Panti Asuhan

POV Sherly

Lima menit pertama berlalu dalam keheningan yang canggung. Suasana di dalam mobil begitu sunyi hingga membuatku merasa tak nyaman. Haruskah aku memulai pembicaraan untuk mencairkan suasana? Tapi, apa yang harus kutanyakan?

Ah, ya! Tanya saja tentang kegiatan CSR ini!

Aku menoleh ke arah Pak Ariel, namun tiba-tiba pandangan kami bertemu. Aduh! Aku langsung memalingkan wajah ke arah jendela, merasa kikuk. Setelah beberapa saat, aku mengatur napas dan memberanikan diri untuk kembali menoleh padanya. Kali ini, beliau sedang menatap jendela dengan tatapan kosong.

Baiklah, ini saatnya aku bertanya!

Namun, sebelum aku sempat membuka mulut, Pak Ariel lebih dulu bicara.

"Sher, kamu suka kegiatan sosial?" tanyanya tiba-tiba sambil menoleh ke arahku.

Napas terasa tercekat sesaat. "Iya, Pak, saya suka," jawabku sedikit terbata.

"Oh, apa saja yang pernah kamu lakukan?" tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih lembut.

"Hm, saya pernah menjadi relawan untuk korban banjir tahun lalu. Dua bulan lalu, saya ikut kegiatan bersih-bersih pantai. Selain itu, saya juga rutin donor darah, Pak," jawabku sambil mengingat-ingat kegiatan sosial yang pernah kulakukan.

"Wah, luar biasa, Sher!" Pak Ariel tersenyum hangat, senyum yang jarang sekali kulihat darinya.

Meski merasa sedikit aneh, aku membalas senyumannya. "Terima kasih, Pak. Oh, ya, di perusahaan kita sering ya mengadakan CSR seperti ini?" tanyaku mulai merasa lebih nyaman.

"Ya, bisa dibilang begitu. Kami ada kegiatan amal rutin dan bakti sosial berkala. Ini adalah bagian dari tanggung jawab moral perusahaan kepada masyarakat," jelasnya.

"Oh, begitu, ya, Pak. Bagaimana kalau kita adakan kegiatan yang mendukung kesehatan juga? Seperti donor darah atau support group?" usulku antusias.

"Support group? Apa itu?" Pak Ariel mengerutkan kening, tampak bingung.

"Itu seperti kelompok dukungan bagi orang-orang dengan penyakit tertentu, Pak. Mereka bisa saling berbagi pengalaman dan dukungan," jelasku dengan semangat.

Pak Ariel menatapku sejenak tanpa berkata apa-apa, membuatku bertanya-tanya apakah beliau tidak memahami maksudku.

"Contohnya, seperti untuk penderita kanker, Pak. Kita bisa membuat support group khusus agar mereka termotivasi untuk sembuh dan tidak merasa sendirian," tambahku, berharap bisa meyakinkannya.

"Mengapa kamu memilih contoh penderita kanker, Sher?" tanya Pak Ariel dengan nada serius, tatapannya kini lebih tajam.

"Kebetulan saya punya teman yang pernah menderita leukemia, jadi saya merasa tergerak untuk mendukung orang lain yang membutuhkan," jawabku dengan ragu.

"Ide yang bagus, Sher. Kita bisa usulkan itu nanti," ujar Pak Ariel sambil mengangguk pelan, lalu kembali menatap jendela, seakan tak ingin melanjutkan percakapan.

Apakah aku tadi terlalu banyak bicara? pikirku dalam hati. Dan kini, keheningan kembali menyelimuti mobil ini hingga kami sampai di panti asuhan. Ya, sudahlah...

***

Akhirnya keheningan berujung juga. Kami telah sampai di depan gerbang Panti Asuhan Kasih Bunda. Terlihat ada dua mobil lain yang telah terparkir di sana lebih dulu. Kami berdua pun turun berbarengan.

Setelah memasuki gerbang, tampak beberapa orang yang berpakaian rapi, mirip seperti Pak Ariel, berdiri di taman bersama beberapa orang lainnya. Di antara mereka, aku mengenali salah satunya—manajer personalia, yang pernah kutemui ketika menjalani seleksi masuk dulu. Perempuan berwajah serius itu juga tampak familiar, ia adalah asisten manajer operasional yang sempat kutemui ketika mengantarkan dokumen beberapa waktu lalu.

Pak Ariel segera mendekati dua orang yang tampak berwibawa, layaknya dirinya. Ia menjabat tangan mereka berdua sambil menyapa ramah. Begitu pun dengan dua orang yang membersamai mereka, Pak Ariel tak lupa menyalami mereka secara profesional. Aku tentu saja mengikuti langkahnya, melakukan hal yang sama sebagai bentuk profesionalismeku sebagai asisten manajer keuangan sementara.

Lalu, ada seorang lagi bapak-bapak yang tampak sangat ramah. Ia juga menjadi tujuan Pak Ariel selanjutnya. Uniknya, dia menyalaminya cukup lama, seolah memiliki ikatan keakraban yang lebih.

"Bagaimana kabarnya, Pak?" tanya Pak Ariel sangat ramah.

Aku bahkan sampai melirik tidak percaya dengan intonasi dan mimik wajahnya yang sungguh langka kutemui itu.

"Baik, Alhamdulillah, Pak Ariel. Bapak bagaimana? Segar sekali wajahnya kalau saya perhatikan," balas bapak itu sambil tersenyum lebar.

Pak Ariel sontak tersenyum lepas.

"Alhamdulillah, saya juga baik, Pak. Ibu bagaimana keadaannya sekarang?" tanyanya penuh perhatian.

"Iya, masih belum pulih. Ibu masih butuh banyak istirahat, tidak boleh banyak pikiran. Semoga perlahan-lahan bisa pulih, Pak Ariel," jelas bapak itu dengan sedikit menerawang.

"Sabar, ya, Pak." Pak Ariel menyentuh pelan lengan bapak itu seolah memberikan semangat.

"Oh, Sher! Ini Pak Rasyid, ketua yayasan panti asuhan ini. Ini asisten saya, Pak," ucap Pak Ariel sambil menoleh padaku dengan wajah yang sangat bersahabat.

Aku menjabat tangan Pak Rasyid sambil memperkenalkan namaku dan memberikan senyuman tulus.

"Selamat datang di panti asuhan kami, Bu Sherly," ujar Pak Rasyid sambil tersenyum lebar.

Obrolan antara para manajer dan ketua yayasan terus berlanjut hingga dua mobil lagi datang beriringan, dan mereka semua diam sejenak.

Dari mobil pertama keluar dua orang pria yang tak kalah rapi. Mereka berjalan beriringan, dan seseorang yang berjalan dengan langkah tenang namun penuh percaya diri. Tubuhnya tinggi, dengan bahu lebar dan postur tegap yang membuatnya tampak berwibawa. Setelan jas hitam yang dikenakannya pas di tubuh, menonjolkan sosoknya yang atletis. Rambut hitamnya dipotong rapi, memperlihatkan garis rahang yang tegas.

Tatapannya tajam, seakan mampu menembus siapa pun yang ia pandang, memberikan aura intimidasi yang membuat rombongan manajer lain terdiam sejenak. Aku merasakan hawa dingin di sekitar, seolah kehadirannya membawa ketegangan tersendiri.

"Hai, Ariel!" sapanya tanpa menggunakan kata 'Pak'.

Sedikit tersentak aku mendengarnya.

"Pak Akbar!" balas Pak Ariel dengan wajah tegang.

Siapa dia?

Orang-orang dari mobil kedua juga bergabung bersama kami. Tampak dua orang perempuan dan satu laki-laki—Juan! Astaga!

Juan melirikku sambil tersenyum tipis, mungkin dia tak ingin tampak kurang profesional di tengah orang-orang penting ini.

Sebuah mobil boks yang mungkin menjadi kendaraan terakhir mengunjungi tempat ini berhenti tepat di depan gapura, menutupi jalan masuk. Dua orang pria keluar dari mobil itu dan dengan cekatan mulai menurunkan barang-barang—sembako, pakaian, serta perlengkapan berukuran besar seperti laptop. Mereka menatanya dengan rapi di dalam kantor yayasan. Pak Rasyid segera mengarahkan kami menuju ruangan luas di sebelah kantor itu, yang ternyata adalah mushalla yang telah ditata sedemikian rupa agar nyaman untuk duduk lesehan. Di sana, semua anak panti asuhan sudah berkumpul.

Begitu kami memasuki ruangan, anak-anak tersebut langsung berbaris rapi, menyalami kami dan mencium tangan kami dengan penuh ketulusan. Aku merasakan kedamaian yang mendalam dari kehangatan yang mereka berikan dalam sentuhan itu. Kupandangi wajah mereka satu per satu, tampak begitu polos namun menyimpan kesedihan. Rasa iba tiba-tiba menyergap hatiku, membuatku merasa haru.

Setelah mereka selesai menyalami kami, acara pun dibuka oleh Pak Rasyid. Beliau menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Altara Group, diiringi dengan kalimat-kalimat pembuka yang penuh apresiasi. Tampak banyak hal yang ingin beliau sampaikan, baik kepada kami maupun kepada anak-anaknya. Hampir setengah jam berlalu sebelum akhirnya beliau mempersilakan salah satu dari kami untuk memberikan kata sambutan.

Orang-orang yang duduk di barisan depan, yakni para manajer, saling berpandangan seolah memberi kesempatan kepada yang lain. Pada akhirnya, mereka sepakat menunjuk Pak Ariel untuk maju. Hanya satu orang yang tetap diam, yaitu Pak Akbar, Manajer Pemasaran. Pak Ariel tampak sedikit terkejut namun segera tersenyum, lalu dengan percaya diri ia berdiri, sedikit membungkukkan badan saat melewati manajer lain yang duduk lesehan.