Dalam Cahaya Redup, Aku Melihatmu

POV Ariel

Langkah kami berdua menuju koridor ruang bioskop terasa tenang, meskipun aku tahu Sherly mungkin sedikit canggung setelah sebelumnya kami bersama Bima. Ada semacam kesenyapan di antara kami, tapi itu bukan kesenyapan yang canggung, melainkan... nyaman.

Di depan pintu bioskop, kami duduk di kursi panjang yang menghadap deretan poster film. Mata Sherly terpaku pada salah satu poster drama romantis yang sedang tayang. Dia tampak serius, tapi aku tahu pikirannya sedang mengembara. Sherly memiliki ekspresi seperti itu—seolah selalu berpikir lebih dalam daripada yang ia tunjukkan.

Pak Agus dan istrinya tiba tak lama kemudian. Kami semua bertukar sapa sebentar sebelum masuk ke dalam ruang bioskop yang masih kosong dan terang benderang. Aku sengaja memilih barisan tengah, tempat yang strategis untuk pengalaman menonton terbaik. Sherly duduk di sebelahku, dan aku bisa merasakan kehadirannya meski aku tidak menoleh. Aku merasa aneh. Biasanya, duduk dekat seseorang tak pernah membuatku sebegitu sadar akan keberadaan mereka.

Aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan bertanya, "Kamu sering ke bioskop?"

Dia menoleh, tersenyum sedikit sebelum menjawab, "Enggak sering, Pak. Waktu SMA atau kuliah, rasanya bioskop itu mahal. Kalau pun nonton, paling karena traktiran teman."

Jawaban yang sederhana, tapi entah kenapa membuatku berpikir. Sherly selalu merendah, tidak pernah berusaha menunjukkan bahwa dia juga layak untuk menikmati hal-hal kecil seperti pergi ke bioskop.

"Kalau Bapak?" tanyanya balik, dan aku tahu giliran aku yang menjawab. Aku tersenyum kecil, merasa agak malu mengakuinya. "Sering, sih. Waktu SMA, saya dan teman-teman suka nonton bareng. Bima juga salah satunya."

Aku tertawa kecil, mengingat masa-masa itu. Mungkin itu masa-masa yang lebih bebas, lebih sederhana. Sherly hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, tidak banyak komentar. Aku menghargai itu—dia tidak menilai, tidak berasumsi macam-macam tentangku.

"Kalau di Jerman, Pak?" dia bertanya lagi.

Aku mengangkat bahu. "Ya, sama saja. Saya memang suka nonton, jadi di mana pun pasti menyempatkan."

Sherly tersenyum mendengar itu, lalu bertanya soal film yang kusukai. Aku menjawab dengan jujur, "Aksi dan fiksi ilmiah." Aku perhatikan dia mengangguk pelan, lalu berkata, "Berarti kita beda, ya. Saya lebih suka drama atau fantasi."

Aku tertawa kecil mendengar itu. Tentu saja. Pilihan itu sangat cocok dengan dirinya yang lembut dan punya imajinasi luas. "Berarti sekarang kita sama-sama nonton film yang bukan kesukaan kita," katanya, matanya menatap lurus ke layar kosong di depan kami.

Aku mengangguk dan menambahkan, "Tapi film ini mungkin jadi jembatan untuk kita berdua. Sesekali keluar dari zona nyaman, kan, nggak masalah."

Dia menoleh cepat dan mengangguk. "Setuju." Ekspresi wajahnya terlihat lebih santai.

Saat lampu mulai dipadamkan, ruangan perlahan menjadi gelap. Aku bisa mendengar suara Sherly menarik napas pelan di sampingku, lalu layar menampilkan video iklan. Rasanya aneh, duduk di sini, di antara banyak orang, tapi hanya keberadaannya yang kurasakan. Entah kenapa aku berharap, siang ini bukan hanya soal menonton film, melainkan lebih dari itu.

Cahaya redup dari layar bioskop menyoroti wajah Sherly di sampingku. Aku tahu aku seharusnya fokus pada film, tapi pikiranku melayang, dan mataku tidak bisa berhenti mencuri pandang ke arahnya.

Dia menonton dengan serius, matanya yang berbinar terpaku pada layar, mengikuti setiap adegan romantis yang sedang diputar. Dalam kegelapan, aku masih bisa melihat senyumnya yang perlahan terukir, seolah-olah ia sedang membayangkan sesuatu yang indah di kepalanya. Wajah ovalnya terlihat lebih manis dari biasanya, terutama dengan sedikit pipinya yang membuatnya tampak lebih muda.

Aku terdiam. Ada sesuatu tentang Sherly malam ini—sesuatu yang berbeda dari Sherly yang kutemui di kantor. Biasanya, dia adalah seseorang yang penuh perhatian pada pekerjaannya, serius, tapi tetap ramah dan tenang. Namun di sini, dalam situasi yang begitu santai, dia tampak... alami.

Mungkin selama ini aku terlalu sibuk untuk benar-benar memperhatikannya. Tapi sekarang, dalam suasana yang gelap ini, tanpa tumpukan pekerjaan yang menghalangi, aku menyadari bahwa Sherly memiliki daya tarik yang tidak pernah kusadari sebelumnya. Bukan hanya kecantikannya, tapi bagaimana ia sepenuhnya larut dalam dunianya sendiri—tampak nyaman, tanpa tekanan.

Mataku tak sengaja terkunci pada wajahnya lagi. Sungguh, ia terlihat berbeda. Cantik, tapi bukan sekadar cantik biasa. Ada sesuatu yang membuatku tidak bisa berpaling.

Aku sadar aku tertegun terlalu lama, hampir lupa untuk menarik napas. Dadaku terasa sesak, bukan karena udara, tapi karena pikiran. Apa yang sebenarnya sedang kulakukan? Melihat Sherly seperti ini... bukankah aku berlebihan?

Aku buru-buru memalingkan wajahku ke layar, mencoba mengalihkan perhatian. Tapi perasaan itu tidak mau pergi. Sherly tetap ada di pikiranku, bersama dengan senyumnya yang sepertinya terekam jelas di ingatanku.

POV Sherly

Film sudah berjalan lebih dari satu jam, dan sejauh ini aku menikmatinya. Namun, entah kenapa pikiranku tiba-tiba teralihkan. Sosok di sampingku menarik perhatianku lebih dari layar besar di depan kami. Pak Ariel.

Aku mencuri pandang ke arahnya. Ia tampak fokus menonton adegan lucu yang baru saja diputar. Tawanya—yang biasanya jarang sekali kudengar di kantor—tiba-tiba menggema di ruangan ini, mengikuti gelak tawa penonton lain. Deretan giginya yang rapi terlihat jelas saat bibir tipisnya melengkung dalam ekspresi bahagia.

Aku terpaku sejenak. Baru kali ini aku memperhatikan, benar-benar memperhatikan, betapa menariknya ekspresi tawa Pak Ariel. Itu berbeda dari sosok serius yang kukenal di kantor. Wajahnya yang biasanya terlihat dingin dan formal kini terasa begitu hangat dan hidup.

Cahaya redup dari layar memantul di wajahnya, menyembunyikan kulitnya yang pucat. Tanpa warna itu mengganggu penglihatanku, aku bisa melihat lebih jelas detail lain darinya. Garis rahangnya tegas, simetris, memberikan kesan kuat yang tak tergoyahkan. Sorot matanya yang tajam tampak menambah daya tarik itu, meskipun kini sedikit melembut dengan suasana santai. Ditambah tubuhnya yang tegap dan ideal, aku tidak bisa menyangkal—Pak Ariel memang sosok yang mengagumkan secara fisik.

Tapi bukan hanya soal penampilannya. Aku tahu, sekuat apa pun ia terlihat dari luar, ada sisi rapuh yang selalu ia sembunyikan. Dan mungkin, itulah yang membuatnya berbeda. Sebuah kekuatan yang tak hanya terletak pada tubuhnya, tapi juga di cara ia menghadapi kehidupannya.

Aku menyadari, tanpa sadar aku sudah memandangi Pak Ariel cukup lama. Lama sekali. Pipiku memanas saat aku cepat-cepat membuang muka, merasa konyol dengan apa yang kulakukan. Apa yang barusan kupikirkan? Kenapa aku sampai teralihkan sejauh ini?

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengembalikan fokusku ke layar. Namun, bayangan Pak Ariel tetap saja berputar di pikiranku, membuatku bertanya-tanya tentang hal-hal yang sebelumnya tak pernah terpikirkan.

***

Lampu ruangan bioskop perlahan menyala kembali, mengusir kegelapan yang menyelimuti suasana sebelumnya. Suara riuh mulai terdengar dari para penonton yang tampak puas dengan film yang baru saja selesai. Aku pun ikut tersenyum, memikirkan betapa menyenangkan film itu. "Film komedi romantis ternyata menarik juga, ya," komentarku sambil menoleh ke Pak Ariel.

Pak Ariel, yang duduk di sampingku, mengangguk setuju sambil tersenyum tipis. Namun, perhatianku langsung tertuju pada gerakannya. Ia melepas kacamatanya dan mengambil botol kecil dari saku jaketnya. Dengan hati-hati, ia meneteskan cairan ke kedua matanya, lalu kembali memakai kacamatanya.

Aku teringat sesuatu. Ini bukan kali pertama aku melihat Pak Ariel melakukan ini. Beberapa kali di kantor, aku pernah melihatnya meneteskan obat mata saat kami sedang bekerja bersama. Aku tidak bisa menahan rasa penasaranku. "Pak Ariel, kenapa harus pakai obat mata? Kelilipan sesuatu, ya?" tanyaku spontan.

Pak Ariel selesai memakai kacamatanya sebelum menjawab, "Nggak, kok. Saya cuma punya tipe mata kering. Kalau terlalu lama di ruangan ber-AC, mata saya jadi nggak nyaman."

Aku mengangguk pelan, mencoba memahaminya. Tapi ucapannya mengingatkanku pada sesuatu yang sempat disebutkan Bang Bima tadi. Rasa penasaran mengusik pikiranku. Aku akhirnya memberanikan diri bertanya, "Pak Ariel, Bapak pakai kacamata karena dulu hobi main PlayStation, ya?"

Pertanyaanku membuat Pak Ariel tiba-tiba tertawa ringan. Ia terlihat geli, seperti aku sedang menginterogasinya. "Kok nanyanya gitu, sih? Enggak, Sherly. Saya berkacamata karena gangguan mata bawaan. Sejak usia tujuh tahun, saya udah minus dua dan silindris satu. Waktu itu saya bahkan belum punya PlayStation."

"Oh," jawabku sambil mengangguk kecil. Aku hampir merasa puas dengan jawabannya, tapi lalu ia menambahkan, "Jadi, jangan terlalu percaya sama cerita Bima tadi, ya."

Kata-katanya langsung membuatku memicingkan mata. "Jadi... apa yang diceritakan Bang Bima tadi bohong?" tanyaku curiga.

Pak Ariel tampak salah tingkah. Ia menggaruk tengkuknya, tertawa kikuk sebelum akhirnya mengakui, "Yah... yang dibilang Bima tadi memang pernah kejadian sih, Sherly. Tapi itu dulu, waktu masih remaja."

Aku tidak bisa menahan tawa kecil. Melihat Pak Ariel yang biasanya tenang dan percaya diri tampak malu seperti itu benar-benar pemandangan yang langka. Aku berdiri dari kursi, menyengir kecil sambil meliriknya. "Yuk, Pak. Kita keluar dulu, sebelum malah dibongkar cerita-cerita masa lalunya yang lain."

Pak Ariel terkekeh kecil sambil ikut bangkit. Bersama langkahnya yang santai, kami meninggalkan ruang bioskop, bergabung dengan keramaian penonton yang mulai keluar. Ada kehangatan aneh dalam suasana ini, membuatku tersenyum tanpa sebab. Entah kenapa, mengenal sisi Pak Ariel yang berbeda ini terasa menyenangkan.

***