Hadiah yang Bernama Kehidupan

POV Sherly

Malam ini terasa lebih ringan daripada biasanya. Mungkin karena aku masih terbawa suasana dari jalanan angker yang tadi kami lewati. Anehnya, bukannya ketakutan, aku justru merasa senang. Ada sesuatu yang begitu menyenangkan saat melihat ekspresi tenang Pak Ariel di tengah kepanikanku tadi. Seakan ia selalu tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi apa pun.

Setelah mobil Pak Ariel menjauh dari rumahku, aku masuk dengan langkah ringan, menenteng kantong plastik berisi jajanan yang sempat kubeli saat berhenti di pinggir jalan tadi. Aroma makanan itu menyebar, membuat perutku sedikit bergejolak, tapi rasa lapar tidak mengalahkan keinginanku untuk bersantai dulu.

"Ih, baru pulang?" suara ibu terdengar dari ruang tengah.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Ibu menatapku dengan tatapan penuh selidik, seolah mencari petunjuk dari ekspresi wajahku. "Kenapa senyum-senyum sendiri? Acaranya seru?"

Aku tertawa kecil, meletakkan kantong plastik di meja. "Seru, Bu. Tadi kami nonton berempat, sama istri Pak Agus juga."

Ibu mengangkat alisnya, tampak semakin penasaran. "Berempat? Terus gimana? Nontonnya asyik?"

Aku menggigit bibir, menahan tawa. "Nanti, Bu! Aku mau mandi dulu. Nanti aku ceritain semuanya."

Ibu mendengus kecil, tapi membiarkanku berlalu. Aku masuk ke kamar dan segera mengambil handuk sebelum menuju kamar mandi. Air dingin yang menyentuh kulitku seolah membersihkan sisa-sisa kegugupan yang mungkin masih tersisa dari perjalanan tadi. Saat aku selesai dan kembali ke ruang tengah, ibu sudah menunggu dengan ekspresi siap mendengar cerita.

Aku pun mulai bercerita, melewati bagian yang menurutku kurang penting dan lebih menekankan pada suasana seru yang kami alami. Ibu mendengar dengan antusias, sesekali mengangguk atau menimpali dengan komentar yang membuatku tertawa. Setelah puas berbagi cerita, aku kembali ke kamar untuk beristirahat.

Namun, bukannya langsung tidur, aku malah mengambil ponsel dan memeriksanya. Ada satu pesan masuk. Dari Dwi.

Seperti biasa, ia mengawali pesannya dengan sapaan khasnya.

Aku tersenyum. Entah kenapa, kali ini saat membaca pesan itu, wajah Pak Ariel justru melintas di pikiranku. Rasanya seperti kepingan puzzle yang selama ini terpisah mulai menyatu satu per satu. Aku sudah lama tahu, tapi baru kali ini aku benar-benar mulai merasakan kalau mereka adalah orang yang sama.

Dengan cepat, aku mengetik balasan, menanyakan keadaannya. Bukan pertanyaan penting sebenarnya, tapi aku ingin berbicara dengannya. Meski baru saja menghabiskan waktu bersamanya, rasanya tetap ada celah kosong yang ingin kuisi dengan kehadirannya, meski hanya lewat layar ponsel.

Setelah mengirim pesan, aku menatap nama kontaknya di layar ponsel.

Dwi.

Aku menghela napas pelan, lalu dengan gerakan hati-hati, aku mengetuk opsi 'Edit Kontak' dan mengganti namanya menjadi Dwi Ariel Nathan.

Seolah dengan begitu, aku bisa semakin menerima kenyataan bahwa mereka adalah satu orang yang sama.

Pesan balasannya datang tak lama setelah aku mengubah namanya. Kami mulai mengobrol tentang hal yang sebenarnya tidak terlalu penting—tentang sebuah kafe baru yang baru saja membuka cabang di kota ini. Obrolan ringan yang seharusnya biasa saja, tapi entah mengapa terasa begitu menyenangkan.

'Aku dengar kafe itu punya menu khas dari Jerman. Mungkin kamu tertarik coba?' tulisku.

'Menarik. Mungkin kita bisa coba kapan-kapan?' balasnya.

Aku menggigit bibir, merasa dadaku menghangat. 'Kalau aku traktir, kamu mau?'

Balasannya muncul hampir seketika. 'Mau, kapan lagi dapat traktiran dari kamu, kan?.'

Aku tertawa kecil, membayangkan ekspresinya jika kami benar-benar ada di kafe itu sekarang. Aku bisa melihatnya dengan jelas—Pak Ariel dengan gaya tenangnya, mungkin akan mengamati menu dengan saksama sebelum akhirnya memilih sesuatu yang klasik.

Aku membalas, 'Baiklah, nanti aku pilih tempat duduk yang strategis buat kita.'

'Strategis buat apa?'

'Buat lihat pemandangan.'

'Pemandangan atau orang yang duduk di seberangnya?'

Aku membeku sejenak sebelum akhirnya tersenyum, jantungku sedikit berdetak lebih cepat. Mungkin aku mulai terlalu menikmati percakapan ini.

Dan malam itu, aku semakin yakin satu hal—tidak ada waktu yang benar-benar cukup jika itu berhubungan dengan Dwi Ariel Nathan.

***

POV Ariel

Aku meletakkan ponsel di atas meja setelah membaca balasan terakhir dari Sherly. Senyuman samar masih tertinggal di wajahku, tapi aku tidak membiarkan pikiranku berlama-lama larut dalam percakapan itu. Tanganku terulur membuka laci meja, mengambil obat yang harus kukonsumsi sebelum tidur. Dengan gerakan yang sudah menjadi kebiasaan, aku menelan pil-pil itu tanpa ragu.

Saat akan menutup laci, mataku tanpa sengaja tertuju pada deretan obat-obatan yang tertata rapi di dalamnya. Dulu, setiap kali melihat mereka, aku hanya bisa menghela napas berat. Benda-benda itu selalu mengingatkanku bahwa tubuhku bukan tubuh yang sehat. Bahwa hidupku bergantung pada takaran dosis dan jadwal rutin yang harus kupatuhi. Tetapi malam ini, entah mengapa, aku tidak merasakan perasaan itu lagi. Bibirku melengkung membentuk senyum kecil, bukan senyum getir, melainkan senyum penerimaan.

Bukan kelemahan, tapi bukti perjuangan.

Semua obat itu adalah saksi. Saksi betapa kerasnya aku berusaha bertahan. Saksi dari malam-malam panjang yang kulalui dengan tubuh menggigil dan nyeri tak tertahankan. Saksi dari setiap detik hidupku yang penuh ketidakpastian. Tapi lihatlah diriku saat ini—masih bisa berdiri, masih bisa bernapas, masih bisa merasakan hangatnya hidup.

Aku bersandar di headboard ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong namun dipenuhi pikiran yang berputar-putar. Aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa hidupku selalu berdiri di antara dua sisi: harapan dan ketidakpastian. Ada kemungkinan aku bisa bertahan lebih lama, tapi ada juga kemungkinan sebaliknya. Aku tidak tahu, dan ketidaktahuan itu yang dulu begitu menyesakkan dadaku.

Tapi sekarang... mungkin aku tidak perlu terus-menerus memikirkan seberapa panjang waktu yang kupunya. Mungkin, aku hanya perlu memastikan bahwa setiap detik yang masih tersisa bisa kujalani dengan sebaik-baiknya. Dengan cara yang lebih bermakna.

Hari ini, menghabiskan waktu bersama Sherly membuatku menyadari sesuatu. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar melihat hidup sebagai sebuah hadiah. Bukan sebagai cobaan tanpa akhir, bukan sebagai jalan yang penuh ketidakadilan, tapi sebagai sesuatu yang pantas disyukuri. Setelah semua yang kulalui—masa kecil yang berat dengan penyakit yang mengintai, kehilangan harapan, lalu menemukan kembali secercah cahaya di titik yang tidak terduga—aku akhirnya bisa merasakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar bertahan hidup.

Cinta.

Aku meraba dada kiriku, merasakan detak jantung yang selalu sedikit lebih lemah dari orang lain. Jantung yang sudah terlalu banyak bekerja keras untuk tetap bertahan. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar mendengarkan tubuhku. Aku mulai menyadari bahwa selama ini, aku telah begitu kejam pada diriku sendiri. Memaksakan tubuh yang sudah lelah untuk terus berlari mengejar sesuatu yang belum tentu bisa kugenggam. Ambisi. Karir. Perfeksionisme. Aku selalu berpikir bahwa selama aku masih bisa berdiri, maka aku harus terus bergerak. Tapi, untuk apa? Jika akhirnya aku hanya terus merasa kosong dan lelah?

Perlahan, pikiranku beralih ke rak buku di sudut kamar. Aku teringat nasihat Mamaku dan Papaku—saran yang selama ini selalu kuabaikan. Mereka memintaku untuk mengurangi jam kerja, mengambil waktu lebih fleksibel, tidak terlalu memforsir diri. Aku selalu menolak, beralasan bahwa aku harus terus bergerak, terus berusaha, terus membuktikan diriku. Tapi malam ini, dengan semua ketenangan yang kurasakan, aku mulai bertanya-tanya: apakah selama ini aku telah mengejar sesuatu yang salah?

Mungkin, kebahagiaan itu bukan tentang seberapa banyak pencapaian yang bisa kuraih. Mungkin, kebahagiaan itu adalah tentang bagaimana aku bisa menikmati setiap detik yang kupunya. Dan saat ini, kebahagiaanku adalah tentang bisa mencintai dan dicintai.

Aku kembali menatap ponsel di atas meja. Nama Sherly masih terpampang di layar. Aku tersenyum kecil. Tidak ada yang tahu seberapa lama waktu yang kupunya, tapi aku ingin menjalaninya dengan lebih baik. Dengan lebih bijaksana. Dengan lebih banyak cinta.

Karena akhirnya, aku mulai mengerti.

Hidup bukan hanya tentang bertahan. Hidup adalah tentang merasakan.

***