Kesendirian

POV Sherly

Pagi yang cerah, tetapi terasa sunyi.

Ruangan ini begitu sepi. Biasanya, suara ketikan laptop Pak Ariel atau nada tegas suaranya memanggil namaku selalu menjadi latar belakang. Hari ini, hanya ada aku dan keheningan yang terasa menusuk. Kehadirannya yang dominan, tanpa kusadari, ternyata telah menjadi bagian dari rutinitasku. Sekarang, aku hanya ditemani meja kerjaku, tumpukan dokumen, dan layar laptop yang menampilkan laporan yang harus selesai sebelum sore. Tapi fokusku terus mengabur, pikiranku tidak bisa berhenti mengingat kehadirannya yang hilang.

Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan bekerja, tetapi rasanya seperti menarik tali yang terlalu kaku—semakin kuat aku mencoba, semakin frustrasi aku jadinya. Keheningan ini membuat waktu berjalan lambat, seolah jam sengaja memperlambat langkahnya untuk menguji kesabaranku.

***

Jam istirahat akhirnya tiba. Aku membereskan meja dan mengambil bekal makan siangku. Pandanganku tak sengaja tertuju pada kursi Pak Ariel yang kosong. Biasanya, kami akan makan siang bersama di ruangan ini. Meskipun percakapan kami sering diwarnai nada serius, aku tetap menikmatinya. Sekarang, aku hanya makan seorang diri dengan pikiran yang penuh kenangan kecil itu.

Setelah menyelesaikan makan siang dan menunaikan salat Zuhur, aku kembali ke ruangan. Bu Risti masih di luar, meninggalkan aku sendirian dengan ruang yang sunyi. Aku baru saja bersandar di kursi ketika suara alat sensor pintu berbunyi, mengejutkanku. Itu artinya ada seseorang yang menunjukkan ID card-nya untuk meminta akses. Dengan cepat, aku berdiri untuk melihat siapa di luar.

Saat membuka pintu, aku melihat Juan berdiri di sana dengan senyum ramah yang khas. "Sherly, ikut aku ke ruangan maintenance, yuk. Kita mau merayakan ulang tahun Pak Dani. Semua sudah kumpul di sana," ujarnya santai.

Aku mengerjap, mencoba mengingat. Oh, benar. Kami memang membicarakan ini kemarin, tapi aku benar-benar lupa.

Aku melirik ke dalam ruangan, lalu ke laporan yang belum selesai di mejaku. "Oke, boleh," jawabku akhirnya, membalas senyumannya.

Kami berjalan bersama menuju ruangan maintenance di lantai bawah. Juan membuka percakapan ringan, seperti biasanya. "Sherly, sudah lama kerja bareng Pak Ariel?" tanyanya, menekan tombol lift.

Aku memutar bola mata, pura-pura kesal. "Pertanyaan apa itu? Kamu kan tahu, aku baru dua minggu di sini!"

Juan tertawa. "Ya, cuma mau tahu aja kesan pertama kamu tentang dia. Dia kan terkenal... ehm, agak kaku."

Aku tertawa kecil. "Kaku? Ya, mungkin itu bagian dari pesonanya."

"Pesona?" Ia menaikkan alis, pura-pura terkejut.

"Ah, maksudku, ya begitulah dia. Tegas, fokus, agak perfeksionis." Aku terdiam sejenak, merasa kata-kataku terlalu menggambarkan perhatian yang berlebihan.

"Kalau aku di posisimu, mungkin sudah pusing tiap hari," Juan berkata sambil tersenyum. "Tapi sepertinya kamu cocok kerja bareng dia."

Aku hanya tersenyum tipis, merasa sedikit canggung dengan pujiannya.

Ketika kami sampai di ruangan maintenance, suasana langsung berubah. Ruangan itu penuh dengan tawa dan obrolan. Di tengah ruangan, Pak Dani, kepala teknisi, duduk dengan senyum lebar sambil memotong kue ulang tahun. Dekorasi sederhana dengan poster bertuliskan "Selamat Ulang Tahun Pak Dani" ditempel di dinding, dan meja di depannya dipenuhi makanan ringan.

"Ayo, jangan diam di pintu. Kita cari tempat," Juan menepuk bahuku, membawa aku masuk lebih dalam.

Ia mengambil dua gelas soda dan menyerahkan salah satunya kepadaku. "Di sini santai banget, kan? Kayaknya beda jauh sama suasana ruangan kamu."

Aku tertawa kecil. "Iya, suasananya lebih hidup."

Juan tersenyum, lalu mulai bercerita tentang bagaimana Pak Dani sering mengadakan acara kecil seperti ini untuk mempererat hubungan tim. Katanya, meskipun sederhana, kebiasaan ini membuat semua orang merasa seperti keluarga.

Aku mulai merasa nyaman dengan suasana ini. Tekanan kerja dan kerinduan pada Pak Ariel sejenak terlupakan. Juan adalah pendengar yang baik, dan cara bicaranya yang ringan membuatku merasa lebih santai.

Ketika beberapa teknisi mulai bermain gitar dan bernyanyi, Juan mengajakku untuk ikut. "Ayo, nyanyi juga. Jangan cuma diam," katanya dengan nada menggoda.

Aku menggeleng sambil tertawa. "Enggak, ah. Suara aku jelek."

"Enggak mungkin. Pasti bagus."

Aku hanya tersenyum, membiarkan suasana ini membawaku sejenak menjauh dari rutinitas yang melelahkan.

Setelah beberapa saat, aku pamit untuk kembali ke ruangan. Juan mengantarku hingga lift, menyelipkan kotak kecil berisi kue ulang tahun ke tanganku. "Kalau ada apa-apa, kabarin aku, ya," katanya dengan senyum tulus.

Aku mengangguk, merasa sedikit tersentuh dengan kebaikannya. "Terima kasih, Juan."

***

Begitu kembali ke ruangan Pak Ariel, keheningan menyergapku lagi. Suasana hangat di ruangan maintenance tadi terasa kontras dengan sunyinya ruangan ini. Aku duduk di kursiku, meletakkan kotak kue di meja.

Biasanya, pada jam seperti ini, Pak Ariel sudah tenggelam di depan laptopnya, wajahnya serius saat membaca laporan. Aku bisa mendengar suaranya memanggil namaku, meski tanpa melihat ke arahku. Namun, sekarang hanya ada aku dan suara jarum jam yang berdetak pelan.

Aku mencoba melanjutkan pekerjaan, tetapi pikiranku terus melayang. Bayangan wajahnya yang tegas, suara baritonnya yang kadang terdengar dingin, semua itu memenuhi benakku. Terutama sejak insiden di parkiran beberapa hari lalu.

"Kenapa aku terus memikirkan dia?" gumamku pelan, merasa frustrasi pada diriku sendiri.

Aku bangkit dari kursi, berjalan ke meja Pak Ariel. Tanganku menyentuh permukaan meja yang dingin, lalu bolpoin hitam yang biasa ia gunakan. Ada sesuatu yang membuatku merasa bahwa ia masih ada di sini, meskipun hanya dalam bayanganku.

"Pak Ariel," bisikku lirih.

Aku menarik napas panjang, mencoba memahami perasaan ini. Apa aku hanya terbiasa dengan kehadirannya sebagai atasan? Atau ini lebih dari itu?

Aku kembali ke kursiku, memegang bolpoinnya erat. Seolah benda kecil ini bisa menggantikan kehadirannya yang kurindukan. Tapi tidak bisa.

Keheningan ini mengajarkan aku satu hal—Pak Ariel, dengan segala ketegasannya, telah meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus begitu saja. Mungkin aku harus belajar menerima bahwa kehadirannya berarti lebih dari sekadar atasan bagiku.

Aku menghela napas, mencoba kembali fokus pada pekerjaan. "Dia akan kembali," kataku pada diriku sendiri, berusaha meyakinkan bahwa kekosongan ini hanya sementara.

***

Ketika jam kerja berakhir, aku membereskan meja sambil sesekali melirik ke arah kursi Pak Ariel yang kosong. Rasanya sedikit aneh untuk meninggalkan ruangan tanpa mendengar arahan terakhir darinya seperti biasanya.

Saat aku keluar dari ruangan, aku melihat Juan berdiri di lorong. Ia bersandar santai di dinding dengan senyum khasnya.

"Sherly, pulang bareng, yuk?" tawarnya ringan, tapi ada nada serius dalam suaranya. "Aku tahu Pak Ariel lagi di luar kota, jadi kurasa dia enggak bakal keberatan."

Aku tersenyum kecil, tapi sebelum aku sempat menjawab, suara langkah kaki cepat mendekat. Pak Agus, sopir Pak Ariel, muncul dari arah yang berlawanan. Ia membawa ekspresi tegas, seperti seseorang yang sedang menjalankan perintah langsung.

"Nona Sherly," panggilnya sopan. "Maaf mengganggu, tapi saya diminta langsung oleh Pak Ariel untuk memastikan Anda pulang bersama saya. Kalau tidak, beliau bisa marah besar."

Aku terkejut. "Pak Ariel bilang begitu?" tanyaku, setengah tidak percaya.

Pak Agus mengangguk dengan penuh keyakinan. "Iya, Nona. Beliau sangat menekankan hal ini sebelum pergi. Katanya, kalau sampai saya mengabaikan tugas ini, beliau tidak segan-segan memecat saya."

Juan tampak sedikit terkejut mendengar itu, tapi kemudian ia tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

"Wah, ternyata aku enggak punya kesempatan untuk jadi pahlawan sore ini, ya?" katanya dengan nada bercanda.

Aku hanya bisa tersenyum kaku, merasa sedikit canggung. "Maaf, Juan. Sepertinya aku memang harus ikut Pak Agus."

Juan mengangkat bahu santai. "Enggak apa-apa. Yang penting kamu aman. Tapi kalau lain kali butuh, aku selalu siap, ya."

Aku mengangguk sambil mengucapkan terima kasih, lalu mengikuti Pak Agus menuju mobil. Di sepanjang perjalanan, aku memikirkan perhatian Pak Ariel yang begitu mendetail, bahkan hingga memastikan aku punya tumpangan pulang.

Di dalam mobil, aku mencoba menenangkan pikiranku, tetapi perasaan hangat dan bingung bercampur jadi satu. Di balik sikap dinginnya, Pak Ariel ternyata selalu memperhatikan hal-hal kecil seperti ini. Sifatnya yang terkadang sulit kuterka justru semakin membuatnya melekat di pikiranku.

Pak Agus menoleh sebentar dari balik setir. "Pak Ariel memang kelihatan keras, ya, Nona? Tapi beliau selalu memikirkan orang-orang di sekitarnya, terutama yang beliau percayai."

Aku tersenyum tipis, tetapi tidak menjawab. Kata-kata Pak Agus terasa seperti konfirmasi atas apa yang mulai kurasakan—bahwa di balik dinding ketegasannya, Pak Ariel adalah seseorang yang penuh perhatian dengan caranya sendiri.