POV Sherly
"Sher, kamu tidak istirahat untuk makan siang?" tanya Pak Ariel sambil beranjak dari kursinya.
"Iya, Pak, sebentar lagi," jawabku dengan senyuman kecil.
"Jangan kelamaan, nanti kafetaria keburu penuh," lanjutnya.
"Tidak masalah, Pak, saya bawa bekal dari rumah," sahutku sambil mengeluarkan bekal.
Si Bos yang sedang berjalan menuju pintu, mendadak berhenti dan melirik ke arahku.
"Sher, tolong belikan saya nasi goreng di kafetaria, ya! Sekalian jus mangga."
Ia menyerahkan uang seratus ribu kepadaku.
"Baiklah, Pak," jawabku, lalu beranjak pergi.
Ingat, Sher, kamu 'ASISTEN'! Jangan kesal, sabar. Aku mengulang kalimat itu di kepalaku saat berjalan menuju kafetaria.
Kafetaria penuh sesak, dan tiba-tiba terjadi kegaduhan. Seorang wanita muda melempar piring dan berteriak, membuat karyawan lain berhamburan.
Aku ikut terjebak dalam kerumunan itu, dan tiba-tiba sebuah piring berisi mie goreng melayang ke arahku, tepat mengenai dadaku. Hijab dan kemeja putihku yang sebelumnya rapi kini penuh noda mie goreng.
Aku mencoba mencari pelaku wanita yang membuatku kesal, tapi dia sudah lenyap di balik kerumunan.
Apa-apaan ini? Dengan perasaan campur aduk, aku meninggalkan kafetaria, masih berusaha membersihkan noda mie. Walaupun tahu, membersihkannya dengan tisu tak akan berhasil, aku tetap mencoba.
"Jangan dipaksa, itu tidak akan hilang kecuali dicuci dengan sabun," terdengar suara pria dari belakangku.
"Ya, benar. Saya harus mencucinya," jawabku sambil menoleh.
Seorang pria berkulit sawo matang yang bertubuh tinggi atletis itu tersenyum ringan. Ia melepas jaketnya dan menyodorkannya padaku.
"Pakai ini untuk menutupinya."
"Eh, gak usah, nanti nodanya kering juga," tolakku.
"Serius, saya hanya ingin membantu, tidak ada maksud lain," ucapnya, lalu menyerahkan jaket itu dan pergi.
"Eh, tapi, ..." Aku tak mampu melanjutkan kata-kataku setelah melihat pria yang potongan rambut undercut itu pergi sangat cepat dengan langkah kakinya yang panjang.
Aku berusaha untuk mengejarnya sambil berlari kecil tapi sebuah mobil tiba-tiba saja mengklaksonku yang membuat aku harus berhenti dan kehilangan pria tadi. Jaket itu kutatap untuk beberapa saat sebelum akhirnya kugunakan untuk menutupi noda tadi. Aroma jaket itu sungguh unik, terasa hangat seperti aroma rempah-rempah. Biasanya aroma parfum itu adalah jati diri dari yang memakainya. Mungkin pria tadi adalah orang yang friendly dan menyenangkan.
Aduh, aku lupa menanyakan namanya! Bagaimana cara mengembalikan jaket ini?
Aku menghela napas. Nanti saja kupikirkan, sekarang yang penting beli nasi goreng dan jus mangga.
Aku segera menuju restoran di dekat kantor, yang lebih sepi dibandingkan kafetaria tadi. Tak butuh waktu lama, aku kembali ke kantor dengan sekotak nasi goreng dan jus mangga di tangan.
Akhirnya perjuanganku untuk menyelesaikan misi si Bos berhasil! Pasti si Bos telah lama menunggu dan aku harus mempersiapkan mental untuk menghadapi itu.
"Permisi, Bu," sapaku kepada bu Risti setelah memasuki ruangan manajer keuangan itu.
"Iya, Bu Sherly," balas bu Risti sambil tersenyum ramah.
Aku segera menuju meja si Bos.
Belum sempat aku menyapanya, dia tiba-tiba saja menoleh padaku.
"Kenapa lama sekali, Sher?" tanya Pak Ariel.
"Ada sedikit masalah di kafetaria, Pak," jawabku singkat, merasa sedikit tegang.
"Kenapa pakai jaket? Kamu sakit?"
"Bukan, Pak. Baju dan hijab saya kotor kena lemparan mie goreng di kafetaria. Ada yang meminjamkan jaket ini," jelasku sambil menunjuk jaket yang kupakai.
Pak Ariel mengerutkan kening sejenak.
"Meminjamkan? Siapa yang meminjamkan?" tanyanya dengan nada datar, matanya sesaat menatap jaket itu sebelum kembali menatapku.
"Seorang pria. Saya tidak tahu siapa namanya, tapi dia terlihat baik, Pak," jawabku santai.
Pak Ariel diam sejenak lalu menarik nafas. "Pastikan kamu tidak sembarangan menerima bantuan seperti itu lagi, Sher. Orang yang tampak baik tidak selalu bisa dipercaya."
"Tapi dia hanya membantu, Pak," ujarku, bingung dengan responsnya.
"Saya tahu. Tapi saya tidak ingin ada hal buruk terjadi. Itu saja." Suaranya sedikit lebih lembut, seolah ingin mengakhiri pembicaraan tanpa memaksakan pendapatnya.
Aku mengangguk, meski dalam hati bertanya-tanya mengapa dia bereaksi begitu.
"Baik, Pak. Terima kasih sudah mengingatkan."
Setelah meletakkan nasi goreng dan jus di atas mejanya, aku menuju mejaku untuk mengambil bekal makan siang yang telah disiapkan ibu.
"Sher, kamu tidak keberatan kalau kita tukar bekal, kan?" tanyanya, tanpa menunggu jawabanku.
"Maksud Bapak, bekal saya ditukar dengan nasi goreng Bapak?" tanyaku memastikan.
"Iya, mari kita makan."
Pak Ariel mulai menyantap bekalku dengan lahap, dan aku segera membuka kotak nasi goreng. Kami makan cepat seperti sedang berlomba.
Aku menoleh pada Pak Ariel yang tersenyum kecil kepadaku. Tanpa sadar, aku membalas senyumannya. Lalu, sebuah suara sendawa keras keluar dari mulutku. Astaga!
Pak Ariel tertawa melihatku. "Kamu makan cepat sekali."
"Oh, ya. Besok dan seterusnya, lebihkan bekalmu untuk saya, ya. Nanti biayanya saya transfer," ujarnya.
Dia memang tidak peduli dengan pendapat orang lain. Si Bos benar-benar egois! Aku hanya mengangguk pasrah.
***
Keegoisan bos ini benar-benar kelewatan. Saat semua karyawan sudah pulang sejak sore tadi, aku malah masih terjebak di kantor, menuruti perintahnya yang tak kunjung henti.
"Sher, tadi investor menelepon. Mereka ingin laporan keuangan 10 tahun terakhir. Jadi, tolong lengkapi presentasi itu, ya," katanya tanpa ekspresi.
Sudah cukup! Batas kesabaranku hampir habis.
"Maaf, Pak, ini sudah pukul tujuh malam. Bolehkah saya pulang? Besok saya lanjutkan menyelesaikan presentasinya," ucapku dengan suara yang lelah.
"Hm, baik. Tapi ingat, presentasi itu harus selesai di rumah. Besok pagi semua harus siap!" Telunjuknya teracung, menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk bantahan.
"Baik, Pak. Terima kasih," sahutku dengan senyum terpaksa meski hatiku mendidih.
Sebagai trainee, aku tak punya pilihan lain selain menahan diri dan menerima perlakuan sewenang-wenang ini.
***
Malam itu, halte terasa sepi. Hanya ada dua orang termasuk aku, menunggu Bus Trans yang tak kunjung datang. Tiba-tiba, seorang pria lusuh mendekat, menghampiri kami dengan tatapan tak bersahabat. Dia memaksa kami membayar "biaya tunggu" karena, menurutnya, halte ini adalah wilayah kekuasaannya. Sepertinya dia seorang preman yang biasa mengusik orang-orang di sekitar sini.
Wanita di depanku tak gentar. Ia justru balik mengancam akan melaporkannya ke polisi. Tak terima dengan ancaman itu, si preman bertato langsung merampas tasnya, mengacungkan sebilah pisau. Panik, aku segera menghindar ke samping. Tubuhku memanas, ketakutan merayap. Bagaimana jika dia melukai wanita ini?
Wanita berkulit gelap yang mengenakan setelan merah muda itu tidak mundur. Dengan berani, ia menarik kembali tasnya, tatapannya tajam menantang si preman. Tiba-tiba, sebuah sepatu melayang dan tepat mengenai kepala preman itu. Refleks, aku menoleh ke arah datangnya sepatu. Seorang pria dari kejauhan berlari mendekat.
Preman itu yang marah besar segera memburu si pelempar sepatu. Dalam sekejap, ketegangan meningkat. Aku terdiam, menahan napas. Apa yang harus kulakukan? Aku terlalu takut untuk bergerak.
Tanpa diduga, si pria sepatu itu langsung menunjukkan keahliannya dalam bela diri. Dengan sigap, dia menjatuhkan preman itu ke aspal. Preman yang kalah tak terima begitu saja. Ia mengacungkan telunjuk dengan wajah marah, lalu lari terbirit-birit. Wanita itu menyadari kehadiranku dan segera memelukku.
Aku mengembuskan napas panjang, berusaha menenangkan diri.
"Kalian nggak apa-apa?" tanya pria muda itu.
"Iya, kami gak apa-apa, kamu gimana, dek?" tanya wanita itu sambil menoleh kepadaku dengan cemas.
"Enggak apa-apa, Kak," sahutku dengan suara serak.
"Kita harus pergi dari sini sekarang," kata pria itu, pandangannya waspada.
"Betul, Dek!" timpal wanita itu.
Tiba-tiba, aku melihat gerombolan orang dari kejauhan, salah satunya si preman. Mataku melebar.
"Mereka datang!" pekikku, panik.
Tanpa pikir panjang, kami bertiga lari sekuat tenaga. Beruntung, sebuah taksi melintas. Serempak, kami menyetopnya dan segera masuk. Sopir taksi menatap kami dengan bingung, tapi kami langsung berseru, "Jalan, Pak!"
"Baik, baik," sahutnya, tergagap.
Taksi melaju kencang, meninggalkan gerombolan preman yang tertegun.
Di dalam taksi, kami saling mengenalkan diri. Wanita itu ternyata seorang perawat di klinik kecantikan sebelah kantorku, sementara pria itu adalah mahasiswa teknik yang sedang magang di kantor yang sama denganku. Kami pun bercerita panjang lebar tentang kejadian tadi hingga tiba di tujuan masing-masing.
***
Ketika tiba di rumah, ibu membukakan pintu.
"Kok baru pulang sekarang, Sher?" tanyanya lembut.
"Iya, Bu, tadi ada kerjaan yang harus diselesaikan," jawabku sambil tersenyum lelah.
"Wah, baru hari pertama sudah lembur ya," balas ibu, menampilkan senyum tipis yang memperlihatkan garis-garis halus di sudut matanya.
Setelah mengganti baju, aku membantu ibu mengemas dagangan. Meski lelah, aku tahu ibu adalah prioritasku.
Barulah menjelang pukul tiga dini hari, aku selesai menyusun presentasi yang harus ditampilkan besok. Kelelahan yang amat sangat membuatku tak sabar ingin merebahkan diri di kasur.
"Seandainya aku bisa berteriak di telinga manajer itu sekarang juga, pasti kupingnya langsung budeg!" pikirku sambil tersenyum getir sebelum akhirnya terlelap.
***