Kecelakaan

POV Sherly

"Ya Tuhan…" bisikku, sambil mencengkeram tepi kursi dengan erat.

Mobil kami berhenti mendadak. Napasku tersengal-sengal, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Astaga! Ada seseorang di sana! Di dalam mobil yang telah remuk itu! Ia terlihat tak bisa bergerak. Oh, tidak! Api kecil mulai menyala di kap depan mobil itu!

Aku harus membantunya!

Segera kubuka pintu mobil, namun terkejut saat melihat Pak Ariel sudah berdiri di luar, di sampingku. Wajahnya tegang.

"Ayo! Kita harus cepat!" serunya sambil menoleh padaku.

Kami berdua berlari menuju mobil yang mulai terbakar itu, suara api berderak keras di telingaku. Pak Ariel menggenggam pintu kemudi, mencoba membukanya, tapi pintu itu terkunci. Tanpa berpikir panjang, aku berpindah ke sisi penumpang, mencoba menarik pintu dengan sekuat tenaga. Napasku tersengal-sengal, panik.

"Sher, hati-hati!" teriak Pak Ariel saat percikan api semakin dekat, tapi aku tak boleh menyerah!

Akhirnya, pintu terbuka dengan hentakan keras. Tanganku bergegas membuka kunci pintu mobil lalu meraba-raba posisi klip sabuk pengaman dan menekannya agar lepas. Sementara itu, Pak Ariel menarik tubuh pria itu keluar dari kursi yang menjepitnya.

"Kamu bisa berdiri?" tanyaku panik setelah pria itu terbebas dari jepitan kursi.

Tapi dia hanya mengerang lemah.

Tanpa pikir panjang, aku memapahnya, dibantu Pak Ariel. Kami berdua berusaha menjauh dari mobil yang terbakar, napasku tersengal-sengal, begitu juga Pak Ariel. Tubuhku gemetar karena situasi mengerikan ini. Panasnya kobaran api terasa membakar di belakang kami. Aku hanya bisa berdoa dalam hati sambil melangkah tertatih-tatih, hingga tiba-tiba suara ledakan dahsyat mengguncang tanah di bawah kami.

Aku tersentak, tubuhku terhuyung sedikit saat Pak Ariel dengan cepat menarikku, melindungiku. Untuk beberapa detik, dunia terasa berhenti. Yang terdengar hanyalah detak jantungku yang keras dan suara ledakan bergema di kejauhan.

"Sher, kamu baik-baik saja?" Suara Pak Ariel terdengar lembut namun penuh kekhawatiran.

Aku menoleh padanya, menatap matanya yang cemas. Aku mengangguk, mencoba menenangkan diri.

"Saya… saya baik-baik saja, Pak," jawabku pelan, suaraku masih bergetar.

Mataku kemudian beralih ke pria yang tadi kami selamatkan. Ia terbaring lemah di pinggir jalan, napasnya tersengal-sengal namun masih hidup. Aku tak percaya bahwa kami baru saja menyelamatkan nyawa seseorang. Seketika situasi menjadi sangat ramai, orang-orang mulai berdatangan untuk membantu.

Pak Agus tampak baru saja menepikan seorang pengendara motor yang penuh luka di tangannya. Ia segera menghampiri kami yang masih tersungkur di jalan.

"Pak Ariel dan Non Sherly baik-baik saja?" tanyanya panik.

Pak Ariel mengangguk, lalu berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. Tangannya yang penuh lecet dan luka tampak gemetar. Aku menyambut uluran itu dan baru menyadari bahwa tanganku pun mengalami luka serupa.

***

Siang itu di rumah sakit, suasana sangat kacau. Aku, Pak Ariel, dan Pak Agus tiba di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Aroma antiseptik menyengat menyeruak dari lorong panjang yang dipenuhi pasien. Korban kecelakaan beruntun yang baru saja terjadi di jalan raya sudah memenuhi ruangan. Sirine ambulans terus meraung di kejauhan, menambah suasana mencekam. Para dokter dan perawat bergerak cepat dari satu pasien ke pasien lain, berusaha menanggulangi situasi darurat.

Pak Ariel menggenggam tanganku, membuatku sedikit terkejut. Namun, aku tak sempat bereaksi karena tangannya segera menarikku, menuntunku melewati kerumunan. Kami berdua tampak lelah, dengan pakaian kusut dan noda di sana-sini. Sebenarnya, kami merasa tak perlu ikut ke rumah sakit, tapi massa yang ramai langsung mengarahkan kami untuk mendapatkan perawatan medis terlebih dahulu. Lututku yang lecet terasa semakin nyeri, dan aku mulai kesulitan berjalan normal. Di tengah perjalanan, aku menyadari bahwa bagian kiri kemeja Pak Ariel ternoda darah. Namun, luka kami masih lebih ringan dibandingkan dengan para korban lain yang harus dibaringkan di tandu darurat.

IGD sudah penuh sesak. Tak ada lagi ruang untuk kami yang hanya membutuhkan perawatan ringan. Seorang perawat yang menyadari kehadiran kami menyarankan agar kami duduk di bangku tunggu di luar IGD, berjanji akan datang untuk membersihkan luka kami setelah situasi di dalam sedikit terkendali.

Pak Ariel membawaku ke bangku panjang berwarna abu-abu di depan IGD. Angin semilir menyapa wajah kami, memberikan sedikit kesejukan di tengah suasana yang panas. Di sekitar kami, keluarga para korban berkumpul dengan wajah penuh kecemasan. Aku duduk, berusaha menarik napas lebih dalam agar lebih tenang, sementara Pak Ariel tetap berdiri di depanku, sesekali melirik ke arah IGD yang masih hiruk-pikuk.

"Maaf, Sherly... Seharusnya kita bisa menghindari keadaan ini kalau saya tidak mampir ke minimarket dulu," suaranya terdengar rendah dan penuh penyesalan.

Aku tersenyum lemah, meskipun rasa letih mulai menyerang. "Tidak apa-apa, Pak Ariel. Ini hanya kecelakaan yang tak terduga," jawabku sambil menggeleng pelan.

Tak lama kemudian, seorang perawat muda datang membawa kotak P3K. Ia membersihkan luka lecet di lengan dan kakiku dengan cekatan namun lembut. Aku menggigit bibir, menahan rasa nyeri yang luar biasa saat alkohol menyentuh kulitku. Pak Ariel mengamatiku dengan tatapan penuh perhatian.

Saat giliran Pak Ariel tiba, ia hanya tersenyum tipis pada perawat itu, seolah ingin mengisyaratkan bahwa lukanya tak perlu terlalu dihiraukan.

"Obati Sherly dulu, dia lebih penting," ucapnya pelan.

Sekejap, hatiku bergetar aneh mendengar ucapannya. Aku tak mengerti perasaan yang tiba-tiba muncul ini. Namun, perawat itu menolak, "Pak, biar saya selesaikan ini dulu, ya."

Aku memperhatikan Pak Ariel yang kini duduk di sebelahku. Meski tampak tenang, aku menyadari bahwa ia sebenarnya sedang menahan rasa sakit. Luka di lengannya ternyata lebih dalam dari yang kuduga. Sulit dipercaya, ia tidak menunjukkan kesakitannya sama sekali sejak tadi.

Kami terdiam sejenak, hanya mendengar suara bising dari dalam IGD. Namun, di antara keramaian itu, tiba-tiba tatapan kami bertemu. Ada keheningan yang terasa begitu intens di antara kami, seakan-akan waktu berhenti sejenak. Sesuatu yang lebih dari sekadar rasa syukur karena selamat dari kecelakaan. Aku tidak sanggup lagi menahan perasaan ini dan segera mengalihkan pandangan ke arah pintu IGD, berusaha menghindari tatapan Pak Ariel yang seolah bisa menembus pikiranku.

"Terima kasih sudah menemani saya, Sher," bisiknya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keributan.

Aku menoleh padanya, melihat keseriusan di wajahnya. Tatapan kami kembali bertemu, dan ada perasaan hangat yang merayap di hatiku. Sebuah perasaan tak terjelaskan yang tumbuh di tengah hari yang kacau ini.

Setelah perawat selesai memberikan perban dan salep, kami tetap duduk di bangku tunggu, menanti suasana IGD mereda. Siang itu, di tengah hiruk-pikuk rumah sakit, ada sesuatu yang kurasa telah berubah antara aku dan Pak Ariel. Mungkin bukan sekadar luka fisik yang kami bawa pulang, tapi juga perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata