POV Sherly
Siang itu, setelah selesai menunaikan shalat Zhuhur, aku bergegas menyiapkan diri untuk pergi menonton bersama Pak Ariel.
Aku berdiri di depan cermin, memastikan semuanya terlihat rapi. Kaos abu-abu sederhana yang kukenakan terasa nyaman, dipadukan dengan celana jeans biru tua. Aku tidak ingin terlihat terlalu berlebihan, tapi tetap pantas.
Ibu sempat bertanya tadi siang. Pertanyaannya sederhana, tapi membuatku gelagapan. "Sherly, jadi asisten itu bisa pergi nonton juga dengan manajernya, ya?"
Aku hanya tersenyum kaku sambil mencoba menjelaskan seadanya. Bahwa kami punya rencana menonton film bersama. Ibu tidak bertanya lebih jauh. Hanya senyum kecil yang tersungging di wajahnya, seperti ada sesuatu yang sudah ia pahami tanpa aku jelaskan.
Siang itu, Ibu harus pergi ke pasar, dan warung terpaksa ditutup. Aku ditinggalkan sendiri di rumah. Ketika Ibu beranjak pergi, aku berdiri di dekat jendela, memandang langit yang mulai mendung. Awan gelap menggantung rendah, seperti akan segera hujan.
Langit yang mendung benar-benar tak main-main. Hujan deras sudah turun sejak beberapa menit yang lalu, membuat suasana di luar rumah terasa semakin dingin. Aku menarik jaket jeans yang tadi tergantung di belakang pintu kamarku, memakainya cepat-cepat, dan meraih payung lipat di atas meja kerja.
Ketukan pintu itu datang tiba-tiba. Untuk sesaat, aku terpaku di tempat. Siapa? Tapi kemudian, tanpa berpikir panjang, aku membuka pintu. Dan, seperti dugaanku, di balik pintu berdiri Pak Ariel, lengkap dengan payung yang sudah dikuncupkan di tangannya. Senyumnya tersungging, sederhana, tapi entah kenapa terasa hangat.
Aku baru akan menyapanya, tetapi mataku langsung tertuju pada apa yang ia kenakan. Aku terdiam. Kaos abu-abu. Jaket jeans. Sama persis denganku. Kebetulan macam apa ini? Aku mencoba mempertahankan ekspresi datar meskipun aku tahu mataku sempat membelalak beberapa detik. Pak Ariel, sebaliknya, malah dengan santai berkomentar, "Wah, kita kompak sekali ya, Sherly."
Aku ingin menjawab sesuatu—apa saja—tapi hanya senyuman canggung yang keluar. Rasanya, kalimat apa pun tak akan terdengar lebih baik daripada diam.
Kami berjalan berdua di bawah payung silvernya yang lebar, cukup melindungi kami dari hujan yang semakin deras. Aku mendengar suara gemericik air yang jatuh di sekitar kami, mencium aroma tanah basah yang khas. Di bawah payung itu, aku merasa nyaman. Langkah kami lambat, santai, seolah tak ada hal mendesak yang perlu kami buru. Momen ini... terasa indah. Tapi aku tidak ingin terlalu lama terjebak dalam perasaan ini.
Begitu kami tiba di dekat mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, sesuatu membuatku merasa aneh. Mobil itu kosong. Tidak ada Pak Agus, seperti biasa. Aku mencoba mengabaikan, tapi rasa canggung tiba-tiba menyelinap, membuat langkahku terasa berat. Aku berhenti di samping mobil, berdiri tepat di hadapannya. Untuk sesaat, mata kami bertemu.
Aku tahu aku harus bertanya, meskipun bagian dari diriku merasa ragu. Dengan suara yang hampir tenggelam oleh hujan, aku memberanikan diri, "Pak, Pak Agus tidak ikut, ya?"
Ekspresi Pak Ariel sedikit berubah, seperti sedang mencoba menebak apa yang sedang kupikirkan. Tapi beberapa detik kemudian, ia tertawa ringan. "Oh, mereka sedang beli minuman di warung depan. Karena warung Ibumu tutup, jadi Pak Agus dan istrinya berjalan kaki ke sana. Sebentar lagi mereka kembali."
Istrinya? Aku mengernyitkan dahi. Untuk apa istrinya ikut? Tapi sebelum aku sempat mengeluarkan pertanyaan itu, Pak Ariel sudah mendahuluiku, seolah ia bisa membaca pikiranku.
"Saya sengaja meminta Pak Agus membawa istrinya supaya kamu tidak canggung pergi bersama saya," katanya santai, matanya penuh ketenangan.
Aku mengangguk perlahan. Jawaban yang masuk akal, kupikir. Tapi ada sesuatu dalam caranya bicara yang membuatku bertanya-tanya lebih dalam. Apakah ia selalu memikirkan hal-hal seperti ini setiap kali kita bertemu?
Belum selesai aku melamun, ia menambahkan, "Saya tahu ada batasan yang harus saya hormati saat bersama kamu, Sherly."
Kata-katanya itu menancap di pikiranku seperti sesuatu yang tak mudah diabaikan. Ada kejujuran di sana. Ada penghargaan yang ia tunjukkan tanpa aku memintanya. Dan aku... entah kenapa aku merasa tertahan oleh hal yang baru saja ia ucapkan.
Aku terpaku di tempat, sampai suaranya memanggil namaku, menyadarkan lamunanku. "Sherly, ayo masuk ke mobil. Hujan semakin deras."
"Oh... iya, Pak," jawabku tergagap, segera mengikuti arahannya.
Aku duduk di kursi belakang, seperti biasa. Pak Ariel duduk di kursi depan, di sebelah pengemudi. Aku tahu ini hanya perjalanan menuju bioskop, tapi perasaanku berkata bahwa ini lebih dari sekadar itu. Ada sesuatu yang perlahan berubah di antara kami. Aku hanya belum tahu apa.
Langit masih mengguyur deras, butiran air menari di atas kaca jendela mobil. Aku menyandarkan punggung, mencoba mengatur napas. Suasana di dalam mobil ini terasa hangat, meskipun pikiranku masih terus memutar kejadian tadi—kata-katanya, caranya memegang payung, hingga senyumnya yang entah kenapa membuat hatiku terasa tidak karuan.
Dari kejauhan, aku melihat Pak Agus dan seorang wanita—istrinya, mungkin—berjalan di bawah payung biru tua. Mereka mendekat, membawa kantong plastik yang tampaknya penuh belanjaan. Hujan tidak menghalangi langkah mereka. Begitu pintu mobil dibuka, udara dingin langsung menyeruak masuk, membuatku refleks merapatkan jaket jeans yang kupakai.
"Maaf, Non Sherly, lama ya nunggu kami?" Pak Agus tersenyum ramah sambil menutup pintu. Wanita di belakangnya—yang ternyata benar istrinya—mengangguk sopan ke arahku.
"Ah, enggak kok, Pak. Baru saja," jawabku cepat sambil tersenyum, meskipun suara hujan hampir mengalahkan suaraku.
Sementara itu, Pak Ariel masih duduk di kursi depan, mengelap kacamatanya dengan tenang. Kacamatanya sedikit basah karena terkena percikan air saat ia menutup payung tadi. Gerakannya pelan tapi pasti, seperti biasa, penuh ketelitian.
Aku kembali meluruskan pandangan, mencoba membenarkan posisi hijabku yang tadi sedikit bergeser saat masuk ke dalam mobil. Aku tidak menyadari Pak Agus sedang memperhatikan kami sampai ia tiba-tiba berkomentar dengan nada bercanda.
"Wah, kalian berdua kompak banget, ya. Kaosnya, jaketnya, semuanya mirip! Kenapa enggak bilang sih, Pak Ariel? Kalau mau pakai baju couple-an, biar saya ikut juga."
Aku membeku. Seketika wajahku terasa panas. Aku yakin pipiku kini merah, meskipun aku mencoba berpura-pura sibuk membetulkan hijab.
Tapi Pak Ariel—seperti biasa—tampak santai. Ia tersenyum kecil, menanggapi candaan itu dengan cara yang membuatku semakin salah tingkah. Ia menoleh sedikit ke belakang, ke arah tempatku duduk. Matanya, tanpa bingkai kacamata, langsung bertemu denganku.
"Saya rasa Pak Agus benar-benar payah," katanya sambil tertawa ringan. "Masa pasangan suami istri bisa kalah kompak sama kita, Sherly?"
Aku terpaku. Senyumnya begitu polos, seolah ia benar-benar tidak menyadari betapa kata-katanya membuat darahku berdesir aneh. Tapi bukan itu yang membuatku kehilangan kata-kata. Melainkan tatapan matanya.
Mata hazel itu.
Tanpa kacamata, wajahnya terlihat berbeda. Lebih hangat, lebih dekat... lebih akrab. Seketika, aku tidak melihat sosok Pak Ariel, manajerku yang selalu tegas dan perfeksionis. Yang kulihat adalah Dwi, sosok dari tiga tahun lalu.
Tatapan itu. Cerah, seperti menyimpan canda tawa, tapi ada sesuatu di dalamnya yang lebih dalam. Sebuah beban yang ia sembunyikan, mungkin rasa sakit yang tidak pernah ia tunjukkan. Sama seperti dulu.
Hatiku mencelos. Ada perasaan aneh yang menyeruak di dadaku, seperti angin dingin yang tiba-tiba menyusup ke dalam kehangatan. Aku tidak tahu apakah ini rasa senang, sedih, atau sesuatu di antara keduanya. Yang kutahu, aku melihat Dwi dalam dirinya—dalam tatapan itu.
Pak Ariel dan Dwi. Dua sosok yang tampak berbeda, tapi pada dasarnya adalah satu. Satu orang yang kini duduk di depanku, dengan mata hazel yang berbicara banyak hal tanpa harus berkata-kata.
Hatiku terasa sesak. Tapi entah kenapa, aku juga merasa hangat. Seperti aku perlahan mulai mengenali dirinya, bukan hanya sebagai Pak Ariel, tapi juga sebagai Dwi. Sosok yang selama ini selalu terasa jauh, tapi kini hadir begitu dekat.
***