POV Sherly
Kegiatan bertemu dokter bagiku bukan hal menyenangkan—lebih tepatnya, mendebarkan, hehe. Bagaimana pekerjaanmu hari ini? Menyenangkan?
Pesan dari Dwi muncul tepat ketika aku baru saja mengambil ponsel setelah selesai mandi sepulang kerja. Oh, iya! Hari ini jadwal kontrol rutinnya di rumah sakit; pasti dia bosan seharian di sana.
Bagaimana hasilnya, semua baik-baik saja, kan?
Pekerjaanku menyenangkan! Si Bos yang pernah kuceritakan itu tadi tidak masuk. Ada urusan penting, maklum orang super sibuk. Senang sekali rasanya nggak ada dia di kantor, hehe.
Aku membalas pesan itu dengan semangat.
Bagaimana mengatakannya, ya? Sejujurnya, ada sesuatu yang harus dicek ulang. Semoga saja tidak ada masalah serius.
Wah, kamu sepertinya sangat tertekan dengan si Bos itu, hehe. Apa dia sejahat itu? Atau kejam?
Balasan dari Dwi datang cepat.
Apa yang harus dicek ulang?
Hehe, bukan begitu juga sih, tapi dia itu menyebalkan!
Aku mengetik sambil tersenyum simpul.
Hasil cek darahku ada yang sedikit aneh, jadi perlu pengecekan lanjutan.
Oh, ya? Menyebalkan seperti apa orangnya?
Hampir tak sampai semenit, balasan Dwi muncul lagi.
Oh, gitu. Mudah-mudahan nggak ada yang serius, ya.
Iya, dia itu orangnya dingin banget, kaku, apa pun harus hasilnya sempurna, terus egois! Semua keinginannya harus diturutin. Menyebalkan banget, kan?
Jari-jariku menari lincah di layar ponsel.
Iya, semoga ya, Sher.
Oh, begitu. Tapi bukankah itu cuma profesionalitas kerja? Dia kan bosmu.
Membaca pesan itu, aku terdiam sejenak. Benar juga, ya. Bukankah dia adalah bosku di kantor? Dia bukan temanku. Tentu saja dia memperlakukanku seperti itu, apa lagi yang bisa kuharapkan?
Setelah benar-benar memahaminya, aku membalas.
Kamu benar. Aku cuma asistennya, dia bosku. Memang sudah selayaknya begitu.
Mari kita bahas hal lain. Bagaimana pekerjaanmu?
Aku berusaha tidak terlalu memikirkan Pak Ariel lagi.
Lancar, tokonya ramai, dan aku selalu sibuk di kasir, hehe.
Dwi memang berasal dari keluarga pebisnis. Papanya punya banyak toko, dan ia bekerja di salah satunya sebagai kasir.
Baguslah, tapi jangan terlalu sibuk. Nanti kecapekan dan kesehatanmu terganggu.
Aku merebahkan tubuh di tempat tidur, masih memegang ponsel.
Tentu saja, apalagi kamu selalu mengingatkanku. Aku juga ingin bisa terus sehat seperti ini.
Aku menatap layar dan teringat kisah hidup Dwi, seorang pejuang yang sesungguhnya. Saat pertama kali bertemu di rumah sakit, dia sedang berjuang melawan penyakit mematikan, leukemia. Ia dirawat saat itu karena kondisinya drop setelah kemoterapi. Itu adalah kali kedua ia harus berurusan dengan kanker. Pada usia tujuh tahun, leukemia menyerangnya untuk pertama kali. Ia harus menjalani serangkaian pengobatan, kemoterapi, bahkan cangkok sumsum tulang. Setelah bertahun-tahun berlalu, penyakit itu kembali mengancamnya. Saat itulah aku mengenalnya; dia benar-benar hancur, secara fisik dan mental. Meski sejak pertemuan pertama itu kami tak pernah bertemu lagi, aku berusaha tetap memberi dukungan. Aku ingin dia juga bisa merasakan hal-hal menyenangkan di dunia ini karena dia pantas mendapatkannya.
Baru saja aku ingin menuliskan sesuatu, chat balasan dari Dwi tiba.
Oh ya, Sher, aku tidur dulu ya. Kamu tidur juga, ya.
Aku melirik jam di sudut kanan atas layar, 21.12. Hm, aku belum mengantuk, sih.
Iya. Jangan lupa minum obatnya ya.
Aku selalu mengingatkan Dwi tentang jadwal minum obatnya, pagi dan malam. Setelah menjalani pengobatan kemoterapi dulu, ia harus menanggung efek samping seumur hidup—masalah pada jantungnya. Jujur saja, aku merasa sangat sedih saat ia menceritakan hal itu. Rasanya begitu banyak rasa sakit yang harus ia lalui sepanjang waktu.
***
Akhirnya, hari Sabtu datang! Tidak perlu terburu-buru pagi ini. Happy weekend, Sherly!
Setelah selesai salat subuh dan mandi, aku kembali merebahkan diri di kasur sambil memegang HP, melihat beberapa pesan WA yang belum kubaca. Ternyata ada pesan dari seseorang yang tak disangka—Juan!
"Malam, Sher. Aku Juan, kamu masih ingat, kan?"
"Besok kamu ada kegiatan? Gimana kalau kita olahraga di lapangan umum Tentara?"
Eh? Dia mengajakku olahraga pagi ini? Hm, lapangan itu memang dekat dari rumah, cuma lima belas menit jalan kaki. Tapi aku ingin bermalas-malasan hari ini setelah lelah bekerja lima hari.
"Maaf, Juan, aku ada kegiatan pagi ini."
Tanpa pikir panjang, aku mengirim balasan itu, lalu meletakkan HP di atas bantal. Aku segera bangun dari kasur dan menghampiri Ibu yang sedang menyapu.
"Kita makan nasi goreng saja untuk sarapan, ya, Sher?" tanya Ibu sambil menoleh.
"Iya, Bu," jawabku malas, tahu bahwa aku yang akan memasak nasi goreng itu. Seperti biasanya, setiap libur aku dapat tugas memasak di rumah. Huft!
***
Suapan terakhir nasi goreng buatan sendiri habis tak bersisa di piring Ibu. Aku tersenyum melihat Ibu mengacungkan jempol sebelum menenggak air minum.
"Apa kegiatanmu hari ini, Nak?" tanya Ibu sambil membereskan piring ke dapur.
"Tidak ada, Bu. Hm, Sherly bantu Ibu saja di warung," jawabku sambil mengikuti Ibu.
"Oh, gitu. Ya sudah, kamu duluan ke depan, ya, Nak. Ibu cuci piring dulu," katanya.
"Iya, Bu."
Aku kembali ke kamar mengambil ponsel lalu melangkah ke warung di depan rumah. Saat duduk di sana, pesan dari Juan muncul lagi.
"Wah, sayang kamu nggak bisa ke sini. Padahal banyak yang jualan, lho!"
Dia mengirim beberapa foto.
Astaga! Ini serius? Ada yang jual tas rajut handmade seimut itu?
"Kamu masih di sana?" tanyaku cepat.
Tak lama, balasannya tiba.
"Iya, kenapa?"
Hm, bagaimana kalau aku titip saja pada Juan untuk membelikannya? Tapi… bagaimana kalau hasilnya nggak sesuai harapan? Ah, lebih baik aku saja yang pergi!
"Aku mau ke sana sekarang. Tunggu, ya!"
Setelah membalas, aku langsung berlari kecil ke kamar dan mengganti baju dengan pakaian olahraga.
"Bu, Sherly pergi jogging ke lapangan dulu, ya," pamitku pada Ibu yang sudah di warung.
"Oh, iya, hati-hati, Nak!" Ibu tampak bingung, tapi mengangguk pelan.
Udara pagi terasa segar. Aku berlari kecil sambil menikmati pemandangan di depan. Hm, ternyata hari ini aku berolahraga juga, bukannya bermalas-malasan di kamar!
Tak lama, lapangan yang kutuju mulai terlihat, ramai dengan pengunjung. Aku mencari-cari sosok Juan, tapi belum menemukannya.
"Hai!" Suara pria menyapaku dari samping, membuatku kaget.
Aku mendongak. Ah, ini dia si Juan!
"Hai! Tadi aku masak nasi goreng dulu. Jadi, di mana tas rajut handmade itu?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Itu, di sana." Dia menunjuk sebuah stand di ujung lapangan.
"Oh, itu! Ayo kita ke sana!" seruku bersemangat.
Sesampainya di stand itu, aku langsung masuk dan melihat-lihat tas rajut. Cantik sekali!
"Bagus, ya?" tanyaku pada Juan yang ikut melihat-lihat.
"Iya, bagus!" jawabnya sambil mengangguk.
"Tapi yang ini juga bagus, menurutmu yang mana lebih oke?" tanyaku sambil menunjukkan dua tas rajut.
"Hm, yang coklat lebih bagus," katanya sambil memegang dagu.
Aku mengamati kedua tas itu. Yang coklat memang bagus, tapi yang merah juga menarik. Lalu mataku tertuju pada tas rajut berwarna bata di sisi lainnya.
"Eh, tapi yang warna bata ini lebih oke!" Aku menaruh tas-tas tadi dan meraih tas berwarna bata.
Juan terkekeh.
"Kenapa? Ada yang lucu?" tanyaku bingung.
"Gak, hehe. Itu memang lebih oke!" jawabnya sambil nyengir.
"Apaan, sih? Ah, aku pilih yang merah saja!" Aku menyerahkan tas merah itu kepada penjual untuk dikemas.
"Oh ya, tadi kamu olahraga apa di sini?" tanyaku sambil membayar.
"Awalnya jogging, tapi tadi ada ibu-ibu senam, jadi aku ikutan." Tawanya terdengar renyah.
"Untung mereka nggak usir kamu," balasku sambil tersenyum.
"Mana mungkin, aku kan ganteng," katanya sambil mengangkat alis, nyengir lebar.
Aku langsung tertawa, dia memang lucu!
Tiba-tiba ponselku berdering. Kulihat layarnya—Pak Ariel? Kenapa beliau menghubungiku di hari libur?