POV Sherly
"Halo, assalamu'alaikum, Pak!" sapaku sambil melirik Juan yang menatapku.
"Wa'alaikumsalam, Sher! Kamu di mana sekarang?" Suaranya berat dan khas.
"Saya di lapangan umum Tentara, Pak. Ada apa, ya?" Ada nada canggung di suaraku.
"Tolong ke kantor sebentar, Sher. Ada barang saya yang ketinggalan di ruangan, dan saya sudah di bandara. Take-off-nya satu jam lagi, gak keburu kalau balik ke kantor," jelasnya cepat.
"Oh, baik, Pak! Berarti saya antarkan ke bandara, ya?" tanyaku sedikit bingung.
"Iya, Sher. Nanti setelah ambil barang itu, langsung susul saya ke bandara, ya. Jangan lupa bawa ID card buat buka ruangan saya. Pak Agus sudah di depan rumah kamu, saya telepon dulu untuk jemput kamu. Tunggu sebentar. Assalamu'alaikum!" tutupnya.
"Baik, Pak. Wa'alaikumsalam," jawabku.
Usai menutup ponsel, aku menoleh ke Juan yang ternyata tersenyum lebar.
"Susah, ya, jadi asisten?" godanya.
"Gak juga, dulu aku juga pernah jadi asisten. Tergantung bosnya," jawabku berlagak cuek.
"Tapi bosmu ini Pak Ariel. Orang paling serius di kantor kita, lulusan master dari Jerman, emang beda!" Juan menaikkan alis.
Mendengar itu, aku terdiam sesaat. "Aku gak khawatir, kok! Ini cuma training. Setelah ini, aku gak akan berurusan lagi dengannya," balasku percaya diri.
"Hmm, tapi aku dengar desas-desus kalau karyawan baru akan ditempatkan jadi sekretaris manajer keuangan. Melihat kamu ditraining sebagai asisten, aku jadi semakin yakin itu benar," terang Juan serius.
"Ha? Kamu bercanda, kan?" tanyaku tak percaya.
Tiba-tiba, sebuah mobil hitam berhenti di pinggir lapangan. Itu mobil yang biasa dipakai Pak Ariel.
"Jemputanmu udah datang, Sher. Good luck!" Juan melambaikan tangan sambil tersenyum ringan.
Aku menoleh sesaat ke arahnya sebelum berjalan ke mobil itu, pikiranku bergejolak setelah mendengar ucapan Juan. Jika rumor itu benar, aku akan jadi sekretaris Pak Ariel? Tidak! Aku gak mau!
"Nona Sherly," sapa Pak Agus, sopir Pak Ariel, ramah.
"Pak Agus, kita ke rumah dulu, ya. Mau ambil ID card," kataku sambil tersenyum tipis.
"Baik, Non." Ia mengangguk, dan mobil pun melaju cepat.
Di ruangan Pak Ariel, aku menemukan barang yang dimaksud. Sebuah kado. Hm, ini kado untuk siapa?
"Pak, ini kado yang dimaksud Pak Ariel?" tanyaku setelah keluar dari ruangan.
"Iya, Non. Itu kado penting," jawab Pak Agus sambil berjalan menuju lift bersamaku.
"Kado apa, Pak?" tanyaku penasaran.
"Itu untuk orang yang disayang Pak Ariel. Agak privat buat saya bahas." Pak Agus tersenyum tipis.
Orang yang disayang Pak Ariel? Jangan-jangan… tunangannya? Tiba-tiba dadaku terasa panas. Jadi Pak Ariel, yang kelihatannya gila kerja, punya sisi romantis juga. Kata orang bijak benar, gak bisa nilai seseorang dari tampilan luar. Pasti tunangannya cantik dan berpendidikan tinggi. Lalu kenapa aku yang harus antar kado ini? Kenapa gak Pak Agus? Ini kan hari libur!
Kemudian terpikir, Pak Ariel sedang di bandara sekarang. Tapi kenapa sopirnya bisa di sini?
"Pak Agus, berarti tadi Bapak dari bandara ke sini?" tanyaku bingung.
"Bukan, Non. Pak Ariel berangkat pakai mobil Pak Hasyim," jawabnya.
Aku mengangguk dan terdiam. Liburanku berantakan karena tugas mendadak ini.
Sesampai di bandara, aku menelepon Pak Ariel. Tak lama ia muncul, tersenyum lebar.
"Terima kasih, Sher! Untung ada kamu!" Dia segera mengambil kado yang sudah kumasukkan ke dalam paper bag.
"Iya, Pak. Sama-sama," jawabku datar, tersenyum tipis.
"Kamu kenapa? Mabuk naik mobil ya, Sher?" tanyanya khawatir.
"Gak, Pak. Saya baik-baik saja." Aku menggeleng pelan, membuang muka.
"Maaf sudah merepotkan, ya, Sher!" tatapnya lekat-lekat.
"Tidak masalah, Pak. Saya kan asisten Bapak." Aku tersenyum kecut.
"Itu panggilan boarding, Pak. Semoga selamat sampai tujuan," ucapku sambil berusaha tersenyum ramah.
Dia hanya diam, memandangku beberapa detik sebelum akhirnya pergi.
***
Aku melirik notifikasi pesan dari Juan dan Dwi tanpa membukanya. Tak lama kemudian, pesan dari Cindy juga masuk. Ah, aku sedang tidak ingin membalas WA! Aku pun meletakkan ponsel dan segera melayani pembeli yang sudah selesai dengan jajanannya.
"Kenapa sejak pulang dari bandara tadi kamu kelihatan murung, Sher?" tanya Ibu, yang sedang menghitung stok barang sambil mencatatnya.
"Eh? Nggak, kok, Bu!" jawabku, sedikit canggung.
"Bos kamu marah-marah tadi, ya?" Ibu melirikku sesaat.
"Nggak, Bu! Tadi tidak ada apa-apa, kok," kataku sambil tertawa kaku.
"Hm, oh, ya! Bos kamu ini usianya berapa, Sher?" Ibu mendekatiku, lalu duduk di kursi plastik yang ada di dekatnya.
Astaga! Aku tidak tahu berapa usia Pak Ariel!
"Kayaknya tiga puluhan, Bu… mungkin lebih. Sherly juga kurang tahu," jawabku sambil menggaruk kepala, merasa ragu-ragu.
"Oh, sudah berapa anaknya?" Tatapan Ibu tampak penuh perhatian.
Anak? Emangnya Pak Ariel sudah punya anak, ya? Aku tidak tahu apa-apa tentang kehidupan pribadi Pak Ariel! Dia tidak pernah bercerita, dan aku pun tak pernah bertanya. Apakah aku salah karena terlalu diam selama ini?
"Senin besok Sherly tanya, ya, Bu." Aku berusaha tampak santai meskipun sebenarnya pertanyaan itu sulit untuk dijawab.
***
Cindy mengabariku bahwa ia akan memperpanjang waktu pra-penelitiannya karena ada kendala teknis di lokasi. Dwi menanyakan kabarku seperti biasa, lalu bercerita tentang keponakannya yang sedang merajuk setelah dimarahi ibunya. Sementara itu, Juan mengirim foto tas rajut berwarna hitam yang sangat keren. Kok dia bisa punya barang sebagus itu, ya?
Aku pun akhirnya membalas satu per satu chat itu dan bersiap untuk tidur.
***
Pagi di hari Minggu ini, aku tak ada kegiatan selain membantu Ibu di warung. Selagi aku menjaga warung, Ibu bisa lebih leluasa mengerjakan pekerjaan lain, seperti membereskan rumah, merawat tanaman dan bunga, atau belanja ke pasar.
Sambil menunggu pelanggan, aku asyik scroll TikTok hingga lupa waktu.
"Kak, ada jual pecel lele, nggak?" Tiba-tiba terdengar suara yang rasanya kukenali.
Aku segera mendongak.
"Juan!" seruku.
"Hehe, hai, Sher!" Juan langsung menyeringai dengan gaya khasnya.
"Kamu nanya pecel lele di sini? Memangnya kamu nggak bisa lihat ini warung apa?" tanyaku sambil tersenyum simpul, sedikit melotot.
"Kamu kalau marah kok tambah cantik, ya?" godanya.
"Kamu ngapain ke sini?" tanyaku, mencoba mengalihkan.
"Kan tadi sudah jelas, aku mau beli pecel lele." Dia menaikkan sebelah alis.
"Gak ada! Terus?" tanyaku, sok jutek.
"Berarti kamu harus temani aku sampai dapat pecel lelenya!" jawabnya sambil mengacung-acungkan jari telunjuknya.
"Noh, di situ ada pecel lele. Gak perlu aku temani, kan!" Aku menunjuk ke arah seberang jalan, tak jauh dari warungku.
"Kamu mau pecel lele atau pecel ayam?" tanyanya.
"Aku nggak pesan, kamu saja!" Aku menggeleng santai.
Dia pun menaiki motornya dan pergi ke warung pecel lele itu. Aku hanya melihatnya sesaat, lalu kembali duduk menunggu pembeli. Bisa-bisanya Juan mampir ke warungku, hehe.
Tak lama, Ibu datang dari pasar, menyapaku, lalu masuk ke rumah. Beberapa menit kemudian, terdengar suara motor parkir di depan warung.
"Sher!" panggil Juan.
Aku segera bangkit. "Ada apa lagi, Juan?" tanyaku.
"Ini aku beliin pecel ayam buat kamu sama Ibu kamu. Tadi aku tanya sama penjualnya, katanya kamu suka yang pecel ayam," jelas Juan, menyerahkan kantong plastik padaku.
"Eh, kamu apa-apaan sih ini?" tanyaku, merasa canggung.
"Rezeki nggak boleh ditolak, lho!" Dia menaruh kantong plastik itu di atas rak.
"Berapa totalnya, Juan?" tanyaku, merasa nggak enak.
"Kamu apaan sih, Sher! Ini tuh buat kamu, bukan dijual ke kamu, hehe," jawabnya santai.
"Oh, ya, aku lebih tua lho setahun dari kamu. Bagaimana kalau kamu panggil aku 'Bang'?" Dia menyeringai.
Hm, sebenarnya dia nggak benar-benar lebih tua setahun dariku. Kalau dihitung dengan bulan, dia hanya enam bulan lebih tua! Dia itu lulusan cum laude tiga setengah tahun, makanya cepat masuk dunia kerja.
"Makasih, ya, Bang Juan!" Aku berusaha memberikan senyum terbaikku.
"Iya, sama-sama, Dek Sherly." Senyumnya makin lebar.
"Sampai ketemu besok di kantor, ya! Abang pulang dulu, Dek!" Dia melambai, lalu berlari kecil menuju motornya.
Aku hanya menggeleng pelan sambil tersenyum tipis, melihatnya pergi.
***