Netbook & Mandarin

POV Sherly

Aku terlambat bangun! Ini sudah pukul 07.30! Oh, tidak! Icin pasti sudah menungguku di luar sejak setengah jam yang lalu. Maafkan aku, Icin!

Seolah mengerti kepanikanku, Icin memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Aku tidak berani bicara, takut mengganggu konsentrasi sahabatku itu.

"Kita sampai! Good luck, Sher! 10 menit lagi!" seru Cindy, tepat setelah menginjak rem di depan kantorku.

"Hah! Iya, terima kasih banyak, Icin!" jawabku dengan suara sedikit tegang. Aku bergegas keluar dan langsung berlari menuju kantor.

Saat melewati pos security, tiba-tiba aku dicegat.

"Bu Sherly!" seorang petugas memanggilku, membuatku berhenti mendadak.

"Iya, Pak, ada apa?" tanyaku, terengah-engah.

"Ini kartu identitas Ibu, untuk membuka ruangan Pak Ariel," katanya sambil menyerahkan ID card bertuliskan namaku.

"Oh, terima kasih, Pak." Aku segera mengambilnya dan memberikan senyum sejenak. "Maaf, Pak, saya harus buru-buru," tambahku.

"Iya, silakan, Bu," jawabnya mengerti.

Ruangan manajer keuangan sudah tepat di depan mataku. Jantungku berdegup kencang, bukan hanya karena habis berlari, tetapi juga karena ketegangan yang menyelimuti saat hendak masuk ke dalam. Aku mengarahkan ID card ke sensor, dan pintu pun terbuka. Baru saja melangkah masuk, suara berat memanggilku dari dalam.

"Sher!"

"Ya, Pak," sahutku gugup.

"Sherly, baru saja saya mendapat kabar, investor kita akan datang jam sepuluh. Mereka mempercepat pertemuan, tapi bahan presentasi kita belum siap!" katanya panik.

Melihat kekhawatirannya yang begitu jelas, rasa takutku mulai memudar.

"Tenang, Pak. Presentasinya sudah ada di netbook saya," jawabku menenangkan.

"Benarkah?" dia langsung menghampiri netbookku dan menyalakannya.

Proses booting terlihat, tapi tiba-tiba netbook mati. Dia menatapku dengan bingung.

"Mungkin baterainya habis, Pak," jawabku, sambil mencari charger. Setelah terhubung, netbook itu kembali menyala. Tulisan "Sherly Wellcome" muncul di layar, tetapi startup berjalan sangat lambat. Tiga detik kemudian, layar berubah menjadi black screen dengan tulisan-tulisan yang tidak kumengerti. Oh, tidak! Kenapa harus sekarang?

Biasanya masalah seperti ini bisa kuatasi dengan restart, tapi kami melakukannya berulang kali tanpa hasil.

Pak Ariel langsung mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang, mungkin teknisi perusahaan.

"Apa?! Kamu di kantor cabang saat ini?" suaranya meninggi. Rupanya teknisi tidak bisa diandalkan.

Pak Ariel melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 08.30. Hanya tersisa satu setengah jam lagi!

"Jika kita ke kantor cabang, kita tidak akan sempat. Menunggu teknisi pun percuma," katanya sambil menghela napas.

"Bagaimana kalau kita perbaiki di service center saja, Pak?" usulku.

"Tidak bisa! Ada data penting di dalam netbook itu. Informasi perusahaan ini rahasia, dan kita tidak bisa mempercayai orang luar," jawabnya tegas.

Benar juga, pikirku. Informasi perusahaan memang harus dijaga dengan ketat. Lalu, tiba-tiba aku teringat seseorang.

"Bagaimana kalau teknisinya mahasiswa magang di sini, Pak?" tanyaku penuh semangat.

"Mahasiswa magang? Kamu kenal?" tanya Pak Ariel, bingung.

"Ya, namanya Andre. Saya punya kontaknya," kataku sambil mencari nomor Andre di ponselku.

Tanpa menunggu lama, Andre datang dengan ranselnya.

"Hai, Kak Sherly! Jadi, kapan mau mulai belajar taekwondo?" candanya sambil tersenyum padaku.

"Hahaha, iya, tapi kamu harus jadi instrukturnya, ya," balasku sambil tertawa kecil.

"Taekwondo?" potong Pak Ariel.

"Ah, iya, Pak. Kemarin malam kami dikejar preman di halte," jawab Andre santai sambil memindahkan flashdisk dari laptopnya ke netbookku.

"Preman?" tanya Pak Ariel.

"Preman yang marah setelah dibanting Andre, Pak. Jadi, kami lari menyelamatkan diri," jawabku agak gugup.

Pak Ariel hanya terdiam sejenak, lalu memperhatikan Andre yang sedang memperbaiki netbookku. Dalam waktu 15 menit, netbook itu kembali berfungsi.

"Sher, cepat cari data presentasi itu!" perintah Pak Ariel.

"Baik, Pak!" ujarku sambil segera mencarinya. Setelah menemukannya, aku menunjukkan kepada Pak Ariel, dan dia terlihat lebih tenang.

"Alhamdulillah," katanya dengan senyum lega.

"Alhamdulillah, Pak," balasku, tersenyum tipis.

Pak Ariel kemudian menatap Andre.

"Andre, kapan kamu wisuda?"

"Masih lama, Pak. Sekitar satu tahun lagi," jawabnya sambil merapikan laptopnya.

"Nanti setelah wisuda, lanjut kerja di sini saja," tawar Pak Ariel serius.

"Terima kasih, Pak. Doakan saya bisa segera wisuda," jawab Andre.

Sebelum pergi, Andre memberikan sebuah buku kecil padaku. Judulnya "Tutorial Taekwondo Dasar Bagi Pemula." Astaga, Andre serius dengan ucapannya tadi? Aku menerimanya dengan senyum lebar, namun senyumku segera pudar saat melihat tatapan masam Pak Ariel.

Dalam keadaan terburu-buru, aku, Pak Ariel, dan Ibu Risti berlari menuju ruang rapat untuk mempersiapkan segalanya. Ketika presentasi berbahasa Inggris di depan investor dimulai, aku berdiri di samping si Bos. Aku bisa menjelaskan detail dari slide-slide itu karena presentasi tersebut adalah buatanku. Seusai presentasi, dua orang investor itu mulai berbincang-bincang dalam bahasa yang terdengar asing. Aku mengenali bahasa itu sebagai bahasa Mandarin. Ah, aku ingat! Pak Ariel pernah mengatakan bahwa investor ini berasal dari Singapura. Dengan sigap, aku memamerkan kemampuanku berbahasa Mandarin.

"Xiānshēngmen, qǐng cháng yīxià zhège dàngāo (Bapak-bapak, silakan cicipi kuenya)," ucapku percaya diri, sambil tersenyum.

Para investor terdiam dan saling menatap sebelum akhirnya tersenyum dan membalas ucapanku.

"Ò, shì de, xièxiè (Oh, ya, terima kasih)," ucap mereka serempak.

"Nǐ huì shuō zhōngwén ma? (Kamu bisa bahasa Mandarin, ya?)," tanya salah satu investor yang mengenakan dasi biru.

"Shì de, hái kěyǐ, wǒ céngjīng hé huáyì yīqǐ gōngzuò guò (Ya, lumayan, saya pernah bekerja dengan orang keturunan Cina)," jawabku sambil mengangguk.

Mereka tampak sangat antusias mendengarkan ceritaku tentang bos lamaku di kantor notaris yang mengajariku percakapan Mandarin sederhana sehari-hari. Meeting pun berjalan lancar, dan keputusan kerja sama akan segera diambil. Sebelum berakhir, salah seorang investor berbicara lagi dalam bahasa Mandarin, kali ini dengan nada serius, menawarkan aku pekerjaan di Singapura. Awalnya, aku menganggapnya sebagai candaan, tapi dia melanjutkan dengan tegas.

"Wǒ shì rènzhēn de guānyú gāngcái de tíyì, wǒ xīwàng nǐ néng kǎolǜ yīxià (Saya serius dengan tawaran tadi, saya harap kamu bisa mempertimbangkannya)," ujarnya sambil menaikkan sebelah alis.

Aku hanya bisa tertawa kecil untuk menutup pembicaraan itu. Pak Ariel terlihat sangat puas, wajahnya begitu sumringah. Seusai mengantar para investor ke mobil, kami mengobrol berdua di sepanjang koridor.

"Bahasa Mandarinmu luar biasa, Sher. Mereka terlihat sangat terkesan," ujarnya sambil melihatku dengan senyum tipis, memuji.

"Ah, biasa saja, Pak. Saya hanya menggunakan apa yang pernah saya pelajari," jawabku, mencoba merendah.

"Kamu benar-benar menyelamatkan kita hari ini. Terima kasih." Pak Ariel tertawa kecil, lalu menepuk ringan lenganku.

"Investornya tampaknya sangat terkesan dengan presentasi tadi. Saya dengar mereka bahkan sempat menanyakan tentangmu."

"Ah, itu cuma basa-basi, Pak." Aku tersenyum kecil, merasa sedikit malu.

Pak Ariel mengangguk sambil tersenyum. "Mungkin, tapi itu membuktikan kamu punya potensi besar."

"Terima kasih, Pak. Saya hanya mencoba melakukan yang terbaik," jawabku sedikit malu tapi ada rasa bangga juga.

Pak Ariel mengangguk sambil kembali memeriksa dokumen di tangannya.

Langkah kami bergema di sepanjang koridor, dinding kaca di sisi kiri memantulkan bayangan kami yang berjalan berdampingan. Aku mencoba menenangkan detak jantungku yang sedikit berdebar mendengar pujian Pak Ariel, meski aku tahu dia hanya berbicara dengan tulus.

Kami kembali ke ruangan manajer keuangan, dan aku segera menuju mejaku. Namun, sebelum aku sempat duduk, Pak Ariel tiba-tiba mendekat.

"Sher, kamu jadi bawa bekal dua, kan?" tanyanya tiba-tiba.

"Iya, jadi, Pak," jawabku singkat.

"Kalau begitu, ayo kita makan. Taman di lantai atas cocok untuk bersantai sambil makan siang," ajaknya.

Dia mengajakku makan? Hanya berdua? Aku merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Apa yang harus kulakukan?

"Baik, Pak!" jawabku cepat, lalu berjalan ke meja Ibu Risti.

"Ayo, Bu, kita makan bersama di lantai atas," ajakku mencoba mencari dukungan.

Namun, Ibu Risti yang awalnya menoleh ke arahku, tiba-tiba mengalihkan pandangannya. Aku menoleh ke belakang dan ternyata Pak Ariel sudah berdiri di sana.

"Hmm, saya rencananya mau keluar sebentar, ada yang mau dibeli. Maaf ya, Bu Sherly," ucap Ibu Risti sedikit gugup.

"Tidak apa-apa, Bu Risti," potong Pak Ariel dengan cepat.

"Mari, asisten saya, kita ke lantai atas," ajaknya dengan nada yang agak memaksa.

'Asisten', ya. Kata itu harus kuingat!

Kami pun menuju rooftop gedung. Dek kayu yang hangat dan elegan, serta tanaman hijau yang menghiasi setiap sudut, memberikan suasana alami yang menyegarkan. Meja-meja kayu dengan kursi nyaman tertata rapi, beberapa di antaranya berada di bawah payung besar untuk melindungi dari terik matahari. Tempat ini, seperti yang dikatakan Pak Ariel, memang cocok untuk makan siang dan bersantai, tapi ada yang aneh—mengapa hanya ada kami berdua di sini?

Setelah duduk, Pak Ariel membuka bekal yang telah kutaruh di atas meja. Ia terlihat sangat bersemangat.

"Mari kita makan," katanya tanpa basa-basi, langsung melahap makanannya.

Aku hanya bisa heran melihat tingkah lakunya.

"Masakanmu enak sekali, Sher!" pujinya sambil mengacungkan jempol.

"Ini bukan saya yang masak, Pak, tapi Ibu saya," jawabku jujur.

"Oh, pantas enak. Saya juga sebenarnya tidak percaya kalau kamu bisa masak," sindirnya.

"Saya bisa masak, kok, Pak!" jawabku dengan nada sedikit kesal.

"Paling-paling masakan rumit seperti otak-otak udang ini yang belum bisa saya buat," ujarku membela diri.

Pak Ariel yang sedang mengunyah makanan tiba-tiba berhenti, wajahnya membelalak.

"Kamu bilang... udang?" tanyanya, tampak terkejut.

"Iya, Pak," jawabku bingung.

"Kenapa baru bilang sekarang! Cepat, ikut saya!" perintahnya sambil langsung menarik tanganku.