Kata yang Tak Terungkapkan

POV Ariel

Aku memperhatikan Sherly yang masih menundukkan wajahnya. Langkahnya pelan, seperti sedang menyeret sesuatu yang berat di pikirannya. Entah apa yang baru saja terjadi antara dia dan Juan, tapi ekspresinya cukup untuk membuatku tahu bahwa itu bukan percakapan biasa.

Aku merasa ada sesuatu yang penting yang baru saja terlewat dariku. Juan tampaknya telah kalah dalam peperangan itu, kalau memang ini adalah perang. Tapi, bukannya merasa menang, ada sesuatu di hatiku yang terasa… kosong.

Aku menolehkan kepala, memandang Sherly yang berjalan di sampingku. Dia tidak mengatakan apa pun sejak kami meninggalkan tempat itu. Sekilas, aku melihat wajahnya, dan meskipun dia berusaha menutupi apa yang dirasakannya, aku tahu dia sedang menahan sesuatu. Apakah rasa bersalah? Atau... kehilangan?

Pikiranku terus berputar, mencoba menyusun spekulasi yang masuk akal. Jika benar Juan telah kalah, berarti Sherly telah menutup pintu untuknya. Namun, aku tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ada tempat tertentu untuk Juan di hatinya. Tempat itu mungkin kecil, mungkin juga tidak cukup kuat untuk memenangkan segalanya, tapi keberadaannya nyata.

Dan aku? Apakah aku benar-benar yakin bahwa aku memiliki tempat itu juga?

Kami berjalan pelan menuju eskalator, ditemani Pak Agus dan istrinya di belakang. Langkah-langkah kami terasa begitu sunyi, seperti dunia di sekitar ini hanya menjadi latar yang bisu.

Aku mengalihkan pandanganku ke lantai di bawah, lalu kembali ke Sherly. Sejenak, sebuah bayangan melintas di benakku: bagaimana jika suatu hari aku ada di posisi Juan? Bagaimana jika setelah aku mengakui segalanya—tentang diriku yang sebenarnya, tentang Dwi—aku akan mendapati Sherly menundukkan wajahnya seperti ini?

Dada ini tiba-tiba terasa tertekan, seperti dihimpit sesuatu yang besar dan berat. Aku menarik napas dalam, mencoba meredam gejolak itu. Tidak. Ini tidak boleh parah. Aku tidak akan membiarkan diriku kehilangan kontrol sekarang.

Tapi pikiran itu terus mengusikku. Apakah aku siap menghadapi kenyataan jika Sherly memalingkan wajah dariku? Jika dia menganggapku pendusta, atau bahkan, seseorang yang telah menghancurkan kepercayaannya?

Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu.

Aku melirik Sherly di sampingku. Langkahnya pelan, terlalu pelan, seakan setiap pijakan kaki adalah beban berat yang harus dipikul. Matanya tetap tertuju ke lantai, tak sekali pun menatap lurus ke depan.

Tangan kanannya menggenggam tali tasnya erat—terlalu erat, hingga buku-buku jarinya memutih. Sesekali, aku melihat bahunya naik turun pelan, seperti sedang mencoba mengatur napas yang terasa sesak.

Dan aku mulai bertanya-tanya, apakah aku pantas untuk berharap? Jika Juan telah kalah, apakah itu berarti aku menang? Atau, pada akhirnya, tidak ada yang akan menjadi pemenang?

Aku membayangkan semua kemungkinan yang bisa terjadi ketika aku akhirnya mengakui segalanya. Saat aku memberitahunya bahwa aku adalah Dwi, pria yang pernah ditemuinya tiga tahun lalu. Apa yang akan terjadi setelah itu? Akankah Sherly memaafkan? Ataukah dia akan pergi, seperti bayangan yang perlahan menjauh?

Dulu, aku membangun dinding tinggi di antara kami, karena aku yakin itu yang terbaik. Masa depanku penuh ketidakpastian, dan aku tak ingin menyeret Sherly ke dalam kekacauan itu. Tapi dinding itu runtuh, satu demi satu, entah karena ulah Juan atau karena aku sendiri yang terlalu lemah untuk bertahan. Kini, yang tersisa adalah ketakutan baru. Jika aku memberitahu Sherly bahwa aku adalah Dwi... akankah ia merasa aku telah mempermainkannya selama ini? Akankah kepercayaannya hancur begitu saja?

Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpanya. Tapi, aku juga tidak bisa memaksanya untuk tinggal.

Ketika kami sampai di depan eskalator, ia mengangkat tangannya untuk memperbaiki hijbanya yang tampak sedikit miring. Gerakannya ragu-ragu, seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu untuk dilakukan agar terlihat sibuk. Tapi aku tahu, itu hanya cara lain untuk menyembunyikan kegundahannya.

Aku berhenti sejenak, menatapnya. "Kamu baik-baik saja?" tanyaku, suaraku terdengar lebih rendah dari biasanya. Mungkin karena aku sendiri takut mendengar jawabannya.

Sherly mengangguk kecil. "Iya... baik," katanya singkat. Namun, nada suaranya jauh dari meyakinkan.

Aku ingin percaya, tapi wajahnya tidak bisa berbohong. "Kalau ada yang mau dibicarakan, saya di sini," kataku, mencoba terdengar ringan, meski dadaku terasa berat. "Kamu tahu, saya ini pendengar yang cukup baik."

Dia tersenyum kecil, tapi senyum itu hanya bertahan sedetik. "Terima kasih, Pak. Tapi, tidak apa-apa. Saya cuma... ya, sedikit capek saja."

Capek? Aku tahu itu bukan jawaban yang sebenarnya. Tapi aku juga tahu Sherly tidak akan mudah membuka diri, terutama tentang sesuatu yang melibatkan perasaan.

"Kalau capek, kenapa nggak bilang dari tadi? Nanti saya minta Pak Agus bawa kursi roda biar kamu nggak perlu jalan jauh," candaku, berharap bisa membuatnya tertawa.

Akhirnya dia tertawa kecil, meski masih terdengar hambar. "Nggak, nggak perlu. Malah bikin saya jadi pusat perhatian nanti."

"Memang kenapa kalau jadi pusat perhatian? Bukannya kamu sudah biasa, ya? Banyak yang perhatian sama kamu," godaku, dengan nada sengaja dibuat santai.

Sherly menoleh, tatapannya sejenak seperti mencoba memahami maksud perkataanku. Tapi kemudian dia kembali tersenyum tipis, kali ini lebih nyata. "Saya rasa itu bukan perhatian yang saya butuhkan."

Kalimatnya seperti pukulan lembut yang menghantam pikiranku. Aku tidak yakin apa maksudnya, tapi kurasa aku tahu. "Mungkin," jawabku pelan, "kadang perhatian yang kita butuhkan datang dari tempat yang tidak terduga."

Dia tidak menjawab, hanya menunduk lagi. Tapi aku tahu, ada sesuatu di balik diamnya. Dan mungkin, itu lebih besar dari apa yang aku bayangkan.

Di tengah perjalanan, aku menarik napas panjang, mencoba meredakan denyut aneh di dadaku. "Sherly," panggilku, kali ini lebih lembut.

Ia berhenti, berbalik menatapku. "Ya, Pak?"

Butuh beberapa detik bagiku untuk merangkai kata-kata. "Kalau ada sesuatu yang kamu ingin bicarakan... apa pun itu, kamu tahu saya selalu ada, kan?"

Ia diam, hanya memandangku, seolah mencari makna yang lebih dalam dari ucapanku. Lalu, akhirnya ia mengangguk kecil. "Terima kasih, Pak Ariel," katanya pelan, sebelum melanjutkan langkahnya.

Aku mengikuti di belakangnya, tanpa kata. Ada begitu banyak hal yang ingin kuungkapkan, tapi semuanya terasa terlalu berat untuk disampaikan saat ini. Dan di dalam pikiranku, aku hanya berharap, entah bagaimana, ia tahu aku benar-benar ada untuknya, meskipun aku tak yakin apakah itu cukup.

***

POV Sherly

Aku melipat mukena dengan gerakan perlahan, seakan gerakan ini bisa membantuku meredakan kekacauan di pikiranku. Tapi nyatanya, sejak bertemu Juan tadi, aku justru semakin sulit memahami apa yang sedang terjadi.

Aku menghela napas, membiarkan diri bersandar sejenak di dinding mushalla, menatap lurus ke depan tanpa benar-benar melihat. Ada sesuatu yang berbeda dari Pak Ariel hari ini. Sikapnya... ekspresinya... sorot matanya yang terasa lebih lembut, meskipun tetap menyimpan sesuatu yang tidak bisa kuterjemahkan.

Apakah dia... peduli?

Aku menoleh ke jendela kecil di sisi mushalla, dan di luar sana, kulihat Pak Ariel berjalan beriringan dengan Pak Agus. Punggungnya tegap, langkahnya tetap tenang seperti biasa. Namun, setelah semua yang terjadi hari ini—menonton film bersama, perhatiannya yang terasa lebih hangat, caranya melirikku setelah pertemuanku dengan Juan—apakah itu semua hanya kebetulan?

Atau ini pertanda sesuatu yang lebih?

Aku menggigit bibir bawahku, menahan dorongan hati untuk terlalu jauh berharap. Tidak, aku tidak bisa membiarkan diriku terjebak dalam mimpi yang mungkin hanya ilusiku sendiri. Pak Ariel tetaplah seseorang yang sulit dipahami. Bahkan jika ia memiliki sesuatu untuk diungkapkan... tidak ada jaminan ia akan benar-benar melakukannya.

Aku menoleh ketika istri pak Agus selesai merapikan mukenanya. Kami saling bertukar senyum kecil dan mengangguk, tanpa kata, tapi cukup untuk memberi isyarat bahwa sudah waktunya pergi.

Saat aku berdiri dan melangkah menuju pintu, aku berusaha mengabaikan detak jantungku yang terasa sedikit lebih cepat dari biasanya. Aku tidak ingin berharap terlalu banyak, tapi aku juga tidak bisa sepenuhnya mengabaikan harapan itu.

Karena untuk pertama kalinya... aku mulai bertanya-tanya, mungkinkah suatu hari nanti, Pak Ariel benar-benar akan mengaku?

***