Persiapan Terakhir

Beberapa minggu berlalu, dan latihan Darius semakin intens. Setiap hari, dia merasakan kekuatannya semakin terkendali. Dia mulai menguasai seni bertarung yang diwariskan oleh Ares—bukan hanya kekuatan fisik, tetapi juga strategi perang. Nyx mengajarinya tentang taktik, tentang cara membaca musuh, dan yang paling penting, tentang keseimbangan antara kekuatan dan kontrol.

"Kau harus belajar untuk tidak hanya mengandalkan kekuatan mentah," kata Nyx saat mereka bertarung dengan pedang latihan di kuil. "Kau adalah pewaris Ares, ya, tapi kekuatan tanpa kontrol akan menghancurkanmu. Keseimbangan itulah yang membuat seorang prajurit sejati."

Darius semakin merasa percaya diri, tapi dia tahu bahwa pertarungan sebenarnya masih menunggu di depan. Phobos tidak akan berhenti sampai dia berhasil menghancurkan Darius, dan rasa takut itu masih ada di dalam hatinya—meskipun sekarang dia mulai bisa mengendalikannya.

Suatu malam, ketika Darius tengah beristirahat, suara Nyx memanggilnya dari luar. "Darius, waktunya telah tiba."

Darius bangkit dengan hati berdebar. Dia tahu apa yang dimaksud Nyx. Pertarungan dengan Phobos tidak bisa dihindari lagi. Phobos semakin kuat, dan Darius sudah mendengar laporan tentang pertempuran dan kehancuran di berbagai tempat. Ketakutan semakin menyebar, dan Phobos menggunakan itu untuk memperkuat dirinya.

Mereka berdua berjalan keluar dari kuil, dan di ujung hutan, di atas bukit yang diterangi sinar bulan, Phobos sudah menunggu.

"Kau datang juga, akhirnya," kata Phobos dengan nada mengejek, melangkah maju dengan senyum penuh kebencian. "Aku sudah menunggu momen ini. Ketakutanmu akan membuatku lebih kuat."

Darius merasakan ketegangan mengalir melalui tubuhnya, tapi kali ini dia tidak akan lari. Dia merasakan ketakutan, ya, tapi dia juga merasakan kekuatan yang jauh lebih besar di dalam dirinya.

"Aku tidak akan membiarkan ketakutan menguasai hidupku lagi," kata Darius tegas, menatap Phobos dengan penuh keyakinan. "Aku akan melawannya, dan aku akan mengalahkanmu."

Phobos tertawa dingin. "Kita lihat saja."

Dengan satu gerakan cepat, Phobos menyerang. Kabut hitam ketakutan mengelilinginya, membentuk bayangan-bayangan menakutkan yang menyerang dari segala arah. Tapi Darius sudah siap. Dia merasakan energi merah Ares menyala dalam dirinya, dan dengan satu teriakan perang, dia melesat ke arah Phobos, memukul bayangan-bayangan itu dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya.

Pertarungan dimulai. Phobos menggunakan segala cara untuk menghantui pikiran Darius, membuatnya ragu, menanamkan rasa takut yang paling dalam. Tapi Darius terus melawan, melawan ketakutan itu, mengingat apa yang telah dia pelajari—bahwa ketakutan adalah bagian dari dirinya, tapi itu bukanlah kelemahan.

Dengan setiap pukulan, Darius meruntuhkan bayangan-bayangan ketakutan Phobos. Perlahan tapi pasti, kekuatan Phobos mulai melemah, dan untuk pertama kalinya, Darius melihat sesuatu di mata dewa ketakutan itu—kegelisahan.

Phobos mundur, terengah-engah. "Bagaimana mungkin... kau bisa melawanku?"

Darius menatap Phobos dengan tatapan tegas. "Karena aku bukan lagi anak yang takut. Aku pewaris Ares, dan aku akan memenangkan pertempuran ini."

Dengan satu serangan terakhir, Darius menghantam Phobos dengan seluruh kekuatannya. Serangan itu meledak dengan cahaya merah yang menyilaukan, memecah kabut ketakutan di sekeliling mereka.

Phobos terjatuh, terluka parah, tapi senyumnya memudar menjadi tatapan kekalahan.

Darius berdiri tegak, napasnya masih berat, tapi di dalam dirinya, dia tahu—dia telah mengalahkan ketakutan.