POV Sherly
Selesai menyetrika pakaian untuk seminggu ke depan, tubuhku terasa lelah dan ingin segera beristirahat. Kulirik lampu di ruang tengah yang sudah dipadamkan oleh ibu setengah jam yang lalu. Aku pun segera menutup pintu kamar, berjalan pelan menuju ranjang, dan meraih ponsel yang baterainya telah terisi 80%. Langsung saja kucabut dari charger. Tampak notifikasi pesan dari Dwi, dia menanyakan tentang hariku. Sebenarnya, aku ingin segera tidur, tapi senang rasanya menerima chat darinya, jadi aku tetap membalas.
Biasa saja, sih, cuma di rumah. Tapi tadi ada yang lucu, si Juan yang pernah kuceritakan itu, kamu ingat, kan? Dia datang ke warung dan membawa pecel ayam, hehe. Kalau kamu bagaimana, Dwi?
Setelah mengetik beberapa kalimat, aku merebahkan diri dan menarik selimut kecil yang ada di atas bantal. Tak lama, balasan dari Dwi muncul.
Oh iya, aku ingat! Wah, kenapa dia ke warungmu? Sepertinya dia menyukaimu, hehe. Hariku membosankan! Aku tidak sabar menunggu untuk bekerja besok.
Membaca balasan dari Dwi, aku malah tersenyum-senyum sendiri.
Ah, enggak, dia memang orangnya asyik saja. Eh, ini sudah larut. Kita besok sama-sama kerja, kan? Tidur, yuk! Oh ya, kamu jangan lupa minum obatnya, ya!
Aku menguap sesaat setelah chat itu terkirim.
Oh, begitu, ya. Oke, mari kita istirahat.
Balasan singkat darinya.
***
"Sher!" teriak ibu sambil mengetuk pintu kamarku.
"Ya, Bu, ada apa?" sahutku sambil merapikan hijabku.
Pintu kamarku langsung dibuka.
"Itu, di luar ada mobil hitam yang kemarin itu, bukannya itu mobil bosmu, Nak?" tanya ibu sambil menunjuk ke arah luar.
Mobil Pak Ariel? Mana mungkin!
Aku bergegas ke ruang tamu dan mengintip dari jendela. Astaga! Benar, itu dia! Mungkin Pak Ariel menyuruh sopirnya, Pak Agus, menjemputku agar tidak terlambat pagi ini. Jangan-jangan ada tugas penting!
Sedikit tergesa-gesa, aku merapikan hijab, mengambil tas, dan membawa bekal yang sudah disiapkan ibu.
"Sherly pergi dulu ya, Bu!" Aku segera menyalami tangan ibu dan menciumnya.
"Assalamu'alaikum," lanjutku.
"Wa'alaikumsalam, hati-hati ya, Nak!" balas ibu.
Sesampainya aku di dekat mobil, kaca bagian belakang mobil terbuka. Oh, tidak!
"Pagi, Sher," sapa Pak Ariel sambil tersenyum tipis.
"Pagi, Pak," jawabku, menelan ludah.
"Ayo, kita bareng," tawarnya sambil membukakan pintu.
Aku terdiam beberapa saat.
"Ayo masuk, Sherly." Ia melambaikan tangannya dan tersenyum lagi.
"Terima kasih, Pak," ucapku sambil sedikit mengangguk dan masuk ke dalam mobil, meski dengan keraguan.
Pak Agus lalu menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Aku masih terdiam, bingung harus bicara apa, meskipun banyak pertanyaan berputar di benakku. Aku melirik sesaat ke arah Pak Ariel yang tampak fokus menatap ke depan.
"Maaf, Pak! Kenapa Bapak menjemput saya? Apakah ada urusan penting pagi ini?" tanyaku polos.
Dia menoleh padaku, tersenyum, lalu menggeleng pelan.
"Kamu lupa, ya? Kan, kamu itu asisten saya. Jadi saya punya tanggung jawab lebih padamu," jawabnya, lalu kembali menatap ke depan.
Aku tidak salah dengar, kan? Dia bilang tanggung jawab lebih? Maksudnya?
Meski tidak begitu memahami maksudnya, aku tetap mengangguk seolah-olah mengerti.
Sesaat kemudian, Pak Ariel kembali menoleh ke arahku. Aku melihatnya dari sudut mataku, tetapi kupilih untuk tetap mengabaikannya.
"Hijab kamu bagus, cocok sekali dengan wajahmu," katanya tiba-tiba.
Apa yang barusan dia katakan? Sebuah pujian? Ini serius, kan? Dia benar-benar Pak Ariel, kan?
Sedikit ragu, aku menoleh padanya, dan tatapan kami pun bertemu. Detak jantungku langsung berpacu.
"Terima kasih, Pak." Aku segera menunduk, tak tahan menatap mata tajam Pak Ariel yang terasa begitu berbeda. Kucoba menenangkan diri. Apa yang sebenarnya kurasakan ini?
***
"Ini dokumen yang perlu diberikan kepada Pak Ariel, ya, Sher," ucap Bu Risti sambil menyerahkan sebuah map bening padaku.
"Baik, Bu." Aku menerima map tersebut dengan anggukan sopan, lalu bergegas menuju meja Pak Ariel yang dibatasi dinding kaca buram.
Sesampainya di sana, aku melirik Pak Ariel yang sedang fokus menatap layar laptopnya. Wajahnya yang serius membuat jantungku berdegup lebih cepat. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyeruak—perasaan gugup yang baru kurasakan belakangan ini setiap kali berada di dekatnya.
"Maaf mengganggu, Pak Ariel. Saya membawa dokumen yang perlu tanda tangan Bapak untuk pengajuan pembayaran vendor minggu ini," ujarku dengan suara pelan, mencoba tetap tenang.
"Taruh saja di meja, Sher. Nanti saya cek," balasnya tanpa menoleh sedikit pun, matanya tetap fokus pada layar di depannya.
Aku segera menaruh dokumen itu di meja, dan sekilas melirik layar laptopnya. Tampak grafik piutang yang mencolok dengan angka-angka yang mengkhawatirkan. Sepertinya ada masalah dengan cash flow perusahaan!
"Maaf, Pak, tapi... sepertinya ada angka piutang yang cukup besar di laporan itu. Ada masalah dengan pembayaran dari klien?" tanyaku, rasa penasaran mengalahkan rasa takutku.
Pak Ariel menghela napas berat, akhirnya menoleh ke arahku. Sorot matanya tajam namun tidak mengintimidasi.
"Ya, ada beberapa klien yang terlambat bayar lagi. Kalau ini terus berlanjut, arus kas kita bisa terganggu," jawabnya dengan nada serius.
"Kalau boleh tahu, apakah klien tertentu yang bermasalah, Pak? Mungkin saya bisa bantu follow up mereka?" tawarku dengan hati-hati.
Dia memandangku sejenak, seolah menimbang tawaranku. Kemudian, dia mengalihkan pandangannya kembali ke layar.
"Ini bukan soal follow up biasa, Sher. Ada beberapa klien yang alasannya selalu klise. Mereka janji bayar, tapi realisasinya tidak kunjung datang," ucapnya sambil mengetik cepat di keyboard. "Khususnya PT Andalan Jaya dan Nusantara Corp, yang masih menunggak lebih dari tiga bulan."
Aku mengangguk, segera mencatat nama-nama perusahaan itu dalam pikiranku. Seingatku, dosenku pernah membahas kasus serupa. Mendadak, sebuah ide terlintas di benakku.
"Bagaimana kalau kita tawarkan skema diskon untuk pembayaran lebih awal? Itu bisa jadi insentif agar mereka melunasi piutang lebih cepat," usulku dengan nada penuh semangat.
Pak Ariel menatapku dengan alis terangkat, seolah tidak menyangka aku bisa memberikan saran seperti itu.
"Skema diskon, ya? Hmm... ide yang menarik. Tapi harus dihitung dulu dampaknya terhadap margin kita. Kita tidak bisa sembarangan menawarkan diskon tanpa pertimbangan matang," jawabnya dengan nada tegas.
"Saya bisa buatkan simulasi dampak diskon terhadap profit, Pak. Jika Bapak setuju, saya akan susun laporannya hari ini," tawarku penuh percaya diri.
Pak Ariel mengangguk pelan. "Baiklah, coba susun skemanya. Tapi pastikan kita tidak rugi besar hanya untuk mempercepat arus kas. Saya mau laporan awal sebelum jam lima sore!"
Setelah seminggu bekerja bersamanya, aku mulai terbiasa dengan sikapnya yang tegas dan dingin. Anehnya, aku justru merasa lebih bersemangat karena bisa terlibat dalam keputusan-keputusan penting. Ada banyak hal yang bisa kupelajari dari Pak Ariel tentang profesionalitas yang sebenarnya.
***