POV Sherly
Dari kejauhan terlihat beberapa orang masuk tergesa-gesa. Aku mengenali wajah-wajah mereka sebagai rekan dari kantor. Di antara mereka, sosok tinggi dengan rambut beruban yang selalu tampak rapi menarik perhatianku. Pak Hasyim, Direktur Eksekutif sekaligus ayah kandung Pak Ariel, melangkah masuk dengan ekspresi cemas.
"Ariel, kamu tidak apa-apa?" tanyanya langsung, suaranya terdengar berat.
Pak Ariel hanya mengangguk, sesaat terlihat enggan menjawab. "Aku baik-baik saja, Pa."
Pak Hasyim menatap Pak Ariel lekat-lekat, lalu beralih padaku. "Sherly, bagaimana keadaan kamu? Terima kasih sudah membantu Ariel."
Aku tersenyum canggung, berusaha terlihat tenang meski hatiku masih berdegup kencang. "Saya baik, Pak. Hanya lecet-lecet kecil saja."
Pak Hasyim mengangguk dengan ekspresi lega. "Syukurlah kalian berdua selamat. Kalau ada yang kalian butuhkan, jangan ragu untuk memberi tahu."
Setelah memastikan kami baik-baik saja di rumah sakit, rombongan dari kantor memutuskan untuk kembali bersama. Aku duduk di kursi belakang mobil kantor bersama Pak Ariel. Sepanjang perjalanan, aku bisa merasakan kecemasan yang tadi memenuhi ruangan IGD mulai mereda. Suara Pak Hasyim, Direktur Eksekutif yang juga ayah Pak Ariel, masih terngiang di telingaku.
"Sherly, terima kasih sudah membantu Ariel," katanya sambil menepuk pundakku ringan sebelum meninggalkan ruang IGD tadi.
Aku hanya bisa tersenyum, merasa sedikit canggung dengan perhatian yang mendadak ini. Pak Ariel sendiri sejak tadi lebih banyak diam, hanya sesekali menatap keluar jendela mobil.
Begitu kami tiba di kantor, suasana di lobby langsung berubah. Kerumunan karyawan yang sebelumnya tampak sibuk dengan urusan masing-masing, kini berhenti sejenak untuk melihat kedatangan kami. Bisik-bisik terdengar, mengalir seperti arus yang tak terbendung.
"Itu Pak Ariel sama Sherly, mereka benar-benar selamat, ya?" salah satu suara terdengar jelas di antara keramaian.
Aku mengikuti langkah Pak Ariel yang berjalan cepat menuju lift. Kami berdua dikerumuni pertanyaan bertubi-tubi. Beberapa tangan terulur, mencoba memberikan selamat atas keselamatan kami. Aku merasa sedikit pusing dengan semua perhatian ini, tetapi aku tetap berusaha tersenyum.
Pak Ariel menghentikan langkahnya sejenak, mengangkat tangan memberi isyarat agar semua orang tenang. "Terima kasih atas perhatiannya. Kami baik-baik saja," ujarnya singkat, tetapi cukup tegas untuk membuat kerumunan itu perlahan bubar.
Begitu pintu lift tertutup, aku menarik napas lega. Hanya ada aku dan Pak Ariel di dalam lift yang mulai bergerak naik. Keheningan yang aneh menyelimuti, tapi aku merasa lebih tenang daripada sebelumnya.
"Terima kasih sudah mau terlibat dalam insiden tadi, Sher," katanya tiba-tiba, memecah keheningan yang canggung. Ia menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan.
"Saya hanya... melakukan apa yang harus saya lakukan, Pak," jawabku, berusaha terdengar biasa saja. Tapi dalam hati, ada perasaan hangat yang mulai mengalir pelan. Aku baru menyadari bahwa di balik sikapnya yang selalu terlihat dingin, ada sisi lain dari Pak Ariel yang mulai membuatku merasa... nyaman.
Saat lift berhenti di lantai ruangan khusus manajer dan direktur, kami melangkah keluar. Kantor yang biasanya terasa dingin dan formal, kini penuh dengan karyawan yang berbisik-bisik, menatap kami dengan rasa ingin tahu. Pak Ariel berjalan lurus ke ruangannya, sementara aku mengikuti di belakang.
Begitu kami tiba di ruangan Pak Ariel, kami pun segera duduk di kursi masing-masing. Tak lama berselang...
"Besok saya harus ke luar kota untuk evaluasi kinerja kantor cabang. Mungkin sekitar tiga hari," katanya tanpa basa-basi.
"Oh, besok, Pak?" tanyaku, sedikit terkejut. Padahal baru saja aku merasa nyaman dengan kehadirannya.
Pak Ariel mengangguk, menatapku serius. "Kamu yang akan pegang laporan akhir bulan dan pastikan semuanya siap untuk audit. Saya percaya kamu bisa handle ini."
"Akan saya usahakan yang terbaik, Pak," jawabku, menunduk, berharap ia tidak melihat sedikit rasa kecewa yang mungkin terpancar dari wajahku.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan itu. Aku hanya bisa mendengar detik jam yang berdetak pelan, seakan memberi jeda pada percakapan kami yang mendadak terhenti. Ada sesuatu yang ingin kukatakan, tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokanku.
"Jaga diri kamu baik-baik, Sher," kata Pak Ariel tiba-tiba, membuatku terkejut. "Kalau ada masalah, langsung hubungi saya."
Kata-katanya sederhana, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuatku merasa dihargai. Aku tersenyum tipis, menatap matanya yang sejenak melembut. "Terima kasih, Pak Ariel."
Saat aku keluar mengalihkan pandanganku ke komputer, aku sadar betapa aku tidak ingin tiga hari ke depan terasa lama. Kehadirannya yang selama ini terasa menekan, kini malah menjadi sesuatu yang kurindukan.
Lima belas menit di ruangan, Pak Ariel kemudian memintaku untuk pulang. Dia bilang aku butuh istirahat setelah mengalami insiden tadi. Awalnya aku menolak karena merasa baik-baik saja, tapi Pak Ariel berikeras, dan memerintahkan Pak Agus untuk mengantarkanku pulang. Aku sepertinya tidak ingin hari ini berakhir begitu cepat di kantor, tapi apalah daya.
Seperti yang kuduga, ibu langsung mencercaku dengan pertanyaan yang penuh kekhawatiran. Aku berusaha tenang ketika menjelaskannya, berusaha agar ibu tidak terlalu khawatir dengan keadaanku.
Selesai mandi dan membersihkan luka-luka lecetku, aku berbaring di atas kasur sambil mengoles salep ke area luka yang masih terbuka. Perih! Tiba-tiba saja aku mendengar suara khas yang kukenali.
"Assalamu'alaikum, Sher! Sherly!" teriaknya.
Aku bergegas mengambil sebuah hijab instan yang tergantung di balik pintu.
"Wa'alaikumsalam! Juan?" tanyaku heran setelah membuka pintu.
"Sher, temanmu," Ibu tampak memberikan kode dengan lirikan matanya.
"Kamu kena kecelakaan, Sher?" tanyanya panik.
"Bukan, ayo masuk, Juan," tawarku ramah.
"Terus? Itu tangan kamu kenapa?" Dia melirik ke arah tanganku dengan penuh perhatian.
Aku bosan mengulang cerita yang sama berkali-kali, tapi tetap saja kulakukan. Setelah mendengar penjelasanku, Juan mengangguk seolah mengerti.
"Tapi kok kamu bisa terlibat itu, Sher? Kan kita barengan keluar dari panti asuhan?" selidiknya, menaruh curiga.
Cerita lainnya yang harus aku ulangi, ah! Sungguh membosankan!
Setelah mendengar dengan seksama, barulah Juan terlihat mulai tenang. Ia sesekali melontarkan candaan khasnya padaku, sampai membuatku tertawa.
"Oh, ya, Sher, besok pas istirahat siang, kami mau merayakan ulang tahun kepala teknisi kami. Kamu ikut, ya? Acaranya di ruanganku," ajak Juan percaya diri.
"Oh, ya? Sepertinya orang-orang teknik itu asik-asik, ya?" ujarku.
"Oh, iya, dong! Ini contohnya aku, asik banget," katanya sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya seperti sedang menari.
"Yey! Bukan asik kayak gitu maksudku!" tanpa pikir panjang aku langsung memukul bahunya.
"Eits! Ingat! Tangan kamu masih luka, tuh!" Dia menunjuk tanganku sambil tersenyum lebar.
Aku memasang wajah cemberut, iseng.
"Jadi bagaimana? Kamu ikut kan? Biar nanti aku jemput ke ruanganmu, oke!" katanya penuh keyakinan.
"Hm, gimana, ya?" Biasanya kan, aku makan bersama Pak Ariel dengan bekal yang kubawa. Eh, tapi Pak Ariel besok tidak masuk!
"Oke, deh! Tapi gak lama, kan? Aku banyak kerjaan besok," jawabku santai.
"Sip, sat set sat set, beres! Ya sudah, kalau gitu aku pulang dulu, ya! Cepat sembuh, Sher." Juan kemudian berdiri.
Aku mengantarkannya sampai ke teras rumah. Dia berlalu dengan motor besarnya. Aku tersenyum ringan melepas kepergiannya. Selalu ada rasa nyaman ketika berinteraksi dengan Juan, entah kenapa, aku juga masih belum mengerti.