POV Sherly
Kami berempat berjalan keluar dari gedung bioskop, menuruni eskalator menuju lantai yang dipenuhi deretan barang-barang elektronik. Aku tak tahu pasti apa tujuan kami berikutnya—rasanya memang tidak ada rencana khusus selain mencari mushala di parkiran basement untuk salat asar. Tapi suasana mal sore itu begitu nyaman, dengan lampu-lampu neon yang berkilauan dan alunan musik lembut di udara, sehingga kami memutuskan untuk sekadar berkeliling dulu.
Pak Agus dan istrinya berjalan di belakang, sementara aku berjalan di samping pak Ariel di depan mereka. Aku tak sengaja melirik ke belakang dan melihat istri pak Agus melirik suaminya dengan ekspresi seperti memberi kode. Pak Agus kemudian berbisik pelan ke arah istrinya, namun suaranya cukup samar sehingga aku tidak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan.
Pak Ariel tampaknya menyadari juga, karena ia menoleh ke belakang sambil memperlambat langkahnya. "Ada apa, Pak?" tanyanya, suaranya tenang seperti biasa. Pak Agus menggaruk kepalanya pelan, terlihat agak ragu, tapi akhirnya menjawab, "Eh, saya mau mampir sebentar ke toko laptop. Mau lihat-lihat aja dulu, Pak."
Pak Ariel mengangguk santai. "Oh, ya sudah. Yuk, kita mampir sebentar."
Kami semua pun masuk ke toko laptop yang berada di deretan sebelah kanan. Suasana toko itu cukup ramai, tapi tak sampai membuat sesak. Karyawan toko segera mendekat dengan ramah, menawarkan bantuan. Pak Agus langsung menyampaikan maksudnya, bahwa ia sedang mencari laptop untuk anaknya yang masih SMA. Namun, ia menambahkan dengan canggung bahwa ia sebenarnya hanya ingin melihat-lihat dulu karena belum membawa uang lebih.
Aku memperhatikan wajah pak Agus yang tampak sedikit tidak enak, sementara pak Ariel tetap tenang seperti biasa. Beliau bahkan sempat membantu dengan bertanya kepada karyawan toko, merek laptop apa yang terbaik untuk kebutuhan pelajar seperti anak pak Agus. Akhirnya, setelah berdiskusi cukup lama, pak Agus sepertinya menemukan laptop yang cocok untuk anaknya.
Tapi ketika kami bersiap untuk keluar dari toko, pak Ariel tiba-tiba berkata dengan nada santai, "Mending laptopnya langsung dibawa sekarang aja, Pak."
Aku langsung menoleh ke arah beliau, begitu juga pak Agus dan istrinya yang tampak bingung. Pak Agus buru-buru menjelaskan, "Eh, tapi saya belum bawa uang buat belinya sekarang, Pak. Cuma lihat-lihat dulu aja."
Namun, bukannya menyerah, pak Ariel malah tertawa kecil dan mulai melangkah menuju kasir. "Sudah, nggak apa-apa, Pak. Ini saya belikan buat anak Bapak. Anggap aja hadiah," katanya ringan.
Pak Agus tampak terkejut. "Aduh, jangan, Pak Ariel. Sudah terlalu banyak Bapak bantu kami selama ini. Saya jadi nggak enak..." Tapi langkah pak Ariel yang panjang lebih dulu sampai di kasir sebelum pak Agus sempat mencegahnya. Beliau menyerahkan kartu debitnya kepada kasir sambil berkata, "Kali ini buat anak Bapak, bukan buat Bapak. Jadi, beda, kan?"
Aku memperhatikan semuanya dengan perasaan campur aduk. Rasanya kagum, tapi juga... aku tidak tahu bagaimana menggambarkannya. Pak Ariel benar-benar orang yang tidak hanya cerdas, tapi juga sangat dermawan. Ada sesuatu tentang cara beliau membantu orang lain yang selalu membuatku merasa hangat.
Pak Agus dan istrinya akhirnya hanya bisa mengucapkan terima kasih berulang kali, meskipun aku bisa melihat betapa sungkannya mereka. Aku memilih untuk keluar lebih dulu dari toko itu, memberikan mereka waktu untuk menyelesaikan semuanya di dalam. Sambil menunggu di luar, aku melangkah menuju tepi pagar pembatas lantai.
Suasana mal sore itu begitu ramai, penuh dengan hiruk-pikuk pengunjung yang mondar-mandir dengan kantong belanja di tangan mereka. Aku berdiri di tepi pagar pembatas lantai, memperhatikan balon promosi besar yang melayang-layang di tengah atrium mal. Warnanya cerah, kuning dan merah, memantulkan cahaya lampu yang memenuhi ruangan. Semuanya terasa begitu hidup—suara obrolan, tawa anak-anak, musik latar yang terdengar samar. Untuk sesaat, aku merasa nyaman di tengah keramaian itu.
Aku menghela napas pelan, menyandarkan kedua siku di pagar pembatas. Pandanganku tertuju ke bawah, memperhatikan orang-orang di lantai bawah yang terlihat seperti titik-titik kecil yang terus bergerak. Tiba-tiba, di antara kebisingan yang tak beraturan, aku mendengar suara yang kukenal.
"Sherly!"
Aku tersentak. Suara itu, meskipun hanya satu kata, cukup untuk membuat jantungku berdebar. Aku tidak langsung menoleh. Rasanya seperti tubuhku menolak untuk memverifikasi kemungkinan bahwa aku tidak salah dengar. Namun, langkah-langkah mendekat itu semakin jelas, begitu pula panggilan kedua.
"Sherly! Hei, kamu sendirian?"
Kali ini aku tidak punya pilihan. Aku membalikkan badan dengan cepat, dan... benar saja. Juan. Berdiri di sana dengan raut wajahnya yang khas—campuran ceria dan tegang, seperti dia sedang mencoba terlihat santai padahal jelas ada sesuatu yang ingin dia katakan.
Dadaku terasa sesak tanpa alasan yang jelas. Rasanya seperti waktu di sekitarku melambat, tapi dalam diriku, segalanya justru bergerak terlalu cepat. Aku bingung harus bagaimana merespons, tapi bibirku lebih dulu tersenyum tipis tanpa perintah.
"Juan? Kamu... lagi di sini juga?" tanyaku, berusaha terdengar biasa saja, meskipun aku tahu intonasi suaraku sedikit naik di akhir kalimat. Aku menggigit bibirku pelan, menahan segala kegugupan yang tiba-tiba saja menyerang.
Juan melangkah mendekat, jarak kami semakin dekat, dan aku bisa melihat senyumnya melonggar sedikit. "Iya, aku barusan selesai makan sama teman-teman. Eh, nggak nyangka ketemu kamu di sini."
Aku mengangguk pelan, sedikit tertegun. Aku melirik ke arah toko laptop, berharap pak Ariel dan yang lainnya segera keluar. Rasanya sedikit aneh berdiri di sini sendirian dengan Juan, apalagi setelah semua kejadian terakhir yang melibatkan dia dan perasaannya padaku.
Namun, meskipun hatiku terasa sedikit tidak nyaman, aku tahu aku harus menghadapi ini dengan baik. Juan berdiri di hadapanku sekarang, dan aku tidak bisa pura-pura sibuk mencari jalan keluar.
***
POV Juan
Aku mengenali sosok itu bahkan sebelum benar-benar memastikan siapa dia. Berdiri di sana, di tepi pagar pembatas lantai, membelakangiku, tampak sedang menatap ke bawah. Perasaanku langsung kacau. Dada ini terasa sempit, pikiranku kembali berputar-putar, mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Itu dia. Sherly.
Sial.
Aku pikir aku akan baik-baik saja. Aku pikir, seiring waktu, semua ini akan memudar, tapi tidak. Semuanya masih terasa sama. Luka yang ia tinggalkan, yang belum sempat ia balut dengan jawaban. Aku menggenggam erat tangan kananku, berusaha menghentikan gemetar yang perlahan menjalar.
Sejak hari itu, aku merasa seperti orang bodoh. Kerjaanku berantakan, konsentrasiku lenyap. Bahkan perbaikan jaringan sederhana yang biasanya selesai dalam hitungan jam menjadi terasa seperti tugas seumur hidup. Aku kembali ke propranolol, mencoba meredam tekanan yang menghantamku setiap kali wajahnya melintas di kepalaku. Namun, hari ini, melihatnya berdiri di sana... aku tahu ini adalah kesempatanku.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Aku tahu aku harus siap menghadapi apapun yang terjadi. Baik itu penolakan yang lebih tegas, ataupun kejelasan yang menghancurkan.
Perlahan, aku melangkah mendekatinya. Langkahku berat, seperti setiap langkah membawaku lebih dekat pada jurang yang tak terlihat. Nafasku cepat, terlalu cepat, dan aku bisa merasakan detak jantungku menggema di telinga. Tanganku mengepal erat, mencoba menahan tekanan yang semakin terasa menyesakkan.
"Sherly," panggilku akhirnya, suaraku sedikit serak.
Dia membalikkan badan, dan untuk sesaat, aku tidak tahu harus berkata apa. Wajahnya tidak menunjukkan rasa senang ataupun kehangatan. Ada sesuatu di matanya yang membuatku sadar dia tidak ingin ada percakapan ini.
Tapi aku sudah terlalu jauh. Aku tidak bisa mundur sekarang.
"Juan? Kamu... lagi di sini juga?" ucapnya singkat. Suaranya kaku, nyaris formal.
Aku berusaha tersenyum, meskipun aku tahu itu terlihat dipaksakan. "Iya, aku barusan selesai makan sama teman-teman. Eh, nggak nyangka ketemu kamu di sini." Aku mengumpulkan keberanianku dan kembali melanjutkan kalimatku. "Sherly. Aku... aku hanya ingin bertanya sesuatu."
Dia mengangguk perlahan, tapi tidak mengatakan apa-apa. Tangannya bergerak, memperbaiki posisi hijabnya, dan itulah saat aku melihatnya. Pergelangan tangannya kosong dari gelang resin yang pernah kuberikan. Sebagai gantinya, ada gelang lain. Batu putih.
Dada ini terasa seperti dihantam sesuatu yang besar. Seketika pikiranku dipenuhi oleh suara-suara kecil yang mengatakan hal-hal yang paling tidak ingin kudengar. Dia tidak menginginkanmu, Juan. Dia sudah melupakanmu.
Aku menelan ludah, mencoba melawan dorongan untuk berbalik dan pergi. "Sherly," kataku, lebih tegas kali ini, "aku hanya ingin tahu... kenapa? Kenapa kamu tidak pernah menjawabku waktu itu?"
Dia menatapku, tapi hanya sesaat. Mata itu kemudian beralih, menghindariku, dan ia menunduk. Keheningan itu terlalu lama untuk kubiarkan.
"Kenapa, Sherly?" tanyaku lagi, nadaku meninggi tanpa kusadari. Tekanan yang selama ini kuhindari kembali menghantamku, membuat napasku semakin berat. Aku tidak bisa lagi mengontrolnya.
Dia akhirnya mengangkat wajahnya. Aku melihat air mata menggenang di matanya, membuatnya tampak rapuh dan... begitu jauh dariku. "Maaf, Juan," katanya lemah. Suaranya hampir tidak terdengar.
Dan dengan itu, segalanya runtuh.
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Bahkan napasku seolah terhenti. Namun, sebelum aku bisa mengumpulkan diriku, suara itu memanggilku dari belakang. Suara yang sangat aku kenal.
"Juan."
Aku berbalik perlahan. Di sana dia, Pak Ariel, berjalan mendekat dengan langkah santai. Bajunya... sama persis dengan yang dikenakan Sherly.
Itu cukup. Aku tidak perlu mendengar apa pun lagi. Tidak perlu ada penjelasan. Semuanya sudah jelas sekarang.
Aku menoleh kembali pada Sherly, yang kini menunduk dengan diam. Aku mengangguk kecil, bukan padanya, tapi pada diriku sendiri. Aku mencoba menerima kenyataan ini, meskipun hati ini terasa seperti dihancurkan menjadi serpihan kecil.
Ketika Pak Ariel sudah berada di dekatku, aku memaksakan diri untuk menyapanya. "Pak Ariel," sapaku pendek. Aku mencoba terdengar normal, meskipun suaraku terasa jauh dari itu. "Maaf, saya harus pergi."
Dia mengangguk, mungkin menyadari ada yang tidak beres denganku, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin pergi.
Saat aku melangkah menjauh, rasa sakit itu semakin membesar, menggerogoti setiap bagian dari diriku. Namun aku tahu satu hal. Tidak ada lagi yang tersisa untukku di sini.
***