POV Sherly
"Kamu nggak akan sanggup bayar meskipun pakai semua tabunganmu!" balasku sambil terkekeh.
"Kalau aku jual diri, mungkin cukup untuk membayarmu sebagai partnerku?" Juan tertawa kecil, tak pernah kehabisan ide untuk menggoda.
"Siapa juga yang mau beli kamu? Paling laku di pengepul rongsokan!" tawaku semakin keras.
"Pak Juan, Anda tidak lupa tugas Anda, kan? Bukankah Wifi di kantor Pak Rasyid harus segera dipasang?" Tiba-tiba suara dingin Pak Ariel muncul di belakang kami.
Aku terlonjak kaget, buru-buru menoleh. Wajah Pak Ariel tampak serius.
"Baik, Pak. Saya segera kerjakan," Juan langsung menegang, tak lagi bercanda.
"Kita masih ada pembicaraan penting di dalam, Sher. Ayo ikut saya," ucap Pak Ariel tegas, berbalik menuju ruangan.
"Maaf, Pak," jawabku pelan, merasa sedikit bersalah.
"Kenapa kamu meninggalkan saya tadi, Sher?" tanyanya tanpa menoleh.
"Maaf, tadi Juan yang menarik tangan saya," ucapku pelan, cemas dengan reaksinya.
Dia hanya diam, lalu melanjutkan langkahnya, meninggalkanku dengan perasaan tak menentu. Sesampainya di dalam, kami bergabung kembali dengan rombongan, seolah tak terjadi apa-apa.
Aku mengikuti langkahnya ke mana pun ia pergi, jarak kami mungkin hanya sekitar satu meter saja. Aku tak ingin kejadian tadi terulang lagi dan membuatku kesulitan nantinya.
Setelah mengecek kerusakan di gedung, kami beralih ke halaman belakang yang rencananya akan dibangun area bermain. Di sekitar sini, banyak anak-anak panti yang berkeliaran, ada yang berlari, ada juga yang berjalan bersama teman-temannya.
Tiba-tiba, serombongan anak perempuan datang menghampiri Pak Ariel.
"Pak! Ini punya Bapak jatuh," kata salah satu dari mereka yang lebih tinggi sambil menyerahkan ID Card kepada Pak Ariel.
Pak Ariel segera memeriksa kemejanya yang ternyata polos tanpa ada sesuatu yang menggantung.
"Oh, iya… ini punya Bapak. Kalian dapat di mana tadi?" tanyanya lembut sambil menerima ID Card itu.
"Tadi pagi kami lihat di halaman depan, Pak!" jawab anak perempuan yang tadi dengan polosnya.
"Iya, Pak! Kami nggak tahu itu punya siapa, terus pas Bapak tadi bicara di depan, kami sadar kalau itu punya Bapak," tambah anak yang berhijab instan merah.
"Wah, untung kalian menyelamatkan punya Bapak ini, terima kasih banyak, ya, Nak!" Pak Ariel kemudian tersenyum, lalu menyimpan ID Card-nya di saku celana.
"Nama kalian siapa?" lanjut Pak Ariel ramah.
"Aku Diah, ini Sifa, ini Nabila, ini Ica," jelas anak yang pertama tadi dengan percaya diri sambil menunjuk teman-temannya.
"Kalau Bapak, Pak Ariel," jawab Pak Ariel sambil berjongkok agar bisa sejajar dengan anak-anak itu.
Mereka mengangguk bersemangat.
"Ibu ini istri Bapak, ya?" tanya anak yang memakai celana training sambil menunjuk ke arahku.
Sontak saja aku terkejut! Lidahku gatal ingin mengklarifikasi, tapi aku khawatir Pak Ariel menganggapku tidak sopan. Aku buru-buru menatap Pak Ariel, berharap ia melihatku dan memberikan jawaban yang sebenarnya.
Pak Ariel mendongak ke arahku sambil tersenyum.
"Bukan, Ica! Ibu ini rekan kerja Bapak di kantor," jawab Pak Ariel sambil mengelus lengan anak perempuan itu.
"Pak Ariel adalah bos Ibu di kantor," tambahku sambil tersenyum ke arah anak perempuan itu.
"Aku kira tadi suami-istri juga, lho," kata anak yang berhijab merah sambil melirik ke teman-temannya.
"Iya, aku juga!" sahut temannya yang sejak tadi diam saja.
"Benarkan?" tanya Pak Ariel dengan nada iseng.
Aku tidak suka situasi ini!
"Eh, tadi apa yang kalian lakukan sebelum ke sini?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Oh, tadi kami mau ambil mangga itu, Bu, tapi susah! Tinggi banget!" jawab anak yang lebih tinggi.
Aku memandangi pohon mangga yang ditunjuk anak itu, terlihat buahnya yang rimbun dan menggoda. Jiwa pelempar jituku seketika bergejolak.
"Hm, sini, biar Ibu yang ambilkan untuk kalian. Sekarang coba kalian cari kayu sebesar ini, bawa ke sini, ya!" perintahku sambil membetangkan tangan kira-kira sepanjang lima puluh centimeter.
"Oke, Bu!" teriak mereka sambil berlari entah ke mana.
Hah! Lega rasanya, mereka berhenti membicarakan hal yang aneh itu.
"Kamu bisa ambil mangga itu, Sher?" tanya Pak Ariel seolah meragukan kemampuanku.
Aku tersenyum tipis padanya.
"Bapak juga mau saya ambilkan?" tanyaku dengan percaya diri.
"Boleh, kalau lebih dari lima, nanti saya traktir. Bagaimana?" tawarnya dengan cepat.
"Deal!" jawabku sedikit tertawa.
"Deal!" balasnya dengan wajah santai.
Melihat wajahnya, sesaat aku merasa tenang berada di sampingnya.
Tak lama, anak-anak tadi membawa sebuah kayu kecil dan berlari-lari menyerahkannya padaku.
"Ayo, Bu! Ayo, Bu!" teriak mereka.
Kami bersama-sama mendekati pohon mangga itu. Aku mengambil ancang-ancang untuk melemparkan kayu itu. Oke, itu dia! Setelah posisinya tepat, aku melemparkannya dengan kuat, dan kayu itu melayang ke udara sejenak sebelum menyambar beberapa tangkai buah mangga. Bruk! Buah mangga jatuh ke tanah.
"Yey!" sorak anak-anak riuh. Mereka berlari berebut buah mangga yang berserakan.
"Lagi, Bu! Lagi, Bu!" mereka bersorak kegirangan.
"Minggir, Nak!" ucapku sambil menggerakkan lenganku ke samping.
Aku kembali mengambil ancang-ancang dan melemparkan kayu itu lagi.
Buah mangga kembali terjatuh. Tiba-tiba tepuk tangan terdengar, aku segera menengok ke arah suara. Pak Ariel?
"Kamu ternyata memang hebat, Sher!" ucapnya sambil mengacungkan kedua jempol dan tersenyum hangat.
Aku membalas senyumannya, entah mengapa ada rasa yang sulit kupahami, tapi aku menikmatinya.
Setelah berkali-kali melempar, anak-anak pun akhirnya puas dan terlihat sangat senang. Mereka mencarikan kantong plastik untuk beberapa mangga yang akan diberikan kepada Pak Ariel. Awalnya Pak Ariel menolak, tetapi para bocah itu tetap memaksa, dan akhirnya aku mendapatkan traktiran dari si Bos untuk pertama kalinya!
***
Hari ini sungguh menyenangkan! Tapi sekarang sudah saatnya pulang, karena acara di panti asuhan telah selesai pada pukul dua siang. Rombongan kami segera bersiap kembali ke kantor. Baru saja aku memasuki mobil, tiba-tiba Pak Agus bersuara dari kursi depan.
"Pak Ariel, sepertinya kita harus ke SPBU dulu," katanya sambil menoleh ke belakang.
"Baik, Pak, kita ke SPBU dulu!" sahut Pak Ariel sambil mengangguk.
Kami pun tertinggal dari rombongan. Setelah selesai mengisi BBM, tiba-tiba Pak Ariel meminta agar mobil mampir ke minimarket untuk membeli air mineral. Kami semakin tertinggal dari rombongan.
Setelah Pak Ariel kembali dengan beberapa botol air, ia memberikannya padaku dan Pak Agus. Mobil pun kembali melaju. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku menoleh kepada Pak Ariel yang tampak lebih santai dari biasanya. Rasanya lega melihat semuanya berjalan baik hari ini. Sinar matahari siang menembus kaca jendela, menciptakan suasana nyaman di dalam mobil yang dikendarai Pak Agus dengan kecepatan sedang.
Namun, ketenangan itu buyar seketika saat suara klakson panjang terdengar dari kejauhan. Aku menoleh dengan cepat, hanya untuk melihat sebuah truk besar meluncur cepat dari arah belakang. Mobil-mobil di depan kami terhempas seperti mainan, terlibat dalam tabrakan beruntun. Jantungku berdegup kencang, mataku membelalak saat Pak Agus menginjak rem dengan keras dan membelokkan mobil ke pinggir jalan.