POV Sherly
Kotak bekal yang tadi kubawa belum sempat kukemas. Pak Ariel terus berjalan di depanku, sibuk menelepon seseorang dengan nada tergesa-gesa. Kami kembali ke ruangannya, dan Bu Risti masih berada di luar, meninggalkan kami berdua di dalam. Pak Ariel, yang sedari tadi berada di depanku, tiba-tiba berbalik. Astaga! Wajahnya tampak merah dan bengkak. Ada apa dengannya?
"Sher, cepat ambil EpiPen saya di laci meja!" perintah Pak Ariel dengan suara parau.
"EpiPen itu seperti apa, Pak?" tanyaku, bingung.
"Suntikan yang bentuknya seperti pena! Cepat, Sher!" katanya, disertai batuk yang menyudahi kalimatnya.
Aku segera mencari EpiPen tersebut. Tidak butuh waktu lama, aku menemukannya.
"Ini, Pak?" Aku menunjukkan alat yang mirip pena kepadanya.
"Iya, cepat! Tolong injeksikan sekarang!" Nafas Pak Ariel terdengar semakin tersengal-sengal.
"Bagaimana caranya, Pak? Saya belum pernah melakukan ini sebelumnya," jawabku panik.
Pak Ariel tidak sempat menjawab. Nafasnya semakin berat, membuatku semakin khawatir. Apa yang harus kulakukan? Tiba-tiba aku teringat Chat GPT. Tanpa berpikir panjang, aku merekam suara dan segera mendapatkan petunjuk cara menggunakan alat tersebut.
Walaupun panik, aku berusaha fokus mengikuti instruksi. Setelah membaca basmallah, aku menempatkan EpiPen di paha Pak Ariel dan menekannya hingga terdengar suara klik. Tiga detik kemudian, aku lepaskan suntikan tersebut. Pak Ariel masih tampak lemas, namun perlahan-lahan, wajahnya mulai kembali normal, begitu juga dengan nafasnya.
"Terima kasih, Sher," ucapnya, masih dengan suara serak.
"Bapak kenapa?" tanyaku pelan.
"Saya alergi seafood," jawabnya sambil tersenyum tipis.
"Ya Tuhan! Maafkan saya, Pak! Saya benar-benar tidak tahu," ujarku, terkejut.
"Tidak apa-apa, ini bukan salahmu," balas Pak Ariel, mencoba menenangkanku dengan senyuman lembut.
"Saya harus ke klinik sekarang. Tolong temani saya, ya?" pintanya, dengan nada yang jauh dari kesan arogannya.
"Baik, Pak," jawabku sambil mengangguk. Aku menopang lengannya sepanjang perjalanan ke luar gedung. Sebuah mobil hitam sudah menunggu di depan kantor. Sopirnya membuka pintu, dan kami pun masuk.
***
Dua jam kemudian, kami kembali ke kantor. Pak Ariel tampak lebih baik. Saat akan keluar dari mobil, dia menoleh kepadaku.
"Sher, jangan beritahu siapa pun tentang alergi saya, ya," pintanya, tatapannya serius.
"Baik, Pak, tapi kenapa tidak boleh? Bukankah lebih baik orang-orang di sekitar Bapak mengetahuinya supaya mereka bisa lebih berhati-hati?" tanyaku, mencoba memahami.
"Saya punya alergi yang cukup parah. Jika orang yang salah mengetahuinya, itu bisa berbahaya," jawabnya datar, namun sarat akan kekhawatiran.
Aku terdiam, merasa kasihan. Betapa rapuhnya Pak Ariel menghadapi kondisi ini. Hal sepele seperti udang hampir merenggut nyawanya. Mengenal sisi lain dari hidup Pak Ariel membuatku memandangnya dengan cara yang berbeda.
"Kamu sedang memikirkan sesuatu, Sher? Sepertinya tentang saya?" tebak Pak Ariel, mengejutkanku.
"Oh, tidak, Pak. Tidak ada apa-apa," jawabku gugup. Bagaimana mungkin dia bisa menebak pikiranku? Ini bukan pertama kalinya!
"Sher, nanti tolong pergi ke bagian personalia. Minta laporan karyawan bulan lalu. Ada banyak data yang tidak valid, dan kita perlu segera menganalisanya," perintahnya, kembali ke sikap tegasnya sebelum membuka pintu mobil.
Baru saja aku mulai bersimpati padanya, sekarang dia kembali menunjukkan sisi arogan. Sabar, Sher!
***
Sore ini, ponselku berbunyi. Sebuah pesan WhatsApp muncul di layar. Aku melirik sekilas ke arah pop-up pesan itu. Oh, Dwi! Tumben sekali dia menghubungiku sekarang, setelah hampir dua minggu tidak ada kabar. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia sangat jarang menghubungiku.
Hai Sherly, apa kabarmu hari ini?
Hanya sesingkat itu pesannya. Aku tidak kecewa, tidak... tapi kenapa dia tiba-tiba berubah seperti ini? Apa yang terjadi? Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?
Aku memutuskan untuk tidak membalasnya saat ini. Mungkin nanti, atau besok. Atau... entahlah. Saat ini aku tidak ingin melakukannya.
***
Tak lama kemudian, pesan lain masuk dari Dwi.
Kamu sedang sibuk ya, Sher?
Dia mengirim pesan lagi. Haruskah aku membalasnya sekarang? Mungkin nanti saja, saat aku sudah di rumah. Aku menutup pop-up itu dan kembali fokus bekerja.
***
Seperti malam-malam sebelumnya, aku masih di kantor hingga pukul tujuh malam.
"Sudah jam tujuh, mari kita pulang, Sher," kata Pak Ariel sambil mengemasi barang-barangnya.
"Baik, Pak," sahutku, segera membenahi meja kerja yang berantakan.
Angin malam yang dingin menyapa kulitku saat kami tiba di depan pintu kantor. Mobil hitam Pak Ariel sudah menunggu, lampunya menyala terang, seakan memecah keheningan jalanan yang sepi.
"Ayo, Sher, masuk!" ajaknya tiba-tiba.
Masuk? Maksudnya kami pulang bersama?
"Oh, tidak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri," jawabku sambil tersenyum canggung, mencoba menolak dengan halus.
"Sudah malam, Sher. Apa kamu yakin pulang sendiri aman?" tanya pak Ariel.
"Yakin, Pak, Insha Allah, aman," jawabku percaya diri.
"Kalau terjadi sesuatu di luar sana, saya akan merasa bertanggung jawab. Bagaimana kalau saya antar? Sopir saya juga sudah siap," ujarnya lembut.
"Saya tidak ingin ada masalah. Besok masih banyak yang harus kita kerjakan." Kata-kata pak Ariel terdengar tulus namun tegas.
"Baiklah, Pak. Terima kasih," sahutku akhirnya, menyerah.
Aku berpikir, tentu saja dia hanya khawatir karena aku asisten yang mengerjakan semua tugasnya. Tidak perlu berlebihan, Sher! Aku pun masuk ke dalam mobil, duduk di samping Pak Ariel, sementara sopir kami berada di depan.
Di tengah perjalanan, Pak Ariel membuka percakapan lagi.
"Sher, besok saya tidak masuk kantor. Jadi, kamu yang wakilkan saya untuk menghadiri rapat dewan direksi. Catat semua hasil rapatnya, dan untuk laporan keuangan, minta berkasnya ke akuntan dan antarkan langsung ke auditor, ya!" katanya tanpa basa-basi.
"Baik, Pak," jawabku singkat, tanpa ekspresi.
Pak Ariel tidak masuk kantor besok? Wah, ini menarik! Pikiranku langsung melayang, membayangkan betapa menyenangkan rasanya bekerja seharian tanpa dia. Tanpa tekanan, tanpa perintah mendadak. Aku tidak sabar menunggu hari esok tiba.
***
Pagi ini aku terlambat bangun, dan Cindy sedang di luar kota. Rasanya aneh harus berangkat sendiri minggu ini, tapi aku tidak punya pilihan.
Setelah buru-buru memasang sepatu, aku langsung berlari keluar rumah. Tapi, tanpa disangka, sebuah mobil hitam sudah terparkir di depan rumahku. Itu mobil Pak Ariel. Setelah kutanya ke sopirnya, ternyata si Bos sengaja mengirim mobil ini untuk menjemputku.
"Hm, Pak Ariel baik juga, ya?" gumamku pelan. Tapi aku buru-buru mengingatkan diri sendiri, jangan baper. Mungkin dia hanya ingin memastikan asisten pribadinya sampai ke kantor dengan aman, biar semua tugas yang dia rencanakan berjalan lancar.
***
Menjalani hari tanpa kehadiran si Bos adalah kenikmatan tersendiri. No bentak-bentak, no perintah-perintah, no capek-capek— sungguh, ini kebahagiaan sejati. Setelah rapat manajemen selesai, aku langsung menuju lift untuk kembali ke ruangan Pak Ariel.
Tiba-tiba, aku mencium aroma yang sangat familiar. Bau rempah-rempah yang khas… Oh, bukankah ini aroma parfum pria yang pernah meminjamkan jaketnya waktu itu? Dengan cepat aku menyapu pandanganku ke sekeliling, dan ternyata, pria itu ada tepat di sebelahku, tersenyum lebar.
"Hai," sapa pria itu, senyumannya semakin lebar menampilkan gigi putihnya yang rapi.
"Ha.. hai," jawabku kikuk.
"Aku kira kamu nggak melihatku tadi, tapi akhirnya sadar juga," ujarnya, sedikit menunduk saat menatapku.
"Ah, iya, hehe," balasku canggung.
"Oh ya, jaketmu ada di ruanganku. Biar aku antar ke ruanganmu," tawarku cepat-cepat, ingin mengalihkan pembicaraan.
"Ah, nggak usah repot-repot. Biar aku aja yang jemput ke ruangmu. Nama aku Juan, by the way," dia mengulurkan tangannya.
Aku terdiam sejenak, sedikit bingung, tapi akhirnya kujabat tangannya. "Aku Sherly," ujarku sambil tersenyum tipis.
Sepanjang perjalanan ke ruang manajer keuangan, kami mengobrol tentang pekerjaan kami di perusahaan ini. Dari ceritanya, aku baru tahu bahwa Juan adalah salah satu teknisi IT perusahaan yang kemarin dipanggil oleh Pak Ariel. Ternyata teknisi IT di sini cuma lima orang: Juan, satu lagi sedang cuti, dan satu lagi sedang pelatihan di luar kota sedangkan dua lagi sedang melakukan perbaikan darurat di lokasi klien.
Setelah sampai di ruangan Pak Ariel, aku mengambil jaketnya yang sudah kucuci dan segera menyerahkannya.
"Boleh minta nomor HP-mu?" tanyanya setelah menerima jaket itu.
Aku meliriknya, sedikit terdiam.
"Kan kita satu tempat kerja, wajar dong kalau kita saling menyimpan nomor HP," lanjutnya dengan senyum khasnya.
"Hm, baiklah," aku menyebutkan nomorku.
"Kamu tinggal di mana, Sher?" tanyanya setelah memasukkan HP-nya ke saku.
"Di kompleks Bougenvielle," jawabku singkat.
"Hm, kita searah ternyata. Aku di kompleks perumahan tentara. Gimana kalau nanti kita pulang bareng?" tanyanya dengan percaya diri.
Pria ini berani juga, tapi maaf, aku bukan tipe yang mudah luluh.
"Ah, kalau sekarang aku nggak bisa, ada urusan lain," tolakku halus.
"Oke, lain kali kita bareng, ya," katanya sambil melambaikan tangan.
Aku hanya tersenyum kecil dan membalas lambaian tangannya. Saat Juan pergi, aku masih terdiam, sambil membayangkan, bagaimana kalau Pak Ariel yang bersikap seperti itu padaku? Tapi ngomong-ngomong, Pak Ariel kemana, ya?