Keesokan paginya, suasana ruang kelas di SMK Kewirausahaan dan Manajemen Terpadu dipenuhi semangat para siswa yang tengah mempersiapkan proyek mereka untuk peringatan ulang tahun sekolah. Aldo, Rizal, dan Bayu sudah berkumpul di sudut kelas, duduk melingkar dengan beberapa lembar kertas konsep dan laptop di tengah mereka. Rencana mereka untuk proyek kafe ramah lingkungan semakin mendekati kenyataan.
Aldo membuka laptopnya dan mulai mengetik cepat, menampilkan draft konsep kafe mereka yang akan diadakan di bazar sekolah. "Oke, guys, jadi gini. Aku udah bikin draft konsep buat kafe kita di bazar nanti," ujarnya sambil menggeser laptopnya agar Rizal dan Bayu bisa melihat.
Bayu menyimak layar laptop dengan serius. "Keren nih, Do. Jadi, konsepnya kita bikin kafe dengan menu makanan dan minuman yang ramah lingkungan. Gue pikir kita bisa fokus ke makanan organik dan minuman sehat, pake bahan lokal. Gimana kalau kita juga pake kemasan yang bisa didaur ulang atau pake barang-barang yang bisa dipake ulang?"
"Setuju, Bay," Rizal menimpali. "Tapi menurut saya kita juga harus pikirin gimana caranya bikin kafe kita ini lebih dari sekedar tempat makan. Gimana kalau kita tambahin elemen edukasi? Misalnya, kita bisa ajarin pelanggan cara membuat kompos dari sisa makanan atau kasih informasi tentang pentingnya memilih produk ramah lingkungan."
Aldo mengangguk. "Aku suka idemu, Zal. Kita bisa bikin beberapa papan informasi atau mungkin sesi workshop singkat tentang pengelolaan sampah dan daur ulang."
Bayu kembali menimpali. "Eh, Aku juga punya ide. Gimana kalau kita tambahin challenge buat pelanggan? Misalnya, setiap pembelian pake tumbler atau kemasan sendiri, mereka dapet poin. Nanti, poin-poin itu bisa dituker sama hadiah yang juga ramah lingkungan."
Rizal tersenyum. "Mantap! Itu bisa jadi strategi marketing yang bagus, Bay. Jadi pelanggan gak cuma dapet makanan sehat, tapi juga belajar buat lebih peduli sama lingkungan."
Aldo mengetuk-ngetuk meja dengan penanya, terlihat puas dengan arah pembicaraan mereka. "Oke, jadi sekarang kita udah punya beberapa elemen kunci: makanan dan minuman sehat, edukasi lingkungan, dan strategi marketing yang interaktif. Tapi, kita juga harus mikirin gimana caranya biar booth kita menarik perhatian di bazar nanti. Mungkin kita bisa tambahin dekorasi yang unik, pake barang-barang daur ulang?"
Bayu mengangguk setuju. "Ya, Aku setuju, Aku pikir kita bisa bikin booth yang beda. Gak perlu mewah, tapi kreatif dan sesuai tema. Mungkin kita bisa pake hiasan dari botol plastik yang didaur ulang atau lampu-lampu kecil dari toples bekas."
Namun, Rizal tampak agak ragu. "Saya setuju sih, tapi jangan terlalu ribet. Kita cuma punya waktu beberapa hari buat persiapan. Kita harus pastiin konsep kita bisa diimplementasiin dengan baik tanpa ngorbanin kualitas."
"Kamu bener, Zal. Kita harus realistis juga. Mungkin kita bisa fokus ke beberapa elemen aja, yang paling impactful tapi masih achievable." Kata Aldo.
Mereka bertiga lanjut berdiskusi, mencoba menyatukan ide-ide mereka menjadi konsep yang solid dan terarah. Namun, tiba-tiba ada seorang siswi yang berjalan mendekati kelompok mereka. Dia adalah Romana, siswi ambisius yang selalu bersaing dan tidak mau kalah dari Aldo.
"Eh, Aldo, Aku danger kamu mau bikini kafe dengan konsep daur ulang ya? Kamu yakin kafemu bakal sukses? Kamu juga mau fokus ke edukasi dan recycle-recycle gitu? Itu idenya jadul banget, nggak bakal menarik perhatian, tau!" Kata Romana dengan nada mengejek.
Aldo menoleh dengan alis terangkat. "Iya, tapiaku yakin konsep kami cukup kuat buat menarik minat orang. Bukan cuma jual makanan, tapi kita juga ngajak orang buat lebih peduli sama lingkungan."
Romana mendengus, "Yaa, kamu boleh aja percaya diri, tapi nanti jangan sedihnya kalau booth kalian bakal sepi. Kamu tau nggak, aku sama timku udah mikir buat bikin booth yang jauh lebih menarik. Kita bakal gabungin technology dan pake virtual reality buat kasih pengalaman masuk ke hutan tropis sambil makan. Gimana, keren kan?"
Bayu yang sejak tadi diam mulai merasa terganggu dengan sikap Romana. "Ide mu memang keren, tapi kami belum tentu kalah kan?"
Romana tertawa kecil, "Eh, santai donk Bay, Aku Kan cuma kasih masukan aja."
Aldo menghela napas, mencoba tetap tenang. "Makasih atas masukannya, Romana. Tapi kita udah yakin sama konsep kita. Kita mau fokus ke edukasi dan pengalaman yang meaningful, bukan cuma gimmick-gimmick yang ga penting"
Romana mengangkat bahu dan kembali ke kelompoknya dengan senyum penuh arti. Aldo, Rizal, dan Bayu saling menatap, berusaha menenangkan diri setelah percakapan yang sedikit memanas.
Rizal akhirnya memecah keheningan. "Saya yakin kita punya konsep yang bagus, Do. Tapi mungkin kita bisa tambahin beberapa elemen menarik biar booth kita gak kalah saing."
Bayu mengangguk. "Iya, bener. Kita harus lebih kreatif, tapi tetap sesuai sama tema kita. Mungkin kita bisa bikin game kecil yang berhubungan sama lingkungan, biar makin seru."
Aldo tersenyum, kembali bersemangat. "Setuju. Kita tetap fokus sama konsep kita, tapi juga harus punya cara buat bikin booth kita lebih menarik. Yang penting, kita bisa deliver pesan kita dengan cara yang seru dan gak ngebosenin."
Rizal tiba-tiba mendapatkan ide baru. "Eh, gimana kalau kita kasih nama kafe kita ini 'Green Sip Café'? Nama ini kayaknya cocok sama konsep kita yang ramah lingkungan dan minuman sehat."
Bayu tersenyum lebar. "Wah, keren tuh nama! Green Sip Café. Simpel, tapi catchy. Aku suka!"
Aldo mengangguk setuju. "Oke, Green Sip Café it is. Sekarang kita tinggal fokus buat mempersiapkan semuanya sebaik mungkin. Gue yakin, kalau kita kerja keras, kita bisa bikin booth kita sukses di bazar nanti."
Dengan semangat yang baru, mereka bertiga mulai merencanakan detail untuk booth Green Sip Café di bazar nanti. Meskipun sempat ada perbedaan pendapat, mereka tahu bahwa kerjasama dan saling mendukung adalah kunci untuk mencapai tujuan mereka. Mereka ingin membuktikan bahwa ide mereka bisa bersaing dan memberikan dampak positif, bahkan dalam waktu yang singkat dan di bawah tekanan.