Ariel yang Berbeda

POV Sherly

Saat kami tiba di mal, aku sedikit gugup. Ini bukan pertama kalinya aku pergi ke sini, tapi rasanya seperti pertama kali datang bersama seseorang yang... spesial. Waktu tayang film masih satu jam lagi, jadi kami memutuskan untuk mampir ke kafe kecil di depan bioskop. Kafe itu cukup nyaman, dengan nuansa kayu yang hangat dan aroma kopi yang menggoda. Kami memilih meja dengan empat kursi, cukup strategis untuk melihat orang berlalu lalang di sekitar lobi bioskop.

Pak Agus dan istrinya segera mengobrol dengan bahasa daerah mereka. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik mereka dengan alis terangkat. Bahasa itu terdengar asing di telingaku, tetapi ada nada yang akrab di dalam percakapan mereka—mungkin karena intonasi suaranya terdengar seperti rahasia kecil yang dibagi berdua. Aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, tapi ketika kulihat raut wajah pak Ariel yang sama bingungnya denganku, aku hampir tertawa.

Namun, alih-alih membiarkan hal itu berlalu, pak Ariel malah mengambil langkah yang menurutku... lucu. Dengan percaya diri, ia mulai berbicara denganku dalam bahasa Inggris.

"A nice place to spend an hour, don't you think?" katanya santai.

Aku hanya bisa tersenyum. Tingkahnya benar-benar tidak terduga. "Yeah, quite cozy. But, why are we speaking English all of a sudden?" tanyaku, menahan tawa.

Dia melirik sekilas ke arah pak Agus dan istrinya, yang masih asyik mengobrol. "Well, if they can have their private conversation, why can't we?" jawabnya dengan nada setengah bercanda.

Aku akhirnya tertawa kecil dan memutuskan untuk menanggapinya. Aku merasa, untuk alasan yang aneh, seperti masuk ke dalam permainan kecil yang ia mulai.

Kami mulai membahas suasana mal siang itu. Ramai sekali. Anak-anak muda, yang kebanyakan Gen Z, tampak memenuhi area bioskop, kafe, dan tempat makan cepat saji. Pak Ariel, sebagai bagian dari generasi milenial, tidak bisa menahan diri untuk memberikan komentar kritis tentang tingkah laku mereka—tentang gaya berpakaian yang ia anggap "terlalu santai" atau kebiasaan mereka mengambil foto di setiap sudut mal.

"Come on, they're just enjoying their weekend," aku membela mereka. "Besides, I'm also part of Gen Z, remember?"

Dia tersenyum tipis, tampak menahan komentar lebih tajam. "But you're different," katanya singkat.

Aku terdiam sejenak, sedikit salah tingkah dengan pujian itu, sebelum kembali menggoda balik, "Maybe you're just jealous because we're cooler."

"Oh, please," balasnya sambil menggeleng pelan. "Millennials paved the way for your so-called 'coolness.' You should be thankful."

Obrolan kami yang awalnya seperti diskusi santai malah berubah menjadi semacam debat kecil yang menggelitik. Ada sesuatu yang menyenangkan dari caranya mempertahankan pendapatnya sambil tetap menyelipkan humor di sela-selanya. Aku hampir lupa kalau kami sebenarnya sedang "menyaingi" pak Agus dan istrinya yang sedang asyik berbicara dalam bahasa mereka sendiri.

Namun, pak Agus akhirnya menyadari sesuatu. Matanya memicing sedikit, tampak bingung dengan apa yang sedang kami lakukan. "Eh, Pak Ariel, Non Sherly, kok ngobrolnya pakai bahasa Inggris? Lagi latihan TOEFL, ya?" tanyanya dengan nada setengah bercanda.

Pak Ariel yang menyadari hal itu, segera menoleh ke samping, ke arahku. Wajahnya tampak puas seperti seseorang yang baru saja memenangkan sesuatu. Dengan santai, ia melepas kacamatanya sejenak, mengelapnya perlahan dengan tisu, lalu berkata dengan nada ringan, "Kami juga bisa, dong, merahasiakan pembicaraan dari Pak Agus."

Aku tak bisa menahan senyum mendengar komentar itu. Bahkan sebelum pak Agus dan istrinya tertawa, aku sudah lebih dulu melirik ke arah pak Ariel dengan isyarat seolah berkata, Good job. Ia menangkap tatapan itu dengan sempurna, dan senyum kecil penuh kemenangan terlukis di wajahnya.

Pak Agus dan istrinya akhirnya menyerah dan kembali berbicara dalam bahasa Indonesia. Sementara aku duduk bersandar, menikmati suasana yang hangat dan santai ini. Tidak ada yang luar biasa besar yang terjadi, tapi ada sesuatu yang terasa... tepat. Seperti semuanya berjalan sesuai porsinya, tanpa perlu usaha berlebih.

Dan untuk alasan yang aku sendiri belum sepenuhnya mengerti, momen kecil seperti ini terasa seperti sesuatu yang akan terus kuingat.

***

Pak Agus mendadak mengingat bahwa ponselnya tertinggal di dalam mobil, sehingga ia meminta izin untuk mengambilnya di parkiran. Tidak lama setelah itu, istrinya pun pamit untuk ke toilet. Tinggallah aku dan Pak Ariel di meja ini, hanya berdua. Tapi anehnya, situasi ini sama sekali tidak terasa canggung. Mungkin karena kami sudah sering menghadapi situasi seperti ini di kantor. Rasanya, keheningan di antara kami selalu mudah terisi oleh percakapan kecil atau bahkan hanya keberadaan masing-masing.

Kami sempat membahas camilan di kafe ini yang, menurut Pak Ariel, terlalu membosankan. Aku setuju, variasinya memang kurang. Dia bahkan mengusulkan menu seperti churros atau aneka pastry yang lebih menarik. Obrolan ringan itu tiba-tiba terpotong ketika pandangan Pak Ariel terpaku ke arah seorang pria di dekat loket bioskop.

Dia menunjuk pria itu dengan dagunya. "Itu... teman SMA saya, Bima," katanya dengan nada antusias. "Dia yang waktu itu saya ceritakan. Saya rencananya mau mengenalkan dia ke Bu Kirana."

Aku mengikuti arah pandangannya. Pria itu bertubuh sedang tapi kokoh, wajahnya tampak sangat Indonesia, tapi tidak bisa dipungkiri, dia punya pesona tersendiri. Wajahnya tegas, dengan senyuman ramah yang entah kenapa terasa mengintimidasi. Saat Pak Ariel memanggil namanya, "Bima!" pria itu langsung menoleh, dan senyuman lebar menghiasi wajahnya. Aku hampir bisa mendengar nada ceria dalam balasannya, "Riel!"

Mereka jelas akrab. Sangat akrab. Itu terlihat dari cara mereka saling menyapa dengan santai. Tapi sesuatu yang aneh muncul ketika Pak Ariel berbisik padaku sebelum Bima sempat mendekat.

"Nanti jangan panggil saya 'Pak,' ya."

Aku spontan mengernyit. "Kenapa?"

Dia tidak menjawab. Tatapan matanya hanya penuh penekanan, seolah meminta aku menuruti permintaannya tanpa pertanyaan lebih lanjut. "Pokoknya jangan."

"Terus, saya panggil apa?" tanyaku dengan nada bingung.

Dia tampak berpikir sejenak, lalu dengan ekspresi setengah pasrah dia berkata, "Panggil aja nama saya. Ariel."

Aku tertegun. Panggil dia "Ariel"? Itu terdengar... salah. Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk membalas karena Bima sudah sampai di meja kami, membawa aura penuh percaya diri.

"Bro!" sapanya riang sambil menjabat tangan Pak Ariel.

Aku mengamati interaksi mereka. Bima langsung memberi komentar tentang pakaian kami yang, menurutnya, tampak serasi. Pandangannya penuh kode, seperti mengatakan ada sesuatu yang "lebih" di antara kami. Aku mencoba menghindari tatapannya, tapi jujur, aku merasa canggung.

"Eh, jadi ini cewek yang mau lo kenalin ke gue?" goda Bima sambil menyunggingkan senyum nakalnya.

"Ah, bukan," Pak Ariel menjawab cepat. Nada suaranya tegas, bahkan sedikit defensif.

Bima memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan. Namun, sebelum aku sempat menyambutnya, Pak Ariel dengan gesit menjabat tangan Bima lebih dulu. "Namanya Sherly," katanya santai. "Dan gak usah pakai jabat tangan segala."

Aku hampir tertawa melihat tingkahnya. Pak Ariel memang bisa sangat... tidak terduga.

Bima, yang sepertinya cukup peka terhadap situasi ini, mulai melontarkan godaan-godaan lain. Aku tidak tahu harus merasa geli atau kasihan melihat Pak Ariel yang tampak berusaha keras menahan kesal sambil tetap menjaga nada santainya.

Obrolan mereka kemudian bergulir ke arah yang lebih serius. Aku mendengar Bima bertanya tentang kondisi kesehatan Pak Ariel, mengingat terakhir kali mereka bertemu adalah di rumah sakit. Jawaban Pak Ariel singkat, tapi jelas. "Sekarang gue udah jauh lebih baik," katanya dengan nada tenang.

Namun, suasana serius itu hanya bertahan sebentar sebelum Bima kembali melontarkan candaan, kali ini mengarah padaku.

"Tau gak, Sherly? Ariel ini tuh gak sepintar kelihatannya, loh."

Aku spontan tertarik. "Kenapa Bang Bima bisa bilang gitu?" tanyaku, sebelum menyadari satu hal penting. Kata "Pak" nyaris meluncur dari mulutku, tapi aku buru-buru menggantinya. "...tentang Bang Ariel?"

Aku bisa merasakan tatapan Pak Ariel yang langsung beralih padaku. Matanya bertemu dengan mataku, seolah ingin memastikan aku benar-benar mengucapkan itu. Aku membalas tatapannya dengan ekspresi datar, seolah berkata, aku sudah berusaha.

Bima tertawa kecil melihat interaksi kami. Lalu dia mulai bercerita tentang masa SMA mereka. Tentang bagaimana Pak Ariel pernah tidak masuk sekolah karena begadang bermain PlayStation baru semalaman. "Pagi-paginya, kepala dia sakit parah. Tapi itu karena kurang tidur, bukan sakit beneran," kata Bima sambil tertawa.

Aku ikut tertawa mendengar cerita itu. Bayangkan, seseorang seperti Pak Ariel ternyata pernah melakukan hal seperti itu.

Pak Ariel, yang sejak tadi hanya bisa berdiri dengan tangan bersedekap, akhirnya berkomentar, "Udah puas ketawanya?"

Sebelum aku sempat menjawab, suara panggilan untuk memasuki ruang bioskop terdengar. Pak Ariel langsung mengakhiri percakapan dengan candaan yang mengarah pada Bima, mengingatkan bahwa dia harus menunggu sendirian sampai jadwal filmnya tiba.

Aku hanya bisa tersenyum melihat interaksi mereka. Entah kenapa, melihat sisi Pak Ariel yang seperti ini terasa menyenangkan. Dia tampak begitu santai, begitu "biasa." Tidak seperti sosok tegas dan serius yang aku kenal di kantor. Dan aku mulai menyadari, ada banyak sisi darinya yang selama ini belum aku lihat.

***