POV Sherly
Kemacetan sore itu benar-benar menguji kesabaran. Deretan mobil mengular tanpa ada tanda-tanda akan bergerak lancar dalam waktu dekat. Aku bersandar di kursi, menatap langit senja yang mulai memudar di balik jendela mobil.
Pak Ariel akhirnya mengambil keputusan untuk menepi ke sebuah restoran di pinggir jalan. Aku bisa merasakan sedikit kelegaan saat mobil akhirnya berhasil keluar dari jalur macet dan memasuki area parkir restoran.
Begitu turun dari mobil, udara malam yang mulai sejuk menyambut kami. Setelah menunaikan salat magrib di mushalla restoran, kami segera mencari tempat duduk untuk makan malam.
Restoran ini memiliki nuansa tradisional yang hangat, dengan lampu-lampu temaram dan aroma rempah yang menyeruak dari dapur terbuka di sudut ruangan. Aku mengambil tempat duduk di samping istri Pak Agus, sementara Pak Ariel duduk di hadapan kami.
Yang membuatku sedikit terkejut adalah bagaimana Pak Ariel tampak lebih berusaha dalam percakapan malam ini. Ia memancing obrolan ringan, menanggapi cerita Pak Agus dengan lebih santai, bahkan sesekali menyelipkan humor halus yang membuat suasana sedikit lebih hidup.
Aku tahu... ia sedang berusaha.
Untuk membuatku nyaman.
Untuk memastikan aku tidak lagi terbebani oleh perasaan yang sejak tadi menyesakkan dada.
Dan entah bagaimana, usahanya itu berhasil.
Perlahan, aku mulai merespons. Aku ikut tertawa kecil saat Pak Ariel mengomentari kebiasaan unik Pak Agus saat memilih makanan, dan aku mulai berbicara lebih banyak dibanding sebelumnya. Keakraban yang sempat terasa kaku sejak pertemuanku dengan Juan tadi perlahan mencair.
Aku melirik sekilas ke arah Pak Ariel. Ia tampak lebih santai sekarang, seolah menyadari bahwa upayanya tidak sia-sia. Ada sedikit kilatan lega di matanya, yang mungkin tidak akan disadari orang lain... tapi aku bisa melihatnya.
Makan malam ini akhirnya terasa lebih ringan, lebih hangat.
Dan untuk pertama kalinya sejak tadi, aku benar-benar bisa menikmati momen ini.
***
Macet lagi.
Aku menghela napas, menatap barisan kendaraan yang seolah tak ada habisnya. Langit mulai gelap, dan suasana jalan semakin terasa sumpek. Pak Agus, yang sejak tadi duduk di kursi penumpang depan, akhirnya memberikan saran.
"Kalau kita ambil jalan pintas, mungkin bisa lebih cepat keluar dari kemacetan ini," katanya sambil melirik ke arah Pak Ariel.
Pak Ariel mengangkat alisnya, tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk kecil. "Pak Agus yakin jalannya bagus?"
"Yakin, Pak. Pernah lewat sekali, tapi udah lama."
Setelah mempertimbangkan sejenak, Pak Ariel akhirnya menyerahkan keputusan kepada Pak Agus. Mobil pun berbelok ke simpang kecil yang cukup sepi, meninggalkan hiruk-pikuk jalan utama.
Jalanan semakin sempit, sepi, dan gelap. Mobil melaju dengan kecepatan yang lebih lambat, melewati area tanah kosong yang tampak tak terurus. Aku merasa tidak asing dengan tempat ini, tapi belum bisa mengingat dengan pasti.
Kemudian, mobil melewati sebuah area yang langsung membuat bulu kudukku berdiri.
Kuburan.
Kuburan umum yang sangat luas, gelap, dan sunyi.
"Eh, kita lagi lewat jalan angker, lho," kataku spontan.
Pak Agus, yang baru saja fokus menyetir, terdiam sesaat. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. "Maksudnya, Non Sherly?" tanyanya sambil melirik ke kaca spion.
Pak Ariel, yang sedari tadi fokus ke jalan, langsung membalikkan sedikit tubuhnya ke arahku. Tatapannya penuh tanya, seakan ingin memastikan apa yang baru saja kudengar memang benar.
Aku menarik napas. "Banyak cerita berkembang soal kuburan ini, Pak. Katanya ada penunggunya. Teman-teman kampus saya dulu pernah mengalami hal-hal aneh di sini. Mereka harus melewati jalan ini kalau mau ke kampus, soalnya mereka ambil kelas karyawan. Pernah ada yang melihat kuntilanak, ada juga yang melihat makhluk besar yang menyeramkan."
Istri Pak Agus langsung merapatkan pelukannya ke tas yang ada di pangkuannya. Raut wajahnya tampak tegang, tapi Pak Agus dan Pak Ariel justru terlihat santai.
"Ah, kita lewat sini niatnya cuma mau menghindari macet, bukan buat ganggu mereka. Insya Allah aman," kata Pak Ariel dengan nada tenang.
Pak Agus mengangguk, sepakat. "Iya, nggak usah takut, Non Sherly. Yang penting kita nggak macam-macam."
Meski mereka tampak tenang, aku dan istri Pak Agus tetap merasa tidak nyaman. Jalanan yang semakin sunyi, ditambah kuburan gelap yang membentang luas di sisi jalan, membuat atmosfer menjadi lebih menegangkan.
Saat kuburan akhirnya terlewati, aku merasa sedikit lega. Namun, kini kami memasuki area yang lebih gelap lagi—tanpa lampu jalan, hanya semak-semak tinggi di kedua sisi.
Lalu, tiba-tiba—
Ciiittt!!
Mobil berhenti mendadak!
Aku tersentak ke depan, jantungku seolah meloncat ke tenggorokan. Syukurlah sabuk pengaman menahanku.
"Astaghfirullah, Pak Agus! Kenapa?" seru istri Pak Agus dengan suara panik.
Pak Ariel dengan sigap menoleh ke arah Pak Agus. "Ada apa?"
Pak Agus tampak tegang, tangannya masih erat di setir. "Saya… saya nabrak sesuatu."
Sekujur tubuhku langsung meremang. Nabrak sesuatu?
"Apa yang ditabrak?" Pak Ariel bertanya, suaranya masih stabil.
Pak Agus menggeleng ragu. "Saya nggak yakin. Kayaknya tadi ada yang melintas sekilas di depan."
Aku semakin membeku di tempatku. Sejak tadi aku melihat ke depan, dan aku tidak melihat apa pun yang melintas.
"Pak… itu hantu nggak sih?" bisikku lirih.
Istri Pak Agus ikut membenarkan, "Pak Agus, Pak Ariel, mending kita lanjut aja! Jangan turun! Nggak usah cari masalah!"
Aku ikut mengangguk cepat. "Iya, Pak! Saya juga nggak lihat apa pun tadi! Kalau yang ditabrak itu bukan manusia gimana?"
Pak Agus menoleh ke Pak Ariel, menunggu keputusannya. Namun, Pak Ariel tetap tenang. "Kita harus pastikan. Kalau ini sesuatu yang membahayakan perjalanan kita, kita harus tahu apa itu."
Dan dengan mantap, ia membuka pintu mobil.
Aku hampir ingin menariknya kembali, tapi sudah terlambat. Pak Agus mengikuti langkahnya, dan mereka berdua keluar ke kegelapan malam.
Aku menggigit bibir, jantungku masih berdegup tak karuan.
Tolong jangan ada yang aneh-aneh…
Beberapa menit berlalu dalam kecemasan. Aku terus mengintip dari jendela, menggenggam erat jemariku. Lalu, siluet Pak Ariel muncul kembali, mendekati mobil.
"Di depan ada penghalang jalan yang roboh," katanya tenang. "Untung Pak Agus ngerem, kalau nggak, kita bisa masuk ke lubang besar di depan."
Aku langsung keluar dari mobil, ingin memastikan dengan mataku sendiri. Dan benar saja—di depan kami ada penghalang jalan yang jatuh, menutupi bagian jalan yang amblas cukup dalam.
Aku mengembuskan napas panjang. Antara lega, syok, dan sedikit malu karena tadi terlalu panik.
Saat kami kembali ke mobil, suasana yang tadi mencekam mulai mencair. Ada tawa kecil di antara kami, meskipun masih bercampur dengan sisa-sisa ketegangan.
Pak Agus menyetir dengan lebih hati-hati, mencari jalur aman di pinggir jalan yang rusak, sebelum akhirnya berhasil kembali ke jalan utama.
Aku melirik Pak Ariel yang tetap tenang sepanjang perjalanan.
Orang ini benar-benar selalu berpikir logis.
Baik dalam pekerjaan, maupun dalam situasi yang seharusnya bisa bikin orang panik seperti tadi.
Dan malam itu, aku semakin mengaguminya.
***