POV Orang Ketiga
Minggu pagi yang cerah, aroma tanah basah masih tercium samar setelah hujan semalam. Sherly baru saja selesai menyeduh teh hangat saat ibunya menghampiri dengan senyum lembut.
"Hari ini kita ziarah ke makam Ayah dan Abang, ya?" suara ibunya terdengar tenang, tetapi ada kehangatan yang menyelip di sana.
Sherly mengangguk, segera beranjak untuk bersiap-siap. Ada rasa rindu yang selalu datang setiap kali ia dan ibunya mengunjungi tempat peristirahatan terakhir dua orang yang mereka cintai. Setelah memastikan semua siap, mereka berangkat tepat pukul sembilan pagi, mobil melaju dengan tenang di bawah langit yang mulai menghangat.
Di sisi lain kota, Ariel juga tengah bersiap. Pagi itu ia mengenakan setelan yang lebih formal dari biasanya, menyesuaikan dengan agenda pentingnya. Hari ini, ia akan menemani papanya ke bandara untuk menjemput salah seorang dewan direksi yang datang langsung dari Jerman.
Di depan cermin, Ariel merapikan dasinya dengan satu tarikan napas panjang. Matanya menatap bayangannya sendiri, seolah mencoba membaca pikirannya sendiri. Ada banyak hal yang memenuhi kepalanya pagi ini, tapi ia tahu, tugasnya saat ini adalah tetap profesional.
Tak lama, suara papanya terdengar dari luar kamarnya, memanggilnya untuk segera berangkat. Ariel mengambil kunci mobilnya, menarik napas sekali lagi, lalu melangkah keluar kamar, siap menjalani hari yang sudah menunggunya.
***
Suasana kantor baru saja menggeliat ketika Sherly dan Ariel tiba di ruangan mereka. Udara pagi masih terasa segar, dan meski hari kerja baru dimulai, ada kehangatan yang tersisa di antara mereka. Sehari tak bertemu seolah cukup untuk menimbulkan rasa rindu yang tak terucap. Sesekali, mereka saling melempar canda ringan, menikmati momen kebersamaan sebelum tenggelam dalam rutinitas kerja.
Namun, momen itu terputus ketika Ibu Risti tiba-tiba menghampiri mereka dengan ekspresi serius.
"Pak Ariel, Sherly, jam sembilan nanti ada rapat dewan direksi. Bapak dan Sherly diminta hadir," katanya berbasa-basi.
Sejenak, keduanya terdiam. Senyuman yang tadi menghiasi wajah mereka perlahan memudar, digantikan oleh perasaan tidak nyaman yang datang entah dari mana.
Sherly menoleh ke arah Ariel, mencoba mencari kepastian. "Rapat tentang apa, Pak?" tanyanya pelan, tapi ada nada khawatir dalam suaranya.
Ariel, yang juga tampak terkejut, hanya menggeleng kecil. "Saya juga tidak tahu," jawabnya, suaranya terdengar lebih datar dari biasanya.
Jawaban itu tidak membantu meredakan keresahan Sherly. Justru, firasat aneh semakin menguat dalam dirinya. Ada sesuatu yang terasa ganjil, sesuatu yang lebih besar dari sekadar rapat biasa.
Mereka saling berpandangan, seolah mencoba membaca pikiran masing-masing. Namun, tidak ada jawaban yang bisa mereka temukan. Yang tersisa hanyalah ketidakpastian yang menggelayuti hati mereka, menunggu untuk terungkap saat jarum jam mendekati pukul sembilan.
***
Rapat dimulai dengan suasana formal seperti biasa. Para peserta, yang terdiri dari jajaran penting perusahaan, duduk dengan tenang dan penuh perhatian. Seorang anggota dewan direksi membuka pertemuan dengan kata sambutan singkat sebelum rapat berlanjut ke agenda utama. Evaluasi kinerja perusahaan menjadi topik pertama yang dibahas, disusul oleh beberapa misi perusahaan ke depan yang sedang dipertimbangkan. Semuanya terasa berjalan sebagaimana mestinya, sampai akhirnya pembahasan mengarah pada promosi karyawan.
Seorang perwakilan dewan direksi mulai membacakan daftar karyawan yang mendapatkan promosi jabatan. Nama-nama dari berbagai jenjang karier disebutkan satu per satu, memenuhi ruangan dengan antusiasme yang semakin meningkat.
Hingga akhirnya, nama Ariel disebutkan.
Ariel terkejut. Meskipun ia memang mengincar posisi Direktur Keuangan Pusat, mendengar namanya disebutkan dalam daftar promosi justru menimbulkan perasaan yang sulit dijelaskan. Bukannya merasa bangga atau senang, pikirannya justru tertuju pada hal lain—Sherly.
Jika ia menerima jabatan itu, artinya ia tidak akan lagi bekerja di ruangan yang sama dengan Sherly. Tidak akan ada lagi momen berbagi waktu dalam kesibukan pekerjaan, tidak akan ada lagi tatapan-tatapan kecil yang selalu berhasil mencuri perhatiannya. Entah kenapa, kebahagiaan yang seharusnya ia rasakan terasa hambar.
Di sebelahnya, Sherly juga tak kalah terkejut. Ada perasaan kecewa yang tiba-tiba menyelip di hatinya, meskipun ia berusaha menutupinya dengan sebuah senyuman. Dengan suara lirih, ia membisikkan ucapan selamat kepada Ariel.
"Selamat, Pak."
Namun, Ariel hanya menanggapi dengan singkat, nyaris tanpa ekspresi. Tidak ada tanda-tanda kebahagiaan di wajahnya, seolah promosi ini bukan sesuatu yang ia inginkan.
Namun, keterkejutan mereka tidak berhenti di situ.
Ketika daftar promosi terus berlanjut, sebuah nama kembali disebutkan—Sherly.
Sherly nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Manajer Keuangan Junior di kantor cabang baru perusahaan. Promosi yang begitu tiba-tiba, padahal ia bahkan belum satu tahun bergabung dengan perusahaan. Dan yang lebih mengejutkan lagi—lokasi kantor cabang itu berada di luar kota, jauh sekali, membutuhkan perjalanan pesawat dengan dua kali transit.
Sherly membeku.
Ariel, yang sejak tadi sudah merasa ada sesuatu yang aneh, langsung menoleh ke arahnya. Matanya membesar, ekspresi keheranan begitu jelas tergambar di wajahnya. Ada sesuatu yang tidak beres di sini—itu yang langsung terlintas di pikirannya.
Sherly pun balas menatap Ariel, matanya penuh tanda tanya. Tidak ada kebahagiaan di sana, hanya kebingungan dan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Ia benar-benar tidak mengerti mengapa ini terjadi padanya.
***
Setelah rapat selesai, Ariel dan Sherly melangkah keluar dari ruangan dengan langkah yang sama-sama terasa berat. Kabar promosi yang seharusnya menjadi sebuah pencapaian justru meninggalkan beban di hati mereka.
Begitu tiba di koridor yang agak sepi, Ariel tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arah Sherly. Matanya menatap gadis itu dengan serius, seolah mencoba mencari jawaban yang sebenarnya sudah ia duga.
"Kamu ingin promosi ini tetap lanjut?" tanyanya pelan.
Sherly mengangkat wajahnya, menatap Ariel dengan kebingungan yang masih tersisa di matanya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menggeleng.
"Saya tidak mau," jawabnya tegas. "Saya tidak bisa pergi sejauh itu, meninggalkan Ibu sendirian… Dan… saya juga tidak mau jauh dari sini."
Sherly tidak menyebut nama Ariel secara langsung, tapi keduanya sama-sama tahu bahwa salah satu alasan terbesar adalah dirinya.
Ariel mengangguk perlahan, tidak terkejut dengan jawaban itu. Sebaliknya, ada sedikit kelegaan di hatinya mengetahui bahwa Sherly pun merasakan hal yang sama.
"Promosi bisa ditolak," katanya akhirnya, "tapi risikonya cukup besar. Itu bisa mempengaruhi penilaian kinerjamu ke depannya."
Sherly menggigit bibirnya, ragu sejenak. Tapi baginya, konsekuensi itu lebih bisa diterima daripada harus pergi ke tempat yang jauh dan meninggalkan semua yang ia cintai di sini.
Melihat ekspresi gadis itu, Ariel menambahkan dengan suara yang lebih meyakinkan, "Saya akan cari tahu kenapa kamu bisa dipromosikan ke sana. Ada yang tidak beres dengan ini, dan saya akan cari solusinya."
Sherly mengangguk kecil, sedikit merasa tenang karena Ariel ada di sisinya.
Namun, di dalam hati, Ariel sendiri sedang memikirkan hal lain. Ia harus mencari celah agar promosi jabatannya juga bisa dibatalkan. Jika Sherly tetap di sini, maka ia juga ingin tetap di sini.
***