POV Sherly
"Kamu siapa?" kenapa ada di ruangan saya?" terdengar suara pria dari pintu ruangan itu.
Aku segera menoleh dan melihat seorang pria muda berkacamata masuk.
"Oh, maaf, Pak. Saya tadi diperintahkan Pak Hasyim untuk ke sini. Katanya saya harus mengikuti training sebagai asisten manajer keuangan," jelasku sambil berdiri, menundukkan sedikit kepala untuk menunjukkan rasa hormat.
Pria itu berkulit terang, tampak seperti keturunan Eropa, dan mengerutkan kening hingga terbentuk empat garis sejajar di dahinya. Ia memandangiku dari atas ke bawah, lalu menyunggingkan senyum tipis.
"Ah, ya, pas sekali kamu datang sekarang. Ini ada beberapa dokumen yang harus kamu antarkan ke nama-nama yang terdaftar di sini." Dia berjalan ke samping meja, mengambil setumpuk kertas dari dalam kotak karton.
Aku lirik tumpukan kertas itu, tampak seperti 2 rim kertas, berarti sekitar 1000 lembar, astaga!
"Apa yang kamu lihat? Kamu paham kan maksud saya?" Dia bertanya dengan nada sinis.
Wajahnya terlihat tegang, matanya menyipit sedikit saat memandangku seolah menilai seberapa cepat aku akan menyerah.
Di kertas yang paling atas, tertulis 8 nama orang.
"Iya, Pak, saya paham," jawabku agak ragu sambil mengangguk.
Aku segera mengambil kotak karton itu dan membaca siapa saja penerimanya.
Aku menatap daftar nama di atas kertas. Aku belum mengenal semua ruangan di perusahaan ini. Bagaimana aku bisa menemukan mereka?
"Kamu gak usah panik gitu, ruangan mereka ada di lantai ini kok, tinggal kamu cari saja," celetuk manajer keuangan itu.
"Baik, Pak," jawabku.
"Nanti, setelah selesai, kamu, ... Oh, siapa nama kamu tadi?" Dia bertanya sambil mengarahkan telunjuknya padaku.
"Sherly, Pak," jawabku tersenyum.
"Ah, ya, Sherly! Nanti kamu langsung minta bahan presentasi pada sekretaris saya, ya! Ibu Risti," sambungnya.
Manajer itu mengambil sebuah map lalu pergi meninggalkanku yang masih terpana dengan kotak karton.
Aku merasa sedikit terhina, tapi aku tetap menunduk dan mengiyakan perintahnya. Toh, ini adalah hari pertamaku, dan aku belum punya posisi apa-apa di sini.
Dengan napas panjang, aku mengantarkan dokumen ke ruangan personalia. Penjelasan sekretaris membuatku curiga, apakah manajer keuangan sengaja mempermainkanku?
Perjalananku kemudian berlanjut menuju ruangan manajer pemasaran, dan jawaban yang hampir sama kembali kudengar dari sekretaris di sana. Aku mulai merasa jika manajer keuangan itu mempermainkanku!
Akhirnya berkas terakhir telah kuserahkan kepada penerimanya, yaitu di ruangan manajer operasional. Aku pun kembali berjalan menuju ruangan manajer keuangan, karena pekerjaanku yang lain telah menunggu di sana.
Sesampainya di depan ruangan manajer keuangan, tak butuh waktu lama, tiba-tiba saja pintunya terbuka, dan terlihat seorang wanita muda yang berpakaian rapi tanpa hijab membukakan pintu. Aku pun paham sekarang, mengapa tadi pintu ruangan ini tidak terbuka ketika aku pertama datang tadi, alasannya adalah karena sekretaris yang bernama Ibu Risti ini sedang tidak di tempat.
"Ibu Sherly, ya?" tanyanya sambil tersenyum tipis. Ada ketenangan dalam tatapannya yang membuatku merasa lebih nyaman.
"Iya, Bu," jawabku singkat.
"Saya Risti, sekretaris manajer keuangan." Wanita itu mengulurkan tangannya.
Aku segera menjabat tangan wanita yang memiliki tahi lalat di bawah matanya itu.
"Pak manajer tadi bilang aku harus ambil bahan presentasi ke Ibu," kataku.
"Manajer keuangan kita namanya Pak Ariel, panggil Pak Ariel saja, Bu, oh, iya, ini bahannya, Bu Sherly." Seketika sekretaris yang bersuara lembut itu mengambil beberapa file dari mejanya.
"Terima kasih, Bu," jawabku sambil mengambil file itu.
"Oh, ya, Bu Sherly, meja Bu Sherly di sana ya, sebelah meja Pak Ariel, ya, Bu." Sekretaris manajer keuangan itu mengarahkan telapak tangannya ke arah sebuah meja yang berada persis dengan meja pak Ariel.
"Baik, Bu, saya langsung ke sana, ya."
Aku langsung menuju mejaku, namun aku sedikit terperanjat setelah mendapati pak Ariel telah berada di mejanya, matanya sibuk menatap laptop. Apakah tak masalah jika aku menyapanya?
"Pagi, Pak!" sapaku sedikit tegang.
"Hm," jawabnya singkat.
Dia tak bergeming sambil terus menatap monitor.
Aku kemudian terus berjalan menuju mejaku, lalu duduk dan kemudian menghidupkan komputer yang ada di meja yang berwarna merah. Mejaku yang merah ini tampak sangat kontras dengan meja Pak Ariel yang putih—serasa HUT RI setiap hari di sini.
File-file tadi mulai kubaca dan kupahami. Berdasarkan pemahamanku sepertinya presentasi yang akan dibuat nanti berhubungan dengan proposal sebuah proyek, tapi aku belum paham tepatnya itu proposal apa.
Tiba-tiba suara berat memecah keheningan di ruangan itu.
"Itu proposal untuk investor, ada proyek yang sedang kita rencanakan," ujar Pak Ariel spontan.
Dia tak menoleh, matanya masih terpaku dengan monitor laptopnya.
"Oh, ternyata begitu, ya, Pak." Aku pun menganggukkan kepala tanpa mengerti.
Eh, tunggu sebentar! Kenapa pak Ariel bisa tahu apa yang sedang kupikirkan?
Segera kulirik dia dari mejaku, dan astaga! Tatapan kami bertemu. Jantungku berdegup kencang, aku buru-buru memalingkan pandangan ke pintu.
"Sherly! Ke sini sebentar!" perintahnya seperti seorang 'Bos'.
Aku pun segera bangkit dan melangkah menuju mejanya. Tangannya memberikan isyarat untuk mendekat di sampingnya, aku pun melakukannya.
"Saya ingin tahu pendapatmu. Tim pengadaan baru saja mengirim proposal untuk mesin produksi baru," katanya sambil menunjuk gambar-gambar di monitor.
"Katanya, mesin ini bisa mengurangi biaya bahan baku hingga 15%. Menurutmu, apakah kita sebaiknya lanjut dengan ini?" lanjutnya.
Apa? Si Bos meminta pendapatku? Tenang, Sher! Fokus!
"Hmm... dari sisi efisiensi, kedengarannya menarik, Pak. Tapi... apakah kita sudah punya anggaran tambahan untuk investasi mesin baru?" tanyaku, berusaha terdengar profesional sambil menatapnya.
Dia tersenyum tipis.
"Itu dia masalahnya. Anggaran kita cukup ketat tahun ini, makanya saya ingin tahu apakah penghematan itu benar-benar sepadan dengan biaya yang akan kita keluarkan," jawabnya dengan nada serius.
"Kalau boleh saran, mungkin kita bisa mulai dengan uji coba dulu, Pak. Kita bisa lihat hasilnya di satu lini produksi sebelum memutuskan membeli dalam jumlah besar," saranku dengan percaya diri.
Dia terlihat mengangguk-angguk, tanda setuju.
"Ide yang bagus! Uji coba bisa jadi cara aman untuk mengukur efisiensinya tanpa harus komitmen penuh dari awal," katanya.
Oh, syukur Alhamdulillah! Saranku diterima!
"Saya bisa hubungi tim produksi untuk menyiapkan proposal uji cobanya, kalau Bapak setuju," ujarku sambil tersenyum lega.
"Ya, lakukan itu! Dan pastikan kita dapat data performa mesinnya secara detail. Kita tidak bisa gegabah dalam investasi seperti ini!" tegasnya.
"Baik, Pak. Saya akan segera tindak lanjuti." Aku mengangguk mantap.
"Terima kasih, Sherly. Kamu membantu saya melihat sudut pandang yang berbeda. Oh, bagaimana presentasi tadi? Sudah selesai?" tanyanya sambil melirik ke arah laptopnya.
"Iya, Pak. Akan segera saya kerjakan." Aku pun segera melesat kembali ke meja kerjaku.
Aku kemudian melanjutkan pekerjaanku. Waktu terasa cepat hingga satu jam terasa hanya beberapa menit saja. Selama ini membuat sebuah presentasi tidaklah begitu rumit bagiku, tinggal buat judul, isi, dan tambah beberapa gambar, grafik, atau tabel, beres!
"Sher, coba bawa sini hasil rancangan presentasi kamu!" perintahnya.
"Baik, Pak! Sebentar," sahutku sambil mengirimkan file PPT itu ke cloud yang tersedia di komputer itu
Beberapa menit kemudian aku telah berada di meja si Bos
Si Bos memiringkan sedikit kepalanya ke kiri, seakan sedang menatap sesuatu yang ganjil.
"Apa ini? Saya suruh kamu buat presentasi untuk investor! Bukan untuk siswa SD!" komentarnya pedas.
Dia melipat tangan di dada sambil melirik tidak puas ke arahku.
"Oh, maaf, Pak, akan saya perbaiki," jawabku singkat.
Untuk siswa SD? Maksudnya, tema presentasiku kekanak-kanakan, begitu? Oke, aku kubuat yang lebih dewasa dan formal!
Hampir setengah jam aku berkutat di komputerku. Perfect! Ini sungguh menarik, cocok sekali untuk investor yang sudah berumur itu.
"Bagaimana, Sher?" tiba-tiba saja suara si Bos terdengar tepat di sampingku.
Jantungku berdetak kencang tak karuan dibuatnya.
"Ah, iya, Pak, ini sedang dikerjakan," jawabku sedikit gugup.
Jarinya menyentuh dagu berkali-kali. Sepertinya itu adalah pertanda buruk untukku.
"Kalau presentasinya datar seperti ini, mana sisi menariknya? Kita butuh presentasi yang artistik dan berkelas, Sherly!" ocehnya dengan nada menyindir.
Dadaku terasa panas mendengar itu. Bagaimana bisa presentasi ini salah lagi? Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Mungkin... meminta bimbingan darinya adalah satu-satunya jalan!
"Maaf, Pak, saya kurang memahami rancangan presentasi yang artistik dan berkelas, mohon bimbingannya, Pak," pintaku dengan suara sedikit dilembutkan sambil tersenyum kecil ala template karyawan.
Si Bos menatapku dan sesaat kemudian melemparkan senyuman nakal yang aneh.
Eh, mengapa dia tersenyum? Dia senang aku akhirnya meminta bantuannya? Atau dia sedang menertawakanku karena tidak bisa melakukan tanpa bantuannya? Aku sungguh tidak nyaman melihat itu.
"Baiklah, tapi singkirkan dulu tumpukan kertas itu, saya ada perkerjaan di laptop, jadi kita lakukan di mejamu saja," ujarnya.
Ia segera mengambil laptop dan memindahkannya ke mejaku. Tiba-tiba saja jantungku berdegup dengan cepat, ku telan ludahku dan ku gigit bibirku seketika. Apa yang dia lakukan? Ini sungguh situasi yang aneh!
"Gak usah khawatir, Sher, saya gak akan macam-macam, kok," kata si Bos sambil menatap file di mejaku.
Eh? Kok si Bos tiba-tiba saja mengatakan hal itu? Bukankah aku hanya berbicara di dalam hatiku saja?
Pak Ariel kemudian memulai bimbingan pembuatan PPT dengan menunjukkan hasil PPT yang pernah ia buat. Ternyata sangat bagus dan menarik! Ia menjelaskan padaku untuk menggunakan efek transisi 'morph' agar presentasinya menjadi artistik dan berkelas. Aku mengangguk setiap kali si Bos memberikan langkah-langkah tutorialnya. Sangat menarik melihat si Bos saat menjelaskannya, suaranya memiliki intonasi yang pas dan kalimatnya mudah dipahami.
"Nah, jadi intinya, setiap slide yang seperti ini, bikinnya dua ya, pakai Control D, terus bagian yang ini digeser ke samping kanan kiri, ya," jelas si Bos sambil menatap layar komputerku.
"Baik, Bos!" balasku cepat.
Tiba-tiba saja si Bos menoleh kepadaku dengan wajah heran sambil mengerutkan keningnya.
Eh? Kenapa?
"Kamu panggil saya 'Bos' tadi?" tanya Pak Ariel kemudian.
Aduh!
Aku sungguh keceplosan, bagaimana ini, ya?
"Maaf, Pak, saya salah sebut tadi," jawabku ragu-ragu.
"Eh, tapi bagus juga kalau kamu panggil saya 'Bos', hehehe," tuturnya sambil tersenyum kecil.
Ada apa dengan senyuman itu? Tampak tidak menyenangkan. Perasaanku tiba-tiba saja menjadi aneh, seperti sebuah ketidaknyamanan.
"Oke, ini kamu bisa lanjutin sendiri, ya, saya masih ada kerjaan di laptop," lanjutnya.
"Iya, Pak, Insya Allah bisa, Pak," jawabku sambil mengangguk.
Si Bos segera kembali menuju mejanya. Ia kemudian terlihat sibuk menelepon seseorang. Sedangkan aku kembali berjibaku dengan bahan-bahan presentasi yang mulai terasa agak rumit. Waktu terus bergulir, kami pun tetap mengerjakan aktivitas kami masing-masing tanpa saling berbicara. Dari ruangan si Bos ini tidak terlihat meja Ibu Risti karena dipisahkan oleh tembok. Jadi, semakin terasa keheningan di sini.
Akhirnya, slide terakhir telah selesai aku sesuaikan transisinya, beres!
Spontan aku meregangkan lengan dan punggungku, namun tiba-tiba, ...