POV Kirana
Aku menatap lurus ke luar jendela apartemen. Gemerlap lampu kota yang biasanya terasa menenangkan, malam ini justru seperti pengingat akan sesuatu yang tidak menyenangkan. Aku menyilangkan kaki, menyandarkan tubuh ke kursi santai dengan napas panjang yang terhembus perlahan.
"I shouldn't be this upset."
Tapi nyatanya, ada sesuatu di dadaku yang terasa begitu sesak sejak apa yang kulihat tadi di tengah kemacetan. Ariel, dengan baju kaos abu-abu dan jaket jeans, berjalan berdampingan dengan asistennya. They looked… comfortable. Too comfortable. Mereka masuk ke restoran kecil di pinggir jalan, tampak begitu santai, seolah ini bukan pertama kalinya mereka melakukan hal semacam itu. Bahkan pakaian mereka terlihat matching.
Aku menggigit bibir bawahku.
"So, all the rumors were right, huh?"
Di kantor, sudah beberapa kali aku mendengar spekulasi soal hubungan Ariel dengan bawahannya itu. Tapi aku tidak pernah benar-benar peduli. Until now. Karena sekarang, aku tahu itu bukan sekadar gosip kantor. Itu nyata.
Tanganku mengepal di atas sandaran tangan kursi.
"And what makes her so special?"
She's just his assistant. Seorang perempuan muda yang kariernya masih di bawah bayang-bayang Ariel. Aku? Aku berbeda. Aku membangun karierku dari nol. Aku kompeten, ambisius, dan mandiri. If anyone should stand next to Ariel, it should be me. Not her.
Mataku menyipit, menatap jauh ke arah lampu-lampu kota yang terus berkelip di luar sana. Ada sesuatu yang berubah dalam pikiranku. Bukan sekadar kekecewaan atau kecemburuan. Ini lebih dari itu.
Aku bukan tipe orang yang hanya duduk diam dan menerima kekalahan.
A slow smirk formed on my lips.
"If the game has already started, then let's play it properly."
***
POV Pak Hasyim
Ponsel itu baru saja kutaruh di meja, tapi entah kenapa rasanya panggilan tadi masih bergema di pikiranku.
Aku memijit pelipis, menghela napas panjang. Tawaran promosi. Bukan, ini bukan sekadar promosi. Ini tanggung jawab yang lebih besar, tekanan yang lebih berat. Direktur Keuangan.
"Ada apa?"
Suara istriku membuyarkan pikiranku. Ia duduk di seberang meja, menatapku dengan sorot penuh tanya. Aku tahu ekspresi itu. Ia bisa membaca kegelisahanku tanpa perlu aku mengatakan apa pun.
"Barusan Pak Bastian menelpon," ujarku pelan. "Dewan direksi sedang mempertimbangkan Ariel untuk dipromosikan jadi Direktur Keuangan."
Aku melihat bagaimana wajah istriku langsung berubah.
Beberapa detik, kami hanya diam. Tidak ada kata-kata, hanya tatapan yang saling memahami.
"Lalu?" tanyanya akhirnya.
Aku menarik napas dalam. "Entahlah…"
Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi, aku bangga. Ariel punya potensi besar. Ia selalu bekerja keras, selalu berusaha lebih dari yang orang lain ekspektasikan. Dengan semua dedikasi dan kecerdasannya, posisi itu memang seharusnya bisa ia raih.
Tapi… apakah ia benar-benar mampu?
"Aku tidak ingin Ariel terlalu sibuk bekerja dan nanti jatuh sakit," suara istriku lirih. "Kamu lihat sendiri, kan? Dia sudah cukup kelelahan sekarang. Bagaimana kalau nanti tanggung jawabnya bertambah?"
Aku mengusap wajah, merasakan kekhawatiran yang sama. Aku dan istriku mungkin punya cara berbeda dalam mengekspresikan perasaan, tapi dalam hal ini, kami sejalan.
Ariel memang kuat, tapi tubuhnya tidak sekuat yang orang kira. Ia selalu berusaha terlihat baik-baik saja, menutupi kelelahannya, menahan semua sendiri. Tapi aku tahu, aku bisa melihatnya. Terkadang aku bertanya-tanya, apakah ia benar-benar sadar akan batas dirinya sendiri?
"Aku ingin dia tetap punya motivasi dalam hidupnya," kataku akhirnya, mencoba merangkai pikiranku yang berantakan. "Dia sudah terlalu banyak kehilangan… kalau aku membatasi langkahnya, bukankah aku justru merampas sesuatu yang penting baginya?"
Istriku tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapku dalam, seolah mencari jawaban di mataku.
Aku menghela napas lagi.
Aku tahu apa yang istriku takutkan. Aku juga takut.
Tapi apakah aku harus menghentikan Ariel demi melindunginya? Atau membiarkan dia mengambil kesempatan ini, dengan segala risikonya?
Aku belum tahu jawabannya.
***
POV Mama Ariel
Aku mengetuk pintu kamar Ariel beberapa kali.
Tidak ada jawaban pada ketukan pertama. Aku mencoba lagi, sedikit lebih pelan kali ini.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan wajah Ariel muncul dari baliknya—kusut, matanya sedikit sembab, rambutnya berantakan. Ah, dia sudah tidur rupanya.
Aku menyesal membangunkannya, tapi saat mata hazelnya menangkap sosokku, ia justru tersenyum kecil, seolah senang aku datang.
"Mama mengganggu?" tanyaku lembut.
Ariel menggeleng, lalu memberi isyarat agar aku masuk. Aku berjalan menuju ranjangnya dan duduk di sana. Ariel mengikutiku, duduk di sebelahku sambil mengucek matanya, masih setengah mengantuk. Kacamata yang biasanya bertengger di wajahnya tidak ada di sana, pasti diletakkan di meja.
Aku meraihnya, kemudian menyerahkannya pada Ariel. "Pakai ini dulu."
Ariel tersenyum, menerima kacamata itu dan segera mengenakannya. Aku tahu tanpa itu, dunia di sekelilingnya pasti tampak buram, dan aku tidak ingin berbicara dengannya dalam keadaan seperti itu.
"Ada apa, Ma?" tanyanya setelahnya.
Aku tersenyum kecil. "Cuma mau tanya soal harimu." Aku menatapnya penuh arti. "Tadi Mama dengar dari Papa… kamu habis keluar sama Sherly?"
Ariel tampak terkejut sejenak, lalu terkekeh pelan, seolah tertangkap basah. Ia menggaruk tengkuknya, tertawa kecil. "Ah, itu… iya."
Aku memperhatikannya saat ia mulai bercerita. Awalnya hanya beberapa kalimat sederhana, tapi semakin ia bicara, semakin panjang ceritanya. Tentang tempat makan yang mereka kunjungi, tentang obrolan mereka, tentang hal-hal kecil yang membuatnya tertawa.
Dan aku melihat sesuatu yang jarang kulihat di wajah anakku: senyum yang bertahan lebih lama dari biasanya.
Hatiku menghangat.
Aku membiarkannya bercerita, menikmati bagaimana matanya berbinar saat membicarakan Sherly. Setelah beberapa saat, aku mengamatinya lebih dalam, mencari tanda-tanda kelelahan, mencoba membaca tubuhnya. Tapi sejauh yang bisa kulihat, dia tampak baik-baik saja.
Mungkin… aku saja yang terlalu banyak berpikir sejak bicara dengan suamiku tadi.
Aku menghela napas pelan sebelum akhirnya mengajukan pertanyaan yang sejak tadi berputar-putar di kepalaku.
"Kamu ingat yang Mama bilang beberapa bulan lalu?" tanyaku hati-hati. "Tentang mengambil jam kerja yang lebih fleksibel."
Ariel langsung menggaruk kepalanya, gelagat yang sudah kukenal sebagai bentuk menghindar. "Uh… Ma…"
Aku menunggu. Tidak mendesak.
Tapi kali ini, berbeda dari biasanya, dia tidak langsung menolak. Dia tidak membantah dengan alasan kesibukan atau tanggung jawab.
Beberapa detik berlalu dalam diam sebelum akhirnya ia berkata pelan, "Aku akan mempertimbangkannya dulu."
Aku menatapnya lama, merasakan sesuatu yang menyerupai kelegaan di dadaku.
Ariel mulai melunak.
Mungkin… kali ini, hal itu benar-benar bisa terjadi.
***
POV Ibu Sherly
Aku mematikan lampu ruang tengah, menyisakan remang dari cahaya luar yang menembus jendela.
Perlahan, aku melangkah menuju kamar. Begitu masuk, keheningan menyambutku dengan cara yang sudah terlalu akrab. Aku duduk di ranjang dan, seperti kebiasaanku, menatap sisi kosong di sebelahku.
Ranjang itu… sudah lama tak berpenghuni.
Meski tahun demi tahun berlalu, kehampaan di sana selalu mengingatkanku bahwa aku tidak lagi berbagi tempat ini dengan seseorang. Aku menarik napas, lalu mengusap bantal di sebelahku, membiarkan jari-jariku menyusuri kainnya. Mungkin hanya kebiasaan. Atau mungkin, ini caraku merasakan kehadirannya kembali—walau hanya dalam ingatan.
Aku menghela napas perlahan sebelum pikiranku melayang ke putriku.
Sherly…
Belakangan ini, ada cahaya berbeda di matanya. Ada kebahagiaan yang begitu jelas, yang bahkan tak bisa ia sembunyikan saat menyebut nama pemuda itu—Ariel.
Aku tahu, ada sesuatu di antara mereka. Bukan sekadar teman, bukan sekadar rekan kerja.
Ariel anak yang luar biasa. Aku melihat caranya memperlakukan Sherly, caranya berbicara, caranya hadir di sisi putriku. Aku menyayangi anak itu, menghormatinya, bahkan mengaguminya. Tapi…
Aku tak bisa mengabaikan sesuatu yang lain.
Kondisinya.
Sejujurnya, saat Sherly menceritakan semuanya, ada guncangan hebat dalam hatiku. Aku ingin menyangkalnya, ingin berpura-pura tidak mendengar, tapi itu mustahil.
Bagaimana jika mereka memang ditakdirkan bersama… namun tidak untuk waktu yang lama?
Bagaimana jika Sherly harus mengalami apa yang aku alami sekarang?
Aku tahu rasanya kehilangan. Aku tahu bagaimana keheningan bisa menjadi musuh yang begitu menyesakkan.
Akankah Sherly mampu menghadapinya?
Aku mengusap wajahku, mencoba menyingkirkan kekhawatiran yang terasa begitu berat. Aku tidak ingin menghakimi perasaan mereka, apalagi menolak kebahagiaan putriku. Tapi… aku tetaplah seorang ibu. Dan seorang ibu takkan bisa berhenti mengkhawatirkan anaknya.
Aku menutup mata sejenak, lalu menggeleng pelan.
Mungkin… aku hanya terlalu jauh berpikir.
Mungkin, aku seharusnya tidak mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti.
Dengan helaan napas panjang, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri. Tapi jauh di dalam hati, ketakutan itu tetap ada—mengendap, menunggu waktu untuk kembali muncul.
***