POV Sherly
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, saatnya karyawan pulang. Aku? Tentu saja! Hari ini tidak ada "lembur," yes!
Dengan bersemangat, aku segera membereskan barang-barang dan memasukkannya ke dalam tas, lalu merapikan beberapa kertas dan laporan yang berantakan di mejaku. Oke, beres! Eh, HP-ku mana? Aku membuka tas lagi dan tak menemukannya. Astaga! Di mana dia? Aku buka laci meja, meraba-raba di antara tumpukan kertas, tapi tidak ada benda kotak dan keras di sana. Aku berhenti sejenak dan berusaha mengamati sekitar dengan lebih tenang. Oh! Itu dia! Sedang mengisi daya di stopkontak samping meja Pak Ariel. Aku meraih HP dan kabelnya sambil tersenyum kecil, menggeleng-gelengkan kepala. Kulirik jam dinding—sudah lewat 10 menit dari pukul lima. Siapa bilang aku tidak lembur hari ini? Hehe.
Baru saja aku melangkah menuju pintu, pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka. Jantungku langsung berdegup kencang.
"Eh, kamu belum pulang?" tanya Pak Ariel yang tampak kikuk melihatku.
"Be-belum, Pak," jawabku sedikit terbata.
Si Bos langsung menuju mejanya dan mengambil sebuah amplop, lalu menatapku yang masih berdiri di samping meja. Aku ikut menatapnya dan merasa ada yang berbeda. Oh, bajunya! Ia mengenakan kaos polo, lengan terlihat sekarang, tidak seperti biasanya yang selalu memakai kemeja lengan panjang. Tubuh si Bos tampak lebih kurus dalam kaos ini. Dalam balutan kaos hitam, kulit putihnya tampak sangat kontras. Perhatianku tertuju pada lengannya yang tampak memar merah kebiruan. Ada apa dengannya?
"Sher! Sherly!" panggil si Bos.
"Eh, iya, Pak!" jawabku segera.
"Ayo, saya antar pulang," ajaknya dengan senyum tipis sambil mengangguk.
"Tidak usah, Pak, saya pulang sendiri saja," jawabku dengan segan.
"Tolong hargai niat baik saya, Sher!" Pak Ariel mengerutkan kening, terlihat serius.
"Iya, Pak. Terima kasih," kataku sambil menunduk.
Ia segera keluar dari ruangan itu, dan aku langsung mengikutinya. Langkah Pak Ariel tidak cepat, tapi panjang, jadi cukup sulit bagiku yang lumayan pendek untuk mengimbangi langkahnya. Aku harus berjalan sedikit lebih cepat agar tidak tertinggal.
Kami duduk bersebelahan di belakang sopir, tak berbicara sejak memasuki mobil. Alunan instrumen yang menenangkan menjadi latar sepanjang perjalanan, sampai sebuah nada dering dari HP Pak Ariel berbunyi.
"Hallo, Onkel!" (Halo, Paman!) sapa si Bos.
"Ja, der Plan wurde beschleunigt." (Iya, rencananya dipercepat), lanjutnya sambil mengangguk.
"Mir geht's gut, Onkel." (Saya baik-baik saja, Paman), jawabnya dengan senyum tipis.
"Danke, Onkel." (Terima kasih, Paman). Ia melirik jam tangannya. "Bis bald!" (Sampai jumpa!)
Sepertinya itu bahasa Jerman. Sebagai keturunan Jerman, bahasa Jerman si Bos terdengar sangat lancar. Aku mengenali beberapa kata yang terdengar mirip bahasa Inggris, tapi aku tetap tak paham apa yang dia ucapkan. Mungkin tadi ia berbicara dengan keluarganya di Jerman.
Bosan dengan keheningan yang kembali merasuk di mobil ini, aku membuka layar ponsel dan mencari pesan WA yang belum terbaca. Oh, ada pesan dari Dwi! Ternyata sejak siang tadi.
Kok kamu balas pesanku singkat-singkat saja? Kan aku sudah bilang kalau HP-ku hilang, kartu SIM-nya juga, jadi aku butuh waktu untuk memblokir beberapa hal dan mencari nomormu di catatan HP lamaku yang juga rusak. Maafkan aku, Sher.
Itulah pesan dari Dwi. Beberapa hari lalu dia memang sudah menjelaskannya dengan rinci. Aku bukannya tidak paham atau tidak pengertian, tapi... aku hanya ingin sedikit membalas dendam padanya. Selama dua minggu tanpa kabarnya, aku merasa seperti ditinggalkan. Sekarang aku merasa punya kesempatan untuk membuat dia merasakan apa yang kurasakan itu. Tapi, mungkin aku keterlaluan, ya?
Segera kuketik balasan di WA Dwi itu.
Aku gak marah, kok. Aku cuma lagi sibuk kerja saja. Gimana kegiatanmu hari ini? Menyenangkan?
Pesan itu sudah centang dua, tapi belum berwarna biru. Mungkin dia sedang sibuk. Aku pun menutup layar HP dan menoleh ke jendela.
Tiba-tiba ingatanku membawa diriku larut dalam lamunan, beberapa tahun lalu, mungkin tiga tahun, sebuah kejadian unik yang mempertemukanku dengan Dwi.
***
Ruangan VVIP rumah sakit ini terasa lebih seperti hotel mewah. Aku pernah beberapa kali mengunjungi ruangan pasien istimewa ini, tapi tetap saja suasananya selalu membuatku terpana. Cindy, yang baru saja selesai mengupas buah pir dan menatanya di atas piring saji, memberiku kode untuk mencicipinya. Sedikit malu, aku menggelengkan kepala, tapi Papi Cindy, yang sedang dirawat karena penyakit jantung, langsung menertawakanku dan memaksaku mencoba. Kami pun mengobrol ringan sambil mencicipi berbagai buah tangan dari pengunjung sebelumnya.
Setelah sekitar setengah jam, aku pamit pada Cindy dan Papi-nya untuk pulang. Baru setengah perjalanan menuju tangga ke lantai bawah, mataku menangkap sesosok yang paling ingin kuhindari di dunia ini. Ya ampun! Kenapa dia bisa ada di sini?
Dia adalah teman SMA yang penuh drama, suka meminjam uang tanpa membayar, dan selalu nyolot kalau ditagih. Pengalaman pahit bersamanya membuatku bersumpah untuk tidak pernah terlibat lagi dengannya. Aku harus segera pergi dari sini! Jangan sampai dia melihatku!
Dengan cepat, aku mencari jalan keluar dan, tanpa banyak pilihan, langsung membuka pintu ruangan VVIP yang ada di dekatku.
Begitu aku menutup pintu, aku menarik napas lega, lalu menoleh ke dalam ruangan. Isinya tenang, hanya ada satu pasien yang tampak lemah dan menggunakan alat bantu pernapasan. Tidak ada yang menjaga atau menjenguknya. Aku berjalan mendekat, khawatir jika kehadiranku akan menimbulkan masalah. "Maaf, aku tadi masuk ruangan ini karena ada orang yang sedang kuhindari di luar," kataku agak kikuk.
Pasien itu tampak sedikit mengangguk, menatapku lemah.
"Terima kasih, ya. Oh, ya, namaku Sherly," ujarku sambil mengulurkan tangan dan tersenyum seramah mungkin. Dia berusaha menggerakkan tangannya, meski hanya sedikit. Aku langsung saja meraih tangannya yang terasa lemah dan agak dingin. Di pergelangan tangannya, terpasang gelang ID bertuliskan Dwi. A. N (20 tahun). Wah, seumuran denganku!
"Namamu Dwi, ya? Wah, kita seumuran! Aku juga dua puluh tahun." Aku sedikit histeris. Dia kembali mengangguk pelan.
"Dwi sendirian? Mana keluargamu yang menjaga?" tanyaku penasaran. Dia menggeleng lemah sambil berusaha menunjuk ke arah pintu.
"Oh, yang jaga lagi keluar, ya?" tebakku. Dwi mengangguk sayu.
Rasa iba muncul begitu saja. Meski baru bertemu, aku merasa tak tega meninggalkannya sendirian seperti ini. "Kalau begitu, aku temani sampai keluargamu datang, ya?" kataku sambil tersenyum. Ia mengangguk lagi, kali ini sambil memejamkan mata sejenak.
Tidak tahu harus berkata apa, aku mulai menceritakan tentang diriku saja—alasan kedatanganku ke rumah sakit, pekerjaan di kantor notaris, juga kuliah malamku. Lama aku bicara, dan meski tak pasti apakah dia menyukainya, dia terus menatapku, jadi kupikir mungkin dia menikmatinya.
***
Itulah kisah pertemuanku dengan Dwi yang sampai sekarang masih terekam jelas di benakku.
Tiba-tiba saja aku merasa hijabku ditarik. "Sher! Sher! Kita sudah sampai di rumahmu!" Suara Pak Ariel membuyarkan lamunanku. Kaget, aku segera menoleh ke luar jendela—ternyata benar sudah sampai.
"Ah, iya, Pak! Terima kasih, ya, sudah mengantar saya." Aku bergegas membuka pintu mobil.
"Tunggu, Sher," cegah Pak Ariel. Aku menoleh, menunggunya melanjutkan.
"Kamu terlihat tidak nyaman di dekat saya. Apakah saya terlalu keras padamu?" Tatapannya tajam.
Aku tak sanggup menatap matanya terlalu lama dan menunduk. "Saya minta maaf ya, Sher," lanjutnya tiba-tiba.
Mengapa si Bos mendadak begini? Tidak seperti seseorang yang kukenal.
***