POV Sherly
Siang itu, aku sudah tiga kali bolak-balik ke ruangan divisi IT untuk mencari Juan. Aku hanya ingin menyelesaikan sesuatu yang harusnya sudah aku lakukan kemarin, memberikan jawaban yang mungkin dia tunggu. Tapi, Juan tidak ada di tempat. Katanya, dia dipanggil ke divisi lain untuk memperbaiki jaringan yang bermasalah.
Setelah kunjungan ketiga yang sia-sia, aku akhirnya menyerah. Aku meninggalkan ruangan IT dengan perasaan bersalah yang menekan. Aku ingin sekali berbicara dengannya, tapi apalah daya kalau keadaan memang tidak berpihak. Ketika jam kerja usai, aku melangkah keluar dari gedung kantor dengan hati yang terasa berat.
Seperti biasa, aku berada di dalam mobil bersama Pak Ariel, dan Pak Agus yang mengemudi. Awalnya, tidak ada yang aneh. Mobil melaju seperti biasa, melewati jalanan yang sudah hafal di luar kepala. Namun, beberapa menit kemudian, mobil berbelok ke arah yang berbeda dari rute biasa. Aku mengerutkan kening. Ini bukan jalur yang menuju rumahku.
Tanpa pikir panjang, aku bertanya pada Pak Ariel.
"Pak, kenapa lewat sini? Ada perbaikan jalan di rute biasa, ya?" tanyaku, mencoba mencari alasan yang masuk akal.
Pak Ariel menoleh sedikit ke belakang, tersenyum kecil, lalu tertawa pelan. Tawa itu membuatku bingung. Apa yang lucu?
"Enggak, Sherly. Kita enggak lewat sini karena jalan biasa rusak," katanya sambil melirikku sekilas melalui kaca spion tengah. "Ada tempat yang mau saya tunjukkan."
Aku mengerutkan dahi lebih dalam. Penjelasannya terasa... setengah-setengah. Biasanya dia to the point. Kali ini, nada bicaranya terasa berbeda.
"Tempat apa, Pak?" tanyaku lagi, mencoba mencari kejelasan.
Dia hanya tersenyum tipis dan menjawab singkat, "Nanti kamu tahu sendiri."
Aku mendesah pelan, memilih diam. Mataku tanpa sadar tertuju pada kaca spion tengah, memantulkan wajah Pak Ariel yang duduk di kursi depan, di samping Pak Agus. Dia terlihat fokus menatap jalanan di depannya, tapi ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang tidak bisa aku deskripsikan.
Aku mencoba menenangkan pikiranku, tapi ada hal aneh yang membuatku terusik. Bukan tentang ke mana kami akan pergi, melainkan tentang cara dia merahasiakannya. Ini bukan seperti Pak Ariel yang biasanya. Dia selalu lugas, to the point, dan tidak suka bertele-tele. Tapi sekarang, dia terasa berbeda—lebih akrab, lebih santai...
Dan tiba-tiba, sebuah pemikiran melintas di kepalaku. Sesuatu yang sejak tadi aku coba abaikan tapi kini terasa begitu nyata. Sikapnya ini... entah kenapa, terasa seperti Dwi.
Hatiku berdebar. Aku menatapnya lagi melalui spion, berharap menemukan jawaban yang lebih jelas dari pantulan itu. Tapi dia hanya diam, terlihat tenang seperti biasanya. Sementara aku, pikiranku mulai dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang sulit aku pahami.
Apakah pak Ariel mencoba terlihat seperti Dwi saat ini?
POV Ariel
Setelah menempuh perjalanan setengah jam, akhirnya mobil berhenti di depan sebuah toko handicraft terbesar di kota ini. Aku melirik Sherly yang tampak terkejut. Tatapan herannya berubah menjadi senyuman kecil yang tulus, dan aku bisa melihat kilauan rasa senang di matanya. Reaksinya itu membuatku merasa puas.
"Kenapa kita ke sini, Pak?" tanyanya, nada suaranya penuh rasa penasaran.
Aku membalikkan tubuh sedikit, menatapnya sambil tersenyum tipis. "Ingin menambah koleksi handicraft kamu," jawabku sambil menunjuk gelang resin yang melingkar di pergelangan tangannya.
Sherly langsung menoleh ke gelang itu, dan ekspresinya berubah. Ada sesuatu di matanya—entah rasa bersalah atau kegelisahan. Ia menggenggam gelang itu, seolah ingin melepasnya, tapi kemudian menghentikan gerakannya. Aku memilih tidak bertanya lebih jauh. Kadang, memberi ruang untuk orang lain adalah pilihan terbaik.
Aku mengajak Sherly turun dari mobil, mengisyaratkan dengan tatapan agar dia berjalan di sampingku, bukan di belakangku. Dia menurut. Saat kami memasuki toko, aku bisa merasakan keraguannya perlahan menghilang.
Bagian aksesori ada di lantai dua, jadi kami naik tangga ke sana. Begitu sampai, aku langsung melihat perubahan pada wajah Sherly. Matanya membesar, bibirnya melengkung membentuk senyum yang sangat jujur. Kebahagiaan terpancar begitu nyata. Aku sengaja mempersilakannya untuk memilih apa pun yang ia suka. Tapi, seperti yang kuduga, dia terlalu sibuk mengagumi deretan aksesori yang tersusun rapi, nyaris tak memperhatikan kata-kataku.
Aku duduk di bangku dekat kasir, membiarkan Sherly menikmati waktunya. Di sela-sela itu, aku mengambil ponsel dan memeriksa beberapa email pekerjaan. Namun, aku tetap memperhatikannya dari sudut mataku. Cara dia berjalan dari satu rak ke rak lain, bagaimana matanya berbinar saat melihat sesuatu yang menarik perhatian... semuanya memancarkan sisi dirinya yang polos dan penuh rasa ingin tahu.
Setelah beberapa waktu, Sherly mendekat. Tangannya membawa sebuah keranjang belanja berisi bros, dompet kecil berhiaskan manik-manik, dan beberapa gelang batu dengan desain yang sangat indah. Dia berdiri di hadapanku, matanya berbinar.
"Pak Ariel, menurut Bapak, mana yang paling bagus?" tanyanya sambil menunjukkan gelang-gelang itu.
Aku memperhatikan gelang-gelang itu dengan saksama, berusaha tidak terburu-buru. Tapi sebenarnya, perhatianku lebih tertuju pada Sherly—cara dia menatapku dengan antusias, ekspresi semangatnya saat menunjukkan masing-masing gelang.
"Apa pendapat kamu sendiri tentang gelang-gelang ini?" tanyaku, sengaja membalikkan pertanyaannya.
Sherly tersenyum dan mulai menjelaskan satu per satu. Dia berbicara tentang desain, warna, dan bagaimana masing-masing gelang terlihat indah saat dipakai. Nada suaranya penuh semangat, dan aku bisa melihat kebahagiaan sederhana yang terpancar darinya.
Aku mendengarkannya dengan seksama, bukan hanya untuk memahami pilihannya, tetapi juga untuk mempelajari lebih dalam apa yang sebenarnya ia inginkan. Ini bukan sekadar tentang gelang mana yang terbaik, tapi tentang membaca keinginan Sherly tanpa ia sadari. Kak Liese pernah mengajariku hal ini—bahwa memahami apa yang diinginkan seorang wanita bukan hanya soal mendengar kata-katanya, tapi juga membaca ekspresi dan gerak-geriknya.
Akhirnya, aku memilih gelang batu berwarna putih. Aku tidak memberikan penjelasan panjang, hanya mengangguk saat Sherly menunjukkan reaksi senangnya.
Senyum di wajahnya adalah jawaban yang aku butuhkan. Pilihanku tepat. Bukan karena gelang itu yang terbaik di antara yang lain, tapi karena itu yang sebenarnya diinginkan oleh Sherly.
Melihat Sherly tersenyum lepas, aku merasa lega. Rasanya seperti menyelesaikan puzzle kecil yang menyenangkan. Aku tahu ini mungkin hal sepele, tapi setiap momen seperti ini membuatku merasa lebih dekat dengannya—membuatku ingin mengenalnya lebih dalam lagi.
POV Sherly
Aku hampir tak percaya ketika melihat Pak Ariel sudah lebih dulu menaruh kartu debitnya di meja kasir. Aku bahkan tidak sempat mengeluarkan dompetku. Ia melakukannya dengan begitu tenang, tanpa bicara, seolah itu adalah hal paling biasa di dunia. Aku merasa sedikit tidak enak hati. Bukan karena jumlah yang harus dibayar, tapi karena perhatian yang ia berikan terasa begitu tulus.
"Terima kasih banyak, Pak Ariel," ucapku, mencoba menunjukkan rasa terima kasihku dengan tulus.
Pak Ariel hanya tersenyum. Senyuman itu... aku memperhatikan bahwa ia selalu tersenyum seperti itu setiap kali menatapku. Apakah hanya perasaanku, atau memang ia benar-benar selalu terlihat lebih ceria di sekitarku?
Langit mulai meredup, menyisakan semburat jingga yang menyentuh lembut cakrawala. Jalan-jalan kota yang kami lewati diselimuti keheningan senja, hanya sesekali diiringi deru kendaraan yang melintas. Aku membuka sedikit jendela mobil, membiarkan hembusan angin malam yang dingin menyapu wajahku. Rasanya menenangkan, seperti sesuatu yang sulit dijelaskan tapi terasa akrab—seperti bagaimana aku merasa ketika bersama Pak Ariel.
Mobil berhenti di depan sebuah masjid kecil yang berada di pinggir jalan. Kami sepakat untuk menunaikan shalat Magrib sebelum melanjutkan perjalanan. Saat melangkah keluar, aroma tanah yang mulai dingin bercampur dengan semilir angin malam menyentuh hidungku. Langit sudah berubah gelap, tapi bintang-bintang kecil mulai bermunculan, memberikan sedikit cahaya di tengah temaram.
Aku melirik ke arah Pak Ariel, yang berjalan beberapa langkah di depanku dengan tenang. Posturnya tegap, tapi langkahnya terlihat lembut, seolah ia memahami bahwa malam ini bukan hanya tentang perjalanan fisik, melainkan perjalanan lain yang lebih dalam.
Saat mengambil air wudu, dinginnya air membangunkan setiap sel tubuhku. Aku menutup mata sejenak, membiarkan rasa sejuk itu menenangkan pikiranku yang sedari tadi terus memutar ulang setiap momen di toko tadi. Bagaimana ia memperhatikan gelang itu. Bagaimana ia, entah bagaimana, tahu apa yang aku inginkan, bahkan tanpa aku sendiri menyadarinya.
Ketika selesai shalat, aku duduk di salah satu sudut masjid, membiarkan pikiranku melayang-layang. Di depanku, tas belanjaan terbuka sedikit, memperlihatkan gelang batu putih yang baru saja kubeli. Aku mengambilnya perlahan, memandanginya dalam-dalam. Gelang itu sederhana, tapi entah kenapa ada sesuatu yang terasa berbeda.
Aku membuka gelang resin yang melingkar di pergelanganku sejak tadi—gelang pemberian Juan. Perlahan, aku menyimpannya di dalam tas, lalu mengganti dengan gelang batu putih itu. Rasanya seperti mengganti sesuatu yang lama dengan sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih bermakna.
Aku tersenyum kecil, tanpa sadar membayangkan wajah Pak Ariel. Ada sesuatu dari gelang ini yang mengingatkanku padanya—kesederhanaan, ketenangan, dan mungkin… rasa aman yang ia bawa.
Saat kami kembali ke mobil, angin malam bertiup lebih dingin, tapi hatiku terasa hangat. Langit yang kini gelap seolah menjadi kanvas baru, dan setiap bintang yang muncul di atas sana seperti menyiratkan sesuatu yang tidak bisa kugambarkan.
"Langit malam ini indah, ya," gumamku saat masuk ke dalam mobil.
Pak Ariel menoleh sejenak, menatapku dengan senyuman samar. "Ya, sangat indah."
Aku tidak tahu apakah ia hanya berbicara tentang langit atau… mungkin tentang hal lain. Tapi aku memutuskan untuk menyimpan pertanyaan itu dalam hatiku. Kadang, keheningan bisa berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Mobil melaju perlahan, menyusuri jalan kota yang mulai redup diterangi lampu-lampu jalan. Suasana di dalam mobil terasa hening, namun sama sekali tidak canggung. Seperti ada sesuatu yang menghangatkan udara di antara kami, meski aku tidak tahu apa. Aku sibuk memandangi gelang batu putih yang kini melingkar di pergelangan tanganku. Bentuknya sederhana, tapi justru di situ letak keindahannya.
Pak Ariel tampak menyadari perubahan itu. "Gelangnya ganti?" tanyanya dengan nada santai.
Aku menoleh dan tersenyum kecil. "Iya, Pak. Saya nggak suka pakai dua gelang sekaligus. Lagipula, sekarang saya mau pakai gelang yang ini," jawabku.
"Gelang itu cocok untukmu," lanjut pak Ariel. Nada bicaranya tenang, hampir seperti gumaman, tapi cukup untuk membuatku mengalihkan pandangan dari gelang ke wajahnya.
Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Iya, ternyata memang bagus. Pilihan Pak Ariel tepat."
"Bukan soal pilihan, sebenarnya," katanya sambil tetap fokus pada jalan. "Saya hanya memperhatikan bagaimana matamu berbinar saat melihatnya. Sepertinya, sejak awal, kamu sudah tahu mana yang paling kamu suka."
Aku sedikit tertegun. Kata-katanya sederhana, tapi ada sesuatu di dalamnya yang terasa berbeda. Aku menatap gelang itu lagi, menyadari bahwa, tanpa sadar, mungkin benar aku sudah menyukai gelang ini sejak pandangan pertama. Tapi lebih dari itu, aku merasa seperti sedang dikenali dengan cara yang tidak biasa.
"Kalau begitu, terima kasih sudah memperhatikan," jawabku, mencoba tetap terdengar santai.
Pak Ariel melirikku sekilas, lalu tersenyum tipis. "Sama-sama."
"Sepertinya kamu sangat suka gelang itu," suara Pak Ariel memecah keheningan, nada suaranya terdengar santai tapi hangat.
Aku mengangkat wajah, menatapnya. Wajahnya diterangi cahaya lampu jalan yang sesekali melintas. Ada senyum kecil di sudut bibirnya.
"Ya," jawabku pelan, lalu tersenyum. "Entah kenapa, saya merasa ada sesuatu yang istimewa dari gelang ini. Mungkin… karena sederhana tapi terlihat elegan."
Pak Ariel mengangguk kecil, matanya tetap fokus ke jalan di depan. "Kadang, hal sederhana memang punya arti lebih, kalau kita tahu cara melihatnya."
Aku terdiam, merenungkan kata-katanya. Mungkin benar, sederhana tidak selalu berarti biasa. Sama seperti bagaimana aku merasa nyaman setiap kali bersamanya—tidak ada yang istimewa secara eksplisit, tapi rasanya selalu tepat.
"Pak Ariel…" Aku akhirnya membuka suara, meski ragu. "Apa menurut Bapak, setiap hal yang kita pilih—entah barang, keputusan, atau bahkan seseorang—selalu punya makna yang lebih dari sekadar apa yang terlihat?"
Ia melirikku sejenak, sebelum kembali menatap jalan. "Saya percaya begitu. Pilihan sering kali mencerminkan apa yang tidak selalu bisa kita ungkapkan. Kadang, kita memilih sesuatu karena hati kita sudah tahu, bahkan sebelum pikiran kita menyadarinya."
Aku menggigit bibir bawah, merasa kalimatnya menohok sesuatu di dalam diriku. Apakah pilihanku terhadap gelang ini… mencerminkan sesuatu yang lebih? Sesuatu yang tidak berani aku akui pada diriku sendiri?
"Kalau begitu, apakah menurut Bapak, pilihan itu selalu benar?" tanyaku lagi, sedikit penasaran dengan pandangannya.
Ia terdiam sejenak, seperti sedang memikirkan jawabannya. "Tidak selalu," katanya akhirnya. "Tapi, yang penting adalah bagaimana kita bertanggung jawab pada pilihan itu. Kadang, kita belajar banyak dari kesalahan, tapi di saat lain, pilihan itu bisa menjadi pengingat akan sesuatu yang berharga."
Aku mengangguk pelan, meski pikiranku masih sibuk mencerna setiap kata yang ia ucapkan.
Ketika aku kembali memandangi gelang di pergelanganku, aku merasakan senyumnya tertangkap di sudut mataku. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya senyum tipis yang seolah cukup untuk menyampaikan kepuasannya. Ada sesuatu yang hangat dari cara ia melihatku, seolah keberadaanku sudah cukup baginya.
Hati kecilku mulai bertanya-tanya. Apakah perhatian dan kebaikan yang ia tunjukkan ini hanya sebatas kepedulian seorang atasan, atau ada sesuatu yang lebih dalam yang enggan ia atau aku akui?
Aku menyandarkan kepala ke kursi, mencoba mengabaikan debaran kecil di dadaku. Mobil terus melaju, tapi perasaanku terasa seperti melayang di antara kenyataan dan sesuatu yang belum terdefinisi.
***