POV Sherly
Pukul lima sore, aku melirik jam dinding yang tergantung di ruangan. Tanganku masih sibuk mengetik ketika suara Pak Ariel tiba-tiba memanggil dari balik mejanya.
"Sher!"
"Iya, Pak?" Aku segera menoleh, menghentikan aktivitas di komputerku.
"Kamu tidak pulang?" tanyanya sambil mematikan laptopnya. Ini agak aneh, biasanya kami masih bekerja sampai larut.
"Lho? Kita tidak lembur, Pak?" tanyaku kikuk.
"Tidak, Sher. Hari ini tidak ada pekerjaan mendesak, ayo kita pulang!" jawabnya santai, sesuatu yang jarang kutemui darinya.
Aku segera membereskan mejaku dengan semangat baru, tak ingin terlihat kalah cepat dari Pak Ariel. Sementara itu, dia merapikan berkas-berkasnya dengan cekatan.
"Hari ini mobil saya sedang di bengkel, jadi kita pulang dengan mobil Pak Hasyim saja," ujarnya sambil berjalan menuju pintu.
Ternyata siang tadi aku baru tahu dari Bu Risti bahwa Pak Hasyim, direktur eksekutif, adalah ayah kandung Pak Ariel. Sungguh mengejutkan mengetahui calon bosku nanti masih ada hubungan keluarga dengan bosku saat ini.
"Oh, baik, Pak," jawabku singkat sambil mengangguk.
Selama di perjalanan, suasana di dalam mobil terasa nyaman. Namun, ada sesuatu yang terus menggelitik rasa penasaranku. Aku pun mencoba memberanikan diri bertanya.
"Maaf, Pak... Bapak sudah punya anak berapa, ya?" tanyaku ragu.
Pak Ariel menoleh dan tertawa ringan, sesuatu yang belum pernah kulihat darinya sebelumnya.
"Kenapa tiba-tiba tanya soal itu, Sher?" Dia tersenyum, membuatku sedikit lega.
Aku menunduk, merasa wajahku memerah. "Maaf, Pak... hanya penasaran saja."
"Saya belum menikah, Sher, jadi belum punya anak," jawabnya sambil tertawa kecil. "Kado kemarin itu buat keponakan saya. Apa saya sudah terlihat seperti bapak-bapak anak dua?"
"Oh, bukan begitu maksud saya, Pak. Maafkan saya..." jawabku terbata-bata.
Aku tersenyum lega setelah mengetahui kenyataan itu. Ternyata, dugaanku benar; orang yang gila kerja seperti Pak Ariel mungkin belum memikirkan hal-hal seperti pernikahan atau anak. Ada rasa senang yang tak bisa kupungkiri, meski aku tahu aku tak boleh terlalu berharap.
"Oh, ya, Sher! Saya hampir lupa memberitahumu tadi. Besok kita ada acara CSR di panti asuhan, kamu saya jemput pagi ya," ujar Pak Ariel sambil mengangguk, seolah berusaha meyakinkanku untuk ikut.
"CSR itu apa, Pak?" tanyaku, masih bingung.
"Corporate Social Responsibility. Kita akan mengadakan bakti sosial, nanti ada beberapa orang yang ikut serta, tapi hanya bagian manajemen dan beberapa karyawan kunci saja. Kamu tidak merasa canggung ke panti asuhan, kan?" tanyanya dengan penuh perhatian.
"Oh, tentu tidak, Pak! Saya sudah terbiasa dengan anak-anak karena sering menjaga warung Ibu dan berinteraksi dengan banyak pembeli, termasuk anak-anak," jawabku lancar.
"Baguslah! Sepertinya kita hampir sampai rumahmu." Pak Ariel mengamati jendela mobil.
"Benar, Pak! Terima kasih atas tumpangannya, Pak!" ucapku sambil tersenyum tulus.
"Sama-sama, Sher! Insya Allah kita ketemu besok." Dia membalas senyumanku dengan manis, membuatku sedikit terkejut.
Aku mengangguk pelan sambil melihat mobil itu pergi berlalu. Ibu yang memperhatikanku dari dalam warung tampak menatapku dengan tatapan yang tak biasa.
"Assalamu'alaikum, Bu," sapaku sambil menyalami tangan Ibu.
"Wa'alaikumsalam, Nak! Sepertinya tadi ada yang beda, ya?" Ibu menganalisa seketika.
"Gak ada yang beda, apa yang beda, Bu?" tanyaku kikuk.
"Entahlah, auranya mungkin," jawab Ibu sambil tersenyum penuh makna.
"Perasaan Ibu saja itu," jawabku berusaha terlihat santai.
"Sherly ke dalam dulu, ya, Bu." Aku segera berlari kecil menuju rumah.
***
Selesai mandi dan menunaikan sholat magrib, aku langsung bersantai di sofa panjang ruang tengah sambil memegang ponsel. Oh, ada chat dari Dwi lima menit lalu.
Malam, Sher!
Lagi apa?
Aku dengan semangat langsung membalasnya, dan kami pun saling berbalas chat.
Sher, aku merasa jantungku bermasalah akhir-akhir ini, aku tidak mengerti, padahal aku tidak pernah lupa meminum obatku.
Sebuah chat dari Dwi yang membuatku sangat khawatir.
Apa yang terjadi padamu, Dwi? Kamu terlalu memaksakan diri dalam bekerja, gak? Atau kamu memikirkan sesuatu yang sangat berat hingga kamu tertekan?
Tidak sabar aku menunggu balasan darinya.
Entahlah, Sher, aku bekerja seperti biasa saja, dan apa yang kupikirkan tentang pekerjaanku juga hal yang biasa aku hadapi sehari-hari.
Balasan darinya malah membuatku semakin penasaran.
Apakah ada orang yang membuatmu stres belakangan ini? Atau situasi yang membuatmu tidak nyaman?
Aku mengetiknya dengan cepat tanpa banyak berpikir.
Haha, entahlah, aku tidak yakin, mungkin ada, astaga! Apakah aku harus merasakannya dengan cara ini?
Aku membaca balasan dari Dwi sambil mengerutkan kening, apa maksudnya? Aku tidak mengerti!
Maksudmu bagaimana?
Segera kukirim balasannya.
Tidak ada, jangan pikirkan lagi, Sher, aku gak apa-apa, kok!
Itu balasan darinya, kenapa dia mengatakan itu?
Tapi kata kamu tadi jantung kamu bermasalah, kok jadi gak apa-apa sekarang? Bagaimana kalau kamu periksa ke dokter untuk memastikannya, aku rasa kamu harus menghindari semua yang bisa mengganggu jantungmu.
Aku membalasnya dengan sedikit emosi.
Hehe, bagaimana jika jantungku terganggu oleh orang yang aku kagumi? Apakah aku harus menghindarinya?
Tunggu dulu! Dwi membicarakan seseorang yang ia kagumi, siapa? Apakah dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang saat ini?
Kamu sedang berhubungan dengan seseorang yang spesial, ya? OMG! Kenapa kamu tidak pernah menceritakannya padaku?
Aku mencoba menerka sebaik mungkin sambil menyimpan rasa penasaranku dengan hati-hati.
Hehe, kamu bisa menebaknya, Sher. Iya, mungkin karena itu aku merasa jantungku terganggu.
Dia mengakuinya dengan santai. Seberapa spesial perempuan itu sampai Dwi merasakan gangguan di jantungnya? Sungguh beruntung perempuan itu, ia mendapatkan hati Dwi yang tulus.
Siapa orangnya, Dwi?
Rasa penasaran di hatiku tak terbendung lagi.
Aku belum siap menceritakannya padamu saat ini, mungkin nanti.
Jawabnya setelah beberapa saat mengetik.
Apakah perempuan spesial yang dikagumi Dwi itu mengenalnya beserta masa lalunya? Atau dia hanya mengenalnya yang versi sekarang? Jika ia hanya mengenal Dwi yang sekarang, tentu perempuan itu belum layak untuk dikagumi oleh Dwi, sedangkan aku yang hanya teman Dwi saja sudah mengenalnya hingga pada titik terendahnya. Tanganku terasa gatal untuk ingin menuliskan sesuatu pada Dwi.
Apa perempuan itu tahu dengan riwayat kesehatanmu?
Tanyaku penuh rasa penasaran.
Belum, dia belum tahu semuanya, aku belum menceritakannya.
Jawaban darinya.
Tuh, kan! Perempuan itu belum layak untuk dia kagumi! Bagaimana jika dia mengetahui semua riwayat kesehatan Dwi? Aku yakin perempuan itu akan berpikir dua kali untuk jatuh cinta pada Dwi!
***
Pagi ini, seperti kemarin, mobil hitam Pak Ariel sudah terparkir di depan rumahku. Aku yang mengintip dari balik jendela langsung bergegas mengenakan sepatu dan melangkah keluar rumah. Namun, sebelum menuju mobil, aku mampir sebentar ke warung ibu. Astaga!
"Pak Ariel!" seruku terkejut melihat beliau duduk santai di warung ibu.
"Ayo kita berangkat, Sher! Mari, Bu!" ucap Pak Ariel sambil mengangguk sopan dan tersenyum pada ibu.
"Mari, Pak!" balas ibu dengan senyum ramah.
Sedikit heran, aku memperhatikan betapa sopannya Pak Ariel. Tidak seperti dirinya yang biasanya terlihat dingin di kantor. Setelah berpamitan pada ibu, kami pun berangkat menuju panti asuhan Kasih Bunda yang berjarak sekitar dua puluh kilometer dari rumahku. Perjalanan ini biasanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit.