Menemukan Mario

"Kau—" Agatha menggigit bibirnya menahan umpatan yang hampir saja tersembur dari mulutnya.

"Ada apa? Apa yang kau lakukan di sana?" alih-alih marah Agatha justru bertanya dengan nada rendah, dia cukup lelah saat ini dan otaknya sedang banyak yang harus di pikirkan.

"Aku tidak tahu. Sepertinya dewi keberuntungan yang membawaku kemari," racau Edgar mengedikan bahu sedangkan tatapannya mengarah pada keseluruhan tubuh Agatha.

Sebelumnya dia sudah pernah melihat tubuh menggiurkan itu dan—Ya, Edgar menyukainya—Edgar menginginkan Agatha—miliknya.

"Aku tidak akan segan untuk mengeluarkan kedua bola matamu jika sekali lagi muncul tanpa mengetuk pintu." ancam Agatha yang terlihat menipiskan bibir namun bukannya takut, Edgar justru terkekeh dan mendekati Agatha. Wanita itu tidak bergerak sama sekali—jelas dia sedang menantang Edgar sang arogan yang tidak memiliki otak.

"Ancamanmu membuatku ingin masuk lagi, lagi dan lagi tanpa mengetuk pintu," ejeknya dengan tatapan jahil.

"Apa kau pikir hanya kau yang bisa mengancam orang lain sesuka hatimu? Aku bersungguh-sungguh!" lanjut Agatha, suaranya semakin mengecil kala Edgar menutup jarak di antara mereka.

Sontak Agatha semakin merapatkan kedua tangan untuk menutupi tubuhnya bagian atas yang terbuka.

"Sayang, kau bisa melakukannya sekarang. Ayo keluarkan kedua bola mataku. Aku disini, di hadapanmu." goda Edgar sambil memicingkan mata.

Agatha menyipitkan mata melihat adanya kelicikan iblis dari bibir pria itu, jika bertindak gegabah tentu saja Edgar akan merasa senang dan dapat melihat tubuhnya yang setengah telanjang, Agatha tidak boleh terpengaruh dengan ucapan pria itu.

"Ada apa?" tanya Edgar mengelus pipi Agatha yang sehalus kulit bayi, suara pria itu sangat dalam dan berhasil membuat Agatha merinding.

Edgar menarik dagu Agatha sedikit ke atas hingga mata mereka beradu tatap.

Mata Edgar berlama-lama pada bibir ranum merah muda itu, bibir yang memiliki rasa memabukkan, bibir yang selalu menjawabnya dengan lantang.

Naluri iblisnya bahkan dalam sekejap terbakar dalam api gairah hanya dengan membayangkan kembali betapa manisnya Agatha.

Edgar memiringkan sedikit kepalanya sebelum menunduk dan menempelkan bibirnya di atas bibir Agatha.

Sontak wanita itu memejamkan matanya menunggu Edgar untuk segera menciumnya.

Lalu seperti yang sudah di bayangkan, Edgar melumat Agatha dengan sangat lembut, meresapi seluruh rasa manis dari mulut wanita itu.

Entah berapa lama, yang jelas keduanya telah saling mencicipi hingga hampir kehabisan nafas.

Wajah Agatha terlihat memerah sembari mengatur kembali deru nafasnya.

"Keluar atau akan kutendang senjata kehidupanmu hingga tidak lagi memiliki fungsi!" desis Agatha setelah pernafasan kembali normal.

Edgar terkekeh namun pria itu tetap keluar dari sana setelah memberi kecupan di sudut bibir Agatha.

Sementara itu tangan Agatha berpegangan pada dinding, tubuhnya seketika seperti kehilangan tulang.

Pria sialan itu bahkan tanpa rasa malu sengaja menggesekan bagian tubuhnya yang keras di bagian perut Agatha.

Agatha menelan ludah sambil mengusap wajahnya, dia merasa malu saat ini.

Dia dengan jelas merasakan Edgar yang mengeras dan—

"Aghhh, bajingan itu!" jerit Agatha menatap pintu penghubung di mana Edgar telah menghilang dari sana.

Di tempat yang berbeda, keduanya berendam mencoba menjernihkan kembali pikiran masing-masing, tak berhenti Agatha memukul kecil kepalanya, sekarang dia seperti jalang yang sesungguhnya.

Otaknya tanpa di minta membayangkan begitu saja; besar, keras dan rasanya sudah pasti akan membuatnya mati di tempat.

"Oh Gosh, sungguh aku sudah gila!" racau Agatha frustasi, dari mana datangnya sisi jalang dalam dirinya?

Tak berbeda jauh dari Agatha, di dalam bathtub Edgar mengelus sesuatu yang keras di bagian tubuhnya dengan makian yang terdengar putus asa.

"Berhenti bodoh, kau seperti penjahat kelamin sekarang." ucap Edgar bermonolog.

Wanita itu, Agatha-nya kini menjadi gadis yang begitu menggairahkan.

'Oh F*ck Edgar, hentikan sialan! Kau membuatku tersiksa!' raung sisi lain dalam dirinya.

Begitulah yang terjadi hingga akhirnya air dingin dari shower mengguyur tubuh Edgar, meski tidak sepenuhnya berhasil namun setidaknya kepalanya kini sedikit terasa dingin.

Setelah pikirannya kembali pada kewarasan, Edgar kini mendatangi markas tempat Mario di tahan.

Tempat itu lebih tepatnya rumah rahasia yang terletak di tengah hutan belakang mansion, tempat yang cukup strategis untuk menembak setiap musuh yang di tahan di tempat itu.

Suara apapun akan tenggelam di dalam hutan.

Mansion ini seperti di desain sama dengan mansion milik Edgar yang berada di Los Angeles.

Para penjaga menunduk hormat menyambut sang tuan muda, setelah membuka pintu besi yang sangat tebal tersebut Edgar masuk ke dalam.

Tempat itu memiliki banyak ruang, ada yang seperti penjara dan ada ruangan yang tertutup tanpa sedikitpun celah.

Mario di letakkan pada ruang yang berupa penjara, Edgar dapat melihat pria itu dari balik jeruji tengah tidur meringkuk di atas matras yang telah di sediakan.

Dari semua yang pernah di tahan di ruangan ini hanya Mario yang beruntung mendapat matras dan selimut hangat. Jangan tanya akan hal itu, tentu semua karena Agatha.

"Kau menyukai tempat barumu?" suara bariton Edgar berhasil membuat Mario terbangun dari tidurnya.

Matanya menatap sang iblis yang di agung-agungkan oleh sejumlah orang di negara ini.

Bukan, bahkan di beberapa negara Edgar cukup di kenal dengan segala kelebihannya serta betapa kejamnya pria itu.

Seketika Mario tahu mengapa Edgar di sebut sebagai iblis setengah malaikat, hanya dengan tatapan matanya yang tajam siapapun akan merinding tapi lihat bagaimana Tuhan menciptakan pria itu dengan segala kesempurnaan.

"Aku sudah menduga bahwa cepat atau lambat akan jatuh di tangan iblis sepertimu," ujar Mario tanpa tahu malu.

Setelah semua kejahatan yang ia lakukan kini pria itu sanggup menyebut Edgar sebagai seorang iblis?

Edgar tetap diam dengan rahang mengatup, jika bukan karena saat ini otaknya di penuhi oleh bayangan wajah Agatha, dia bersumpah telah menembak kepala Mario.

Bajingan keparat itu tidak layak mendapat kesempatan untuk hidup.

"Siapa yang menyuruhmu?" desis Edgar tanpa sedikitpun mengalihkan tatapannya dari Mario.

"Kau akan membunuhku jika tidak menjawab?" Mario sepertinya ingin menguji kebaikan Edgar.

Edgar meraih ponsel miliknya dari dalam saku celana dan menunjukkan foto di mana Agatha tengah tertidur pulas. Seketika raut wajah Mario berubah pucat.

"kau tidak tahu jika anak gadismu kini berada di tempat yang sama? Dia akan sangat berguna nantinya." lanjut Edgar.

Mario terdiam dengan tatapan mematikan,

"jangan menyentuhnya." lirihnya memperingati.

"Aku akan memberimu dua pilihan dan kau harus bersyukur karena wanita ini aku menunda kematianmu,"

"katakan siapa tuanmu, sebagai imbalan kau bebas."

"atau tetaplah bungkam dan membusuk di dalam sini sementara wanita itu akan ku cabut nyawanya dengan tanganku sendiri."

"Ah, atau dia mungkin bisa menjadi jalang ku." ucap Edgar tersenyum iblis.

Mario menggeleng,

"saya tidak pernah melihat wujudnya," jawab Mario datar.

"saya mendapat perintah dari ajudan yang berbeda untuk setiap target yang berbeda."

Edgar menelisik wajah Mario, mungkin dia akan percaya karena nyatanya setiap pembunuh bayaran memang hampir tidak pernah mengetahui siapa tuannya namun entah mengapa Edgar sedikit ragu.

"Pikirkan kembali ucapanmu, bajingan. Semoga ketika aku kembali aku tidak berubah pikiran."

Edgar memutar badan hendak pergi ketika Mario kembali bersuara,

"Tuan, para ajudan itu memanggilnya Mr. Pumpkin. Saya tidak pernah sekalipun bertemu dengan beliau," lanjut Mario memberi informasi tambahan.

Edgar mengernyit 'Mr.Pumpkin?'

"Hentikan omong kosongmu sebelum aku mengeluarkan isi kepalamu." desis Edgar kesal karena itu saja tidak cukup baginya.

"Aku mengatakan yang sesungguhnya, tuan!" teriak Mario dari dalam jeruji besi namun Edgar telah menghilang dari sana.