POV Sherly
Pak Ariel membuka sambutannya dengan ucapan terima kasih kepada ketua yayasan dan anak-anak panti asuhan atas sambutan yang hangat. Suara Pak Ariel saat memberikan sambutan selalu memikat; ia memiliki kemampuan komunikasi yang luar biasa. Meskipun sehari-hari cukup pendiam di sekitarku, saat berbicara di depan umum, ia tampil begitu fasih. Tak hanya intonasinya yang menarik, bahasa tubuhnya pun sangat mendukung, membuat pesannya semakin hidup. Kali ini, ia berbicara tentang pentingnya meraih cita-cita, meskipun dengan segala keterbatasan.
Aku kagum melihat bagaimana ia berinteraksi dengan beberapa anak sambil terus melanjutkan sambutannya. Sesekali, ia melemparkan candaan kecil yang membuat suasana menjadi lebih hangat. Dalam hati, aku bertanya-tanya, kenapa ia tak pernah sehangat ini padaku? Huft!
Setelah setengah jam berlalu, Pak Ariel menutup sambutannya dengan kalimat motivasi yang kuat. Ruangan pun dipenuhi gemuruh tepuk tangan yang meriah. Namun, setelah suasana kembali tenang, tiba-tiba Pak Akbar melambaikan tangannya kepada Pak Rasyid.
"Maaf, Pak Rasyid, saya ingin menambahkan sedikit," ucap Pak Akbar dengan percaya diri.
Pak Rasyid tampak sedikit canggung, namun ia tersenyum ramah. "Silakan, Pak Akbar."
Pak Akbar pun berdiri, memberi salam singkat sambil sedikit membungkukkan badan kepada rekan-rekannya sebagai tanda hormat. Ia memulai dengan memberikan pujian kepada Pak Ariel, lalu melanjutkan sambutannya dengan nada yang penuh semangat.
"Anak-anak, selain keberanian untuk bermimpi, ada satu hal yang sangat penting dalam hidup: yaitu bagaimana kita memasarkan diri dan potensi kita ke dunia," ucapnya sambil tersenyum penuh arti. "Ingatlah, dunia ini adalah panggung besar, dan kalian harus tahu cara menunjukkan kelebihan kalian agar dunia bisa melihatnya."
Pak Akbar mengedipkan mata kepada anak-anak, mencuri perhatian mereka. "Sebagai seseorang yang bekerja di bidang pemasaran, saya bisa katakan, tak cukup hanya memiliki impian besar. Kalian juga perlu tahu cara menjual impian itu—baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Artinya, kalian harus percaya diri, berani tampil, dan tahu bagaimana membuat orang lain percaya pada kemampuan kalian."
Semakin bersemangat, tangannya ikut bergerak seirama dengan kata-katanya. "Tak peduli seberapa terbatasnya sumber daya yang kalian miliki, jika kalian bisa membuat orang lain percaya pada kalian, jalan menuju kesuksesan akan terbuka lebar. Jadi, mulai sekarang, bentuklah diri kalian menjadi sosok yang tak hanya bekerja keras, tapi juga cerdas dalam menunjukkan potensi yang kalian miliki."
Ia memberi jeda, memandang intens ke arah anak-anak yang tampak terpukau dengan ucapannya. "Ingat, dunia ini penuh dengan kesempatan. Kalian hanya perlu tahu bagaimana memasarkan diri dan membuat dunia melihat bahwa kalian layak meraih kesuksesan itu. Teruslah semangat, dan jangan pernah ragu untuk tampil dan menunjukkan diri kalian!"
Pak Akbar menutup sambutannya dengan senyum lebar dan anggukan percaya diri. Tepuk tangan terdengar lagi, meskipun tidak sebesar yang diterima Pak Ariel sebelumnya. Namun, dari raut wajahnya, Pak Akbar tampak puas dengan sambutannya yang penuh energi.
Aku merasakan aura kompetitif yang begitu kental di ruangan ini. Kulirik Pak Ariel yang ternyata sadar akan lirikan itu. Ia menatapku sejenak, lalu tersenyum menenangkan sebelum kembali memandang Pak Rasyid.
***
Kami melanjutkan acara dengan mengunjungi tempat tinggal anak-anak panti asuhan, melihat tempat mereka tidur dan beraktivitas. Bangunan itu bertingkat dua; lantai bawah untuk anak laki-laki, lantai atas untuk anak perempuan. Setiap kamar dihuni lima anak, dengan lima kamar di setiap lantai, menampung total 48 anak di panti ini.
Awalnya, aku berjalan beriringan dengan Pak Ariel, mengikuti rombongan para manajer yang melakukan observasi. Namun, tiba-tiba tanganku ditarik oleh seseorang hingga langkahku terhenti. Aku menoleh, ternyata Juan.
"Kenapa terus mengikutinya?" bisiknya dengan nada menggoda.
"Ng... karena aku asistennya," jawabku pelan, mencoba menyesuaikan volume suara.
"Di sini saja dulu," Juan tampak yakin dengan permintaannya.
Aku melirik ke arah Pak Ariel yang terus berjalan bersama rombongan, menuju ruangan di lantai bawah. Begitu rombongan masuk, kami benar-benar tinggal berdua di koridor yang kini sunyi.
"Aku lihat kamu menempel terus sama Bosmu itu. Apa kamu nggak bosan?" Juan menyeringai, senyum jahilnya merekah.
"Apa maksudmu menempel? Aku kan memang asistennya!" balasku sedikit kesal.
"Kamu kalau marah jadi tambah lucu," Juan terkekeh kecil.
"Kamu ini usil banget, sih! Eh, tapi kok kamu bisa di sini juga? Kan kamu bukan asisten manajer?" tanyaku, rasa penasaranku akhirnya keluar juga.
"Hehe, kan aku ini karyawan kunci di perusahaan. Makanya sering ikut kegiatan kayak gini," jawabnya santai.
"Teknisi IT sepertiku sering diminta mendampingi acara-acara penting. Siapa tahu ada masalah teknis yang harus segera ditangani," jelasnya percaya diri.
"Oh, gitu," aku mengangguk, mulai paham.
"Aku besok mau cuti, loh," ujarnya tiba-tiba sambil menatapku dengan senyum lebar.
"Cuti apa?" tanyaku penasaran.
"Ada keluargaku yang nikah di luar kota. Kamu mau ikut nggak?" ajaknya tanpa basa-basi.
"Sebagai partner? Hmm, berapa bayarannya?" aku ikut tersenyum lebar, menggoda balik.
"Tak kusangka kamu berani menawar harga, haha." Juan tertawa, seperti selalu punya cara untuk membuatku terhibur.
POV Ariel
Kami bergerak perlahan dari satu ruangan ke ruangan lainnya, memeriksa kondisi bangunan panti asuhan. Pak Rasyid, pria paruh baya dengan senyum hangat, memimpin tur ini. Ia dengan antusias menunjukkan setiap sudut yang memerlukan renovasi. Para manajer di sampingku berdiskusi ringan, menanyakan detail dan memberikan saran, tanpa formalitas yang kaku.
"Apa menurut Anda, Pak Ariel? Kita bisa tambahkan area bermain di halaman belakang, bagaimana?" salah satu manajer, Pak Budi, bertanya sambil tersenyum.
"Itu ide bagus, Pak Budi. Tapi prioritas kita sekarang memperbaiki atap yang bocor dulu," jawabku sambil tersenyum kecil.
Semua tertawa kecil, seolah menyadari bahwa panti ini memang butuh banyak perbaikan. Diskusi berlangsung santai, kadang berhenti sejenak untuk menanyakan kondisi anak-anak kepada para pengasuh.
Namun, di tengah semua ini, aku merasakan kegelisahan aneh. Biasanya, Sherly selalu berada di sisiku, memastikan semua hal penting tercatat. Tapi sekarang, dia menghilang dari pandanganku. Aku menyapu sekeliling, mencoba menemukannya.
Saat Ketua Yayasan berbicara tentang renovasi dapur, fokusku mulai terpecah. Jantungku berdebar lebih kencang tanpa alasan jelas, seperti ada firasat buruk. Aku terus mencari-cari sosok Sherly di antara rombongan, tapi tidak menemukannya.
Akhirnya, pandanganku tertuju pada ujung koridor. Di sana, Sherly berdiri dekat jendela besar, tapi dia tidak sendirian. Juan berdiri di sebelahnya, tampak akrab. Mereka berbicara santai, bahkan aku bisa mendengar tawa Sherly yang lembut dari kejauhan.
Sesuatu menohok dadaku, seperti tusukan halus tapi menyakitkan. Jantungku seolah melonjak, detaknya semakin tak teratur. Aku berusaha mengalihkan perhatian kembali ke diskusi di depanku, tapi sulit. Setiap kali Sherly tertawa, aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang berharga.
Kenapa aku harus peduli? Mereka hanya mengobrol. Tapi entah kenapa, ada rasa cemas yang tak mau hilang.