekerja sama, semakin cepat kau bisa menemuinya. Paham? Meskipun memang ada sebagian dari para pemimpin dreambreakers yang tak mempercayaimu, tapi kau harus percaya pada Komisaris Politik Wang, pada Panglima Besar... dan pada kami semua, yang selama ini melindungimu dan membelamu.”
“…”
“Tenanglah,” ucap Wei Er dengan nada tenang, meskipun di dalam hatinya ia diliputi keringat dingin saat melihat He Yu yang bisa kapan saja kehilangan kendali. “Untuk bisa bertemu dengannya, dengarkan aku baik-baik, ya?”
Melihat rona merah di mata He Yu mulai mereda perlahan, Wei Er secara refleks menghela napas lega.
Ia duduk di sisi tempat tidur He Yu. “Masalahnya begini... ya, semuanya berawal dari operasi yang dilakukan Xie Lishen padamu tiga tahun lalu…”
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Tiga hari kemudian.
Di Bandara Internasional John F. Kennedy.
Dengan bantuan mantan panglima dreambreakers, visa He Yu diproses secepat mungkin. Begitu turun dari pesawat, ia langsung naik bus yang dikirim oleh rumah sakit. Sepanjang perjalanan, He Yu harus mematuhi isi perjanjian dreambreakers—ia tidak boleh menggunakan darah gu-nya terhadap sopir berjanggut yang tidak bersalah hanya untuk memaksanya mempercepat laju kendaraan.
Ia sudah tak sabar lagi. Ia menatap keluar jendela, ke lanskap asing yang mulai redup tertelan bayangan malam. Telapak tangannya penuh keringat, detak jantungnya yang memburu membuatnya hampir kehilangan napas.
Barulah saat itu ia mengerti—mengapa selama dua tahun terakhir, setiap kali ia mengumpulkan sudut pandang tambahan dan berinteraksi dengan dreambreakers lama, bahkan dengan Xie Xue atau keluarga Wei—semuanya berusaha semampu mereka untuk bekerja sama dengan penulisan kisahnya, namun pada saat yang sama, sadar atau tidak, mereka semua menyuruhnya untuk tetap hidup, apapun yang terjadi.
Berkali-kali mereka memintanya untuk terus maju, meskipun ia tak mengerti mengapa mereka memaksanya untuk terus bertahan hidup—seolah masih ada harapan untuk hidup. Terutama Xie Xue—bukankah ia tahu bahwa kehilangan Xie Qingcheng sama dengan kehilangan segalanya bagi He Yu?
Baru ketika Wei Er mengungkapkan seluruh kebenaran di rumah tepi laut hari itu, He Yu menyadari bahwa ia telah salah paham terhadap niat baik semua orang selama ini.
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Tiga tahun lalu, ia terjatuh ke laut dan diselamatkan oleh Mandela.
Saat ia dalam perawatan, Anthony menyuntikkan racun kuat ke dalam sistem tubuhnya.
Setelah menelusuri pikiran He Yu melalui hipnosis, mereka percaya bahwa meskipun He Yu pada akhirnya bersedia membelot ke organisasi Mandela, ia tetap memiliki potensi besar untuk menjadi agen ganda. Dan yang ingin dikatakan oleh Duan Wen saat itu adalah—jika darah gu kembali ke pihak dreambreakers tanpa peduli apa pun, maka ia lebih memilih untuk langsung menghabisi He Yu daripada mengambil risiko.
Anthony lalu memberi label pada tujuan emosional itu sebagai “integritas hati.”
Orang-orang Mandela tahu betul bahwa ketika hati He Yu menjadi utuh—saat ia mencapai semua keinginannya, saat ia mendapatkan kehidupan bahagia dan damai yang telah lama ia idamkan—saat itulah ia akan berbalik dan mengkhianati Mandela, kembali ke pihak dreambreakers, dan menjalani hubungan yang tulus dengan Xie Qingcheng.
Setelah Anthony ditangkap, entah karena dreambreakers tidak membiarkannya mati di pulau itu, atau karena pikirannya telah dimanipulasi oleh Vivian, ia akhirnya memilih untuk mengungkap rahasia itu—mungkin sebagai bentuk penebusan atau sekadar keinginan untuk meringankan hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.
Ia memberitahu dreambreakers bahwa jika suatu hari Xie Qingcheng diselamatkan dan bersedia bersama He Yu, ketika seluruh keinginan He Yu terpenuhi dan hatinya diliputi rasa puas yang mendalam—maka racun laten itu akan aktif.
He Yu akan mati tepat di saat ia mendapatkan kebahagiaannya.
Inilah keunggulan terakhir Anthony terhadap He Yu. Rencana itu sangat jahat dan kejam.
Zheng Jingfeng dan yang lainnya menyadari perasaan Xie Qingcheng terhadap He Yu. Setelah mengetahui rahasia ini, mereka terpaksa mengambil keputusan untuk menunda aktivasi racun itu. Setelah banyak pertimbangan dan diskusi, mereka menyimpulkan bahwa mereka tidak bisa berbohong pada He Yu dan mengatakan bahwa Xie Qingcheng tidak mencintainya—itu akan menghancurkan harapan hidup He Yu. Dan cinta adalah sesuatu yang tak bisa disembunyikan.
Di sisi lain, mereka juga tidak bisa berkata bahwa Xie Qingcheng kehilangan ingatan, atau berada dalam kondisi vegetatif—semua itu tidak akan berhasil.
Selama Xie Qingcheng masih hidup, He Yu tidak akan pernah melepaskannya. Ia tidak hanya akan mengganggu proses penyembuhan pria itu, tetapi juga mungkin akan membahayakan dirinya sendiri. Dan jika ia kehilangan kendali, racun itu akan aktif dan membunuhnya. Itu bukan sesuatu yang bisa mereka pertaruhkan.
Jadi dengan sangat terpaksa, mereka memilih yang paling ringan dari semua pilihan buruk—mereka mengatakan pada He Yu bahwa Xie Qingcheng telah mati.
Memang benar, saat itu Xie Qingcheng berada di ambang kematian—hidupnya hanya tergantung pada seutas benang. Para pemimpin bahkan telah menyiapkan pemakamannya sebagai pahlawan, dan makamnya sedang dibangun.
Awalnya, para atasan memang berencana mengurung He Yu secara ketat sampai Xie Qingcheng benar-benar meninggal dan dimakamkan. Namun, penyakit Xie Qingcheng ternyata bersifat kambuhan dan keadaannya justru perlahan membaik. Pada titik itu, Wei Er memutuskan untuk tetap membangun makam tersebut, agar terlihat seolah-olah Xie Qingcheng telah dikubur.
He Yu, yang ditahan oleh atasan, tidak diizinkan menghadiri “pemakaman” itu. Jadi kebohongan itu bisa dipertahankan.
Dengan cara ini, dalam tiga sampai lima tahun, para dreambreakers berharap Anthony—yang kini di penjara—bisa mengembangkan penawar untuk racun tertarget itu. Setelah penawar tersedia dan diberikan kepada He Yu, barulah kebenaran akan diungkapkan.
Meski begitu, pilihan ini tetaplah sangat, sangat kejam. Baik He Yu maupun Xie Qingcheng harus menderita. Namun inilah cara paling ringan untuk mengurangi kerusakan bagi keduanya.
Satu-satunya variabel adalah jika He Yu kehilangan kendali dan tidak bisa berpikir jernih—tetapi itu biasanya tidak terjadi selama ia masih memiliki tujuan. Maka dari itu, Lao Zheng bersusah payah meminta izin kunjungan dan menyerahkan surat dari Xie Qingcheng kepada He Yu, menyalakan kembali keinginannya untuk keluar. Dekan Lu pun memberikan catatan Xie Qingcheng dan Qin Ciyan, memberinya misi dan alasan untuk terus hidup. Sebagai langkah cadangan, Wei Er juga mengirim psikolog untuk mengawasi keadaan mental He Yu.
Akhirnya, seolah takdir telah ditentukan, setelah semua pasien Ebola mental berhasil disembuhkan, setelah He Yu menyelesaikan penulisan kisahnya, dan dua hari sebelum ia benar-benar memutuskan untuk menyusul Xie Qingcheng—penawar racun itu berhasil dikembangkan.
“Dia yang memintaku untuk terus mengawasi dirimu. Dialah yang menyuruhku memberi kabar tentangmu setiap hari.”
He Yu menatap Wei Er dengan mata memerah. Ia tahu siapa “dia” yang dimaksud, tak perlu disebutkan namanya. Tapi tetap saja, ia belum bisa mempercayainya. Setelah menderita selama enam ratus hari dan malam, kini tiba-tiba diberitahu bahwa harapan itu masih ada... ia terlalu takut untuk percaya.
Wei Er melanjutkan, “Sekarang dia hidup dalam penyamaran di sebuah rumah sakit di Amerika, sedang menjalani rehabilitasi. Awalnya, dia menolak menjalani transplantasi organ, karena organ yang bisa menyelamatkannya juga bisa menyelamatkan nyawa banyak orang—bahkan belasan nyawa.”
“Tapi saat ia sadar, kami memberitahunya tentang kondisimu. Kami bilang kalau ia mati, maka kau pasti juga tidak akan bertahan. Kami katakan bahwa hidupmu hanya tinggal beberapa tahun, dan bahwa kau masih bertahan karena ‘keinginan terakhirnya’.”
“Dia mencintaimu.”
Saat itu, di dalam pondok, Wei Er akhirnya berkata pada He Yu yang masih belum bisa tenang, “Aku tunjukkan padanya video saat kau berdiri sendirian, terpaku di depan makamnya—dan dia tak sanggup lagi menahannya. Dia bilang dia akan memilih untuk hidup. Dia ingin tetap bersamamu.”
“Itu adalah satu-satunya kali dalam hidupnya... dia memilih untuk egois.”
Sepanjang waktu ia berada dalam kondisi koma di Tiongkok, Xie Qingcheng menderita tidak hanya karena luka parah, tetapi juga karena kegagalan berbagai organ tubuhnya. Meskipun akhirnya diketahui bahwa tubuhnya memiliki kemampuan beradaptasi yang luar biasa terhadap transplantasi organ, operasi yang dibutuhkan sangat kompleks dan hanya bisa dilakukan oleh tim dokter yang memiliki pengalaman memadai dalam riset RN-13—bahkan rumah sakit Meiyu pun tidak mampu menanganinya.
Setelah runtuhnya Mandela, satu-satunya rumah sakit yang memenuhi syarat itu adalah rumah sakit di Amerika Serikat tempat Xie Qingcheng kini dirawat.
Seolah memang telah ditentukan oleh takdir, fungsi tubuh Xie Qingcheng telah rusak parah. Bahkan jika ia menerima transplantasi, organ-organ itu hanya bisa bertahan dua hingga tiga tahun sebelum akhirnya gagal kembali. Namun, setelah darah gu milik He Yu dimodifikasi oleh enzim dalam tubuh Xie Qingcheng, terjadi efek yang tidak terduga terhadap fungsinya.
Sel-sel darah gu dan sel-sel yang berasal dari Kaisar Pertama berada dalam cabang biologis yang sama. Namun, darah gu adalah entitas yang sangat kuat dan dominan. Daging dan darah Kaisar Pertama yang mulai membusuk itu, saat terinvasi oleh darah gu, mengalami asimilasi, kombinasi, mutasi, dan rekombinasi terus-menerus. Penjelasan medisnya sangat kompleks, tetapi intinya adalah—sel-sel He Yu telah memengaruhi dan menyatu dengan sel-sel Xie Qingcheng. Selama RN-13 tidak digunakan secara sembarangan, Xie Qingcheng akan perlahan pulih.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, He Yu merasa bersyukur atas penderitaan yang ia alami selama dua puluh lima tahun dan atas penyakit yang dideritanya. Karena dari sanalah ia akhirnya menjadi penawar bagi orang yang ia cintai.
Ia adalah satu-satunya orang di dunia ini yang bisa menyelamatkannya.
Selama dua tahun terakhir, sebenarnya Xie Qingcheng telah diam-diam menemani He Yu setiap hari. Meskipun demi keselamatan He Yu ia tak bisa menghubunginya—betapa pun sulitnya itu—namun di kamarnya, ia menyaksikan video-video dan kabar tentang He Yu di Tiongkok setiap hari.
Dalam kesendirian, ia menatap penderitaan He Yu. Ia menyaksikan dengan pilu bagaimana He Yu tidak bisa melupakannya. Dan demi mengakhiri kekejaman itu secepat mungkin, ia bekerja sama dalam perawatan lebih giat dari sebelumnya. Api kehidupan kembali menyala dalam hatinya, dan dengan tekad kuat, ia melangkah perlahan menjauhi ambang kematian.
Dan di Tiongkok, He Yu pun bertahan dengan berpegang pada kenangan dan pesan-pesan yang ditinggalkan Xie Qingcheng—bertahan hari demi hari—hingga dua tahun kemudian, ketika ia merasa semua telah ia sampaikan dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya demi menyusul pria itu.
“Meskipun Xie Qingcheng tak pernah mengatakannya,” ujar Wei Er, “Tapi aku tahu betul—jika selama dua tahun ini, terjadi sesuatu padamu... jika kami tidak bisa menyampaikan kabarmu tepat waktu padanya... maka dia juga tak akan bisa bertahan.”
“Perawatannya seribu kali lebih menyakitkan dari kemoterapi. Tapi setiap kali ia tahu bahwa kau masih bertahan di Tiongkok, aku akan berkata bahwa kau baik-baik saja, bahwa kau tidak merasa sakit. Dan dia akan berkata, ‘Kalau begitu aku juga akan sembuh dan menemuinya.’”
“Ia telah menahan siksaan yang tak mampu ditanggung manusia, tak tunduk pada maut ataupun penderitaan—hanya demi hari ini. Hari di mana ia bisa bertemu kembali denganmu.”
Di dalam mobil yang melaju menuju rumah sakit di New York itu, He Yu teringat kembali kata-kata yang diucapkan Wei Er waktu itu—dan tanpa sadar, air mata kembali mengalir di wajahnya.
Ia menggenggam ponselnya erat-erat. Di dalamnya, tersimpan rekaman panggilan dan pesan dari Xie Qingcheng dalam beberapa hari terakhir. Ya, malam saat ia meminum penawar itu, ia menerima panggilan video dari Xie Qingcheng—di kabin tepi laut itu. Saat ia melihat sosok pria itu di layar, rasanya seperti melihat mimpi, seperti bayangan bunga dan bulan di cermin.
Namun Xie Qingcheng memandangnya begitu nyata. Ia tidak bisa mengucapkan apa pun saat menatapnya, dan mereka berdua hanya diam. He Yu menatapnya dengan mata yang telah memerah.
Hampir dengan ragu, ia bertanya, “Apa kau... kau...?”
Suara itu lembut dan sangat menenangkan.
Seperti seorang pemuda sungguhan di usia dua puluhan. Masih ada harapan yang tak terbatas dalam hidupnya.
Pihak dreambreakers tahu bahwa He Yu kini telah menjadi naga yang dirantai—ia tak akan menyakiti siapa pun lagi. Maka mereka melepaskannya dan diam-diam mundur, memberi ruang bagi keduanya.
Xie Qingcheng tidak menjawab pertanyaannya. Kalimat pertama yang Xie Qingcheng ucapkan dalam panggilan video itu penuh dengan kejutan, teguran, kesedihan, dan kelembutan:
“Apa kau benar-benar akan melemparkan dirimu ke laut?”
Itu jelas bukan kalimat lucu, tetapi He Yu langsung tertawa saat mendengarnya, tersedak oleh emosi, dan menyentuh layar—layar yang terasa hangat, seolah ia benar-benar menyentuh wajah pria itu, ribuan kilometer jauhnya.
Jarinya menyentuh pipi pria di layar itu, sisi telinganya, bibirnya, batang hidungnya, dan akhirnya berhenti pada mata berbentuk bunga persik itu. Ujung jarinya bergetar saat ia berkata melalui video, “Ge... matamu... apa matamu benar-benar bisa melihat?”
“Ini prostetik mata bionik implan. Teknologi terbaru. Tidak seperti mata palsu biasa, aku benar-benar bisa melihat sekarang... operasi rekonstruksi saraf okular selama dua puluh jam,” jawab Xie Qingcheng.
He Yu tertawa lagi—tertawa sambil menangis, lalu bergumam,
“Teknologi benar-benar hal yang luar biasa.”
Xie Qingcheng berpikir, mungkin inilah pertama kalinya dalam hidupnya ia berbicara dengan seseorang dalam kondisi jatuh cinta.
Pria sains dan teknik itu berkata, “Tapi dia tidak sebaik kau.”
He Yu tertawa, “Aku tidak sehebat itu. Aku sangat biasa saja. Tapi aku menyukainya...”
Ia tak melanjutkan dengan “salju yang turun dari langit”. Meskipun selama ini ia selalu merasa bahwa salju di langit adalah Xie Qingcheng.
Namun seolah ingin menebus segala rasa sakit dan penyesalan selama perang Mandela dua tahun silam—
Ia menatapnya dan berkata, “Tapi aku juga menyukai cahaya pagi...”
Xie Qingcheng terdiam sesaat.
Lalu, dari seberang layar, ia menjawab dengan lembut, “Bahkan salju di langit pun tak apa. Aku tahu maksudmu.”
He Yu masih tersenyum, tapi air mata terus mengalir.
“Aku telah menyaksikanmu dan menemanimu selama dua tahun,” ujar Xie Qingcheng.
“He Yu, aku tidak akan melewatkanmu lagi.”
“...Hm.”
“Aku tahu isi hatimu.”
He Yu tersenyum di balik air matanya, “Hm.”
“Bersikaplah baik, jangan menangis.”
“Hm...”
Mobil pun tiba.
Pintu-pintu rumah sakit terbuka perlahan, dan pemandangan di luar jendela berubah menjadi hamparan danau luas dan padang rumput. Sinar matahari menari di atas rerumputan yang terbentang, angsa-angsa berjalan menyusuri tepi danau yang berkilauan. He Yu menurunkan jendela mobil, dan udara musim panas yang lembut serta harum memenuhi ruang kabin. Dalam perjalanan menuju tempat parkir, He Yu tiba-tiba melihat sosok yang sangat familiar berdiri di bawah pohon besar di tepi danau.
Jantungnya berdegup liar, seolah hendak lepas dari dadanya dan berlari lebih dulu.
Ia tidak peduli mobilnya belum berhenti sepenuhnya—setengah tubuhnya sudah menjulur keluar jendela.
“Xie Qingcheng... Xie Qingcheng!!!”
Ia tidak mungkin salah lihat. Meski sosok itu berdiri jauh, meski pria itu berdiri membelakangi dan menatap danau angsa, meski ia mengenakan pakaian pasien seperti yang lain di sana—He Yu mengenalinya dalam sekejap.
Itulah sosok yang tak mungkin ia salahkan seumur hidupnya.
Itulah harta yang tak tergantikan oleh siapa pun atau apa pun dalam hidupnya.
“Xie Qingcheng—!!!”
Dari dalam mobil, ia berteriak sambil tertawa dan menangis, menarik perhatian banyak orang di taman yang menoleh dengan tatapan heran.
Dan ya...
Pria di bawah pohon besar itu mendengar teriakannya. Bahunya tiba-tiba menegang, lalu ia perlahan berbalik... dan pada saat itu, matahari bersinar terang.
Itu dia... itu benar-benar dia! Pria itu hidup... di hadapannya!
Seolah teringat sesuatu, pemuda itu buru-buru kembali ke jok mobil dan mengambil buket bunga hortensia yang telah ia bawa. Di bawah cahaya matahari hangat, ia bergegas menuju sosok tinggi itu yang perlahan melangkah mendekatinya.
Angin berhembus kencang, dan selubung tipis yang menutupi buket itu terangkat—selembar kerudung putih, melayang, bergoyang, menari bersama angin...
Akhirnya, kerudung putih itu mendarat lembut di atas kepala Xie Qingcheng, seperti salju tipis yang jatuh dari langit.
“Xie Qingcheng...” He Yu tersedu dan tertawa, tersendat oleh haru.
Sang sopir, yang tampaknya ikut tersentuh, tersenyum simpati meski tak memahami apa yang dikatakan He Yu. Ia pun membiarkan He Yu turun, menginjak rem tangan, dan memberi isyarat sopan bahwa ia bisa keluar.
He Yu cepat-cepat mengucap terima kasih. Pintu mobil terbuka, dan ia berlari secepat yang ia bisa, menggenggam bunga, menyeka air mata. Ia tak peduli aturan, melewati pagar taman, melompati semak bunga—terburu-buru, seperti remaja yang sedang jatuh cinta, yang pernah mencintai Xie Qingcheng dengan penuh semangat di usia sembilan belas tahun. Ia berlari dengan sukacita tanpa batas menuju pria itu—yang berdiri sambil batuk ringan dan hendak melepaskan kerudung putih itu dari kepalanya.
Ia berlari dengan napas terengah, dada bergetar hebat, lalu berhenti di hadapan pria itu.
Beberapa pengunjung di sekitar mereka yang awalnya terkejut kini ikut tersenyum bahagia.
Namun He Yu tak peduli.
Ia menatap pria di hadapannya dengan mata yang bersinar sangat terang—wajah Xie Qingcheng yang kurus tapi mulai berwarna, tubuhnya yang ramping tapi tetap tinggi, dan saat ia menatapnya dari balik kerudung putih itu, matanya... mata bunga persik yang tak berbeda dari kemarin.
Suara salju di antara bambu.
He Yu tidak tahu—apakah ia harus menyerahkan hortensia di pelukannya terlebih dulu, atau memeluk pria itu lebih dulu. Ia sempat terjatuh saat berlari, kini tubuhnya gemetar, dadanya berdebar, emosinya meledak. Ia seperti remaja yang belum pernah berubah—mata basah oleh air mata, bibirnya bergetar, ia ingin tertawa dan menangis, tulus dan menggebu, tapi tak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya, Xie Qingcheng mengangkat tangannya, mengangkat kerudung putih yang menutupi wajah mereka, dan menatapnya—langsung ke matanya.
Matahari menyinari danau angsa, dan kerudung itu tertiup angin musim panas yang lembut, mendarat di bahunya bersama semua emosi yang tersimpan.
Di dunia ini ada banyak keindahan, tetapi Xie Qingcheng hanya memandang mata He Yu, lalu tersenyum.
Belum pernah ia terlihat setampan itu—bahkan lebih menawan dari saat He Yu pertama kali melihatnya di usia dua puluh satu.
Di antara hamparan hortensia merah, ungu, biru, dan musim panas yang tak berakhir, pintu hati yang telah lama tertutup akhirnya perlahan terbuka. Anak lelaki itu masuk ke dalam ruangan dan menemukan sang dokter duduk di jendela, di bawah sinar matahari yang tak henti bersinar.
Anak muda itu bertemu kembali dengan dokternya. Sang remaja kembali bertemu dengan gurunya. Pria muda itu menyeberangi ribuan sungai dan gunung untuk sampai ke sisi orang yang ia cintai...
Di tepi danau yang berkilauan itu, keduanya tak berani terlalu dekat untuk sesaat.
He Yu kaku, sementara Xie Qingcheng menatapnya yang semakin mendekat.
Akhirnya, pria itu yang lebih dulu mengangkat tangan, menyentuh pipi He Yu dengan jari-jarinya yang hangat. Jantungnya berdebar, suaranya serak, tapi ia tetap tersenyum.
Kenapa tidak? Masa depan adalah jalan yang lembut.
Matanya berbinar, menatap He Yu dalam kabut air mata. Saat mereka bertemu kembali, ia tetap seperti dulu—seperti seorang kakak yang bijak. Ia mengusap air mata dari wajah He Yu sambil tersenyum. Namun saat mereka bertemu kembali, ada kelembutan yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya seumur hidupnya, dan ia berkata pada harta yang tak tergantikan di hadapannya, “Halo, iblis kecil.”
He Yu terisak, dan matanya tampak menyimpan semua api dan bintang di dunia. Ia memiringkan wajahnya, menyandarkan pipinya pada telapak tangan Xie Qingcheng yang hangat itu...
Satu sentuhan yang tak tergantikan.
Mata He Yu memerah, menatap wajah Xie Qingcheng dengan penuh rindu dan harap—seperti binatang kecil yang menggosokkan dirinya pada ujung jari sang kekasih.
“Halo,” katanya sambil tertawa dan menangis, “Xie Qingcheng... Halo...”
“Xie Qingcheng...”
Tujuh belas tahun lalu, aku sangat bahagia karena bisa bertemu denganmu.
Tujuh belas tahun kemudian, aku sangat bahagia karena bisa bertemu denganmu lagi.
Saat ia menggenggam tangannya, dan pria itu membalas dengan erat.
Saat pria itu berkata, “Halo, iblis kecil.”
Saat ia menjawab, “Halo, Xie Qingcheng milikku.”
Saat mereka kembali bersama, angin menjadi tenang, dan langit bersinar terang. Kekosongan di hati yang dulu akhirnya terisi, catatan medis perlahan ditutup, dan ia telah disembuhkan oleh pria itu—dan akan terus disembuhkan seumur hidupnya.
Tak akan ada lagi yang menjadi pasien. Tak akan ada lagi yang menjadi orang asing.
Musim panas yang tak berkesudahan itu... tak akan pernah layu lagi.
*・゚゚・*:.。..。.:*゚:*:✼✿ Tamat ✿✼:*゚:.。..。.:*・゚゚・*