POV Sherly
Tengah perjalanan, aku duduk di kursi belakang mobil, menatap jalanan yang terus berubah di luar jendela. Suasana di dalam mobil terasa lebih tenang daripada biasanya. Di depanku, Pak Agus, sopir yang sudah lama bekerja untuk Pak Ariel, melaju dengan tenang. Rasa penasaranku tentang Pak Ariel kembali muncul. Setiap kali aku bekerja bersamanya, ada kesan bahwa Pak Ariel itu sangat tegas, bahkan cenderung dingin. Namun, di balik sikapnya yang profesional dan fokus, aku selalu merasa ada sisi lain yang tersembunyi. Sesuatu yang tak pernah aku lihat secara langsung, namun selalu mengusik pikiran. Apalagi setelah insiden kecelakaan itu, ia tampak berbeda bagiku.
Setelah beberapa menit terdiam, aku memberanikan diri untuk membuka percakapan. Aku baru bekerja dengan Pak Ariel, dan meskipun aku mengenalnya dari sisi profesional, aku merasa aku masih tak sepenuhnya memahami sosoknya yang lebih pribadi. Ada banyak hal yang membuatku penasaran, dan akhirnya aku memutuskan untuk bertanya.
"Pak Agus," aku memulai, suaraku agak ragu. Aku tahu ini mungkin terdengar seperti pertanyaan yang tidak biasa, tapi aku benar-benar ingin tahu. "Boleh tanya sesuatu nggak?"
Pak Agus menoleh sekilas ke kaca spion, memberikan isyarat bahwa dia siap mendengarkan. "Tentu, Non. Ada apa?"
Aku menghembuskan napas panjang, merasakan sedikit kegugupan. "Apa sih, menurut Pak Agus, karakter Pak Ariel itu sebenarnya seperti apa?"
Pak Agus tidak langsung menjawab, seolah sedang mencerna pertanyaanku. Aku menunggu dengan hati-hati, berharap pertanyaan ini tidak membuat suasana jadi canggung. Aku tahu Pak Agus sudah lama bekerja dengan Pak Ariel. Mungkin dia bisa memberikan pandangan yang lebih jelas tentang sosok Pak Ariel di luar pekerjaan.
"Pak Ariel, ya..." Pak Agus akhirnya memulai, berbicara dengan hati-hati. "Dia orangnya tegas banget, kalau kerja. Kalau ada yang nggak beres, langsung diomongin tanpa basa-basi. Tapi, jangan salah, Non. Dia itu juga punya sisi lain yang nggak semua orang tahu."
Aku mengernyitkan dahi, penasaran. "Sisi lain? Maksudnya, gimana, Pak?"
Pak Agus melanjutkan sambil mengemudi dengan stabil. "Ya, misalnya, meskipun dia kelihatan keras dan nggak banyak ngomong, Pak Ariel itu sebenarnya sangat perhatian. Bahkan, ke orang-orang yang dia anggap penting, kayak keluarga saya. Kalau saya atau keluarga saya ada masalah, Pak Ariel nggak segan-segan bantu, walaupun dia nggak suka ngungkapin itu ke orang lain."
Aku terkejut mendengarnya. Pak Ariel yang selama ini aku lihat sebagai sosok yang serius, ternyata juga bisa menunjukkan perhatian yang lebih dalam pada orang-orang di sekitarnya. Apakah memerintahkan sopirnya untuk menjemput dan mengantarku selama ini adalah bentuk perhatiannya? Bukan karena dia khawatir jika aku tidak bekerja maksimal kalau sesuatu menimpaku?
"Jadi, Pak Ariel itu peduli sama orang lain juga ya?" tanyaku lagi, mencoba memahami lebih jauh.
Pak Agus mengangguk, tampak seperti mengenang banyak hal. "Betul, Non. Dia memang bukan tipe yang suka tunjukkan perhatian langsung, tapi dia pasti melakukan sesuatu yang bermanfaat buat orang-orang yang dekat dengan dia. Kadang, kalau saya lagi butuh sesuatu atau ada masalah, dia yang pertama menawarkan bantuan tanpa diminta. Saya rasa, dia memang orang yang baik, meskipun kelihatannya nggak pernah nunjukin sisi itu ke semua orang."
Aku terdiam sejenak, mencoba memproses semua yang baru aku dengar. Di benakku, Pak Ariel selalu terlihat seperti sosok yang mandiri, terkadang keras, tapi ternyata ada sisi lain yang lebih lembut, yang lebih peduli. Mungkin aku hanya melihat bagian permukaannya saja, tanpa benar-benar memperhatikan apa yang ada di bawahnya.
"Jadi, meskipun dia terkesan dingin, Pak Ariel itu sebenarnya orang yang peduli?" tanyaku lagi, memastikan.
"Betul," jawab Pak Agus dengan senyum tipis. "Itu yang mungkin banyak orang nggak lihat. Kadang, orang yang kelihatan keras itu justru lebih sensitif dan perhatian daripada yang kita duga. Cuma, mungkin dia nggak ingin orang lain melihatnya seperti itu."
Aku merasa sedikit lega mendengar penjelasan Pak Agus. Ada banyak hal yang mungkin selama ini aku salah pahami tentang Pak Ariel. Ternyata, dia bukan hanya sosok yang tegas dan kadang terkesan sulit didekati. Ada sisi lain dari dirinya yang lebih manusiawi, lebih peduli, meskipun ia jarang menampilkannya.
"Terima kasih, Pak Agus," ucapku dengan tulus. "Aku jadi lebih mengerti sekarang."
Pak Agus tersenyum dan mengangguk, seolah memahami perasaan yang muncul dalam diriku. "Sama-sama, Non. Banyak hal yang nggak kita lihat dari luar, tapi kalau sudah lebih dekat, kita bisa tahu siapa orang sebenarnya."
Aku mengangguk pelan, merenung sejenak. Dalam perjalanan ini, aku tidak hanya menuju rumahku, tetapi juga mendapatkan pemahaman baru tentang Pak Ariel. Mungkin aku memang belum benar-benar mengenalnya, tapi aku merasa lebih siap untuk melihat lebih dalam, lebih dari sekadar sisi profesional yang selama ini aku kenal. Pak Ariel memang sosok yang lebih kompleks daripada yang aku bayangkan.
***
Setelah tiba di rumah, aku menjatuhkan tubuhku ke sofa ruang tamu, melepas sepatu dengan gerakan malas, dan menghela napas panjang. Hari ini terasa panjang, tapi sekaligus memberiku banyak hal untuk dipikirkan. Aku menatap layar ponselku yang tergeletak di meja, lampunya berkedip, pertanda ada pesan masuk.
Aku mengangkat ponsel itu, membuka layar, dan mataku langsung melihat dua nama yang sudah sangat familiar: Pak Ariel dan Dwi.
Aku sempat tertegun. Chat dari Pak Ariel masuk lebih dulu, lima menit yang lalu. Ia menanyakan, "Bagaimana keadaan di kantor? Aman terkendali? Ada masalah?" Sementara itu, chat dari Dwi muncul tepat setelahnya, sederhana seperti biasa: "Hai, Sherly. Gimana harimu? Aku sibuk banget tadi di toko, jadi baru sempat nyapa."
Aku menggigit bibir, berpikir sejenak. Hatiku mendesah kecil. Sejujurnya, obrolanku dengan Pak Agus tadi masih mengusik pikiranku, tapi di sisi lain, aku penasaran dengan cerita Dwi. Lagipula, balasan untuk Pak Ariel bisa menunggu. Toh, jawabannya sudah jelas.
Akhirnya, aku memutuskan untuk membalas pesan Dwi lebih dulu. Jari-jariku mulai mengetik:
"Hai, Dwi. Hariku berjalan lancar, kok. Tapi aneh juga, rasanya agak sepi di kantor tanpa Pak Ariel. Gimana kamu? Sibuk banget, ya, jadi kasir seharian?"
Balasan dari Dwi tidak butuh waktu lama.
"Iya, Sherly. Toko rame banget tadi. Tapi, aku senang sih, kerjaan lancar. Eh, gimana suasana kantor kalau nggak ada dia? Kayaknya menarik kalau Ariel nggak ada, jadi lebih santai, ya?"
Aku tersenyum kecil, tapi ada rasa panas di dadaku. Dia berbicara begitu santai, seolah-olah Pak Ariel hanyalah sekadar atasan. Aku tahu ini konyol, tapi pikiranku langsung teringat obrolan sebelumnya dengan Dwi, di mana ia mengaku sedang jatuh cinta pada seorang gadis. Sejak itu, aku merasa seolah aku harus menunjukkan bahwa hidupku juga tak kalah menarik. Entah kenapa, aku ingin membuatnya memandangku lebih dari sekadar teman chat biasa.
"Santai, sih. Tapi, ada yang beda," balasku, mencoba terdengar kasual. "Pak Ariel memang tegas dan sering bikin suasana kerja serius, tapi ternyata dia juga perhatian. Aku bahkan diantarkan pulang dengan mobil kantornya, loh. Rasanya, dia benar-benar memperhatikan orang-orang di sekitarnya, termasuk aku."
Kukirim pesan itu dengan hati yang berdebar, berharap Dwi akan menunjukkan sedikit rasa cemburu. Mungkin ia akan bertanya lebih jauh, menunjukkan ketidaksukaan bahwa aku berbicara tentang pria lain. Tapi yang aku dapatkan justru balasan yang... membuatku merasa sedikit kecewa.
"Oh, bagus dong kalau atasan kamu perhatian. Kayaknya kamu nyaman banget kerja di sana. Pak Ariel terdengar seperti orang yang baik. Jadi, kamu cerita soal dia, kenapa? Hmm... kamu suka sama dia?"
Aku tertegun membaca pesan itu. Pikiranku membeku sesaat. Aku? Suka dengan Pak Ariel? Tidak, itu tidak mungkin. Aku menghormatinya sebagai atasan, ya, tapi tidak lebih. Tidak mungkin, kan?
"Nggak kok, aku cuma merasa heran. Dia itu kelihatan keras, tapi ternyata punya sisi lain. Aku nggak pernah menyangka aja," balasku dengan cepat, berusaha menyangkal. Tapi, aku tahu itu terdengar defensif.
Dwi merespons dengan tawa singkat melalui emoji.
"Iya, biasanya orang yang kelihatan dingin gitu memang ada sisi lembutnya. Btw, aku jadi penasaran, kamu benar-benar nggak punya ketertarikan sama dia?"
Aku mendesah pelan. Ini bukan arah percakapan yang kuinginkan. Bukannya menunjukkan rasa cemburu atau perhatian, Dwi malah terdengar seperti mendorongku untuk merenungi sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan. Atau, lebih tepatnya, sesuatu yang tidak ingin aku pikirkan.
"Dwi, stop deh. Aku cuma cerita biasa, bukan berarti ada apa-apa," tulisku cepat, mencoba mengalihkan pembicaraan. Tapi dalam hati, aku sedikit terganggu. Kenapa dia tidak bereaksi seperti yang aku harapkan? Kenapa dia tidak merasa cemburu, walau sedikit saja?
Setelah pesan itu terkirim, tidak ada balasan langsung dari Dwi. Aku menunggu beberapa saat, tapi akhirnya memutuskan untuk mengabaikannya sementara. Mataku kembali tertuju pada chat dari Pak Ariel yang belum sempat kubalas. Aku menarik napas panjang dan mulai mengetik:
"Alhamdulillah, aman terkendali, Pak Ariel. Tidak ada masalah apa-apa. Semuanya berjalan dengan lancar," balasku singkat, menjaga formalitas.
Setelah pesan itu terkirim, aku bersandar ke sofa, menatap langit-langit kamar. Pikiranku berkecamuk. Rasanya seperti sedang menghadapi dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, ada Dwi, yang selama ini menjadi tempatku berbagi cerita santai. Di sisi lain, ada Pak Ariel, sosok yang, meski terasa jauh dan formal, entah kenapa mulai menarik perhatianku dalam cara yang tak kumengerti.
Ponselku bergetar lagi. Sebuah pesan dari Dwi masuk:
"Maaf ya, Sherly, kalau aku banyak nanya. Aku cuma penasaran aja. Kamu pasti capek, ya? Istirahat aja dulu. Selamat malam, Sherly."
Aku membaca pesan itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kehangatan di sana, tapi juga ada jarak yang kurasakan. Dwi adalah orang yang perhatian, tapi kenapa aku merasa dia tidak pernah memandangku lebih dari seorang teman?
Tak lama kemudian, balasan dari Pak Ariel pun masuk:
"Syukurlah. Terima kasih, Sherly. Jangan ragu kalau ada apa-apa. Semoga malamnya menyenangkan."
Pesan itu singkat, tapi entah kenapa, aku bisa merasakan ketulusan di balik kata-katanya. Aku tersenyum kecil, lalu memutuskan untuk menyimpan ponselku. Malam ini, terlalu banyak yang harus kupikirkan.
Dengan pikiran yang terus berputar, aku berjalan menuju kamar, berusaha menemukan kedamaian dalam tidur. Tapi di dalam hatiku, dua nama itu terus mengusik. Dwi dan Pak Ariel. Dua pria yang memberikan warna yang berbeda dalam hariku, masing-masing dengan caranya sendiri. Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku harus menemukan jawabannya. Mungkin tidak sekarang, tapi suatu saat nanti.