POV Orang Ketiga
Ariel dan Sherly kembali memasuki ruangan mereka dengan perasaan yang tidak menentu. Kabar promosi yang seharusnya menjadi sebuah pencapaian kini justru menimbulkan kebingungan dan kegelisahan dalam hati mereka.
Ariel berusaha mengalihkan pikirannya dengan menatap layar laptopnya, jemarinya bergerak di atas keyboard, tapi pikirannya jelas tidak sepenuhnya berada di sana. Sesekali, matanya berhenti pada angka-angka di layar, namun maknanya tak benar-benar masuk ke dalam kepalanya.
Di sisi lain, Sherly bahkan lebih gelisah. Ia memegang beberapa lembar file di tangannya, membaca baris demi baris tanpa benar-benar memahami isinya. Berkali-kali ia membolak-balik halaman, berharap dapat menemukan fokusnya kembali, namun semua itu sia-sia. Pikiran dan hatinya masih tertuju pada satu hal: keputusan yang tiba-tiba dan tak masuk akal ini.
Waktu berjalan begitu lambat. Dua jam terasa begitu lama di dalam ruangan yang hening itu.
Ariel akhirnya bangkit dari kursinya dan mulai bersiap untuk keluar. Gerakannya menarik perhatian Sherly yang mulai terbiasa dengan keberadaan Ariel di sekitarnya. Tanpa sadar, ia bertanya dengan nada spontan,
"Mau ke mana?"
Ariel menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tapi ia segera menjawab dengan tenang, "Ke ruangan Pak Hasyim."
Sherly langsung mengerti maksudnya. Ia tidak bertanya lebih jauh, hanya memberikan anggukan pelan sebagai tanda bahwa ia memahami tujuan Ariel.
Ariel membalas anggukan itu, lalu melangkah keluar dengan wajah yang masih dipenuhi banyak pertanyaan yang menyeruak di benaknya. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, dan ia tidak akan tinggal diam sampai menemukan jawabannya.
***
Ariel melangkah masuk ke ruangan Pak Hasyim dengan mudah, cukup menempelkan ID card-nya pada sensor di pintu. Suara pintu yang terbuka membuat Pak Hasyim, yang sedang fokus pada layar laptopnya, sedikit tersentak. Namun, keterkejutannya segera mereda ketika ia melihat siapa yang datang.
Seperti yang sudah diduganya, putranya itu pasti akan datang dengan segudang pertanyaan.
Ariel berdiri tegap di depan meja kerja papanya dan menyapanya dengan nada formal, "Pak Hasyim."
Bukan "Papa," seperti yang biasa ia gunakan di rumah.
Pak Hasyim menutup laptopnya dengan tenang. Ia tahu bahwa Ariel tidak akan berbasa-basi, maka ia pun memilih untuk tidak bertele-tele. Sebelum putranya sempat membuka mulut, ia sudah lebih dulu memberikan penjelasan.
"Rencana promosi jabatanmu sebenarnya sudah dibahas sejak beberapa bulan lalu," ujar Pak Hasyim sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Pak Bastian pernah menyampaikannya, tapi saat itu papa menolak. Papa pikir kamu masih terlalu muda untuk posisi Direktur Keuangan Pusat. Papa ingin kamu punya lebih banyak waktu untuk belajar dan menunjukkan prestasi. Jadi, saat itu rencana promosi ini ditunda."
Ariel mendengarkan dengan saksama, namun ekspresinya tetap datar.
"Tapi rupanya dewan direksi punya pandangan berbeda. Setelah melihat perkembanganmu dalam beberapa bulan terakhir, mereka merasa kamu sudah sangat layak. Kali ini, mereka tidak lagi meminta persetujuan Papa. Mereka langsung memproses promosi jabatanmu."
Ariel terdiam. Kata-kata papanya membuatnya semakin merasa kecil. Jika keputusan ini sudah ditetapkan tanpa mempertimbangkan pendapat papanya—seorang petinggi di perusahaan—maka apa gunanya ia berusaha menolaknya? Seolah tidak ada suara yang bisa melawan arus yang begitu kuat menyeretnya ini.
Ia menghela napas panjang, berat.
Baru saja ia ingin membuka mulut untuk menanyakan tentang Sherly, namun Pak Hasyim, yang tampaknya sudah membaca pikirannya, kembali berbicara lebih dulu.
"Promosi jabatan Sherly ini… mendadak," kata Pak Hasyim dengan nada serius. "Papa bahkan tidak mendapat informasi sebelumnya. Saat daftar karyawan yang dipromosikan diajukan, nama Sherly tidak ada di dalamnya. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba namanya muncul dalam daftar final. Sepertinya ada seseorang yang sengaja memasukkannya ke sana."
Dahi Ariel berkerut dalam. Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik keputusan ini. Wajahnya menegang, ketidakpuasan jelas terpancar dari sorot matanya.
Setelah beberapa kali dipotong, akhirnya Ariel bersuara.
"Apakah ada orang di kantor ini yang tidak menyukai Sherly?"
Pak Hasyim terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Papa tidak tahu."
Hening mengisi ruangan selama beberapa detik. Kemudian, dengan suara lebih tenang, Pak Hasyim berkata, "Sebaiknya kamu tanyakan langsung pada Pak Bastian. Mungkin dia tahu lebih banyak soal ini."
Ariel hanya mengangguk, matanya tampak semakin gelap oleh pikirannya yang berkecamuk. Tanpa banyak kata, ia meminta izin untuk pergi.
Saat Ariel melangkah keluar dari ruangan itu, pikirannya hanya tertuju pada satu hal—ia harus mencari tahu siapa yang berada di balik semua ini.
***
Ariel melangkah dengan mantap menuju ruangan HRD, langsung ke kantor Direktur HRD, Pak Bastian. Lelaki paruh baya itu dikenal sebagai sosok yang ramah dan aktif dalam berbagai kegiatan sosial di perusahaan. Namun, bagi Ariel, Pak Bastian lebih dari sekadar direktur HRD. Ia adalah salah satu dari sedikit orang yang mengetahui rahasia terbesar dalam hidupnya—riwayat penyakit yang selama ini ia sembunyikan dari semua orang.
Tiga tahun lalu, saat Ariel menerima promosi jabatan sebagai Manajer Keuangan, kenyataannya ia tidak sedang berada di belakang meja kerja, melainkan terbaring di ranjang rumah sakit, menjalani perawatan intensif untuk kemoterapi dan cangkok sumsum tulang belakang. Pak Bastian-lah yang mengatur semuanya, menyusun skenario agar absennya Ariel tidak menimbulkan kecurigaan. Saat itu, alasan resmi yang diberikan ke perusahaan adalah bahwa Ariel sedang dalam masa adaptasi di kantor cabang sebelum mulai bekerja di kantor pusat. Semua diatur dengan rapi, dan setelah setahun pemulihan, barulah Ariel benar-benar mulai bekerja di kantor pusat, tanpa seorang pun menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Karena itulah, hubungan antara Ariel, Pak Bastian, dan Pak Hasyim terjalin begitu erat. Bahkan, sejak dulu, Pak Bastian sudah menawarkan fleksibilitas dalam jadwal kerja Ariel agar ia tidak terlalu kelelahan. Namun, Ariel selalu menolak. Ia merasa masih muda, masih cukup kuat untuk bekerja penuh waktu seperti orang lain. Meski jauh di lubuk hatinya, ia tahu ada batas yang nyata dalam tubuhnya—batas yang selalu ia paksakan untuk dilampaui.
Saat Ariel masuk ke dalam ruangan, Pak Bastian sama sekali tidak tampak terkejut. Justru, ia menyambut dengan senyum ramah, seolah menyapa seorang teman lama.
"Ariel, apa kabar?" sapanya santai.
Ariel berusaha tetap tenang, mengembalikan kontrol dirinya sebelum memulai pembicaraan. Ia tahu ia harus menjaga ekspresi dan nada bicaranya tetap stabil. Setelah sedikit berbasa-basi, ia pun membawa obrolan ke arah yang menjadi tujuannya.
"Saya ingin bertanya tentang promosi jabatan Sherly," ucapnya akhirnya.
Pak Bastian mengangkat alis, jelas terkejut. Ia mungkin mengira Ariel datang untuk mempertanyakan promosi jabatannya sendiri, bukan seseorang yang lain. Namun, keterkejutannya tidak bertahan lama. Dengan sikap profesional, ia langsung memberikan jawaban.
"Jujur saja, promosi jabatan Sherly ini memang sangat mendadak," kata Pak Bastian, menyandarkan punggungnya ke kursi. "Tadi malam, saya menerima telepon dari salah seorang anggota dewan direksi. Beliau langsung menyebutkan nama Sherly dan posisi yang akan diberikan kepadanya."
Ariel menyimak dengan saksama. Namun, ketika Pak Bastian menyebut nama dewan direksi yang dimaksud, ia langsung merasakan sesuatu yang tidak beres.
Orang itu.
Orang yang sama yang merekomendasikan Kirana ke perusahaan ini.
Ariel merasakan sesuatu menegang di dalam dirinya. Jika benar, maka Kirana mungkin adalah dalang di balik promosi mendadak ini. Tapi… apa alasannya? Apa yang Kirana harapkan dengan memasukkan Sherly ke dalam pusaran ini?
Ariel tidak bisa langsung menemukan jawabannya, tetapi firasatnya mengatakan ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.
Untuk pertama kalinya sejak ia masuk ke ruangan itu, ketenangannya sedikit goyah.
***